SIKAP
MUJAHIDIN AL-QAEDA IRAK TERHADAP PEMERINTAH DEMOKRASI IRAK
Divisi
Informasi Organisasi Al-Qaeda Tanah Dua Aliran,
mempersembahkan :
Pidato
Amir Tanzim Al-Qaeda Irak, Syaikh Mujahid Abu Mush’ab Az-Zarqawi
Sesungguhnya
segala puji hanya milik Allah, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan dan
ampunan kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami
dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah,
maka tiada seorang pun mampu menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan Allah,
maka tiada seorang pun mampu memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwa tiada
ilah yang hak disembah selain Allah, satu-satunya dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya.
Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman :
“Hai
orang-orang yang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian sebuah perniagaan
yang bisa menyelamatkan kalian dari siksa yang pedih? Yaitu kalian beriman
kepada Allah dan rosul-Nya serta kalian berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian serta memasukkan
kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan tempat
tinggal-tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang besar.
Dan ada sesuatu yang lain yang kalian sukai, yaitu pertolongan dari Allah dan
kemenangan yang dekat, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang beriman.”
(QS. Ash-Shaff : 10-13)
Ibnul Qayyim
Rahimahullah berkata dalam bukunya, Madârijus Sâlikîn : “Apabila musuh Islam
dari kalangan orang-orang kafir menyerang salah satu negeri Islam, mereka
menyerangnya atas takdir Allah. Maka, bagaimana bisa dibenarkan kaum muslimin
hanya pasrah terhadap takdir, serta tidak mau melawannya dengan takdir yang
lain yaitu berjihad di jalan Allah, yang dengan begitu berarti mereka telah
melakukan penolakan takdir dengan takdir yang lain?”.
Ketahuilah
wahai kaum muslimin, bahwa jihad hari ini merupakan obat penyembuh bagi
berbagai macam penyakit yang tengah di derita umat Islam. Sesungguhnya tidak
ada sesuatu pun yang bisa menyamai manfaat jihad –setelah tauhid— bagi
masyarakat dan negara. Jihad adalah jalan yang para penempuhnya telah dijamin Allah
mendapat petunjuk, sebagaimana firman Allah Ta‘ala :
“Dan
orang-orang yang berjihad di jalan Kami, pasti Kami beri petunjuk kepada mereka
akan jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar menyertai orang-orang
yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabût : 69)
Makanya, para
salaf dahulu, apabila menemui sebuah masalah dalam urusan agama, mereka
menanyakan kepada orang-orang yang
berjihad dan berjaga-jaga di daerah perbatasan karena berharap
kemungkinan besar kebenaran ada pada mereka. Jihad juga merupakan salah satu
pintu surga yang dengannya Allah menghilangkan duka dan kesedihan, sebagaimana
dalam sebuah hadits :
“Hendaknya
kalian berjihad di jalan Allah, karena jihad adalah salah satu pintu surga yang
dengannya Allah menghilangkan duka dan kesedihan.”
Dengan jihad,
tujuan-tujuan agama terjaga dan kehormatan-kehormatan terlindungi, sebagaimana dikabarkan
oleh Rabb kita :
“Mengapakah
kalian tidak berperang di jalan Allah, sementara orang-orang lemah dari
kalangan laki-laki, wanita dan anak-anak mengatakan : Tuhan kami, keluarkan lah
kami dari negeri yang dzalim penguasanya ini, dan jadikanlah pemimpin dan
penolong bagi kami di sisi-Mu.” (QS.
An-Nisâ’: 75)
Allah Ta‘ala
juga berfirman :
“Dan siapa
yang berjihad, pada dasarnya ia berjihad untuk dirinya sendiri, dan
sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak butuh) kepada seluruh alam semesta.”
(QS. Al-‘Ankabût : 6)
Artinya,
kebaikan yang akan terjadi dari ibadah jihad kembalinya adalah kepada diri kita
sendiri, jika kita berjihad di jalan Allah. Allah Ta‘ala tidak membutuhkan kita
dan jihad kita. Jihad juga merupakan salah satu pintu penyaringan untuk
mengetahui mana orang beriman yang benar-benar bertauhid dan mana orang munafik
yang berpura-pura beriman, yang biasanya suka mengaku-aku sesuatu yang tidak
diberikan kepadanya dan suka dipuji dengan perbuatan yang tidak dilakukannya.
Maka jihad
adalah terjemahan dari tauhid dan indikasi kejujuran orang yang bertauhid.
Dan orang yang
tidak memiliki pengalaman dalam mengalami pahit getirnya merintis jihad dan
tertimpa bala’ dalam membela agama ini, maka ia tidak berhak menempatkan diri
pada posisi-posisi kepemimpinan dan ketokohan, walau sebanyak apa pun ilmu yang
ia miliki dan sepandai apa pun ia dalam beretorika. Kalau ia tetap mencalonkan
dirinya, berarti ia termasuk orang yang merasa besar dengan sesuatu yang tidak
diberikan kepadanya, tak ubahnya dirinya seperti pemakai dua baju palsu. Betapa
umat Islam di zaman sekarang ini sangat memerlukan neraca dan penyingkap
seperti ini, di mana banyak sekali orang-orang yang berpura-pura, munafik, dan
pemanipulasi. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman :
“Apakah kalian
mengira akan masuk surga, sementara Allah belum tahu orang-orang yang berjihad
dan bersabar di antara kalian.” (QS.
Âli-‘Imran : 142)
Allah
Subhanahu wa Ta‘ala juga berfirman :
“Dan
orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, serta
orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan, mereka lah
orang-orang beriman yang sesungguhnya”. (QS.
Al-Anfâl : 74)
Allah
Subhanahu wa Ta‘ala juga berfirman :
“Orang-orang
yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa
mereka, lebih besar derajatnya di sisi Allah. Dan mereka lah orang-orang yang
beruntung.” (QS. At-Taubah: 20)
“Sesungguhnya
orang-orang beriman itu adalah orang-orang beriman kepada Allah dan rasul-Nya,
kemudian dia tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan
Allah. Mereka lah orang-orang yang jujur.” (QS.
Al-Hujurat : 15)
Pada ayat-ayat
ini Allah menetapkan bahwa jihad yang dilakukan oleh orang-orang beriman adalah
bukti kejujuran diri dan keimanan mereka, dan mereka lah orang-orang yang
betul-betul beriman, artinya betul-betul bertauhid. Mereka itu lah orang-orang
yang jujur dan meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.
Ada pun
orang-orang yang tidak berjihad dan berangkat berperang, yang hatinya gemetar
setiap kali ada seruan jihad atau ketika terbuka pintu pengorbanan bagi umat
ini, maka mereka adalah orang-orang yang patut dicurigai keimanannya, diragukan
pengakuan imannya. Allah Ta‘ala berfirman :
“Sesungguhnya,
yang meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad hanyalah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu lalu
mereka terombang-ambing dalam keraguannya. Seandainya benar mereka ingin
berangkat berperang, tentu lah mereka mengadakan persiapan untuknya, akan
tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka dan dikatakan kepada mereka:
duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk (tidak berangkat).”
(QS. At-Taubah : 45-46)
Dalam ayat ini
Allah menetapkan bahwa ketidak ikut sertaan mereka dalam jihad bersama Rasulullah
ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam sebagai indikasi kemunafikan dan ketidak
beriman-an mereka. Sebagaimana tidak adanya persiapan dan tidak adanya usaha
untuk menempuh sebab-sebab berjihad sebagai indikasi ketidak jujuran dan
ketidak tertarikan mereka untuk berjihad. Setiap pengakuan haruslah ada bukti,
dan bukti lisan tanpa perbuatan nyata tidaklah cukup.
Lalu,
bagaimana dengan orang yang menghalangi umat ini dari jihad dan menganggap
mujahidin sebagai penjahat dan pelaku dosa lantaran jihad yang mereka lakukan?
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya Al-‘Ubûdiyyah : “Allah Subhanahu wa Ta‘ala
telah menjadikan dua tanda bagi orang-orang yang mencintai-Nya: meneladani Rasul
dan berjihad di jalan Allah. Hal itu karena, jihad pada hakikatnya adalah
berusaha keras dalam memperoleh apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa
iman dan amal shaleh, serta menolak apa saja yang dibenci Allah berupa
kekafiran, kefasikan, dan kefasikan.”
Seandainya
bangsa-bangsa muslim mau memberikan sebagian kecil dari yang mereka keluarkan
kepada thaghut untuk kepentingan jihad, tentu keadaan mereka akan berubah
menjadi sangat baik, tidak hina dan mundur serta menjadi budak para thaghut
seperti yang mereka alami sekarang.
Apatah lagi,
sekiranya bangsa-bangsa muslim mendengar berita jihad di Irak yang sebenarnya.
Sungguh, program-program dan proyek jihad di negeri dua Aliran sungai (Irak dan
sekitarnya, pent) terus menguat dari hari ke hari, buahnya mulai tumbuh dan
menggembirakan, yang membuat orang-orang kafir di Kawasan tidak bisa nyenyak
tidur. Jihad ini telah memporak porandakan rencana busuk mereka, menggagalkan
makar dan mematahkan kedengkian mereka terhadap negeri indah, Fallujah.
Apakah
gerangan yang sudah dicapai oleh penjajah Amerika dan sekutu-sekutunya, dari
kaum Syiah dan yang lainnnya, dari kezhaliman yang mereka lancarkan terhadap
negeri-negeri Islam yang tadinya aman?
Sungguh terkuaklah
kebusukan dan kedustaan mereka di hadapan seluruh masyarakat dunia, tercerai
berailah klaim mereka bahwa mereka datang untuk mewujudkan keamanan melalui
pemerintahan baru Irak yang murtad.
Demikian juga,
hari ini mereka disibukkan untuk menyukseskan “bohong besar” Amerika, yang
bernama demokrasi.
Sungguh,
Amerika telah mempermainkan pikiran kebanyakan bangsa di dunia dengan
propaganda bohong berupa “kehidupan modern yang demokratis”.
Amerika menampakkan kesan, seolah kebahagiaan dan kemakmuran mereka tergantung
sekali dengan demokrasi. Dengan dalih demokratisasi itu kemudian mereka
melegalkan perang yang mereka lancarkan terhadap Irak dan Afghanistan, karena
mengklaim dirinya sebagai penjaga dan pelindung utama demokrasi di dunia.
Atas tujuan
ini pula lah dibentuk pemerintahan ‘Iyadh Allawi (sekarang Nouri Al-Maliki,
-ed), yaitu tujuan untuk menampakkan di hadapan opini masyarakat Irak dan
dunia, bahwa Amerika benar-benar serius dalam keinginan mewujudkan negara Irak
yang merdeka dan demokratis. Dengan begitu mereka akan bisa leluasa menjalankan
program dan misi-misinya di kawasan Timur Tengah, utamanya adalah mewujudkan
negara Israel Raya, dan “membungkus” ambisi besar mereka untuk menguasai
kekayaan dan sumber daya alam Irak.
Dan di antara
yang sangat dijaga oleh agama Islam ini agar senantiasa terjaga kemurnian dan
keistimewaan ajarannya dibanding ajaran agama lain, adalah penerapan dan
penerimaan agama ini sebagaimana ketika diturunkan, dengan seluruh perintah,
larangan, dan kaidah-kaidahnya, yang jauh dari manipulasi dan pengkaburan, jauh
dari sikap ekstrim dan meremehkan. Inilah yang sangat ditekankan dalam banyak
ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Allah Ta‘ala berfirman :
“Maka berjalan
luruslah kamu sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan kepada orang-orang
yang bertaubat bersamamu, dan jangan berlaku berlebih-lebihan, sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Hûd: 112)
“dan ikutilah
wahyu yang diturunkan kepadamu dan bersabarlah sampai Allah mendatangkan ketentuan-Nya,
dan Allah adalah sebaik-baik pemberi keputusan.”
(QS. Yûnus: 109)
“dan hendaklah
kamu memberikan keputusan hukum kepada mereka berdasarkan apa yang diturunkan
oleh Allah dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka, dan hati-hati lah kepada
mereka jangan sampai mereka memperdayakanmu dari sebagian yang diturunkan Allah
kepadamu,” (QS. Al-Mâidah : 49)
“Maka
berpegang teguhlah kepada apa yang diwahyukan kepadamu, sesungguhnya kamu
berada di atas jalan yang lurus.” (QS. Zukhruf :
43)
Dan Allah berfirman
:
“Ikutilah apa
yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin
selain-Nya. Hanya sedikit saja dari mereka yang mau ingat.”
(QS. Al-A‘raf : 3)
Dan Allah
berfirman :
“Dan
bahwasanya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah ia, dan janganlah kalian
ikuti jalan-jalan lain sehingga akan mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya”. (QS.
Al-An‘âm : 153)
Nabi ShallAllahu
‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Barang siapa
membuat perkara baru dalam urusan kami yang bukan berasal darinya, maka perkara
itu tertolak.” (HR. Bukhari – Muslim)\
Dan Beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya
orang yang hidup sepeninggalku di antara kalian, akan menyaksikan banyak
perselisihan. Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus
dan mendapat petunjuk, gigitlah semua itu dengan gigi geraham. Dan hindarilah
oleh kalian perkara-perkara baru, karena semua perkara yang diada-adakan
(bid‘ah) itu sesat.” (HR. Tirmizi dan Abu Dawud)
Demokrasi
datang untuk menyatakan kepada kita bahwa rakyat menjadi acuan utama dan
penentu di dalam sistem tersebut. Di tangan mereka lah keputusan dan ketetapan
semua permasalahan. Jadi pada hakikatnya, sistem demokrasi ingin mengatakan :
tidak ada yang bisa menolak dan mengganggu gugat keputusan rakyat, di tangan
mereka lah ketentuan hukum dan kepada mereka pula urusan rakyat dikembalikan.
Keinginan rakyat adalah suci, pilihan mereka adalah sebuah keharusan, pendapat
mereka adalah prioritas yang harus dihormati, hukum yang mereka tetapkan adalah
bijaksana dan adil, siapa yang dianggap mulia oleh rakyat berarti dia mulia,
dan siapa yang dianggap rendah oleh mereka maka ia rendah. Maka apa yang
dihalalkan oleh rakyat itulah yang halal, apa yang mereka haramkan itulah yang
haram, dan undang-undang atau aturan yang mereka sepakati maka itu lah yang
legal.
Selain itu,
maka tidak ada nilai dan timbangannya, walau pun itu adalah agama yang lurus
dan syari’at dari Allah rabb semesta alam.
Slogan ini,
yakni slogan “dari rakyat untuk rakyat”, merupakan inti dari faham demokrasi
yang menjadi poros utama dari semua masalah yang diaturnya. Demokrasi tidak ada
esensinya selain dengan slogan ini. Inilah sebenarnya “agama” demokrasi yang
diagung-agungkan siang malam. Inilah yang dinyatakan sendiri oleh para
penggagas dan penyerunya di depan masyarakat dunia. Ini pula lah yang kita
saksikan dan kita lihat dengan mata kepala sendiri di dalam realita kehidupan.
Ringkasnya, prinsip ajaran demokrasi –dengan berbagai cabang dan definisinya
yang beragam—dibangun di atas prinsip-prinsip berikut ini :
1. Rakyat
adalah rujukan utama kekuasaan, terutama kekuasaan dalam pembuatan
undang-undang.
Hal ini
terlaksana dengan penunjukkan wakil-wakil rakyat di dalam majelis parlemen
untuk melaksanakan tugas pembuatan undang-undang. Dengan kata lain, pembuat
aturan yang dipatuhi dalam sistem demokrasi adalah manusia, bukan Allah. Ini
artinya, “tuhan” yang diibadahi dan ditaati dalam hal menentukan aturan hidup
(undang-undang) dan menentukan halal-haram adalah rakyat, manusia, makhluk, bukan
Allah. Ini jelas sebuah kemusyrikan, kekafiran dan kesesatan, karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip utama agama dan tauhid, juga karena
mengandung sikap mensejajarkan manusia yang lemah ini dengan Allah dalam urusan
yang menjadi kekhususan-Nya sebagai Dzat yang diibadahi, yaitu urusan membuat
aturan hidup (undang-undang). Allah Ta‘ala berfirman :
“Hukum itu
semata-mata hanya lah milik Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain kepada-Nya”. (QS. Yûsuf : 40)
“dan tidak ada
seorang pun yang menjadi sekutu Allah dalam urusan hukum,” (QS.
Al-Kahfi : 26)
“Dan apa saja
urusan yang kalian perselisihkan, maka keputusan hukumnya adalah kepada Allah.”
(QS. Asy-Syûra: 10)
Bukan kepada
mayoritas rakyat atau suara terbanyak.
“Apakah hukum
jahiliyah yang mereka cari? Dan siapa kah yang lebih baik hukumnya dari pada
Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (QS.
Al-Mâidah : 50)
“Katakanlah
(Hai Muhammad), akankah aku akan mencari pemutus hukum selain Allah, padahal
Dia lah yang telah menurunkan kepada kalian kitab secara terperinci”.
(QS. Al-An‘âm : 114)\
“Apakah mereka
memiliki sekutu-sekutu yang membuat aturan daripada agama, yang tidak diizinkan
oleh Allah?”. (QS. Asy-Syûra : 21)
Di sini, Allah
menganggap orang-orang yang membuat aturan untuk umat manusia yang menyelisihi
aturan Allah, sebagai sekutu dan tandingan-Nya.
Allah Ta‘ala
juga berfirman :
“Dan hendaklah
kamu memberikan keputusan hukum kepada mereka berdasarkan apa yang diturunkan
oleh Allah dan janganlah kamu hawa nafsu mereka, dan hati-hati lah kepada
mereka kalau sampai mereka memperdayakanmu dari sebagaian apa yang diturunkan
Allah kepadamu,” (QS. Al-Mâidah : 49)
“Mereka (kaum
ahli kitab, yahudi-nashrani) mengangkat rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah”. (QS.
At-Taubah: 31)
Diriwayatkan
dalam sebuah hadits, dari Adiy bin Hatim, ketika ia datang kepada Nabi ShallAllahu
‘alaihi wa Sallam masih dalam keadaan nashrani, ia mendengar beliau membaca
ayat ini :
“Mereka (kaum
ahli kitab, yahudi-nashrani) mengangkat rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah…”,
maka Adiy
berkata : “Sesungguhnya kami tidak pernah menyembah mereka.” Maksud Adiy
adalah, kami tidak menyembah mereka dalam bentuk menyembah, do’a, ruku’ maupun
sujud. Ini karena Adiy mengira, ibadah hanya terbatas pada hal-hal ini. Maka
Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam berkata : “Bukankah mereka (para rahib
dan pendeta itu) mengharamkan apa yang Allah halalkan lalu kalian ikut
menganggapnya haram? Dan mereka halalkan apa yang Allah haramkan lalu kalian
ikut menghalalkannya?”. Adiy menjawab : “Kalau seperti itu, ya.” Nabi ShallAllahu
‘alaihi wa Sallam bersabda : “Itulah bentuk peribadatan kepada mereka.”
Semoga Allah
merahmati Sayyid Quthb ketika beliau berkata : “Sesungguhnya manusia yang
berada di dalam semua sistem pemerintahan buatan manusia itu mengangkat satu
sama lain sebagai tuhan selain Allah. Orang yang ada pada posisi tertinggi
dalam sistem demokrasi sama dengan orang yang terendah dalam sistem diktator.”
Dalam kesempatan
lain, ia juga mengatakan : “Kekhususan sifat ulûhiyah (ketuhanan) yang berlaku
bagi umat manusia adalah memperlakukan mereka sebagai hamba, membuat
undang-undang hidup bagi mereka, dan menentukan nilai-nilai bagi mereka. Maka,
siapa yang mengaku memiliki salah satu dari perilaku-perilaku ini, berarti ia
telah menganggap dirinya menyandang salah satu dari sifat ulûhiyah yang paling
khusus dan mengangkat dirinya sebagai tuhan yang disembah manusia selain Allah.”
Di bagian lain
ia berkata : “Sesungguhnya yang memiliki hak menentukan halal-haram hanya lah Allah
saja. Tidak ada seorang pun dari manusia yang berhak menyandang hak itu, baik
perorangan atau pemangku jabatan tertentu, tidak juga sebuah bangsa atau bahkan
seluruh umat manusia, kecuali ketentuan yang berdasarkan kepada keterangan dari
Allah dan bersesuaian dengan syariat-Nya.”
2. Sistem
demokrasi dibangun di atas prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Artinya, semua
orang yang hidup di bawah naungan demokrasi, dipersilahkan meyakini keyakinan
apa saja dan memeluk agama apa saja, dipersilahkan pindah agama ke agama apa
saja kapan pun ia mau; walau pun pindah agama itu adalah pindah dari agama Allah
sekali pun, menuju keyakinan ateis atau menyekutukan Allah dalam ibadah.
Ini tidak
diragukan lagi kebatilan dan kerusakannya, karena bertentangan dengan banyak
sekali nash-nash syar‘î. Mengingat bahwa ketika seorang muslim pindah agama
(murtad) ke agama lain, maka hukumnya dalam Islam adalah dibunuh, sebagaimana
tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukharî dan lain-lain :
“Siapa yang
mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. Bukan
dibebaskan.
Orang yang
murtad tidak lah patut diberi jaminan keamanan atau perjanjian bersyarat, atau
hak hidup berdampingan dengan muslim lainnya. Dalam agama Allah, orang yang
murtad hanya punya dua pilihan :
Istitâbah (diminta bertaubat, kembali kepada agama Islam), atau
dipenggal dengan pedang (dihukum mati).
3. Demokrasi
berdiri di atas prinsip menjadikan rakyat sebagai penentu hukum atau peraturan,
di mana semua masalah dan perselisihan dikembalikan hukumnya kepadanya.
Maka kalau ada
perselisihan antara dua orang, yang satu berposisi sebagai hakim, dan yang lain
sebagai terdakwa, kita saksikan satu sama lain mengancam akan mengembalikan
hukum sesuai ketentuan yang disepakati rakyat, sehingga rakyat lah yang menjadi
pemberi keputusan dari perselisihan yang terjadi antara keduanya. Ini tentu
saja bertentangan dengan prinsip tauhid yang menetapkan bahwa yang berhak
memberikan ketentuan dalam semua masalah yang diperselisihkan manusia hanya lah
Allah saja, bukan siapa pun selain-Nya.
Allah Ta‘ala
berfirman :
“Dan apa saja
yang kalian perselisihkan, maka hukumnya adalah kembali kepada Allah”. (QS. Asy-Syûra
: 10)
Di saat yang
sama, demokrasi mengatakan : Apa saja yang kalian perselisihkan, maka hukumnya
kembali kepada rakyat, bukan kepada selain rakyat.
Allah Ta‘ala
juga berfirman :
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan Ulil Amri di
antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah
perselisihan itu kepada Allah (Al-Quran) dan rasul (Sunnah) jika kalian beriman
kepada Allah dan hari akhir”. (QS. An-Nisâ’ :
59)
Ibnul Qayyim
Rahimahullah berkata dalam bukunya, I‘lâmul Muwaqqi‘în : “Pengembalian hukum
kepada Allah dan rasul-Nya dalam ayat ini, ditetapkan sebagai konsekwensi iman.
Maka, ketika sikap pengembalian hukum ini tidak ada, secara otomatis iman pun
hilang sebagaimana ketika sesuatu yang menjadi konsekwensi sesuatu yang lain
akan hilang ketika konsekwensi itu tidak ada”.
Lebih dari
pada itu, keinginan seseorang untuk mencari ketetapan hukum kepada rakyat atau
kepada hal lain selain Allah, di dalam syariat Islam ditetapkan sebagai
perbuatan berhukum kepada thaghut, yang mana –seharusnya—thoghut itu dikufuri,
sebagaimana firman Allah Ta‘ala :
“Tidakkah kamu
perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu (Muhammad) dan apa yan diturunkan sebelummu? Mereka ingin mecari
ketetapan hukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah untuk
mengkufurinya”. (QS. An-Nisâ’ : 60)
Di sini, Allah
menganggap keimanan mereka sebatas pengakuan saja dan tidak ada nilainya, hanya
disebabkan adanya keinginan mereka untuk berhukum kepada thaghut dan kepada
aturannya. Dan setiap aturan yang bukan dari aturan Allah, atau hukum yang
bukan hukum Allah, maka itu termasuk dalam makna thoghut yang wajib untuk
dikufuri.
4. Demokrasi
dibangun di atas prinsip kebebasan berekpresi dan mengungkapkan pendapat, apa pun
bentuknya, bahkan pendapat yang mengandung pelecehan dan penghinaan kepada
nilai-nilai agama.
Karena di
dalam kamus demokrasi, tidak ada istilah perkara-perkara suci yang tidak boleh
disentuh atau di ungkapkan dengan kata-kata tidak baik. Allah Ta‘ala berfirman :
“Allah tidak
menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh
orang yang dizalimi”. (QS. An-Nisâ’ : 148)
Allah Ta‘ala
juga berfirman :
“Dan jika
engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (orang-orang munafik itu), tentu
mereka akan mengatakan: Kami hanyalah hanya bermain-main dan bersendagurau.”
Katakanlah (Muhammad), “Apakah dengan Allah, rosul-Nya, dan ayat-ayat-Nya,
kalian bersenda gurau? Tidak usah kalian minta maaf, kalian telah kafir setelah
beriman”. Jika lah Kami memberi maaf kepada satu golongan dari kalian, Kami
mengazab golongan yang lain”. (QS.
At-Taubah: 65-66)
5. Demokrasi
dibangun di atas prinsip pemisahan antara agama dengan negara, politik dan
kehidupan sehari-hari.
Maka, apa yang
menjadi hak tuhan, biarlah untuk tuhan, yaitu terbatas pada urusan-urusan
kebaktian di pojok-pojok tempat ibadat. Adapun urusan selain itu, yang
bersangkutan dengan politik, ekonomi, dan sosial atau yang semisal, maka itu
adalah hak khusus bagi rakyat. Maka, mereka mengatakan yang ini adalah milik
tuhan –menurut asumsi mereka—, sedangkan yang ini adalah milik “sekutu-sekutu”
kami. Maka apa yang menjadi milik sekutu mereka, tidak akan sampai kepada Allah.
Dan apa yang menjadi milik Allah, maka tidak akan sampai kepada sekutu-sekutu
mereka. Sungguh buruk apa yang mereka simpulkan.
Perkataan
seperti ini, dalam agama kita sudah sangat dimaklumi kerusakan dan
kebatilannya, bahkan kufurnya orang yang mengatakannya. Sebab, kata-kata itu
mengandung sikap pengingkaran kepada Allah, sebagaimana dimaklumi dalam agama
kita. Pengingkaran ini adalah pengingkaran kepada sebagian prinsip agama yang
menetapkan bahwa agama Islam ini adalah agama mengatur urusan negara dan
politik, hukum dan perundang-undangan. Agama ini tidak lah sesempit urusan-urusan
kebaktian atau di antara dinding-dinding tempat ibadah.
Pengingkaran
terhadap prinsip ini, tidak diragukan lagi merupakan kekufuran nyata terhadap
agama Allah Ta‘ala, sebagaimana firman Allah Ta‘ala :
“Apakah kalian
beriman kepada sebagian kitab dan mengingkari sebagian yang lain? Maka tidak
ada balasan bagi orang yang melakukannya selain kehinaan di kehidupan dunia,
dan di hari kiamat nanti ia akan dikembalikan kepada azab yang sangat keras.
Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.”
(QS. Al-Baqarah : 85)
“Dan mereka
mengatakan: “Kami beriman kepada sebagian dan kufur kepada sebagian yang lain,”
dan mereka ingin mengambil jalan tengah di antara semua itu. Mereka itulah
orang-orang kafir yang sesungguhnya, dan Kami sediakan bagi orang-orang kafir
itu siksa yang menghinakan.” (QS.
An-Nisâ’: 150-151)
6. Demokrasi
dibangun di atas prinsip kebebasan mendirikan organisasi dan perkumpulan, apa
pun bentuknya, dan apa pun keyakinan, dasar pemikiran, dan landasan moral yang
dianut oleh perkumpulan itu.
Ini adalah
prinsip yang batil menurut syariat Islam, ditinjau dari beberapa sisi. Di
antaranya :
- Prinsip ini mengandung pengakuan secara
sukarela tanpa paksaan, terhadap legalitas semua organisasi dan kelompok dengan
beraneka ragam arahnya, walau pun bertujuan kepada hal-hal yang kufur dan
syirik, dan bahwa mereka memiliki hak untuk eksis di dunia ini, mereka bisa
menyebarluaskan kekufurannya, kerusakannya dan kebatilannya di dalam negara dan
kepada masyarakat. Ini jelas bertentangan dengan banyak sekali nash-nash syar‘î
yang menunjukkan bahwa pada prinsipnya cara memperlakukan kemungkaran dan
kekufuran adalah mengingkari dan merubahnya, bukan mengakui dan membenarkan
legalitasnya. Allah Ta‘ala berfirman :
“Dan
perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (kesyirikan) dan sampai agama
itu seluruhnya menjadi milik Allah”. (QS.
Al-Anfâl : 39)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata : “Setiap kelompok yang menolak untuk tunduk
kepada syariat Islam yang jelas dan mutawâtir, maka wajib diperangi sampai
agama itu seluruhnya menjadi milik Allah, ini berdasarkan kesepakatan para
ulama.”
- Pengakuan secara suka rela ini mengandung
makna ridha terhadap kekufuran yang dianut oleh kelompok-kelompok tersebut,
walaupun yang memberikan pengakuan tidak menyatakan secara langsung bahwa ia
mengakui kebebasan dari kekafiran ajaran kelompok tersebut. Padahal, ridha
kepada kekufuran adalah kufur. Allah Ta‘ala berfirman :
“Dan telah
diturunkan kepada kamu dalam Al-Kitab, bahwa ketika kalian mendengarkan
ayat-ayat Allah mereka mengingkari dan mempermainkannya, maka janganlah kalian
duduk bersama mereka sampai mereka membahas perbincangan lain. (Jika kalian
tetap saja duduk bersama mereka) berarti kalian sama dengan mereka,
sesungguhnya Allah mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir
di dalam neraka Jahannam.” (QS. An-Nisâ’: 140)
- Menganut prinsip ini sama saja dengan
membiarkan kelompok-kelompok yang ada beserta semua misinya, untuk menyebar
luaskan kekufurannya, dan membiarkan masyarakat tenggelam dalam berbagai macam
kerusakan, fitnah dan hawa nafsu. Itu artinya, kita turut berperan dalam
menghancurkan negara dan masyarakat.
7. Demokrasi
mengacu kepada bagaimana sikap mayoritas rakyat, dan membangun semua urusan
berdasarkan keinginan mayoritas. Walaupun, mayoritas tersebut menyepakati
sebuah kesesatan dan kekafiran yang nyata.
Maka,
kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat menurut faham demokrasi adalah, yang
disepakati oleh mayoritas orang, bukan yang lain.
Ini jelas
prinsip batil yang tidak boleh digunakan. Karena dalam pandangan Islam
kebenaran adalah yang bersesuaian dengan Al-Quran dan Sunnah, entah sedikit
pembelanya ataukah banyak. Sedangkan apa yang menyelisihi Al-Quran dan Sunnah,
maka itu adalah batil, walaupun seluruh penduduk bumi menyepakatinya.
Allah Ta‘ala
berfirman :
“Dan tidak lah
kebanyakan mereka beriman melainkan pasti masih berbuat kesyirikan.” (QS. Yûsuf: 106)
“Dan jika kamu
menuruti kebanyakan penduduk bumi, tentu mereka akan sesatkan kamu dari jalan
Allah. Tidaklah mereka mengikuti selain prasangka dan mereka itu hanyalah
menduga-duga.” (QS. Al-An‘âm: 116)
Ayat yang
mulia ini menunjukkan bahwa mengikuti dan menuruti kebanyakan orang adalah
kesesatan dari jalan Allah. Sebab, mayoritas manusia memang berada di atas
kesesatan, dan tidaklah mereka beriman kepada Allah melainkan pasti
menyekutukan-Nya dengan sesembahan yang lain.
Abdullah bin
Mas‘ud berkata kepada Amru bin Maimun : “Mayoritas Jamaah adalah mereka yang
memisahkan diri dari jamaah. Jamaah itu adalah yang sesuai dengan kebenaran,
walau pun engkau sendirian.”
Al-Hasan
Al-Bashri pernah berkata : “Sesungguhnya, pengikut Ahlus Sunnah itu berjumlah
paling sedikit pada orang-orang terdahulu, dan paling sedikit pada orang-orang
yang akan datang, mereka adalah orang-orang yang tidak larut dalam kemewahan
orang-orang yang memiliki harta melimpah dan kebid’ahan para ahli bid’ah,
mereka bersabar di atas sunnah yang mereka pegang sampai berjumpa dengan
Tuhannya, maka jadilah kalian yang seperti itu.”
Yang
mengherankan, meskipun fakta menunjukkan betapa buruknya hasil dari penggunaan
sistem demokrasi ini, yang mengakibatkan perpecahan dan kelemahan umat,
permusuhan dan perselisihan, di mana jamaah muslim berubah menjadi
kelompok-kelompok terpisah, satu golongan menjadi bermacam-macam golongan, satu
organisasi pergerakan menjadi bermacam-macam organisasi pergerakan, yang saling
terpisah dan saling membenci; dan masih banyak lagi dampak buruk lainnya, tapi
masih saja ada orang yang menganggap sistem demokrasi adalah sistem yang baik
dan membelanya seolah mereka adalah para pencetus dan perumusnya.
Hati mereka
dijadikan cenderung menyukai demokrasi, sebagaimana dulu hati Bani Israil
dijadikan suka kepada penyembahan terhadap anak sapi. Pendengaran mereka tidak
memberi manfaat kepada mereka yang menjadikan mereka takut terhadap ayat-ayat
Al-Quran dan nash-nash syar‘i. Penglihatan mereka tidak memberi manfaat kepada
mereka sehingga mereka tidak bisa menyaksikan fakta menyedihkan yang disebabkan
dari penerapan sistem demokrasi.
Sebagian
mereka beralasan ingin meraih maslahat dan keinginan memperkokoh posisi dalam
kekuasaan melalui sistem demokrasi, mereka menjadikan demokrasi sebagai sarana
untuk mencapai tujuan-tujuan agama tanpa mempedulikan, apakah sarana-sarana
yang mereka gunakan itu sah menurut syariat dan agama Allah ataukah tidak.
Mereka terjerumus dalam kubangan tawar-menawar pada urusan-urusan agama yang
bersifat prinsip dan manhaj dengan mengatasnamakan mashlahat dan meraih tujuan
yang lebih besar.
Ath-Thabari
meriwayatkan dalam tafsirnya, bahwasanya Walid bin Mughirah, Ash bin Wa’il,
Aswad bin Muthalib, dan Umayah bin Khalaf bertemu Rasulullah ShallAllahu
‘alaihi wa Sallam, mereka mengatakan : “Hai Muhammad, mari kami ibadahi apa
yang kamu ibadahi dan kamu mengibadahi apa yang kami ibadahi, dan kami ikutkan
engkau dalam semua urusan kami. Jika memang yang kau bawa itu lebih baik
daripada apa yang kami miliki, berarti kami telah mengambil bagian bersamamu di
dalamnya. Tapi jika yang ada pada kami lebih baik dari ajaran yang kau bawa,
berarti engkau telah mengambil bagianmu dari kami.” Maka Allah menurunkan ayat :
“Katakanlah
(wahai Muhammad) : “Wahai orang-orang kafir”… dan
seterusnya hingga akhir surat (Al-Kâfirûn).”
Dalam
peristiwa ini, kita bisa melihat bagaimana kaum Quraisy meminta Rasulullah ShallAllahu
‘alaihi wa Sallam agar mau berkompromi dengan mereka dan mereka juga akan
berbuat hal yang sama sehingga keduanya bisa bertemu pada satu titik. Mungkin
ada sebagian orang akan mengatakan, seandainya Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi
wa Sallam menyutujui permintaan mereka dan menyuruh agar mereka dulu yang
menyembah Allah, tentu setelah mengenal Islam mereka tidak akan kembali kepada
kekafiran lagi, dan ini tentu memberikan sumbangan besar bagi dakwah Islam,
memberikan kemenangan sekaligus menghilangkan berbagai cobaan yang menimpa kaum
muslimin.
Jawabannya,
sesungguhnya Allah telah memberikan ketegasan dalam urusan ini :
“Aku tidak
menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku
sembah…”
Lalu diakhirnya
:
“Milik kalian
agama kalian dan bagiku agamaku.”
Jadi masalah
di sini adalah masalah prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar atau
dikompromikan, walau hanya sedikit. Sebab ini adalah salah satu masalah
keyakinan, bahkan itu lah keyakinan yang inti.
Sesungguhnya
bagi yang mau merenungi peristiwa di atas dan bagaimana Al-Quran memberikan
ketegasan di dalamnya, akan mendapatkan berbagai pelajaran yang hari ini
sangat-sangat kita butuhkan. Bahkan memberikan gambaran yang jelas mengenai
cara menghadapi berbagai langkah yang dilakukan musuh-musuh Islam dalam
melancarkan tipudayanya, baik sekarang atau di masa mendatang.
Sungguh
seandainya engkau menyapa orang-orang kafir itu : “Wahai orang muslim,” mereka
tidak akan berdamai kepadamu kecuali dengan syarat kamu tinggalkan agamamu,
lalu kamu bersikap loyal dan patuh kepada mereka dalam sistem demokrasi mereka
yang bobrok itu. Apalagi, kalau mereka berposisi sebagai fihak yang kuat dalam
“pertempuran”.
Dan jika
pernah terlintas dalam benakmu bahwa mereka akan ridha kepadamu tanpa kamu
ikuti agama mereka, berarti kamu berfikir rancu. Sebaiknya engkau baca kembali
Al-Quran. Sebaiknya engkau telaah kembali sejarah yang dulu maupun sekarang,
agar engkau tahu bagaimana pengkhianatan, kedengkian dan kejahatan mereka, yang
telah ditimpakan, dan terus ditimpakan, kepada Islam dan kaum muslimin.
Lantas,
bagaimana kalian rela, wahai kaum muslim Irak, dihukumi oleh kaum salibis dan
boneka-bonekanya dalam urusan kehormatan, darah, dan kemanusiaan kalian, dengan
aturan selain aturan Allah yang suci dan dengan agama selain agama-Nya yang
lurus? Padahal kalian adalah anak cucu Shahabat
Saad bin Abi Waqqas, Al-Mutsanna, Khalid bin Walid dan Qa‘qa‘, yang telah
menyuburkan tanah ini dengan darah mereka.
Maka sudah
selayaknya kalian menyadari rencana-rencana musuh kalian pada penerapan
demokrasi di negeri kalian. Mereka tidak menginginkannya selain untuk
merampas kebaikan-kebaikan yang masih tersisa pada diri kalian, lalu mereka
atur sesuai Lembaga Masyadah yang buruk itu, yang bertujuan untuk menjadikan
kaum Syiah Rafidhah berkuasa di Irak.
Sungguh telah
dimasukkan sebanyak empat juta orang penganut Syiah Rafidhah dari Iran untuk
mengikuti pemilu, sehingga keinginan mereka untuk menguasai kursi parlemen tercapai.
Dengan begitu, mereka akan leluasa membentuk sistem pemerintahan berdasarkan
suara terbanyak, yang akan mengatur berbagai posisi penting negara, baik pada
sektor pengendalian strategi, ekonomi, maupun keamanan. Mereka membungkus
ambisinya dengan menyebarkan opini bahwa pemerintah ingin menjaga keamanan
negara dan rakyat, ingin meraih kemajuan dalam program demokratisasi, dan
membasmi semua yang ada kaitannya dengan Partai Baath yang dianggap berbahaya,
dan satu lagi: memberantas kaum perusak dari kalangan Milisi Fedayeen pengikut
Saddam Husein serta kaum Teroris.
Kaum Syiah
memulai langkahnya dengan menjadikan program penyebaran keyakinan mereka
sebagai program pertama agar bisa menghapus dominasi para tokoh Ahlus Sunnah
(baca: Sunni), baik dari kalangan para Ulama, Da’i, atau pun para pakar di
berbagai bidang. Mereka dukung program mereka ini dengan kekuatan media massa
yang cukup besar, sehingga kebatilan mereka nampak begitu memikat dan apa yang
sebenarnya mereka pendam tertutup rapat. Dan apa yang ada dalam hati mereka
jauh lebih besar.
Setelah itu,
mereka mulai menyebarkan faham madzhab mereka di tengah-tengah masyarakat,
dengan harta dan senjata, dengan rayuan dan ancaman. Dengan kekuasaan yang
mereka pegang, mereka dengan mudah menguasai berbagai sumber penghasilan kaum
muslimin.
Jika dalam
rencananya ini mereka berhasil, maka hanya dalam beberapa tahun saja sebagian
besar daerah yang dihuni oleh kaum Sunni bisa berubah menjadi basis kaum Syiah.
Ini diperparah dengan sikap diam yang diambil oleh para ulama (Sunni), karena
mereka tidak mau mengatakan kebenaran sejujurnya, mereka kaburkan akidah
Al-Wala’ dan Al-Bara’ dalam benak orang dengan menyatakan bahwa kaum Syiah
adalah saudara dan teman dekat kita juga.
Tidakkah yang
merusak agama itu selain para raja
Dan para ulama
dan ahli agama yang jahat…?
Duhai betapa
menyedihkan jika suatu hari nanti kota Baghdad berubah menjadi basis kaum Syiah
Rafidhah…
Sungguh,
meskipun selama bertahun-tahun Baghdad dikuasai oleh para penguasa murtad, yang
menimpakan siksa pedih kepada penduduknya, akan tetapi belum pernah dalam
sejarah Baghdad menjadi kota Syiah.
Lihatlah
Baghdad, dari hari ke hari kegelapan mulai menyelimutinya sedikit demi sedikit.
Lihatlah, penampilan-penampilan gaya kaum berhala dan syirik mulai nampak di
depan mata, suara-suara kaum Syiah yang melaknat para shahabat Nabi kita –ShallAllahu
‘alaihi wa Sallam— dan menghina isteri-isteri beliau yang merupakan ibunda kaum
mukminin mulai digaungkan keras-keras setiap saat di atas mimbar-mimbar khutbah
dan siaran radio mereka.
Semoga Allah
merahmati Imam Malik yang pernah mengatakan : “Tidak boleh tinggal di negeri di
mana Abu Bakar dan Umar dicaci maki.”
Inilah Umar
Al-Faruq, yang ketika beliau masih menjabat sebagai khalifah kaum Muslimin
beliau pernah berkata : “Jika Allah masih menghidupkanku hingga tahun depan,
aku akan tinggalkan para wanita Irak dalam keadaan tidak butuh kepada seorang
pun sepeninggalku.”
Beliau –Umar RadhiyAllahu
‘Anhu—merasa cemburu dengan kehormatan kalian padahal beliau tinggal di
Madinah. Sedangkan hari ini, kaum Syiah begitu saja mencaci beliau setiap saat
di tengah-tengah kalian. Tidak tersisa lagikah rasa cemburu dalam hati kalian,
wahai penduduk Irak?
Telah
berlalukah dari dalam diri kalian rasa marah karena membela agama Allah? Kalian
khianatikah kakek-kakek kalian, wahai anak cucu Sa‘ad bin Abi Waqqas,
Al-Mutsanna, dan Khalid? Relakah kalian dengan kehinaan dan kerendahan,
sementara “kaum pelacur” dari Rûm
(Barat), kaum Salibis para pengidap kelainan seks, dan “babi-babi”
Syiah, mempermainkan kehormatan wanita-wanita kaum muslimin?
Atas dasar
pertimbangan-pertimbangan di atas, juga karena pertimbangan lain, kami maklumatkan
“pertempuran sengit” terhadap sistem ini (sistem demokrasi).
Kami telah terangkan hukum para penganut keyakinan batil dan jalan yang
merugikan ini. Maka siapa saja yang turut memberikan bantuan demi tegakknya
sistem ini, berarti ia telah bersikap loyal kepadanya dan kepada para
pengikutnya, hukumnya sama dengan hukum orang yang menyeru manusia kepadanya
dan yang membelanya. Dan orang-orang yang menjadi calon dalam pemilihan umum,
mereka adalah para pengaku klaim Rubûbiyah (ketuhanan) selain Allah, sedangkan
orang-orang yang memilih mereka berarti telah mengangkat mereka sebagai
tuhan-tuhan dan sekutu-sekutu selain Allah. Di dalam agama Allah, semua dari
mereka ini hukumnya adalah kufur dan keluar dari Islam.
Ya Allah,
bukankah telah kusampaikan…? Ya Allah, saksikanlah.
Ya Allah,
bukankah telah kusampaikan…? Ya Allah, saksikanlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar