Sabtu, 01 Februari 2014

30 Wasiat Bagi Para Amir Dan Bala Tentara Negara Islam (Risalah Kedua)



Risalah Kedua

Wasiat-Wasiat Bagi Tentara

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, kepada keluarganya dan kepada orang-orang yang mengikutinya. Amma Ba’du :

Wahai Akhil Mujahid, ini adalah beberapa nasehat, yang telah saya kumpulkan bagimu dari mulut-mulut para tokoh dan kandungan berbagai kitab. Dan saya sama sekali tidak mengklaim (sebagai) ahli hikmah. Saya memohon kepada Allah agar menjadikannya manfaat bagi diri saya dan diri kalian, dan Allah-lah di balik tujuan ini.

(1)
Ikhlas karena Allah dalam ucapan dan amalan, karena sesungguhnya Allah tidak menerima dari amalan kecuali apa yang tulus lagi benar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Amalan itu hanyalah berdasarkan niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang itu hanyalah apa yang dia niatkan”, [23] dan bersabda : “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, tidak satu lukapun yang terluka di jalan Allah melainkan ia itu datang di hari kiamat seperti keadaannya saat ia terluka; warnanya warna darah dan baunya bau kasturi”. [24]

Dan dalam hal itu terdapat keberuntungan di dunia dan di akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah telah menjamin bagi orang yang berjihad di jalan-Nya seraya tidak mengeluarkan dia kecuali jihad di jalan-Nya dan membenarkan kalimat-kalimat-Nya untuk memasukannya ke dalam surga atau memulangkannya ke tempat tinggalnya yang dia keluar darinya bersama apa yang dia dapatkan berupa pahala atau ghanimah”. [25]

Dan niatkan dengan jihad kalian itu agar kalimat Allah-lah yang tertinggi: karena diriwayatkan dari Abu Musa radliallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang pria yang berperang karena sebagai keberanian, dan berperang karena fanatisme, dan berperang karena riya, mana di antara itu yang di jalan Allah? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barangsiapa berperang supaya kalimat Allah-lah yang tertinggi, maka dia itu di jalan Allah”. [26]

(2)
Bertanyalah kepada ahlul ilmi tentang hukum permasalahan yang muncul di hadapan kalian di dalam faridlatul jihad fi sabilillah, karena ijma sudah terjalin bahwa ilmu harus ada sebelum beramal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Mencari ilmu itu adalah fardlu atas setiap muslim”. [27] Maka jangan kamu membunuh dan jangan kamu meng-ghanimah kecuali kamu mengetahui kenapa kamu melakukan? Dan batasan minimalnya adalah kamu diberi fatwa oleh orang yang kamu percayai dalam hal ilmunya dan diennya.

(3)
Jangan sekali-kali pilih kasih di dalam membela Allah kepada karib kerabat atau orang-orang yang disayangi. Dan sesungguhnya kami benar-benar mengetahui bahwa hal itu sangat dirasakan berat oleh jiwa, namun ingatlah firman Allah ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia sehingga kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka itu telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepada kalian”. (Qs. Al-Mumtahanah : 1), karena sesungguhnya hak Allah itu adalah lebih wajib dan membela dienullah adalah lebih harus.

(4)
Demi Allah, sesungguhnya saya benar-benar mencintaimu dan mencintai apa yang menyelamatkanmu, maka dengarlah nasehat saya di dalam masalah yang penting yaitu masalah “Takfir”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barangsiapa berkata prihal orang mu’min suatu yang tidak ada padanya, maka Allah menempatkan dia di dalam radghatul khabal sampai dia keluar dari apa yang dikatakannya”, [28] maka ketahuilah wahai saudaraku sesungguhnya sebutan dan hukum kafir adalah hak milik Allah ta’ala [29] yang tidak boleh disematkan kecuali terhadap orang yang memang berhak secara syar’i, dan bahwa takfir itu memiliki syarat-syarat dan penghalang-penghalang, sehingga kita tidak mengkafirkan kecuali setelah keterpenuhan syarat-syarat dan tidak adanya penghalang-penghalang. Dan bisa saja muncul dari seseorang ucapan atau amalan kekafiran namun ia tidak kafir karena adanya salah satu penghalang takfir, sedangkan orang yang terbukti keislamannya dengan yaqin maka ia tidak keluar darinya kecuali dengan yaqin pula, maka jauhilah sikap prasangka, dan hendaklah kamu di atas kejelasan bukti di dalam apa yang diperselisihkan oleh ahlul ilmi al-‘amilun.

(5)
Menunaikan perjanjian dan jaminan keamanan yang kedua-duanya shahih (benar) secara syar’i, dan waspadalah selalu terhadap muslihat syaitan. Allah ta’ala berfirman : “maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri”. (Qs. Al-Fath : 10), dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Kaum muslimin itu setara darah-darah mereka itu, orang yang paling rendah di antara mereka mengupayakan jaminan mereka, orang yang paling jauh memberikan jaminan atas nama mereka, dan mereka itu satu tangan atas selain mereka, orang yang kuat mengembalikan kepada yang lemah di antara mereka, dan mutasarri mereka mengembalikan kepada yang qa’id dari mereka”. [30]

Dan ketahuilah bahwa kami tidak membolehkan bagi seseorang tentara pun melakukan jalinan perjanjian atau memberikan jaminan keamanan, dan bahwa hal itu diserahkan kepada amirul mu’minin atau orang yang mewakilinya, karena pandangannya -biasanya- adalah lebih menyeluruh dan lebih mampu untuk mengetahui mashlahat-mashlahat Daulah (Negara).

(6)
Bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan harus waspada dari keburukan maksiat dan dari kejahatan jiwamu dan syaithan. Di mana Al-Faruq Umar ibnu Khaththab berpesan kepada Sa’ad ibnu Abi Waqqash radliyallahu ‘anhuma : “Maka sesungguhnya aku memerintahkanmu dan bala tentara yang bersamamu agar bertaqwa kepada Allah, dan aku memerintahkanmu dan orang-orang yang bersamamu agar kewaspadaan kalian terhadap maksiat lebih tinggi dari kewaspadaan kalian dari musuh kalian; karena sesungguhnya dosa pasukan itu lebih dikhawatirkan terhadap mereka dari musuh mereka. Dan mintalah kepada Allah pertolongan terhadap jiwa kalian sebagaimana kalian memohon kepada-Nya kemenangan terhadap musuh kalian”. [31]

(7)
Jagalah shalat… jagalah shalat wahai tentara-tentara Allah, karena ia itu menguatkan hati, menggiatkan anggota badan dan melarang dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan ia itu tempat untuk munajat kepada Ar-Rabb dan untuk memohon kemenangan. Dan kondisi seorang hamba paling dekat dengan Rabbnya adalah saat ia sujud. Shalat adalah tiang agama dan syiar kaum muslimin, maka jangan kamu akhirkan kecuali karena udzur, Allah mengetahui kejujuran dan sebaliknya.

(8)
Hindarilah sikap bangga diri dan cinta sanjungan; terutama setelah kemenangan terhadap musuh; karena sesungguhnya hal itu termasuk peluang syaitan yang paling kuat untuk melenyapkan hasil jihad kalian dan panjangnya ribath kalian di dunia dan akhirat.

(9)
Dua hal yang akibatnya adalah kehinaan dan kerugian :
1.    Aniaya. Allah ta’ala berfirman : “Wahai manusia! Sesungguhnya kedzalimanmu bahayanya hanya akan menimpa dirimu sendiri”. (Qs. Yunus: 23), maka tidak ada kemenangan beserta aniaya/dzalim.
2.    Rencana jahat. Allah ta’ala berfirman : “Rencana jahat itu hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri”. (Qs. Fathir : 43), maka tidak ada keberuntungan bersama penipu.

(10)
Hancurkan nafsumu saat muncul syahwat (keinginan); di mana tidak setiap yang diinginkan syahwat itu dicari, “karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan”. (Qs. Yusuf : 53). Dan hendaklah banyak melakukan shaum tentu kamu dikaruniakan ‘afaf (Penjagaan kehormatan). Dan secara umum: Kendalikanlah hawa nafsumu, dan tahanlah dirimu dari apa yang tidak halal bagimu, karena penahanan diri adalah sikap adil terhadapnya dalam apa yang dia sukai atau dia benci.

(11)
Jujurlah kepada Allah dalam amanah tugas yang diembankan kepadamu, dan jangan mempersulit dirimu dalam apa yang bukan tugasmu, karena Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu tentangnya, akan tetapi berupayalah untuk selalu jujur dalam urusanmu seluruhnya; karena sesungguhnya jujur itu menyelamatkan sedangkan dusta itu menjerumuskan, dan “Cukuplah sebagai dosa bagi seseorang (bila) dia menyampaikan segala apa yang dia dengar”. [32]

(12)
Hendaklah kamu menyetujui ikhwanmu dalam segala hal yang mendekatkan dirimu kepada Allah dan menjauhkan dirimu dari maksiat-Nya. Perbanyaklah senyuman di hadapan mereka, dan dengarkan orang yang lebih tua darimu, dan bila kamu melihat mereka bekerja, maka bekerjalah bersama mereka; karena sikap dudukmu memanaskan dada mereka, dan bila saudaramu merasa keberatan maka ringankanlah dirimu, dan ketahuilah bahwa bukan termasuk sikap adil terlalu cepat mengkritik.

(13)
Jangan mencari-cari aib orang lain, apalagi amirmu dan ikhwanmu maka tutupilah aib mereka sebisa mungkin, tentu Allah menutup aibmu, dan jangan berupaya membuka apa yang tidak kamu ketahui tentangnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Hindarilah prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta, janganlah kalian mencari-cari aib, janganlah kalian memata-matai, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membelakangi, janganlah kalian saling membenci, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara”. [33]

Ada atsar dari Malik rahimahullah, ucapannya : “Saya mendapatkan di Madinah orang-orang yang tidak memiliki aib, kemudian mereka mencari-cari aib manusia maka manusia pun menyebutkan aib-aib mereka. Dan saya mendapatkan di sana orang-orang yang memiliki aib yang diam dari aib manusia, maka manusia pun diam dari aib mereka”. [34]

(14)
Ketahuilah wahai Jundullah (tentara-tentara Allah), sesungguhnya kami dan kalian merasa mendapatkan kehormatan dengan mendirikan dan melindungi Daulatul Islam di negeri dua aliran sungai (Daulah Islam Iraq), akan tetapi ketahuilah bahwa ia bukanlah Daulah “Harun Ar-Rasyid” sehingga kita mengkhitabi awan di langit sebagaimana ia lakukan dahulu, namun ia hanyalah Daulatul Mustadl’afin (Negara orang-orang yang tertindas); kita khawatir dan takut kepda musuh, sebagaimana para sahabat dahulu di Daulatul Islam pertama di Madinah tidak meninggalkan senjata karena takut, dan pernah seorang Yahudi mengendap-endap sampai ia mengelilingi benteng yang di dalamnya ada para wanita dan anak-anak, tidak mendapatkan yang membunuhnya kecuali seorang wanita.

Oleh sebab itu lemah lembutlah kepada manusia dan buatlah mereka merasakan manisnya islam dan kejayaannya, dan jangan sampai kalian membuat mereka merasakan ketakutan dari Islam dan hukum-hukumnya. Dan bila di sana ada hal yang pahit atas keluarga kita maka lakukanlah baginya hal yang manis dan indah berupa ucapan dan perbuatan yang membuat manusia mau menerima yang pahitnya. Dan secara umum: Buatlah manusia mencintai diennya, hukum-hukumnya dan Daulatul Islam; karena sebaik-baiknya hamba-hamba Allah adalah orang-orang yang membuat hamba-hamba Allah dicintai Allah dan membuat Allah dicintai hamba-hamba-Nya, dan mereka berjalan di muka bumi sebagai orang-orang yang tulus. [35]

(15)
Ash-Shahib ibnu ‘Abbad [36] berkata : “Menjaga wibawa pemimpin itu adalah kewajiban yang sangat ditekankan dan keharusan atas orang yang mendengar sedang ia menyaksikan”. [37] Maka biasakanlah dirimu untuk menghormati Amirul Mu’minin; di mana “sesungguhnya termasuk memuliakan Allah adalah menghormati orang muslim yang sudah tua… dan menghormati pemimpin yang adil”, [38] dan mentaatinya di dalam selain maksiat adalah wajib, baik dia itu adil maupun durjana, jangan sekali-kali kalian menghujatnya tanpa hak, karena bisa jadi itu adalah dosa besar yang membinasakan seseorang. Dan di antara wasiat Aktsam ibnu Shaifiy [39] : “Janganlah kalian terlalu sering menyelisihi para pemimpin kalian, karena sesungguhnya tidak ada jamaah bagi orang yang diselisihi”. [40]

(16)
Serahkanlah (urusan) kepada amirmu, dan ikutilah pendapatnya dan pengaturannya, supaya persatuan tidak berselisih dan barisan tidak cerai berai, selagi urusan itu adalah pendapat atau masalah ijtihadiyyah atau memiliki sisi kebenaran dari syari’at dan bukan maksiat murni. Dan selagi kamu mencari pahala, maka sesungguhnya pahala itu pada as-sam’u wath tha’ah selagi tidak menyelisihi syari’at.

Jangan kamu menyembunyikan dari amirmu suatu urusan yang kamu memandang ada mashlahat syar’iyyah pada penuturannya seperti kerusakan terhadap kesatuan, maka sesungguhnya pemberitahuannya itu adalah tergolong ketulusan dan kebalikannya adalah tergolong penipuan, dan ini sama sekali bukan termasuk ghibah yang diharamkan dan bukan termasuk namimah yang tercela dengan syarat apa yang dia sampaikan itu telah terbukti di sisimu secara yaqin atau dugaan kuat. An-Nawawi berkata : “Bila kebutuhan menuntut itu, maka tidak dilarang darinya; dan itu seperti bila…. Maka ia kabarkan kepada imam atau orang yang berwenang “bahwa seseorang melakukan begini, dan melakukan suatu yang menimbulkan kerusakan”, dan wajib atas pihak yang berwenang untuk membongkar hal itu dan melenyapkannya; semua ini dan yang serupa bukanlah hal haram, dan bisa jadi sebagiannya wajib, dan sebagiannya mustahabb sesuai kondisi”. [41]

Jangan sekali-kali kamu menjadi pengkhianat atau orang kepercayaan para pengkhianat; sungguh ada pribahasa : “Cukup bagi seseorang sebagai pengkhianatan bila dia menjadi orang kepercayaan bagi para pengkhianat.” [42] Allah ta’ala berfirman : “Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka. Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)”. (Qs. An-Nisa’ : 83).

Sabarlah terhadap amirmu walaupun dia itu aniaya, karena sesungguhnya ini tergolong kewajiban agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barangsiapa melihat dari amirnya sesuatu yang dibencinya, maka hendaklah dia bersabar terhadapnya”. [43]

Dan ini adalah yang disampaikan Abdullah ibnu Umar kepada Abdullah ibnu Muthi’ ibnul Aswad tatkala orang-orang mencopot ketaatan kepada amir mereka waktu itu “Yazid” walaupun memang keberadaan kedzaliman pada dirinya, di mana diriwayatkan dalam shahih Muslim :  Datang Abdullah ibnu Umar kepada Abdullah ibnu Muthi’ saat terjadi tragedi Al-Harrah zaman Yazid ibnu Mu’awiyah, maka ia berkata : “letakkan bantal bagi Abu Abdirrahman!”. Maka ia berkata : “Sesungguhnya aku tidak datang kepadamu untuk duduk, aku datang kepadamu untuk menyampaikan kepadamu suatu hadits yang telah aku dengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya : “Barangsiapa mencopot tangan dari ketaatan, maka dia berjumpa dengan Allah di hari kiamat sedangkan dia tidak memiliki hujjah, dan barangsiapa mati sedangkan pada lehernya tidak ada bai’at, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah”. [44]

Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab berkata : “Dan saya meyakini jihad itu berlangsung bersama setiap imam, yang baik maupun yang fajir. Dan saya meyakini kewajiban as-sam’u wath tha’ah kepada para pemimpin kaum muslimin, yang baiknya dan yang fajirnya selagi mereka tidak memerintahkannya kepada ma’shiyatullah”. [45]

(18)
Di mana saja kalian berada di bumi jihad, maka lakukanlah penjagaan di malam hari, dan saya tidak menghalalkan bagi tiga orang yang tidur sedangkan mereka tidak memiliki amir dan tidak ada penjaga atas mereka. Dan di antara wasiat Abu Bakar radliallahu ‘anhu kepada salah seorang komandannya : “Lakukanlah penjagaan dari serangan malam, karena pada orang-orang arab itu ada serangan dadakan”, [46] dan jangan kamu menyibukan diri dengan sesuatu (yang melalaikan) dari giliranmu dalam penjagaan; di mana kamu ini di atas penjagaan tsaghr (celah datangnya musuh), maka takutlah kepada Allah dan takutlah kepada Allah dalam menjaga ikhwanmu.

(19)
Lakukanlah i’dad wahai saudaraku muslim, karena Allah ta’ala berfirman : “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa yang kalian sanggupi berupa kekuatan dan kuda-kuda yang ditambatkan”. (Qs. Al-Anfal : 60). Dan di antara i’dad adalah latihan-latihan olah raga yang menguatkan badan, dan gerakan-gerakan peperangan. Karena ada ungkapan : Segala sesuatu yang kamu cari saat ia dibutuhkan, maka telah terlambat waktunya, maka persiapkanlah untuk hari esok sebelum kamu masuk hari esok.

(20)
Lakukanlah ribath; yaitu ikatlah dirimu untuk jihad fi sabilillah; untuk menjaga tsughur, memperbanyak jumlah barisan dan menggetarkan musuh, walaupun kamu lama menjalaninya. Bila kamu berada di tempat yang kamu takutkan musuh dan musuh takut kepadamu, maka itulah ribath. Allah ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah, tabahlah dan ribathlah serta bertaqwalah kepada Allah, semoga kalian beruntung”. (Qs. Ali-‘Imran : 200) Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Ribath satu hari di jalan Allah adalah lebih baik dari dunia dan seisinya”. [47]

(21)
Saudaraku janganlah kamu berangan-angan berjumpa musuh –bila angan-angan mu itu karena bangga diri, atau keangkuhan atau kebersandaran kepada diri atau hal serupa itu-; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan kalian berangan-angan berjumpa musuh, dan mintalah ‘afiyah kepada Allah, kemudian bila kalian berjumpa dengan mereka, maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwa surga itu di bawah bayangan pedang”, [48] dan hendaklah kamu berdo’a di saat dua pasukan bertemu; karena ia itu diijabah. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdoa pada perang Ahzab : “Ya Allah Yang menurunkan Al-Kitab, dan Yang menggerakan awan, serta Yang Mengalahkan Al-Ahzab, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami atas mereka”, [49] dan di antara doanya : “Ya Allah, Engkau adalah Pengokoh hamba dan Penolong hamba, dengan Engkau hamba bergerak, dengan Engkau hamba menyerang, dan dengan Engkau hamba berperang”. [50]

(22)
Beranikanlah hati kalian, karena ia itu termasuk sebab kemenangan dan keunggulan, dan ketahuilah bahwa hal yang paling bagus sebagai pelatihan bagi tentara Allah adalah keterbiasaan dan keseringan terjun dalam perang, dan perbanyaklah menyebutkan kedengkian terhadap musuh, karena ia menggerakkan untuk maju menyerang, maka selalu diingat bahwa musuh telah menodai kehormatan ibu-ibu kalian, dan saudari-saudari kalian, dan menghalangi kalian dari Jum’at dan Jama’ah, serta memutus kalian dari pertanian dan perdagangan. Dan secara umum: Musuh tidak meninggalkan bagi kalian sedikitpun dari urusan dien dan dunia.

(23)
Bila kalian berjalan menuju musuh, maka hendaklah kalian memakai para penunjuk jalan bila kalian tidak bisa mempelajari bumi kalian dan bumi musuh. Dan bawalah bekal yang cukup “Senjata, makanan dan obat-obatan” dan jangan kamu tinggalkan apa yang membantumu atas jihadmu, maka bergeraklah dengan senjatamu, jarum suntikmu, benang jahitanmu (untuk luka) dan lenteramu, dan bawalah dari obat-obatan apa yang bisa mengobati orang yang terluka dan meminimalkan rasa sakit, dan kenakanlah pakaian yang cukup ringan.

(24)
“Lakukanlah amal shalih sebelum berperang, karena kalian ini hanyalah memerangi manusia dengan amalan kalian”, [51] sedangkan sebaik-baiknya amalan adalah kesatuan barisan dan keutuhan kalimat. Allah ta’ala berfirman : “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (Qs. Ash-Shaff : 4), jauhilah perselisihan niat, karena barisan bila menyatu namun berbeda-beda niatnya, maka ia itu jalan yang menghantarkan kepada perselisihan hubungan, dan ketahuilah bahwa orang itu (menjadi kokoh) dengan ikhwannya, dan ada dalam pribahasa : “Orang yang hina adalah yang singgah sendirian.”

(25)
Janganlah kalian ciut oleh musuh. Allah ta’ala berfirman : “Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertaqwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kalian memasukinya niscaya kalian akan menang. Dan bertawakallah kalian hanya kepada Allah, jika kalian orang-orang yang beriman”. (Qs. Al-Maaidah : 23). Dan ketahuilah bahwa kemenangan dan tamkin itu hanya di Tangan Allah : “Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada yang dapat mengalahkan kalian, tetapi jika Allah membiarkan kalian (tidak memberikan pertolongan), maka siapa yang dapat menolong kalian setelah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal”. (Qs. Ali-‘Imran : 160).

Ath-Thabari berkata dalam tafsirnya : “(maka tidak ada yang dapat mengalahkan kalian) dari manusia, Berkata : Maka tidak akan mengalahkan kalian seorang pun bersama pertolongan-Nya kepda kalian, walaupun semua ciptaan-Nya di seluruh belahan bumi bersekongkol terhadap kalian, maka jangan kalian takut terhadap musuh kalian karena sedikitnya jumlah kalian dan banyaknya jumlah mereka, selagi kalian di atas perintah-Nya dan kalian istiqamah di atas ketaatan-Nya dan ketaatan Rasul-Nya; karena sesungguhnya keunggulan adalah bagi kalian dan kemenangan atas mereka”. Maka meminta diturunkan kemenanganlah dari Allah dengan do’a kalian, dan memintalah pertolongan-Nya, karena ibadah do’a itu memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam kemenangan dan perbaikan niat. Allah ta’ala berfirman : “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdo’a kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kalian ingat”. (Qs. An-Naml : 62)

(26)
Kerahkan segenap kemampuan dalam memerangi musuh yang menyerang, jauhi sifat malas dan lemah, karena keduanya adalah dua penyakit berbahaya yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya, maka berlindunglah kalian dari keduanya. Dan ketahuilah bahwa pahala -dalam seperti ibadah kita ini- adalah sesuai kadar kesulitan. Allah ta’ala berfirman : “dan tidak (pula) melintasi suatu lembah, kecuali akan dituliskan bagi mereka (sebagai amal kebajikan), untuk diberi balasan oleh Allah (dengan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan”. (Qs. At-Taubah : 121). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berambisilah terhadap apa yang manfaat bagimu, dan memintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah lemah”. [52]

(27)
“Wahai Ahlul Islam! Sesungguhnya kesabaran adalah kejayaan, dan sesungguhnya kegagalan adalah kelemahan, dan sesungguhnya kemenangan itu bersama kesabaran”, [53] dan sesungguhnya sifat pengecut itu adalah kebinasaan dan ambisi itu keterhalangan. Dan orang yang terbunuh di peperangan dalam kondisi melarikan diri itu adalah lebih banyak sekali daripada orang yang terbunuh dalam keadaan maju. Dan dahulu hal yang wajib di awal islam adalah seorang muslim tidak boleh lari dari sepuluh orang musuh, dan alangkah butuhnya kepada hal itu hari ini. Allah ta’ala berfirman : “Dan barangsiapa mundur pada hari itu, kecuali berbelot untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh orang itu kembali dengan mambawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahanam, dan seburuk-buruknya tempat kembali”. (Qs. Al-Anfal : 16). Maka tabahlah bersama amirmu dan teguhkan dia dalam peperangan dan disaat pertempuran dua pasukan; di mana sikap tabah itu termasuk konsekuensi kemenangan, dan akhir-akhir akibat kesabaran itu adalah terpuji, serta akibat akhir kesabaran itu adalah kemenangan, sedangkan tujuan-tujuan itu tidak bisa dicapai dengan angan-angan.

(28)
Dianjurkan takbir saat menyaksikan musuh, [54] berdasarkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat (penduduk) Khaibar keluar membawa cangkul-cangkul mereka : [55] “Allah Akbar -tiga kali- hancurlah Khaibar; sesungguhnya kami bila turun di halaman suatu kaum, maka sangat buruklah pagi hari bagi orang-orang yang diperingatkan itu”. [56] An-Nawawi [57] berkata : “Di dalamnya terdapat anjuran takbir saat berjumpa (musuh)”, dan takbir itu masuk dalam keumuman dzikrullah yang dianjurkan saat berjumpa dengan musuh.

Akan tetapi dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci pengencangan suara saat berperang. [58] Dan dari Qais ibnu Ubad berkata : “Adalah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci suara saat berperang”, [59] dan berkata Utbah ibnu Rabi’ah kepada teman-temannya pada perang Badar saat melihat barisan Rasulullah : “Apa tidak kalian lihat mereka… menggerak-gerakkan lidah mereka seperti ular”, [60] dan tatkala Aisyah radliallahu ‘anha mendengar para pengikutnya di perang Jamal bertakbir, maka ia berkata : “Jangan kalian memperbanyak teriakan, karena sesungguhnya terlalu banyak takbir pada saat bertempur itu termasuk kegagalan”, [61] jadi dzikir secara sirr adalah yang dianjurkan saat perang berkecamuk, kecuali saat awal serbuan dan serangan. [62]

(29)
Jangan sekali-kali kamu ghulul (mencuri) sesuatu dari ghanimah, Allah ta’ala berfirman : “Barangsiapa melakukan ghulul, maka pada hari kiamat dia akan datang dengan apa yang dia ghulul”. (Qs. Ali-Imran : 161), dan diriwayatkan dari ibnu ‘Abbas : “Tidaklah nampak ghulul pada suatu kaum pun melainkan pasti ditancapkan rasa takut di hati mereka”. [63]

(30)
Wasiat dari Allah, yang mana di dalamnya Dia mengumpulkan etika perang bagi kita, Dia berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak agar kalian beruntung. Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan kekuatan kalian hilang, dan bersabarlah. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal : 45-46)

Dan wasiat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berperanglah di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah, jangan kalian ghulul, jangan berkhianat, dan jangan melakukan mutslah (mutilasi)”. [64]

(31)
Perbanyaklah do’a, perbanyaklah do’a bagi amirul mu’minin terus bagi saudara kalian yang miskin ini. Barangsiapa sayang terhadap saudaranya dan diennya maka hendaklah ia tidak menghalanginya dari do’a di waktu sahur, pada sujud, saat adzan dan yang paling penting dari semuanya saat kecamuk dua pasukan. Al-Fudlail ibnu Iyadl berkata : “Andai saya memiliki do’a mustajab niscaya saya tidak menjadikannya kecuali pada imam (pemimpin); karena bila ia baik maka negeri menjadi subur dan masyarakat menjadi aman”, maka ibnul Mubarak mencium kepalanya dan berkata : “Tidak cakap akan hal ini selain engkau”. [65]

Sesungguhnya saya berdo’a, maka aminilah :
Ya Allah, karuniakanlah kepada saya keikhlasan dalam ucapan dan amalan, ya Allah, teguhkanlah saya di atas Al-haq dan luruskanlah pendapat saya, Ya Allah, lembutkanlah hati saya kepada orang-orang yang taat kepada-Mu dengan menyelarasi Al-haq, dan karuniakanlah kepada saya sikap kasar dan keras terhadap musuh-musuh-Mu.

Ya Allah, sesungguhnya saya ini lemah saat beramal dengan ketaatan kepada-Mu, maka karuniakanlah kepada saya semangat di dalamnya dan kekuatan terhadapnya, dan jangan Engkau jadikan saya termasuk orang-orang yang lalai.

Ya Allah, jadikanlah saya ini agung di sisi-Mu dan hina pada diri saya dan dicintai lagi disegani di sisi ikhwan saya.

Ya Allah, lindungilah saya dari ketertawanan dan karuniakan kepada saya kesyahidan di jalan-Mu, dan jangan Engkau ambil saya di atas kelalaian, dan berilah saya husnul khatimah di dalam urusan seluruhnya wahai Muqallibal Qulub.


Saudara Kalian
Abu Hamzah Al-Muhajir
1 Ramadhan 1428 H

Penterjemah berkata : Selesai 29 Rabi’ul Awwal 1432 H di Mu’taqal Markaz Asy-Syurthah fi Jakarta Al-Gharbiyyah


[23] Muttafaq ‘alaih

[24] Muslim

[25] Muttafaq ‘alaih

[26] Muttafaq ‘alaih

[27] Didlaifkan oleh sebagian ulama, dan Al-Hafidh Al-Muzziy menuturkan bahwa ia mencapai derajat hasan, dan As-Sayuthiy memandangnya sampai pada derajat shahih dengan penguat-penguatnya, silahkan rujuk Al-Maqashid Al-Hasanah dan Ad-Durar Al-Muntatsirah

[28] Abu Dawud dan lainnya, dan ia itu shahih.

[29] Ibnu Taimiyyah berkata dalam Ar-Raddu ‘Alal Bakriy 2/492: (Barangsiapa dusta atas namamu dan zina dengan isterimu, maka kamu tidak boleh berdusta atas namanya dan berzina dengan isterinya, karena dusta dan zina itu haram karena hak Allah ta’ala, dan begitu juga takfier adalah hak Allah, maka tidak dikafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan Allah dan Rasul-Nya) dan berkata dalam Majmu Al-Fatawa 3/125: (Masalah-masalah takfier dan tafsiq adalah tergolong masalah-masalah Al-Asma wal Ahkam).
[30] Hadits hasan riwayat Abu Dawud dan yang lainnya. Al-Khaththabiy berkata: Al-Musyidd adalah orang yang menguatkan yang hewan tanggungannya kuat lagi kokoh, sedangkan Al-Mudl’if adalah orang yang tunggangannya lemah. Selesai. Dan dalam An-Nihayah: Maksudnya adalah bahwa orang yang kuat dari pejuang menyertakan orang yang lemah dalam apa yang dia dapatkan dari ghanimah. Selesai. Dan Al-Khaththabiy berkata: Mutasarri adalah orang yang keluar dalam sariyyah, dan makna hadits adalah bahwa imam atau amir pasukan mengirim mereka sedangkan ia keluar menuju negeri musuh, kemudian bila mereka mengghanimah sesuatu maka dibagi di antara mereka dengan pasukan secara keseluruhan, karena pasukan itu adalah penopang dan kelompok bagi mereka. Dan bila ia mengirim mereka sedangkan ia menetap (muqim di tempat) maka orang-orang yang ada duduk-duduk bersamanya tidak menyertai mereka di dalam ghanimah. Dan bila ia menjadikan bagi mereka bonus dari ghanimah, maka selain mereka tidak menyertai mereka dalam sesuatu pun darinya atas kedua gambaran itu semuanya. Dan ini bagi orang yang duduk di antara mereka dengan syarat ia berada di dalam pasukan. (Dari ‘Aunul Ma’bud)

[31] Dituturkan dalam “Al-’Iqdul Farid” dan “Badaiussalik” dan “Nihayatul Arib”

[32] Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya, dan dishahihkan ibnu Hajar dalam Al-Fath.

[33] Muttafaq ‘alaih.

[34] Dinukil oleh Al-Baji dalam syarah Al-Muwaththa, Abu Asy-Syaikh Ibnu Hibban dalam An-Nukat wan Nawadir, dan dikeluarkan oleh Al-Jurjaniy dalam Tarikhnya dari selain Malik.

[35] Cuplikan dari hadits marfu’ dengan isnad dlaif dalam Syu’abul Iman milik Al-Baihaqiy.

[36] Adz-Dzahabiy berkata dalam Siyar A’lamin Nubala: “Al-Wazir Al-Kabir Al-‘Allamah Ash-Shahib…Al-Adib Al-Katib…dia itu fashih yang keterlaluan dibuat-buat.” Dan dalam Mizanul I’tidal: “sastrawan yang hebat yang berpaham syi’ah lagi mu’tazilah…, dan syairnya bagus sekali dan dengan perumpamaan-perumpamaannya dibuat pribahasa; oleh karenanya dijadikan sandaran oleh ahli sastra walau menyimpang aqidahnya.

[37] Dinukil dalam Badaius Salik fi Thabai’il Malik.

[38] Hadits hasan riwayat Abu Dawud secara marfu.

[39] Orang bijak bangsa arab yang terkenal, diperselisihkan keislamannya, sezaman dengan Nabi tapi tidak berjumpa. Menurut ibnu Abdil Barr bahwa ia tidak masuk Islam.

[40] Dikeluarkan oleh Abu Asy-Syaikh dalam Amtsalul Hadits, dan dituturkan ibnu Qutaibah dalam Uyunul Akhbar.

[41] Syarh Shahih Muslim milik An-Nawawiy.

[42] Disandarkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd dan Al-Baihaqiy dalam Asy-Sya’ab dari Malik ibnu Dinar.

[43] Muttafaq ‘alaih.

[44] Silahkan rujuk Majmu Al-Fatawa milik ibnu Taimiyyah 9/190

[45] Beliau tuturkan dalam kitabnya “Al-Kabair” dan “Ushulul Iman”.

[46] Disandarkan dalam Kanzul ‘Ummal kepada Ad-Dainuriy, dan dikeluarkan ibnu ‘Asakir dalam Tarikhnya.

[47] Al-Bukhari dan yang lainnya.

[48] Muttafaq ‘alaih

[49] Muttafaq ‘alaih

[50] Abu Dawud dan At-Tirmidziy dan berkata: Hasan Gharib,” dan dishahihkan Al-Albaniy, sedangkan teksnya: Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila berperang berkata: Ya Allah….

[51] Ini ada dari Abu Ad-Darda radliallahu ‘anhu, dan Al-Bukhari membuat bab (Bab amal shalih sebelum perang. Abu Ad-Darda berkata: Kalian hanyalah memerangi dengan amalah kalian) Potongan pertama dari atsar itu terputus sanadnya, dan yang kedua sanadnya shahih. Dari “Fathul Bari”

[52] Muslim

[53] Ada dalam “Uyunul Akhbar” dan “Al-‘Iqdul Farid” dari Khalid ibnul Walid tanpa sanad.

[54] Silahkan rujuk Fathul Bari dan Masyari’ul Asywaq

[55] Masahi adalah jamak mishah yaitu mijrafah, cangkul.

[56] Al-Bukhari dan Muslim

[57] Dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim

[58] Dihasankan ibnu Hajar dalam Takhrij Adzkar An-Nawawiy.

[59] Dikeluarkan Abu Dawud dan dishahihkan Al-Albaniy secara mauquf, dan Ath-Thabariy berkata: (Dalam hadits ini terdapat fiqh: Dibencinya mengeraskan suara dengan doa, dan ia adalah pendapat keseluruhan salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in).

[60] Yaitu tidak ada suaranya. Dikeluarkan oleh ibnu Asakir dalam Tarikhnya dan dituturkan dalam Uyunul Akhbar dan Al-’Iqdul Farid tanpa sanad.

[61] Dituturkan darinya dalam Uyunul Akhbar dan Al-’Iqdul Farid

[62] Rujuk Shubhul A’sya

[63] Didlaifkan Al-Albaniy secara mauquf

[64] Shahih Muslim

[65] dikeluarkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikhnya, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, Al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah dan Al-Lalikaiy dalam Ushul I’tiqad. Dan dituturkan oleh banyak penulis diantaranya Adz-Dzahabiy dalam Tarikhnya.
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011