Keenam : diantara faktor yang memantapkan dan selamatnya aqidah di dalam jiwa ahlus sunnah adalah, bahwa jiwa ahlus sunnah merasa begitu tenang dengan aqidah ini. Setiap orang dari mereka merasakan kedamaian di dalam hatinya, ketenangan di dalam jiwanya, kesenangan dan kebahagiaan, bahkan juga kegembiraan dan kelezatan dengan aqidah yang haq ini, yang Allah Tabâraka wa Ta’âlâ anugerahkan kepadanya.
Hal ini tidak akan dapat ditemukan pada seorang pengikut hawa nafsu dan amatlah jauh dirinya. Allah Tabâraka wa Ta’âlâ berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS ar-Ra’du : 28)
Di dalam jiwa mereka terdapat ketenangan yang sempurna dan kedamaian yang besar terhadap aqidah yang benar ini, yang mereka peroleh dari Kitab Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Berkenaan hal ini, Ibnul Qayyim rahimahullâhu berkata di dalam kitabnya ash-Shawâ’iqul Mursalah :
" سكون القلب إلى شيء ووُثوقه به، وهذا لا يكون إلا مع اليقين، هو اليقين بعينه، ولهذا تجد قلوب أصحاب الأدلة السمعية – يعني أهل السنة – مطمئنة بالإيمان بالله وأسمائه وصفاته وأفعاله وملائكته واليوم الآخر، لا يضطربون في ذلك ولا يتنازعون فيه ". الصواعق المرسلة .(741/2)
“Tetap dan mantapnya hati terhadap sesuatu, hal ini tidaklah akan terjadi melainkan disertai dengan keyakinan, bahkan dengan benar-benar yakin (‘ainul yaqîn). Karena itulah anda dapati hatinya ahlus sunnah, merasa tenang dengan iman kepada Allah, Asmâ` dan Shifât-Nya, serta perbuatan-Nya, kepada malaikat-Nya
dan hari akhir. Tidak goyah ketenangan mereka di dalam keimanan ini dan tidak pula bimbang.” (Ash-Shawâ’iqul Mursalah II/741)
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata :
" وأما أهل السنة والحديث فما يعلم أحد من علمائهم ولا صالح عامتهم رجع قط عن قوله واعتقاده، بل هم أعظم الناس صبراً على ذلك، وإن امتحنوا بأنواع المحن، وُفتنوا بأنواع الفتن، وهذه حال الأنبياء وأتباعهم من المتقدمين " مجموع الفتاوى (50/4)
“Adapun ahlus sunnah dan ahli hadits, tidak ada seorangpun ulama atau orang awam mereka yang shalih, yang diketahui menarik kembali pendapat dan aqidahnya sama sekali. Bahkan mereka adalah manusia yang paling sabar dengan pendapat dan aqidahnya, walaupun mereka diuji dengan berbagai ujian dan fitnah. Dan demikian inilah keadaan para nabi dan para pengikut mereka terdahulu.”
‘Abdul Haq al-Isybîlî rahimahullâhu berkata :
" واعلم أن سوء الخاتمة أعاذنا الله تعالى منها لا تكون لمن استقام ظاهره وصلح باطنه، ما سمع ذا، ولا علم به ولله الحمد، وإنما تكون لمن له فساد في العقد، أو إصرارٍ على الكبائر، وإقدام على العظائم" (نقله ابن القيم في الجواب الكافي ص: 198)
“Ketahuilah, bahwasanya sū’ul khâtimah –semoga Allah Ta’âlâ melindungi kita darinya- tidak pernah didengar dan diketahui terjadi pada orang-orang yang lurus zhahirnya dan baik bathinnya, dan hanya milik Allahlah segala pujian. Sesungguhnya ia hanya terjadi kepada orang yang memiliki aqidah yang rusak, terus menerus di dalam dosa besar, dan mendahulukan keangkuhan.” (Dicuplik oleh Ibnul Qayyim di dalam al-Jawâbul Kâfî hal.198).
Inilah diantara faktor utama yang dapat menghantarkan kepada mantapnya ahli kebenaran, jiwa dan hati mereka merasa tenang terhadap kebenaran, serta merasa enjoy secara sempurna dengannya. Lantas mengapa mereka menyeleweng darinya? Mengapa mereka masih mencari selainnya padahal mereka merasa tenang dan enjoy dengan sebenar-benarnya terhadapnya?
Ketujuh : Termasuk faktor mantapnya mereka di atas keyakinan yang haq adalah, mereka mengikatkan diri dengan pemahaman as-Salaf ash-Shâlih, para sahabat dan yang mengikuti mereka dengan lebih baik. Mereka disertai dengan perkara-perkara (yang disebutkan) sebelumnya, menyandarkan diri di dalam memahami
nash (teks dalil) dan pengetahuan akan dilâlah (penunjukan)-nya kepada pemahaman sahabat dan generasi yang mengikuti mereka dengan lebih baik.
Karena pemahaman itu terkadang sebagiannya doyong/miring dan sebagiannya lagi menyeleweng. Akan tetapi orang yang mengambil agamanya yang murni lagi segar dari Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam secara langsung dengan disertai dengan hati yang bersih, akal yang sehat dan keinginan serta tujuan yang baik, barangsiapa yang demikian ini keadaannya maka ia memperoleh ilmu, keselamatan dan hikmah yang sejati.
Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamâ’ah berpegang erat di dalam memahami nash-nash dan dalil dengan pemahaman sahabat. As-Sijzî rahimahullâhu berkata di dalam buku beliau yang berjudul Ar-Roddu ‘ala Man Ankaro al-Harf wa ash-Shout di dalam mensifati ahlus sunnah sebagai berikut :
“Mereka adalah kaum yang mantap di atas aqidah yang para as-Salaf ash-Shâlih rahimahumullâhu menukilkan kepada mereka dari Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam atau dari sahabat beliau radhiyallâhu ‘anhum mengenai perkara-perkara yang tidak disebutkan oleh nash al-Qur`ân dan (sunnah) Rasūl Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Mereka adalah para imâm yang Allah ridhâ kepada mereka, dan kita diperintahkan untuk mengikuti jejak (atsar) mereka dan meneladani tuntunan (sunnah) mereka. Hal ini memperlihatkan dengan jelas akan diperlukannya iqômatu burhân (menegakkan hujjah yang terang), mengambil sunnah dan berkeyakinan dengannya, merupakan sesuatu hal yang tidak ada
kebimbangan akan kewajibannya.” (Ar-Roddu ‘ala Man Ankaro al-Harf wa ash-Shout hal. 99)
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata:
ولا تج د إماماً في العلم والدين، كمالك والأوزاعي والثوري وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه، ومثل الفضيل وأبي سليمان ومعروف الكرخي وأمثالهم، إلا وهم مصرحون بأن أفضل علمهم ما كانوا فيه مقتدين بعلم الصحابة، وهم يرون أن الصحابة فوقهم في جميع أبواب الفضائل والمناقب " شرح العقيدة الأصفهانية ص128
“Anda tidak akan mendapatkan seorang imam pun di dalam ilmu dan agama, sebagaimana Mâlik, al-Auzâ’î, ats-Tsaurî, Abî Hanîfah, asy-Syâfi’î, Ahmad bin Hanbal dan Ishâq bin Rohawaih, atau semisal al-Fudhail dan Abu Mâlik atau yang lebih dikenal dengan al-Kurkhî, atau yang semisal mereka, melainkan mereka menjelaskan dengan tegas bahwa seutama-utama ilmu dan amal mereka adalah yang meniti ilmu dan amal para sahabat, mereka beranggapan bahwa para sahabat adalah kaum yang berada terdepan di atas mereka di segala bab keutamaan dan kemuliaan.” (Syarhul Aqîdah al-Ashfahânîyah hal. 128).
Al-Ajurrî rahimahullâhu berkata di dalam kitab beliau “Asy-Syarî’ah” :
" علامُة من أراد الله عز وجل به خيراً سلوك هذه الطريق، كتاب الله عز وسنن أصحابه رضي الله عنهم ومن تبعهم ، وجل وسنن رسوله بإحسان رحمة الله تعالى عليهم، وما كان عليه أئمة المسلمين في كل بلد، إلى آخر ما كان من العلماء؛ مثل الأوزاعي وسفيان الثوري ومالك بن أنس والشافعي وأحمد بن حنبل والقاسم بن سلام، ومن كان على مثل طريقتهم، ومجانبة كل مذهبٍ لا يذهب إليه هؤلاء العلماء " الشريعة .(301/1)
“Tanda-tanda orang yang Allah Azza wa Jalla kehendaki kebaikan baginya adalah, orang yang meniti di atas jalan Kitâbullâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasūl-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sunnah para sahabat beliau radhiyallâhu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan lebih baik rahmatullâhi Ta’âlâ ‘alaihim, juga (meniti) jalan yang dilalui oleh para imam kaum muslimin di seluruh negeri sampai generasi akhir para ulama, semisal al-Auzâ’î, Sufyân ats-Tsaurî, Mâlik bin Anas, asy-Syâfi’î, Ahmad bin Hanbal, al-Qâsim bin Sallâm, dan siapa saja yang berada di atas metode mereka dan menjauhi setiap madzhab yang tidak bermadzhab dengan para ulama tersebut.” (asy-Syarî’ah I:301).
Ibnu Qutaibah rahimahullâhu berkata dengan sebuah perkataan yang anggun di dalam bab ini :
" ولو أردنا – رحمك الله – أن ننتقل عن أصحاب الحديث، ونرغب عنهم إلى أصحاب الكلام، ونرغب فيهم؛ لخرجنا من اجتماعٍ إلى تشتت، وعن نظام إلى تفرق، وعن ُأنسٍ إلى وحشة، وعن اتفاق إلى اختلاف). تأويل مختلف الحديث ص (16
“Sekiranya kita menghendaki –semoga Allah merahmati anda- beranjak dari (manhaj) ahli hadîts dan berpaling dari mereka menuju (manhaj) ahli kalâm dan mencintai mereka, niscaya kita pasti akan keluar dari persatuan menuju perselisihan, dari keteraturan menuju perpecahan, dari kebahagiaan menuju kesengsaraan dan dari kesepakatan menuju pertikaian.” (Ta’wîl Mukhtalafil Hadîts hal. 16).
Hal ini menjelaskan bahwa tidak mungkin kemantapan akan diperoleh melainkan dengan berpegang secara sempurna terhadap faham as-Salaf ash-Shâlih rahimahumullâhu, Allah Tabâraka wa Ta’âlâ berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasūl sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisâ1 : 115).
Kedelapan : Termasuk faktor-faktor mantapnya ahlus sunnah di atas kebenaran dan konsisten di atasnya adalah : sikap mereka rahimamullâhu yang wasath (moderat) dan i’tidâl (sikap pertengahan), sebagaimana firman Allah Ta’âlâ :
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang wasath (moderat).” (QS al-Baqarah : 143), yaitu sebagai saksi yang adil. Mereka bersikap moderat tidak bersikap ghuluw (ekstrem) dan tidak jafâ` (sikap menyepelekan), tidak ifrâth (sikap berlebih-lebihan) dan tidak pula tafrîth (sikap meremehkan), serta tidak menambah-nambahi dan tidak mengurangi. Bentuk sikap wasath mereka adalah dengan berpegangteguhnya mereka terhadap kebenaran, konsisten dan mantap di atasnya serta menjauhi semua jalan yang menyimpang, tidak ada bedanya baik yang condong kepada sikap ghuluw ataupun jafâ`. Mereka senantiasa bersikap wasath didalam kebenaran dan konsisten di atasnya, mereka kokoh di atasnya dengan pengokohan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ bagi mereka.
Inilah faktor utama dari faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya mereka di atas kebenaran. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan, tanpa diiringi sikap tafrîth dan tidak pula ifrâth. Setiap kali seseorang bersikap wasath dan i’tidâl, maka ia adalah orang yang paling layak dan paling utama dengan kebenaran.
‘Alî bin Abî Thâlib radhiyallâhu ‘anhu berkata :
" إن دين الله بين الغالي والمقصر، فعليكم بالنمرقة الوسطى؛ فإنها يحلق المقصر، وإليها يرجع الغالي ".
“Sesungguhnya agama Allah itu berada diantara sifat berlebihan dan sifat kurang, maka wajib atas kalian untuk bersandar kepada sandaran yang pertengahan, karena dengan bersandar padanya akan memangkas sifat yang kurang dan kepadanya akan berpulang sifat berlebihan.”
Sikap wasath itu tidak akan bisa diperoleh selamanya melainkan dengan berpegang teguh terhadap kebenaran (al-Haq) tanpa menambah-nambahi atau mengurangingurangi.
Barangsiapa bersikap demikian maka ia adalah orang yang lebih utama dengan kebenaran dan orang yang paling jauh dari penyimpangan serta paling berhak dengan kemantapan dan keselamatan. Oleh karena itulah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“bersederhanalah, bersederhanalah, niscaya kalian akan mendapatkan”. (HR Buhârî no. 6463)
Dan sabda beliau ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm :
عليكم هدياً قاصداً، فإنه من يشاد الدين يغلبه
“Berpegangteguhlah dengan petunjuk yang pertengahan, karena sesungguhnya orang yang bersikap keras di dalam agama akan didominasi (dikalahkan) oleh agamanya.” (HR Ahmad 5/350-31, dishahîhkan oleh al-Albânî di dalam Shahîhul Jâmi’ no. 4086).
Ibnul Qayyim rahimahullâhu berkata :
" فدي ن الله بين الغالي فيه والجافي عنه، وخير الناس النمط الأوسط، الذين ارتفعوا عن تقصير المفرطين، ولم يلحقوا بغلو المعتدين، وقد جعل الله سبحانه هذه الأمة وسطاً، وهي الخيار العدل، لتوسطها بين الطرفين المذمومين، والعدل هو الوسط بين طرفي الجور والتفريط، والآفات إنما تتطرق إلى الأطراف والأوساط محميٌة بأطرافها فخيار الأمور أوساطها" ( إغاثة اللهفان : 1/201)
“Agama Allah itu berada di antara orang yang berlebihan dan orang yang mengabaikan dan sebaik-baik manusia adalah kelompok yang pertengahan. Mereka meninggikan dari peremehan orang-orang yang tafrîth (suka mengabaikan) dan tidak menambahkan dari sikap ghuluw-nya orang-orang yang melampaui batas. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan umat ini (umat Islâm) sebagai umat pertengahan dan mereka adalah umat terbaik yang adil, oleh sebab sikap tawassuth (pertengahan) mereka di antara dua golongan yang tercela. Sikap adil adalah sikap pertengahan di antara dua golongan yang bersikap lalim (berlebihan) dan tafrîth. Segala hal yang merusak sesungguhnya menembus segala sisi dan yang paling pertengahan adalah yang terjaga pada segala sisinya, dan sebaik-baik perkara adalah yang paling pertengahan.” (Ighatsatul Lahafân I/201).
Kesembilan : Termasuk diantara faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya mereka di atas al-Haq dan selamat dari penyimpangan dan perubahan adalah, mereka tidak mendahulukan akal dan perasaan mereka melebihi al-Kitâb dan as-Sunnah. Hal ini juga telah lewat penunjukan salah satu aspek tentangnya sebelumnya,
dan saya akan nukilkan di sini ucapan Abî Muzhaffar as-Sam’ânî yang dinukil dari at-Taimî di dalam kitabnya “al-Hujjah” dan Ibnul Qayyim di dalam kitabnya “ash-Shawâ’iq”, dan ucapan beliau ini adalah ucapan yang agung lagi kokoh di dalam bab ini.
As-Sam’ânî berkata : “Dan merupakan sebab bersatunya ahli hadits adalah, mereka mengambil agama dari al-Kitâb dan as-Sunnah serta jalur naql (penukilan riwayat) sehingga mereka mewarisi persatuan dan kesepakatan. Adapun ahli bid’ah, mereka mengambil agama mereka dari akal-akal mereka sehingga mereka mewarisi perpecahan dan perselisihan. Karena sesungguhnya, naql (penukilan) dan riwayat dari orang-orang yang tsiqât (kredibel) dan mutqîn (mantap hapalan dan ilmunya) sedikit sekali perselisihannya, walaupun lafazh dan kalimatnya berbeda-beda namun perbedaan ini tidaklah mencederai dan mencacat di dalam agama. Adapun produk akal, pemikiran dan pendapat maka sedikit sekali yang saling bersepakat, bahkan akal setiap orang atau pemikiran dan pendapatnya, difahami oleh orang yang berpendapat tersebut tidak sebagaimana yang difahami oleh orang
selainnya.” (Mukhtashar ash-Shawâ’iq hal. 518).
Maka inilah diantara faktor-faktor tsabât (mantapnya) mereka, yaitu tidak mendahulukan akal, pendapat, perasaan dan semisalnya, melebihi Kitâb Rabb mereka dan sunnah nabi mereka Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Adapun ahli hawa (pengikut hawa nafsu), mereka lebih mendahulukan perkara-perkara ini di atas Kitâbullah dan Sunnah Rasūlullâh. Diantara mereka ada yang lebih mendahulukan akal, ada yang lebih mendahulukan pemikiran, ada yang lebih mendahulukan perasaan, ada yang lebih mendahulukan dongeng-dongeng dan mimpi, dan adapula yang lebih mendahulukan hawa nafsunya di atas perintah Rabb-Nya Tabâraka wa Ta’âlâ, saling berlainan dan setiap orang memiliki manhaj, metode dan jalannya masing-masing. Adapun ahlus sunnah, mereka terbebas dari semua penyakit ini, dan mereka menetapi Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya Shalawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi. Dan hal ini merupakan faktor terbesar diantara faktor-faktor mantapnya mereka.
Barangsiapa yang menimba dari sumber air pertama dan mata air yang murni, niscaya ia akan mendapatkan selain dari pada itu semua adalah sumber-sumber air yang telah keruh.
Kesepuluh : Hubungan mereka yang baik kepada Allah, kuatnya ikatan mereka kepada-Nya dan bersandarnya mereka hanya kepada-Nya. Hal ini adalah perkara yang telah saya tunjukkan di dalam pembuka di awal. Oleh karena taufîq itu mutlak berada di tangan-Nya Subhânahu wa Ta’âlâ, maka mereka membaguskan hubungan mereka dengan Allah, memperkuat bersandarnya mereka kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya, memohon pertolongan dan berdoa hanya kepada-Nya, serta meminta kepada-Nya kemantapan.
Mereka mencontoh hal ini dari jalan nabi mereka Shalawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi.
Termasuk doa nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam adalah :
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk dan arahan yang benar.”
Beliau juga pernah berdoa :
”Ya Allah, aku meminta kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian dan kecukupan.”
Beliau juga pernah berdoa :
”Ya Allah anugerahkan kepada jiwa kami ketakwaannya, sucikan jiwa kami karena Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikan jiwa kami, Engkaulah yang menguasai jiwa kami dan mengaturnya.”
Beliau juga berdoa :
”Ya Allah perbaikilah agamaku yang mana ia merupakan pelindung urusanku, perbaikilah duniaku yang merupakan tempat pencaharianku, perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, jadikanlah kehidupan sebagai tambahan bagiku di dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematian sebagai tempat istirahat bagiku dari segala keburukan.”
Nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam juga berdoa :
“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki.”
Beliau juga berdoa :
“Ya Allah, hanya kepada-Mu-lah aku berserah diri, kepada-Mu-lah aku beriman dan kepada-Mu-lah aku bertawakkal. Hanya kepada-Mu aku bertawakkal dan kepada-Mu lah aku kembali serta dengan-Mu aku berdebat (dengan orang kafir). Ya Allah, aku memohon perlindungan dengan keperkasaan-Mu, yang tiada sesembahan yang haq untuk disembah melainkan Engkau, dari ketergelinciran. Engkau adalah dzat yang maha hidup tidak pernah mati, sedangkan manusia dan jin pasti akan binasa.”
Beliau juga pernah berdoa :
“Ya Allah, yang maha membolak-balikkan hati. Mantapkan hati kami di atas agama-Mu.”
Beliau juga berdoa :
“Ya Allah, berikanlah kami pertunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk.”
Beliau juga pernah berdoa :
“Ya Allah hiasilah kami dengan perhiasan keimanan dan jadikanlah kami orang yang memberikan petunjuk lagi mendapatkan petunjuk.”
[Semua doa di atas diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahîh-nya kecuali tiga doa terakhir. Yang pertama dan kedua diriwayatkan Ahmad (/301) dan (1/200) dan ketiga diriwayatkan an-Nasâ`î (no. 1305).
Para pengikut nabi Shalawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi berpegang teguh dengan manhaj beliau, mereka senantiasa menambatkan (hati mereka) dengan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ di setiap waktu dan kapan saja.
Mereka meminta kepada Allah kemantapan, bimbingan, pertolongan dan taufiq, oleh karena itulah Allah memberikan taufiq-Nya kepada mereka, menolong dan membimbing mereka, memelihara dan menjaga mereka dengan pemeliharaan dan pertolongan-Nya. Penjagaan dan taufiq Allah Subhânahu wa Ta’âlâ hanyalah mutlak berada di tangan-Nya semata.
Kemudian, sesungguhnya ikatan mereka kepada Allah Tabâraka wa Ta’âlâ mewariskan kepada mereka, ibadah yang benar dan perangai serta akhlâq yang lurus. Oleh karena itulah, sesungguhnya diantara faidah aqidah yang terpuji dan pengaruhnya yang agung, ia akan terpancar di dalam perbuatan dan perangai seorang manusia, semakin kuat, tinggi, tumbuh berkembang dan semakin suci. Dan ini merupakan berkahnya aqidah yang benar dan termasuk manfaat serta faidahnya yang besar.
Adapun aqidah yang menyimpang, maka ia merupakan kecelakaan bagi pemiliknya. Oleh karena itulah, rusaknya aqidah berakibat kepada rusaknya perbuatan dan perangai, dan hal ini tentu saja merupakan keyakinan yang mencelakakan. Barangsiapa yang meneliti terutama terhadap para pembesar kebatilah dan penyeru kesesatan, ia akan mendapatkan ciri ini secara nyata dan jelas pada mereka. Tidak tampak pada mereka perhatian, kepedulian dan penjagaan kepada ibadah. Tidak tampak pula pada mereka perangai yang terang, sempurna lagi jelas. Sekiranya ia mendapatkan sedikit dari hal dari hal-hal ini, maka yang ada pada ahlus sunnah, berupa kebenaran dan keistiqomahan terhadapnya, lebih besar dan jauh lebih besar.
Dan ini merupakan pengaruh istiqomah di atas aqidah (yang benar) dan menambatkan (hati mereka) kepada Allah Tabâraka wa Ta’âlâ. --bersambung--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar