Rasanya tidak terlalu berlebihan jika para pengamat dan tokoh-tokoh Islam menyebut program deradikalisasi sebagai sebuah proyek sektor keamanan dalam bingkai kerjasama internasional yang dibangun dan ditata dengan rapih untuk mereduksi/dekontruksi pemahaman tentang Islam Kaffah. Hal ini bisa kita lihat dengan jelas dari sebuah laporan yang dirilis oleh RAND Corporation (RAND Corp) mengenai ”Deradicalizing Islamist Extremists.” Laporan yang dirilis tahun 2010 oleh lembaga think thank binaan pemerintah Amerika Serikat (AS) ini diambil dari hasil realisasi program deradikalisasi yang dilakukan di sejumlah wilayah di Timur Tengah, Asia Tenggara, dan negaranegara Eropa. Artinya, program deradikalisasi yang disponsori oleh Amerika dan Negara-negara Barat telah dilakukan hampir di seluruh dunia.
Menurut RAND Corp, deradikalisasi adalah proses mengubah sistem kepercayaan individu sehingga menolak ideologi ekstrimis (Penerapan Syari’at Islam atau Khilafah- red); dan merangkul nilai-nilai arus utama (mainstream) liberalisme, pluralisme maupun ide-ide yang dianggap moderat. Bahkan yang sangat menggelikan, dalam masyarakat ilmiah, deradikalisasi sendiri dianggap bukanlah tujuan realistis untuk merehabilitasi pelaku teror (Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement, New York: Rutledge, 2008). Tentu saja hal tersebut menjadi amat wajar karena orang yang ikut program deradikalisasi ternyata masih meyakini bahwa negara ini masih sekuler, sehingga negara Islam harus didirikan, apapun caranya.
Sumber Suara Islam mengatakan, dalam sebuah acara debat akademis tentang proyek deradikalisasi di Universitas Indonesia yang dipandu oleh dua orang Profesor ternama dan enam orang narasumber kandidat Doktor, bahwa orang yang di haire oleh pihak keamanan Indonesia (Nasir Abbas) sesungguhnya masih percaya bahwa Jihad adalah sebuah kewajiban. Jadi, seorang Nasir Abbas sebenarnya masih meyakini bahwa negara ini masih sekuler, sehingga negara Islam harus didirikan. Oleh karena itu, sangat wajar jika deradikalisasi hanya dianggap proyek belaka, karena orang-orang yang diradikalisasi hanya pura-pura terderadikalisasi sekedar untuk menghilangkan tekanan-tekanan yang menimpa tersangka teroris di penjara yang penuh dengan penyiksaan. Dan, bagi yang menjalankan proyek deradikalisasi seperti Nasir Abbas lebih dari pekerjaan yang menghasilkan pundi-pundi uang.
Lebih lanjut, sumber Suara Islam menyebut bahwa Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) gencar melakukan kerjasama dengan para akademisi untuk menjalankan proyek deradikalisasi di kampus-kampus. Tidak tanggung-tanggung, hanya dengan mengikuti kegiatan deradikalisasi yang hanya setengah hari, peserta deradikalisasi mendapatkan uang transport yang cukup besar Rp. 250.000, belum lagi disediakan makan siang yang cukup mewah. Pembaca Suara Islam rasanya bisa menakar berapa honor yang diberikan kepada narasumber pada diskusi-diskusi deradikalisasi untuk sekelas Doktor dan Profesor. Pantas jika deradikalisasi menjadi proyek yang menggiurkan dan teramat basah.
Apalagi, pasca bom bunuh diri di gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton Solo, Komisi I DPR setuju untuk menaikkan anggaran BIN hingga 800an miliar rupiah dengan harapan bisa lebih efektif lagi bekerja. Bukan hanya BIN yang mendapatkan “suntikan” tambahan anggaran, BNPT pun ikut kecipratan. Dalam rapat tertutup dengan Komisi III DPR, BNPT mengajukan anggaran sebesar Rp. 126 milyar untuk proyek deradikalisasi. Sumber di DPR menyebutkan, melalui proyek ini BNPT akan menargetkan 800 ribu masjid dan 40 ribu pesantren sebagai mitra BNPT. Faktanya BNPT kini sudah menandatangani kerjasama dengan beberapa ormas Islam untuk proyek deradikalisasi.
Masih menurut sumber Suara Islam, sebenarnya secara internal di BNPT sendiri antara Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi (desk pencegahan) dengan Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan (desk penindakan) terjadi perseteruan yang sangat tajam. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perseteruan itu dimulai dari hal yang sepele, warna seragam Coklat (Polri) dan seragam Hijau (TNI). Belakangan, persaingan semakin meruncing karena program deradikalisasi yang dipegang seragam Hijau lebih basah dan popular ketimbang desk penindakan yang brutal dan cenderung asal bunuh.
Jika kita mau menelisik ke belakang, sebenarnya program deradikalisasi bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari program RAND Corp 2006 yang terdahulu, yaitu Building Moderat Moslem Network (BMMN). BMMN menggunakan kelompok liberal di Top Level untuk mempengaruhi dan membangun tren muslim moderat di ruang-ruang publik, sasarannya adalah kelas menengah ke atas (mahasiswa, dosen, wartawan, pegawai, dll). Namun, kini proyek deradikalisasi menggunakan semua lini dan sektor, mulai dari menghaire mantan teroris (Nasir Abbas, dkk) maupun politisi (Nusron Wahid), akademisi, membentuk LSM (Lazuardi Birru), membentuk lembaga taktis (pusat studi deradikalisasi di kampus-kampus, membentuk forum-forum seperti Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN), menerbitkan buku, komik, bahkan melakukan kerjasama dengan lembaga keagamaan yang punya otoritas seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Deradikalisasi Gaya Baru
Dalam pengamatan Suara Islam, beberapa bulan terakhir ini Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) paling tidak sudah melaksanakan beberapa koordinasi tingkat nasional penanggulangan terorisme di Indonesia. Dalam kerangka tersebut, kepala BNPT Ansyaad Mbai dalam acara seminar nasional “Menuju Kerangka Hukum Pemberantasan Terorisme Yang Komprehensif” di Hotel Bidakara Jakarta beberapa waktu yang lalu, mengatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam pemberantasan terorisme dititik beratkan pada dua hal. Pertama, upaya penegakan hukum. Kedua, upaya counter radikalisme atau program deradikalisasi.
Sebelumnya, dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya membahas pencegahan penanggulangan terorisme dengan deradikalisasi. Namun belakangan para akademisi yang di haire oleh BNPT merekomendasikan deradikalisasi gaya baru yang disebut disengagment atau disengagement from violence (menjauhkan diri dari kekerasan). Proyek Disengagement merupakan program yang dilaksanakan untuk mendorong para terduga teroris merubah perilaku (tidak lagi mengamalkan ideologi jihad, red) tetapi tidak harus merubah keyakinan. Artinya keyakinan tentang jihad tidak dideradikalisasi, namun perilakunya yang dijauhkan dari mengamalkan jihad. Ini sama halnya dengan mencetak muslim yang tidak taat. Sebagai analogi, semua umat Islam paham bahwa sholat adalah wajib, namun tidak perlu sholat, cukup dipahami saja. Inilah hakikat dari proyek Disengagement supervisi RAND Corp.
Menurut sumber Suara Islam, proyek Disengagement nantinya akan dimasukkan kedalam revisi terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang akan diajukan ke DPR. Sehingga kedepan tidak hanya deradikalisasi sebagai alat penanggulangan terorisme. Disengagement justru akan memperluas jangkauan dan partisipasi pembagian proyek lebih merata. Sejauh pengamatan Suara Islam, Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) adalah LSM yang mengusung ide tentang Disengagement. Yayasan yang dipimpin oleh Noor Huda Ismail ini melaksanakan proyek Disengagement dengan menjauhkan orang-orang yang divonis sebagai teroris dari jama’ahnya dengan memberikan pendampingan ekonomi bagi mereka. Realisasinya, sejak tahun 2007 YPP telah melibatkan lebih dari 10 bekas napi kasus terorisme yang diikutkan dalam program ini. Mereka mantan teroris mengelola kafe dan tambak ikan seluas 3 hektar di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Desain Disengagement semacam ini bisa kita jumpai pada sebuah lembaga di Irlandia Utara yang mencoba mengintegrasikan bekas kombatan Irish Republican Army (IRA) atau Tentara Republik Irlandia.
SBY, Separatisme, Terorisasi dan Islam
“Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” mungkin peribahasa ini tepat disematkan kepada pihak keamanan pemerintah Indonesia atas ketimpangan dalam menangani terorisme dan separatisme. Masyarakat dibuat jengkel, pasalnya penanganan separatisme selama ini lambat dan terkesan tidak pernah selesai. Pemerintah Indonesia sering beralasan bahwa penanganan separatisme tidak boleh melanggar HAM. Tekanan media dan pihak asing begitu kuat mengontrol penanganan separatisme. Lain halnya dengan penanganan terorisme, pihak keamanan cenderung mengabaikan HAM, asal tembak, dan penuh dengan penyiksaan. Di sisi yang lain, media tidak mengontrol dengan berita yang berimbang akan tetapi menjadi sound sepihak bagi Densus 88.
Kesenjangan antara penanganan terorisme dan separatis sudah dimulai SBY ketika menjabat sebagai Menko Polkam. SBY mendorong Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke PBB sebagai organisasi yang terlibat dalam aksi terorisme. Indonesia kemudian memberi briefing pada 115 dubes dan perwakilan lembaga internasional mengenai aksi teror yang dilakukan GAM. Perlakuan tersebut berbeda dengan perlakukan yang diberikan kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, padahal OPM juga menebar teror. Kasus ini menggambarkan bahwa separatis yang berafiliasi atau bersentuhan dengan identitas Islam lebih cenderung di “terorisasi” ketimbang separatis yang beridentitas Kristen, seperti Republik Maluku Selatan (RMS), maupun OPM.
Terorisasi terhadap perjuangan umat Islam tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi juga mendera kaum muslimin di belahan dunia lain. Di kawasan ASEAN, kita bisa melihat di Filipina ada Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan juga Pattani United Liberation Organization (PULO) di Thailand.
Setali tiga uang, muslim Xinjiang di China juga masih diperlakukan diskriminatif. Ketegangan antara pemerintah China yang mayoritas etnis Han dengan Muslim Uighur kerap terjadi. Bahkan, kini Beijing secara resmi telah menyatakan bahwa kelompok-kelompok separatis Uighur merupakan sel-sel teroris di Xinjiang yang telah menerima pelatihan dari kelompok militan Islam di Pakistan.
Muslim Uighur sendiri secara sosial dan ekonomis telah lama terpinggirkan oleh kebijakan pembangunan Beijing. Kota Urumqi di provinsi Xinjiang merupakan pintu gerbang China ke Asia Tengah merupakan kota yang dikontrol sangat ketat. Setelah 60 tahun pendudukan tentara China ke Xinjiang, Muslim Uighur secara sistematis tersingkir dari masyarakat dengan masuknya etnis Han. Han adalah etnis pendatang. Sementara Muslim Uighur adalah etnis asli. Kehadiran etnis Han secara perlahan-lahan meminggirkan keberadaan Muslim Uighur dalam masalah kesejahteraan ekonomi. Kelebihan SDM etnis Han serta didukung dan difasilitasi oleh pemerintah pusat China membuat etnis Han lebih mendominasi roda-roda perekonomian di sektor formal maupun informal.
Sebuah media massa di China mengatakan, pemerintah China lebih suka menggunakan tenaga-tenaga kerja dari etnis Han dari pada Uighur. Soal gaji pun, etnis Han lebih tinggi empat kali daripada gaji Muslim Uighur. Intinya, etnis Uighur dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat China. Ketidakadilan inilah yang akhirnya menjadi akar dari masalah kerusuhan yang terjadi selama ini. Ketidakadilan itu semakin menjadi-jadi ketika etnis Han populasinya membengkak menjadi 40% dari 20,1 juta jiwa penduduk Xinjiang, padahal di tahun 1949 jumlah etnis Han hanya 6% dari total penduduk provinsi itu.
Orang-orang Han datang ke Xinjiang karena Xinjiang memiliki kandungan minyak yang menjadi andalan negara China. Dari Xinjiang inilah 44% kebutuhan minyak China pada tahun 2006 bisa terpenuhi. Diperkirakan pada tahun 2015, Xinjiang mampu mencukupi 70% kebutuhan minyak China. Kekayaan inilah yang membuat etnis Han berbondong-bondong menuju provinsi itu.
Perlakuan diskriminatif terhadap Islam di seluruh dunia, tidak lepas dari pemahaman bahwa Islam akan kembali menguasai dunia. Globalisasi perang melawan teror dengan segala atributnya, mulai dari Building Moderat Moslem Network (BMMN), deradikalisasi, Disengagement, terorisasi, dan segala bentuk permusuhan terhadap Islam merupakan upaya yang sia-sia dilakukan. Namun tentu saja umat Islam harus tetap mengcounter upaya-upaya tersebut. Langkah yang luar biasa dan patut diapresiasi adalah apa yang telah dilakukan oleh MUI Solo dengan menerbitkan buku “Kritik Evaluasi dan Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia”. Buku tersebut sudah mulai disosialisasikan MUI Solo di Masjid Baitul Makmur Sukoharjo. Kini apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja minimal dengan mengapresiasi setiap gerakan Islam yang berupaya menegakkan sya’riat Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Jaka Setiawan)
http://www.suaraislam.com/tabloid.php?tab_id=33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar