Rabu, 18 Januari 2012

Supaya Engkau Memahami Jalan Orang-Orang Pendosa




SIKAP MUJAHIDIN AL-QAEDA IRAK TERHADAP PEMERINTAH DEMOKRASI IRAK

Divisi Informasi Organisasi Al-Qaeda Tanah Dua Aliran, mempersembahkan :

Pidato Amir Tanzim Al-Qaeda Irak, Syaikh Mujahid Abu Mush’ab Az-Zarqawi


Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada seorang pun mampu menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan Allah, maka tiada seorang pun mampu memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwa tiada ilah yang hak disembah selain Allah, satu-satunya dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian sebuah perniagaan yang bisa menyelamatkan kalian dari siksa yang pedih? Yaitu kalian beriman kepada Allah dan rosul-Nya serta kalian berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian serta memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan tempat tinggal-tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang besar. Dan ada sesuatu yang lain yang kalian sukai, yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang beriman.” (QS. Ash-Shaff : 10-13)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata dalam bukunya, Madârijus Sâlikîn : “Apabila musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir menyerang salah satu negeri Islam, mereka menyerangnya atas takdir Allah. Maka, bagaimana bisa dibenarkan kaum muslimin hanya pasrah terhadap takdir, serta tidak mau melawannya dengan takdir yang lain yaitu berjihad di jalan Allah, yang dengan begitu berarti mereka telah melakukan penolakan takdir dengan takdir yang lain?”.

Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa jihad hari ini merupakan obat penyembuh bagi berbagai macam penyakit yang tengah di derita umat Islam. Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang bisa menyamai manfaat jihad –setelah tauhid— bagi masyarakat dan negara. Jihad adalah jalan yang para penempuhnya telah dijamin Allah mendapat petunjuk, sebagaimana firman Allah Ta‘ala :

“Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti Kami beri petunjuk kepada mereka akan jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar menyertai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabût : 69)

Makanya, para salaf dahulu, apabila menemui sebuah masalah dalam urusan agama, mereka menanyakan kepada orang-orang yang  berjihad dan berjaga-jaga di daerah perbatasan karena berharap kemungkinan besar kebenaran ada pada mereka. Jihad juga merupakan salah satu pintu surga yang dengannya Allah menghilangkan duka dan kesedihan, sebagaimana dalam sebuah hadits :

“Hendaknya kalian berjihad di jalan Allah, karena jihad adalah salah satu pintu surga yang dengannya Allah menghilangkan duka dan kesedihan.”

Dengan jihad, tujuan-tujuan agama terjaga dan kehormatan-kehormatan terlindungi, sebagaimana dikabarkan oleh Rabb kita :

“Mengapakah kalian tidak berperang di jalan Allah, sementara orang-orang lemah dari kalangan laki-laki, wanita dan anak-anak mengatakan : Tuhan kami, keluarkan lah kami dari negeri yang dzalim penguasanya ini, dan jadikanlah pemimpin dan penolong bagi kami di sisi-Mu.” (QS. An-Nisâ’: 75)

Allah Ta‘ala juga berfirman :

“Dan siapa yang berjihad, pada dasarnya ia berjihad untuk dirinya sendiri, dan sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak butuh) kepada seluruh alam semesta.” (QS. Al-‘Ankabût : 6)

Artinya, kebaikan yang akan terjadi dari ibadah jihad kembalinya adalah kepada diri kita sendiri, jika kita berjihad di jalan Allah. Allah Ta‘ala tidak membutuhkan kita dan jihad kita. Jihad juga merupakan salah satu pintu penyaringan untuk mengetahui mana orang beriman yang benar-benar bertauhid dan mana orang munafik yang berpura-pura beriman, yang biasanya suka mengaku-aku sesuatu yang tidak diberikan kepadanya dan suka dipuji dengan perbuatan yang tidak dilakukannya.

Maka jihad adalah terjemahan dari tauhid dan indikasi kejujuran orang yang bertauhid.

Dan orang yang tidak memiliki pengalaman dalam mengalami pahit getirnya merintis jihad dan tertimpa bala’ dalam membela agama ini, maka ia tidak berhak menempatkan diri pada posisi-posisi kepemimpinan dan ketokohan, walau sebanyak apa pun ilmu yang ia miliki dan sepandai apa pun ia dalam beretorika. Kalau ia tetap mencalonkan dirinya, berarti ia termasuk orang yang merasa besar dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya, tak ubahnya dirinya seperti pemakai dua baju palsu. Betapa umat Islam di zaman sekarang ini sangat memerlukan neraca dan penyingkap seperti ini, di mana banyak sekali orang-orang yang berpura-pura, munafik, dan pemanipulasi. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman :

“Apakah kalian mengira akan masuk surga, sementara Allah belum tahu orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian.” (QS. Âli-‘Imran : 142)

Allah Subhanahu wa Ta‘ala juga berfirman :

“Dan orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, serta orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan, mereka lah orang-orang beriman yang sesungguhnya”. (QS. Al-Anfâl : 74)

Allah Subhanahu wa Ta‘ala juga berfirman :

“Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka, lebih besar derajatnya di sisi Allah. Dan mereka lah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taubah: 20)

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah orang-orang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian dia tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka lah orang-orang yang jujur.” (QS. Al-Hujurat : 15)

Pada ayat-ayat ini Allah menetapkan bahwa jihad yang dilakukan oleh orang-orang beriman adalah bukti kejujuran diri dan keimanan mereka, dan mereka lah orang-orang yang betul-betul beriman, artinya betul-betul bertauhid. Mereka itu lah orang-orang yang jujur dan meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.

Ada pun orang-orang yang tidak berjihad dan berangkat berperang, yang hatinya gemetar setiap kali ada seruan jihad atau ketika terbuka pintu pengorbanan bagi umat ini, maka mereka adalah orang-orang yang patut dicurigai keimanannya, diragukan pengakuan imannya. Allah Ta‘ala berfirman :

“Sesungguhnya, yang meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu lalu mereka terombang-ambing dalam keraguannya. Seandainya benar mereka ingin berangkat berperang, tentu lah mereka mengadakan persiapan untuknya, akan tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka dan dikatakan kepada mereka: duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk (tidak berangkat).” (QS. At-Taubah : 45-46)

Dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa ketidak ikut sertaan mereka dalam jihad bersama Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam sebagai indikasi kemunafikan dan ketidak beriman-an mereka. Sebagaimana tidak adanya persiapan dan tidak adanya usaha untuk menempuh sebab-sebab berjihad sebagai indikasi ketidak jujuran dan ketidak tertarikan mereka untuk berjihad. Setiap pengakuan haruslah ada bukti, dan bukti lisan tanpa perbuatan nyata tidaklah cukup.

Lalu, bagaimana dengan orang yang menghalangi umat ini dari jihad dan menganggap mujahidin sebagai penjahat dan pelaku dosa lantaran jihad yang mereka lakukan?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya Al-‘Ubûdiyyah : “Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah menjadikan dua tanda bagi orang-orang yang mencintai-Nya: meneladani Rasul dan berjihad di jalan Allah. Hal itu karena, jihad pada hakikatnya adalah berusaha keras dalam memperoleh apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa iman dan amal shaleh, serta menolak apa saja yang dibenci Allah berupa kekafiran, kefasikan, dan kefasikan.”

Seandainya bangsa-bangsa muslim mau memberikan sebagian kecil dari yang mereka keluarkan kepada thaghut untuk kepentingan jihad, tentu keadaan mereka akan berubah menjadi sangat baik, tidak hina dan mundur serta menjadi budak para thaghut seperti yang mereka alami sekarang.

Apatah lagi, sekiranya bangsa-bangsa muslim mendengar berita jihad di Irak yang sebenarnya. Sungguh, program-program dan proyek jihad di negeri dua Aliran sungai (Irak dan sekitarnya, pent) terus menguat dari hari ke hari, buahnya mulai tumbuh dan menggembirakan, yang membuat orang-orang kafir di Kawasan tidak bisa nyenyak tidur. Jihad ini telah memporak porandakan rencana busuk mereka, menggagalkan makar dan mematahkan kedengkian mereka terhadap negeri indah, Fallujah.

Apakah gerangan yang sudah dicapai oleh penjajah Amerika dan sekutu-sekutunya, dari kaum Syiah dan yang lainnnya, dari kezhaliman yang mereka lancarkan terhadap negeri-negeri Islam yang tadinya aman?

Sungguh terkuaklah kebusukan dan kedustaan mereka di hadapan seluruh masyarakat dunia, tercerai berailah klaim mereka bahwa mereka datang untuk mewujudkan keamanan melalui pemerintahan baru Irak yang murtad.

Demikian juga, hari ini mereka disibukkan untuk menyukseskan “bohong besar” Amerika, yang bernama demokrasi.

Sungguh, Amerika telah mempermainkan pikiran kebanyakan bangsa di dunia dengan propaganda bohong berupa “kehidupan modern yang demokratis”. Amerika menampakkan kesan, seolah kebahagiaan dan kemakmuran mereka tergantung sekali dengan demokrasi. Dengan dalih demokratisasi itu kemudian mereka melegalkan perang yang mereka lancarkan terhadap Irak dan Afghanistan, karena mengklaim dirinya sebagai penjaga dan pelindung utama demokrasi di dunia.

Atas tujuan ini pula lah dibentuk pemerintahan ‘Iyadh Allawi (sekarang Nouri Al-Maliki, -ed), yaitu tujuan untuk menampakkan di hadapan opini masyarakat Irak dan dunia, bahwa Amerika benar-benar serius dalam keinginan mewujudkan negara Irak yang merdeka dan demokratis. Dengan begitu mereka akan bisa leluasa menjalankan program dan misi-misinya di kawasan Timur Tengah, utamanya adalah mewujudkan negara Israel Raya, dan “membungkus” ambisi besar mereka untuk menguasai kekayaan dan sumber daya alam Irak.

Dan di antara yang sangat dijaga oleh agama Islam ini agar senantiasa terjaga kemurnian dan keistimewaan ajarannya dibanding ajaran agama lain, adalah penerapan dan penerimaan agama ini sebagaimana ketika diturunkan, dengan seluruh perintah, larangan, dan kaidah-kaidahnya, yang jauh dari manipulasi dan pengkaburan, jauh dari sikap ekstrim dan meremehkan. Inilah yang sangat ditekankan dalam banyak ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Allah Ta‘ala berfirman :

“Maka berjalan luruslah kamu sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan kepada orang-orang yang bertaubat bersamamu, dan jangan berlaku berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hûd: 112)

“dan ikutilah wahyu yang diturunkan kepadamu dan bersabarlah sampai Allah mendatangkan ketentuan-Nya, dan Allah adalah sebaik-baik pemberi keputusan.” (QS. Yûnus: 109)

“dan hendaklah kamu memberikan keputusan hukum kepada mereka berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka, dan hati-hati lah kepada mereka jangan sampai mereka memperdayakanmu dari sebagian yang diturunkan Allah kepadamu,” (QS. Al-Mâidah : 49)

“Maka berpegang teguhlah kepada apa yang diwahyukan kepadamu, sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.” (QS. Zukhruf : 43)

Dan Allah berfirman :

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin selain-Nya. Hanya sedikit saja dari mereka yang mau ingat.” (QS. Al-A‘raf : 3)

Dan Allah berfirman :

“Dan bahwasanya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah ia, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan lain sehingga akan mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya”. (QS. Al-An‘âm : 153)

Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami yang bukan berasal darinya, maka perkara itu tertolak.” (HR. Bukhari – Muslim)\

Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

Sesungguhnya orang yang hidup sepeninggalku di antara kalian, akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, gigitlah semua itu dengan gigi geraham. Dan hindarilah oleh kalian perkara-perkara baru, karena semua perkara yang diada-adakan (bid‘ah) itu sesat.” (HR. Tirmizi dan Abu Dawud)

Demokrasi datang untuk menyatakan kepada kita bahwa rakyat menjadi acuan utama dan penentu di dalam sistem tersebut. Di tangan mereka lah keputusan dan ketetapan semua permasalahan. Jadi pada hakikatnya, sistem demokrasi ingin mengatakan : tidak ada yang bisa menolak dan mengganggu gugat keputusan rakyat, di tangan mereka lah ketentuan hukum dan kepada mereka pula urusan rakyat dikembalikan. Keinginan rakyat adalah suci, pilihan mereka adalah sebuah keharusan, pendapat mereka adalah prioritas yang harus dihormati, hukum yang mereka tetapkan adalah bijaksana dan adil, siapa yang dianggap mulia oleh rakyat berarti dia mulia, dan siapa yang dianggap rendah oleh mereka maka ia rendah. Maka apa yang dihalalkan oleh rakyat itulah yang halal, apa yang mereka haramkan itulah yang haram, dan undang-undang atau aturan yang mereka sepakati maka itu lah yang legal.

Selain itu, maka tidak ada nilai dan timbangannya, walau pun itu adalah agama yang lurus dan syari’at dari Allah rabb semesta alam.

Slogan ini, yakni slogan “dari rakyat untuk rakyat”, merupakan inti dari faham demokrasi yang menjadi poros utama dari semua masalah yang diaturnya. Demokrasi tidak ada esensinya selain dengan slogan ini. Inilah sebenarnya “agama” demokrasi yang diagung-agungkan siang malam. Inilah yang dinyatakan sendiri oleh para penggagas dan penyerunya di depan masyarakat dunia. Ini pula lah yang kita saksikan dan kita lihat dengan mata kepala sendiri di dalam realita kehidupan. Ringkasnya, prinsip ajaran demokrasi –dengan berbagai cabang dan definisinya yang beragam—dibangun di atas prinsip-prinsip berikut ini :

1.    Rakyat adalah rujukan utama kekuasaan, terutama kekuasaan dalam pembuatan undang-undang.

Hal ini terlaksana dengan penunjukkan wakil-wakil rakyat di dalam majelis parlemen untuk melaksanakan tugas pembuatan undang-undang. Dengan kata lain, pembuat aturan yang dipatuhi dalam sistem demokrasi adalah manusia, bukan Allah. Ini artinya, “tuhan” yang diibadahi dan ditaati dalam hal menentukan aturan hidup (undang-undang) dan menentukan halal-haram adalah rakyat, manusia, makhluk, bukan Allah. Ini jelas sebuah kemusyrikan, kekafiran dan kesesatan, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip utama agama dan tauhid, juga karena mengandung sikap mensejajarkan manusia yang lemah ini dengan Allah dalam urusan yang menjadi kekhususan-Nya sebagai Dzat yang diibadahi, yaitu urusan membuat aturan hidup (undang-undang). Allah Ta‘ala berfirman :

“Hukum itu semata-mata hanya lah milik Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain kepada-Nya”. (QS. Yûsuf : 40)

“dan tidak ada seorang pun yang menjadi sekutu Allah dalam urusan hukum,” (QS. Al-Kahfi : 26)

“Dan apa saja urusan yang kalian perselisihkan, maka keputusan hukumnya adalah kepada Allah.” (QS. Asy-Syûra: 10)

Bukan kepada mayoritas rakyat atau suara terbanyak.

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapa kah yang lebih baik hukumnya dari pada Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (QS. Al-Mâidah : 50)

“Katakanlah (Hai Muhammad), akankah aku akan mencari pemutus hukum selain Allah, padahal Dia lah yang telah menurunkan kepada kalian kitab secara terperinci”. (QS. Al-An‘âm : 114)\

“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang membuat aturan daripada agama, yang tidak diizinkan oleh Allah?”. (QS. Asy-Syûra : 21)

Di sini, Allah menganggap orang-orang yang membuat aturan untuk umat manusia yang menyelisihi aturan Allah, sebagai sekutu dan tandingan-Nya.

Allah Ta‘ala juga berfirman :

“Dan hendaklah kamu memberikan keputusan hukum kepada mereka berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah dan janganlah kamu hawa nafsu mereka, dan hati-hati lah kepada mereka kalau sampai mereka memperdayakanmu dari sebagaian apa yang diturunkan Allah kepadamu,” (QS. Al-Mâidah : 49)

“Mereka (kaum ahli kitab, yahudi-nashrani) mengangkat rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”. (QS. At-Taubah: 31)

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, dari Adiy bin Hatim, ketika ia datang kepada Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam masih dalam keadaan nashrani, ia mendengar beliau membaca ayat ini :

“Mereka (kaum ahli kitab, yahudi-nashrani) mengangkat rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…”,

maka Adiy berkata : “Sesungguhnya kami tidak pernah menyembah mereka.” Maksud Adiy adalah, kami tidak menyembah mereka dalam bentuk menyembah, do’a, ruku’ maupun sujud. Ini karena Adiy mengira, ibadah hanya terbatas pada hal-hal ini. Maka Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam berkata : “Bukankah mereka (para rahib dan pendeta itu) mengharamkan apa yang Allah halalkan lalu kalian ikut menganggapnya haram? Dan mereka halalkan apa yang Allah haramkan lalu kalian ikut menghalalkannya?”. Adiy menjawab : “Kalau seperti itu, ya.” Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka.”

Semoga Allah merahmati Sayyid Quthb ketika beliau berkata : “Sesungguhnya manusia yang berada di dalam semua sistem pemerintahan buatan manusia itu mengangkat satu sama lain sebagai tuhan selain Allah. Orang yang ada pada posisi tertinggi dalam sistem demokrasi sama dengan orang yang terendah dalam sistem diktator.”

Dalam kesempatan lain, ia juga mengatakan : “Kekhususan sifat ulûhiyah (ketuhanan) yang berlaku bagi umat manusia adalah memperlakukan mereka sebagai hamba, membuat undang-undang hidup bagi mereka, dan menentukan nilai-nilai bagi mereka. Maka, siapa yang mengaku memiliki salah satu dari perilaku-perilaku ini, berarti ia telah menganggap dirinya menyandang salah satu dari sifat ulûhiyah yang paling khusus dan mengangkat dirinya sebagai tuhan yang disembah manusia selain Allah.”

Di bagian lain ia berkata : “Sesungguhnya yang memiliki hak menentukan halal-haram hanya lah Allah saja. Tidak ada seorang pun dari manusia yang berhak menyandang hak itu, baik perorangan atau pemangku jabatan tertentu, tidak juga sebuah bangsa atau bahkan seluruh umat manusia, kecuali ketentuan yang berdasarkan kepada keterangan dari Allah dan bersesuaian dengan syariat-Nya.”


2.    Sistem demokrasi dibangun di atas prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Artinya, semua orang yang hidup di bawah naungan demokrasi, dipersilahkan meyakini keyakinan apa saja dan memeluk agama apa saja, dipersilahkan pindah agama ke agama apa saja kapan pun ia mau; walau pun pindah agama itu adalah pindah dari agama Allah sekali pun, menuju keyakinan ateis atau menyekutukan Allah dalam ibadah.

Ini tidak diragukan lagi kebatilan dan kerusakannya, karena bertentangan dengan banyak sekali nash-nash syar‘î. Mengingat bahwa ketika seorang muslim pindah agama (murtad) ke agama lain, maka hukumnya dalam Islam adalah dibunuh, sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukharî dan lain-lain :

“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. Bukan dibebaskan.

Orang yang murtad tidak lah patut diberi jaminan keamanan atau perjanjian bersyarat, atau hak hidup berdampingan dengan muslim lainnya. Dalam agama Allah, orang yang murtad hanya punya dua pilihan :  Istitâbah (diminta bertaubat, kembali kepada agama Islam), atau dipenggal dengan pedang (dihukum mati).


3.    Demokrasi berdiri di atas prinsip menjadikan rakyat sebagai penentu hukum atau peraturan, di mana semua masalah dan perselisihan dikembalikan hukumnya kepadanya.

Maka kalau ada perselisihan antara dua orang, yang satu berposisi sebagai hakim, dan yang lain sebagai terdakwa, kita saksikan satu sama lain mengancam akan mengembalikan hukum sesuai ketentuan yang disepakati rakyat, sehingga rakyat lah yang menjadi pemberi keputusan dari perselisihan yang terjadi antara keduanya. Ini tentu saja bertentangan dengan prinsip tauhid yang menetapkan bahwa yang berhak memberikan ketentuan dalam semua masalah yang diperselisihkan manusia hanya lah Allah saja, bukan siapa pun selain-Nya.
Allah Ta‘ala berfirman :

“Dan apa saja yang kalian perselisihkan, maka hukumnya adalah kembali kepada Allah”.  (QS. Asy-Syûra : 10)

Di saat yang sama, demokrasi mengatakan : Apa saja yang kalian perselisihkan, maka hukumnya kembali kepada rakyat, bukan kepada selain rakyat.

Allah Ta‘ala juga berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah perselisihan itu kepada Allah (Al-Quran) dan rasul (Sunnah) jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”. (QS. An-Nisâ’ : 59)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata dalam bukunya, I‘lâmul Muwaqqi‘în : “Pengembalian hukum kepada Allah dan rasul-Nya dalam ayat ini, ditetapkan sebagai konsekwensi iman. Maka, ketika sikap pengembalian hukum ini tidak ada, secara otomatis iman pun hilang sebagaimana ketika sesuatu yang menjadi konsekwensi sesuatu yang lain akan hilang ketika konsekwensi itu tidak ada”.

Lebih dari pada itu, keinginan seseorang untuk mencari ketetapan hukum kepada rakyat atau kepada hal lain selain Allah, di dalam syariat Islam ditetapkan sebagai perbuatan berhukum kepada thaghut, yang mana –seharusnya—thoghut itu dikufuri, sebagaimana firman Allah Ta‘ala :

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan apa yan diturunkan sebelummu? Mereka ingin mecari ketetapan hukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah untuk mengkufurinya”. (QS. An-Nisâ’ : 60)

Di sini, Allah menganggap keimanan mereka sebatas pengakuan saja dan tidak ada nilainya, hanya disebabkan adanya keinginan mereka untuk berhukum kepada thaghut dan kepada aturannya. Dan setiap aturan yang bukan dari aturan Allah, atau hukum yang bukan hukum Allah, maka itu termasuk dalam makna thoghut yang wajib untuk dikufuri.


4.    Demokrasi dibangun di atas prinsip kebebasan berekpresi dan mengungkapkan pendapat, apa pun bentuknya, bahkan pendapat yang mengandung pelecehan dan penghinaan kepada nilai-nilai agama.

Karena di dalam kamus demokrasi, tidak ada istilah perkara-perkara suci yang tidak boleh disentuh atau di ungkapkan dengan kata-kata tidak baik. Allah Ta‘ala berfirman :

“Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi”. (QS. An-Nisâ’ : 148)

Allah Ta‘ala juga berfirman :

“Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (orang-orang munafik itu), tentu mereka akan mengatakan: Kami hanyalah hanya bermain-main dan bersendagurau.” Katakanlah (Muhammad), “Apakah dengan Allah, rosul-Nya, dan ayat-ayat-Nya, kalian bersenda gurau? Tidak usah kalian minta maaf, kalian telah kafir setelah beriman”. Jika lah Kami memberi maaf kepada satu golongan dari kalian, Kami mengazab golongan yang lain”. (QS. At-Taubah: 65-66)


5.    Demokrasi dibangun di atas prinsip pemisahan antara agama dengan negara, politik dan kehidupan sehari-hari.

Maka, apa yang menjadi hak tuhan, biarlah untuk tuhan, yaitu terbatas pada urusan-urusan kebaktian di pojok-pojok tempat ibadat. Adapun urusan selain itu, yang bersangkutan dengan politik, ekonomi, dan sosial atau yang semisal, maka itu adalah hak khusus bagi rakyat. Maka, mereka mengatakan yang ini adalah milik tuhan –menurut asumsi mereka—, sedangkan yang ini adalah milik “sekutu-sekutu” kami. Maka apa yang menjadi milik sekutu mereka, tidak akan sampai kepada Allah. Dan apa yang menjadi milik Allah, maka tidak akan sampai kepada sekutu-sekutu mereka. Sungguh buruk apa yang mereka simpulkan.

Perkataan seperti ini, dalam agama kita sudah sangat dimaklumi kerusakan dan kebatilannya, bahkan kufurnya orang yang mengatakannya. Sebab, kata-kata itu mengandung sikap pengingkaran kepada Allah, sebagaimana dimaklumi dalam agama kita. Pengingkaran ini adalah pengingkaran kepada sebagian prinsip agama yang menetapkan bahwa agama Islam ini adalah agama mengatur urusan negara dan politik, hukum dan perundang-undangan. Agama ini tidak lah sesempit urusan-urusan kebaktian atau di antara dinding-dinding tempat ibadah.

Pengingkaran terhadap prinsip ini, tidak diragukan lagi merupakan kekufuran nyata terhadap agama Allah Ta‘ala, sebagaimana firman Allah Ta‘ala :

“Apakah kalian beriman kepada sebagian kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan bagi orang yang melakukannya selain kehinaan di kehidupan dunia, dan di hari kiamat nanti ia akan dikembalikan kepada azab yang sangat keras. Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 85)

“Dan mereka mengatakan: “Kami beriman kepada sebagian dan kufur kepada sebagian yang lain,” dan mereka ingin mengambil jalan tengah di antara semua itu. Mereka itulah orang-orang kafir yang sesungguhnya, dan Kami sediakan bagi orang-orang kafir itu siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisâ’: 150-151)


6.    Demokrasi dibangun di atas prinsip kebebasan mendirikan organisasi dan perkumpulan, apa pun bentuknya, dan apa pun keyakinan, dasar pemikiran, dan landasan moral yang dianut oleh perkumpulan itu.

Ini adalah prinsip yang batil menurut syariat Islam, ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya :

-   Prinsip ini mengandung pengakuan secara sukarela tanpa paksaan, terhadap legalitas semua organisasi dan kelompok dengan beraneka ragam arahnya, walau pun bertujuan kepada hal-hal yang kufur dan syirik, dan bahwa mereka memiliki hak untuk eksis di dunia ini, mereka bisa menyebarluaskan kekufurannya, kerusakannya dan kebatilannya di dalam negara dan kepada masyarakat. Ini jelas bertentangan dengan banyak sekali nash-nash syar‘î yang menunjukkan bahwa pada prinsipnya cara memperlakukan kemungkaran dan kekufuran adalah mengingkari dan merubahnya, bukan mengakui dan membenarkan legalitasnya. Allah Ta‘ala berfirman :

“Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (kesyirikan) dan sampai agama itu seluruhnya menjadi milik Allah”. (QS. Al-Anfâl : 39)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : “Setiap kelompok yang menolak untuk tunduk kepada syariat Islam yang jelas dan mutawâtir, maka wajib diperangi sampai agama itu seluruhnya menjadi milik Allah, ini berdasarkan kesepakatan para ulama.”

-   Pengakuan secara suka rela ini mengandung makna ridha terhadap kekufuran yang dianut oleh kelompok-kelompok tersebut, walaupun yang memberikan pengakuan tidak menyatakan secara langsung bahwa ia mengakui kebebasan dari kekafiran ajaran kelompok tersebut. Padahal, ridha kepada kekufuran adalah kufur. Allah Ta‘ala berfirman :

“Dan telah diturunkan kepada kamu dalam Al-Kitab, bahwa ketika kalian mendengarkan ayat-ayat Allah mereka mengingkari dan mempermainkannya, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sampai mereka membahas perbincangan lain. (Jika kalian tetap saja duduk bersama mereka) berarti kalian sama dengan mereka, sesungguhnya Allah mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahannam.” (QS. An-Nisâ’: 140)

-   Menganut prinsip ini sama saja dengan membiarkan kelompok-kelompok yang ada beserta semua misinya, untuk menyebar luaskan kekufurannya, dan membiarkan masyarakat tenggelam dalam berbagai macam kerusakan, fitnah dan hawa nafsu. Itu artinya, kita turut berperan dalam menghancurkan negara dan masyarakat.


7.    Demokrasi mengacu kepada bagaimana sikap mayoritas rakyat, dan membangun semua urusan berdasarkan keinginan mayoritas. Walaupun, mayoritas tersebut menyepakati sebuah kesesatan dan kekafiran yang nyata.

Maka, kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat menurut faham demokrasi adalah, yang disepakati oleh mayoritas orang, bukan yang lain.

Ini jelas prinsip batil yang tidak boleh digunakan. Karena dalam pandangan Islam kebenaran adalah yang bersesuaian dengan Al-Quran dan Sunnah, entah sedikit pembelanya ataukah banyak. Sedangkan apa yang menyelisihi Al-Quran dan Sunnah, maka itu adalah batil, walaupun seluruh penduduk bumi menyepakatinya.

Allah Ta‘ala berfirman :

“Dan tidak lah kebanyakan mereka beriman melainkan pasti masih berbuat kesyirikan.”  (QS. Yûsuf: 106)

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan penduduk bumi, tentu mereka akan sesatkan kamu dari jalan Allah. Tidaklah mereka mengikuti selain prasangka dan mereka itu hanyalah menduga-duga.” (QS. Al-An‘âm: 116)

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa mengikuti dan menuruti kebanyakan orang adalah kesesatan dari jalan Allah. Sebab, mayoritas manusia memang berada di atas kesesatan, dan tidaklah mereka beriman kepada Allah melainkan pasti menyekutukan-Nya dengan sesembahan yang lain.

Abdullah bin Mas‘ud berkata kepada Amru bin Maimun : “Mayoritas Jamaah adalah mereka yang memisahkan diri dari jamaah. Jamaah itu adalah yang sesuai dengan kebenaran, walau pun engkau sendirian.”

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata : “Sesungguhnya, pengikut Ahlus Sunnah itu berjumlah paling sedikit pada orang-orang terdahulu, dan paling sedikit pada orang-orang yang akan datang, mereka adalah orang-orang yang tidak larut dalam kemewahan orang-orang yang memiliki harta melimpah dan kebid’ahan para ahli bid’ah, mereka bersabar di atas sunnah yang mereka pegang sampai berjumpa dengan Tuhannya, maka jadilah kalian yang seperti itu.”

Yang mengherankan, meskipun fakta menunjukkan betapa buruknya hasil dari penggunaan sistem demokrasi ini, yang mengakibatkan perpecahan dan kelemahan umat, permusuhan dan perselisihan, di mana jamaah muslim berubah menjadi kelompok-kelompok terpisah, satu golongan menjadi bermacam-macam golongan, satu organisasi pergerakan menjadi bermacam-macam organisasi pergerakan, yang saling terpisah dan saling membenci; dan masih banyak lagi dampak buruk lainnya, tapi masih saja ada orang yang menganggap sistem demokrasi adalah sistem yang baik dan membelanya seolah mereka adalah para pencetus dan perumusnya.

Hati mereka dijadikan cenderung menyukai demokrasi, sebagaimana dulu hati Bani Israil dijadikan suka kepada penyembahan terhadap anak sapi. Pendengaran mereka tidak memberi manfaat kepada mereka yang menjadikan mereka takut terhadap ayat-ayat Al-Quran dan nash-nash syar‘i. Penglihatan mereka tidak memberi manfaat kepada mereka sehingga mereka tidak bisa menyaksikan fakta menyedihkan yang disebabkan dari penerapan sistem demokrasi.

Sebagian mereka beralasan ingin meraih maslahat dan keinginan memperkokoh posisi dalam kekuasaan melalui sistem demokrasi, mereka menjadikan demokrasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan agama tanpa mempedulikan, apakah sarana-sarana yang mereka gunakan itu sah menurut syariat dan agama Allah ataukah tidak. Mereka terjerumus dalam kubangan tawar-menawar pada urusan-urusan agama yang bersifat prinsip dan manhaj dengan mengatasnamakan mashlahat dan meraih tujuan yang lebih besar.

Ath-Thabari meriwayatkan dalam tafsirnya, bahwasanya Walid bin Mughirah, Ash bin Wa’il, Aswad bin Muthalib, dan Umayah bin Khalaf bertemu Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam, mereka mengatakan : “Hai Muhammad, mari kami ibadahi apa yang kamu ibadahi dan kamu mengibadahi apa yang kami ibadahi, dan kami ikutkan engkau dalam semua urusan kami. Jika memang yang kau bawa itu lebih baik daripada apa yang kami miliki, berarti kami telah mengambil bagian bersamamu di dalamnya. Tapi jika yang ada pada kami lebih baik dari ajaran yang kau bawa, berarti engkau telah mengambil bagianmu dari kami.” Maka Allah menurunkan ayat :

“Katakanlah (wahai Muhammad) : “Wahai orang-orang kafir”… dan seterusnya hingga akhir surat (Al-Kâfirûn).”

Dalam peristiwa ini, kita bisa melihat bagaimana kaum Quraisy meminta Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam agar mau berkompromi dengan mereka dan mereka juga akan berbuat hal yang sama sehingga keduanya bisa bertemu pada satu titik. Mungkin ada sebagian orang akan mengatakan, seandainya Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam menyutujui permintaan mereka dan menyuruh agar mereka dulu yang menyembah Allah, tentu setelah mengenal Islam mereka tidak akan kembali kepada kekafiran lagi, dan ini tentu memberikan sumbangan besar bagi dakwah Islam, memberikan kemenangan sekaligus menghilangkan berbagai cobaan yang menimpa kaum muslimin.

Jawabannya, sesungguhnya Allah telah memberikan ketegasan dalam urusan ini :

“Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah…”

Lalu diakhirnya :

“Milik kalian agama kalian dan bagiku agamaku.”

Jadi masalah di sini adalah masalah prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar atau dikompromikan, walau hanya sedikit. Sebab ini adalah salah satu masalah keyakinan, bahkan itu lah keyakinan yang inti.

Sesungguhnya bagi yang mau merenungi peristiwa di atas dan bagaimana Al-Quran memberikan ketegasan di dalamnya, akan mendapatkan berbagai pelajaran yang hari ini sangat-sangat kita butuhkan. Bahkan memberikan gambaran yang jelas mengenai cara menghadapi berbagai langkah yang dilakukan musuh-musuh Islam dalam melancarkan tipudayanya, baik sekarang atau di masa mendatang.

Sungguh seandainya engkau menyapa orang-orang kafir itu : “Wahai orang muslim,” mereka tidak akan berdamai kepadamu kecuali dengan syarat kamu tinggalkan agamamu, lalu kamu bersikap loyal dan patuh kepada mereka dalam sistem demokrasi mereka yang bobrok itu. Apalagi, kalau mereka berposisi sebagai fihak yang kuat dalam “pertempuran”.

Dan jika pernah terlintas dalam benakmu bahwa mereka akan ridha kepadamu tanpa kamu ikuti agama mereka, berarti kamu berfikir rancu. Sebaiknya engkau baca kembali Al-Quran. Sebaiknya engkau telaah kembali sejarah yang dulu maupun sekarang, agar engkau tahu bagaimana pengkhianatan, kedengkian dan kejahatan mereka, yang telah ditimpakan, dan terus ditimpakan, kepada Islam dan kaum muslimin.

Lantas, bagaimana kalian rela, wahai kaum muslim Irak, dihukumi oleh kaum salibis dan boneka-bonekanya dalam urusan kehormatan, darah, dan kemanusiaan kalian, dengan aturan selain aturan Allah yang suci dan dengan agama selain agama-Nya yang lurus? Padahal kalian adalah anak cucu Shahabat Saad bin Abi Waqqas, Al-Mutsanna, Khalid bin Walid dan Qa‘qa‘, yang telah menyuburkan tanah ini dengan darah mereka.

Maka sudah selayaknya kalian menyadari rencana-rencana musuh kalian pada penerapan demokrasi di negeri kalian. Mereka tidak menginginkannya selain untuk merampas kebaikan-kebaikan yang masih tersisa pada diri kalian, lalu mereka atur sesuai Lembaga Masyadah yang buruk itu, yang bertujuan untuk menjadikan kaum Syiah Rafidhah berkuasa di Irak.

Sungguh telah dimasukkan sebanyak empat juta orang penganut Syiah Rafidhah dari Iran untuk mengikuti pemilu, sehingga keinginan mereka untuk menguasai kursi parlemen tercapai. Dengan begitu, mereka akan leluasa membentuk sistem pemerintahan berdasarkan suara terbanyak, yang akan mengatur berbagai posisi penting negara, baik pada sektor pengendalian strategi, ekonomi, maupun keamanan. Mereka membungkus ambisinya dengan menyebarkan opini bahwa pemerintah ingin menjaga keamanan negara dan rakyat, ingin meraih kemajuan dalam program demokratisasi, dan membasmi semua yang ada kaitannya dengan Partai Baath yang dianggap berbahaya, dan satu lagi: memberantas kaum perusak dari kalangan Milisi Fedayeen pengikut Saddam Husein serta kaum Teroris.

Kaum Syiah memulai langkahnya dengan menjadikan program penyebaran keyakinan mereka sebagai program pertama agar bisa menghapus dominasi para tokoh Ahlus Sunnah (baca: Sunni), baik dari kalangan para Ulama, Da’i, atau pun para pakar di berbagai bidang. Mereka dukung program mereka ini dengan kekuatan media massa yang cukup besar, sehingga kebatilan mereka nampak begitu memikat dan apa yang sebenarnya mereka pendam tertutup rapat. Dan apa yang ada dalam hati mereka jauh lebih besar.

Setelah itu, mereka mulai menyebarkan faham madzhab mereka di tengah-tengah masyarakat, dengan harta dan senjata, dengan rayuan dan ancaman. Dengan kekuasaan yang mereka pegang, mereka dengan mudah menguasai berbagai sumber penghasilan kaum muslimin.

Jika dalam rencananya ini mereka berhasil, maka hanya dalam beberapa tahun saja sebagian besar daerah yang dihuni oleh kaum Sunni bisa berubah menjadi basis kaum Syiah. Ini diperparah dengan sikap diam yang diambil oleh para ulama (Sunni), karena mereka tidak mau mengatakan kebenaran sejujurnya, mereka kaburkan akidah Al-Wala’ dan Al-Bara’ dalam benak orang dengan menyatakan bahwa kaum Syiah adalah saudara dan teman dekat kita juga.

Tidakkah yang merusak agama itu selain para raja
Dan para ulama dan ahli agama yang jahat…?

Duhai betapa menyedihkan jika suatu hari nanti kota Baghdad berubah menjadi basis kaum Syiah Rafidhah…

Sungguh, meskipun selama bertahun-tahun Baghdad dikuasai oleh para penguasa murtad, yang menimpakan siksa pedih kepada penduduknya, akan tetapi belum pernah dalam sejarah Baghdad menjadi kota Syiah.

Lihatlah Baghdad, dari hari ke hari kegelapan mulai menyelimutinya sedikit demi sedikit. Lihatlah, penampilan-penampilan gaya kaum berhala dan syirik mulai nampak di depan mata, suara-suara kaum Syiah yang melaknat para shahabat Nabi kita –ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam— dan menghina isteri-isteri beliau yang merupakan ibunda kaum mukminin mulai digaungkan keras-keras setiap saat di atas mimbar-mimbar khutbah dan siaran radio mereka.

Semoga Allah merahmati Imam Malik yang pernah mengatakan : “Tidak boleh tinggal di negeri di mana Abu Bakar dan Umar dicaci maki.”

Inilah Umar Al-Faruq, yang ketika beliau masih menjabat sebagai khalifah kaum Muslimin beliau pernah berkata : “Jika Allah masih menghidupkanku hingga tahun depan, aku akan tinggalkan para wanita Irak dalam keadaan tidak butuh kepada seorang pun sepeninggalku.”

Beliau –Umar RadhiyAllahu ‘Anhu—merasa cemburu dengan kehormatan kalian padahal beliau tinggal di Madinah. Sedangkan hari ini, kaum Syiah begitu saja mencaci beliau setiap saat di tengah-tengah kalian. Tidak tersisa lagikah rasa cemburu dalam hati kalian, wahai penduduk Irak?

Telah berlalukah dari dalam diri kalian rasa marah karena membela agama Allah? Kalian khianatikah kakek-kakek kalian, wahai anak cucu Sa‘ad bin Abi Waqqas, Al-Mutsanna, dan Khalid? Relakah kalian dengan kehinaan dan kerendahan, sementara “kaum pelacur” dari Rûm  (Barat), kaum Salibis para pengidap kelainan seks, dan “babi-babi” Syiah, mempermainkan kehormatan wanita-wanita kaum muslimin?

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, juga karena pertimbangan lain, kami maklumatkan “pertempuran sengit” terhadap sistem ini (sistem demokrasi). Kami telah terangkan hukum para penganut keyakinan batil dan jalan yang merugikan ini. Maka siapa saja yang turut memberikan bantuan demi tegakknya sistem ini, berarti ia telah bersikap loyal kepadanya dan kepada para pengikutnya, hukumnya sama dengan hukum orang yang menyeru manusia kepadanya dan yang membelanya. Dan orang-orang yang menjadi calon dalam pemilihan umum, mereka adalah para pengaku klaim Rubûbiyah (ketuhanan) selain Allah, sedangkan orang-orang yang memilih mereka berarti telah mengangkat mereka sebagai tuhan-tuhan dan sekutu-sekutu selain Allah. Di dalam agama Allah, semua dari mereka ini hukumnya adalah kufur dan keluar dari Islam.

Ya Allah, bukankah telah kusampaikan…? Ya Allah, saksikanlah.

Ya Allah, bukankah telah kusampaikan…? Ya Allah, saksikanlah.
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011