Sabtu, 10 Desember 2011

Mengenal Lebih Jauh Demokrasi

Sejarah Kemunculan Ide Demokrasi
Sewaktu duduk di bangku sekolah sejak tentu kita sudah mendapatkan penjelasan umum tentang demokrasi. Yakni sebuah ide yang muncul di Yunani kuno yakni sekitar abad ke 5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Secara kelahiran, memang demokrasi lahir pada abad ke 5 SM, namun ini demokrasi yang memiliki pengertian bahwa sebuah system pemerintahan dimana yang dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun kemudian, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Atau ketika terjadi nya pertentangan antara para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Sehingga akhirnya munculah jalan tengah yang diambil oleh mereka yakni bahwa agama tidak boleh ikut campur dalam urusan pemerintahan atau yang kemudian dikenal dengan sekulerisme.
Nah, dalam ide sekulerisme itulah kemudian akhirnya memuat ide demokrasi dengan definisi yang berbeda, yakni system pemerintahan yang kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat, ini sebenarnya hampir sama dengan definisi sebelumnya yakni system pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, namun definisi sebelumnya tidak setegas definisi yang sekarang, dimana definisi kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat adalah buah dari sekulerisme itu sendiri. Ketika kedaulatan berada ditangan rakyat maka itu selaras dengan prinsip dari sekulerisme itu sendiri, itulah kenapa dikatakan bahwa aqidah yang melahirkan ide demokrasi adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Jadi ketika kita katakan bahwa demokrasi berasal atau lahir dari rahim ide kufur sekulerisme maka ini adalah demokrasi yang berdefiniskan sebagai sebuah pemerintahan yang kedaulatan dan kekuasaanya berada di tangan rakyat, bukan definisi sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Artinya, system demokrasi yang dijadikan aturan oleh bebarapa Negara di dunia saat ini memang demokrasi yang telah mengalami perubahan istilah atau makna. Dan inilah yang dikritik oleh para pejuang Islam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Utsman Khalil dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8, beliau berkata : “Sesungguhnya negara-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
Atau sebagai mana yang dikatakan oleh Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata : “Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”
Itulah kenapa, ketika kita mengkritisi demokrasi, kita selalu juga mendefisikan demokrasi itu sendiri sebagai sebuah system yang kekuasan dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Yang jelas ini menyalahi akidah seorang yang beragama Islam, dimana kedaulatan itu bukan berada ditangan rakyat, melainkan sang pembuat hukum yakni Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat. Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

Demokrasi Memiliki Makna Yang Khas
Sebagai sebuah ide asing yang datangnya bukan dari Islam, Demokrasi memiliki makna yang khas, yakni tentang pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan itu sendiri. Dewasa ini ketika kita berdiskusi tentang demokrasi maka bukan lagi membahas system pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, namun lebih ke arah pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan itu sendiri. Nah, ketika demokrasi kita sepakati adalah sebuah ide yang memiliki makna yang khas,maka kita tidak boleh keluar dari makna itu.
Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104)
“Raa’ina” artinya adalah “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.” Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut “Raa’ina”, padahal yang mereka katakan adalah “Ru’uunah” yang artinya “kebodohan yang sangat.” Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan “Raa’ina” dengan “Unzhurna” yang sama artinya dengan “Raa’ina”.

Kontradiksi Demokrasi dengan Islam
Syaikh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu :
1. Sumber kemunculan
2. Aqidah
3. Pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan
4. Prinsip Mayoritas
5. Kebebasan

(1). Sumber Kemunculan
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm : 3-4)

(2). Aqidah
Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk manusia.

(3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri. Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat. Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)


(4). Prinsip Mayoritas
Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :
a.    Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
b.    Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
c.     Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

(5). Kebebasan
Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu:
a.    Kebebasan beragama (freedom of religion)
b.    Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
c.     Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
d.    Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)
Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)
Banyak para ‘ulama yang telah membuat buku untuk menunjukan kesalahan ide kufur demokrasi itu sendiri. Diantaranya :
1.    Al-Hamlah Al-Amirikiyyah Li Al-Qadha` ‘Ala Al-Islam, Bab Ad Dimuqrathiyyah (Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam, bab Demokrasi), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1996;
2.    Afkar Siyasiyah (Bab An-Niham ad-Dimuqrathiy Nizham Kufur min Wadh’i al-Basyar, h.135-140), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1994;
3.    Ad-Damghah Al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan Demokrasi), karya Syekh Ali Belhaj (tokoh FIS Aljazair);
4.    Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I (Bab Asy-Syura h. 246-261) karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir);
5.    Qawaid Nizham Al-Hukmi fi Al- Islam (Bab Naqdh Ad-Dimuqrathiyyah, h. 38-95) karya Mahmud Al-Khalidi (ulama Hizbut Tahrir);
6.    Ad-Dimuqratiyyah fi Dhaw’i as-Syari’ah al-Islamiyyah (Demokrasi dalam Sorotan Syariah Islam), karya Mahmud Al- Khalidi;
7.    Ad-Dimuqratiyyah wa Hukmul Islam fiiha, karya Hafizh Shalih (ulama Hizbut Tahrir);
8.    Ad-Da’wah Ila Al-Islam (Bab Ad-Dimuqrathiyah Laisat Asy-Syura, h. 237-239) karya Ahmad Al-Mahmud (ulama Hizbut Tahrir);
9.    Syura Bukan Demokrasi (Fiqh asy-Syura wa al-Istisyarat), karya Dr. Taufik Syawi, terbitan GIP Jakarta, tahun 1997;.
10.  Naqdh al-Judzur Al-Fikriyah li Ad-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, karya Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti (ulama Hizbut Tahrir) (2002);
11.  Haqiqah Ad-Dimuqrathiyah, karya Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif (1411 H);
12.  Ad-Dimuqrathiyah wa Akhowatuha, karya Abu Saif Al-Iraqi (1427 H);
a.    13.Ad-Dimuqrathiyah Diin (Agama Demokrasi), karya Syekh Abu Muhammad Al-Maqdisi, terbitan Kafayeh Klaten, 2008 (cet II).
Bahkan, para ‘ulama lain pun mengkritik konsep demokrasi itu sendiri, antara lain adalah : Dr. Fathi Ad Darini, salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya Khasha`ish At Tasyri’ Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370. Dr. Fathi Ad Darini berkata : ”Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari politik tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi –pada asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris. Bahwa demokrasi bersifat individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad XX M.”
Syaikh Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan : “Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban modern adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan. Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak mereka untuk memeranginya.”
Salah satu ‘ulama gerakan Islam FIS (Front Islamic du Salut) pengarang buku Ad Damghah Al Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah, di dalam buku itu dengan sangat jelas beliau menggambarkan ide kufur demokrasi. Beliau mengatakab bahwa STANDAR KEBENARAN DEMOKRASI : SUARA MAYORITAS padahal di dalam Islam Kebenaran Tidak Ditentukan Oleh Banyaknya Pelakunya, tetapi Oleh Dalil-Dalil Syar’i.
Kemudian ada Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata : “Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang modern.”
Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan : “Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 : “Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
‘Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy telah mengatakan dalam kitabnya Syura Laa Ad-Dimuqrathiyah halaman 103 : “Dalam kehidupan dunia, kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi kebenaran itu harus diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan manhaj rabbani yang diturunkan dari langit. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Sesungguhnya (Al-Qur`an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (QS. Huud [11] : 17)
Selanjutnya ‘Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy berkata : “Kebenaran bukan ditetapkan oleh suara mayoritas, sekalipun yang menang tersebut kaum muslimin. Juga, ukuran kebenaran bukan ditentukan oleh kongres atau parlemen yang mengacungkan dan menurunkan tangan berdasarkan hawa nafsu yang mengakibatkan kehancuran bangsa tersebut. Islam telah memiliki manhaj rabbani, satunya-satunya pelindung bagi manusia walau dalam keadaan berbeda dan saling silang pendapat.”
Bahkan, orang-orang kafir penganut ide demokrasi di dinegara asalnya sana saja tidak meyakini ide kedaulatan demokrasi bisa diterapkan. Coba kita simak penuturan mereka :
Benjamin Constan berkata : ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Barchmi berkata : “Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”
Dougey berkata : ”Sesungguhnya teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang kita ramalkan.”
Orientalis Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan : “Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”
Akhirnya, apakah umat Islam yang menjadi para pengusung dan pembela demokrasi belum juga sadar akan fakta dari sistem kufur demokrasi yang di buat oleh manusia ini??. (Adi Victoria/al-khilafah)


Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011