Minggu, 26 Februari 2012

Dimanakah Allah?

Sebenarnya, al-Qur-an dan as-Sunnah sarat akan berita-berita tentang sifat-sifat Allah yang bisa menambah keimanan, ketakjuban, kecintaan sekaligus rasa takut kita kepada-Nya. Boleh dibilang, Allah memperkenalkan diri-Nya lebih dekat lagi pada hamba-hamba-Nya melalui al-Qur-an dan as-Sunnah. Salah satunya adalah kabar bahwa Dirinya bersemayam di atas  ‘Arsy-Nya.

Ayat-Ayat Tentang Allah di Atas ‘Arsy
Kabar tentang keberadaan Dzat Allah Yang Mahasuci berada di atas langit, bersemayam di atas ‘Arsy-Nya ditegaskan dalam banyak ayat, berikut ini adalah beberapa di antaranya :

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”. [QS. Yunus : 3]

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [QS. Ar-Ra’du : 2]

“Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.”  [QS. Thaaha : 5]

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” [QS. Al-Furqan : 59]

Hadits Tentang Allah Di Atas ‘Arsy
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah, setelah Dia menetapkan takdir bagi segenap makhluk, Dia menulis sebuah catatan di dalam kitab yang berada di sisi-Nya di atas ‘Arsy-Nya (yang berbunyi) : ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaanku’”. [Bukhari: 6/2700, Muslim: 4/2108. Lih. Manhaj al-Imam asy-Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah hal. 351]

‘Arsy berada di atas langit ke tujuh. Ada banyak ayat yang menjelaskan penciptaan tujuh lapis langit ini. Di antaranya adalah firman Allah : “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat”. [QS. Nuh: 15]“(Allah) Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.” [QS. Al-Mulk: 3].

Sedangkan keberadaan ‘Arsy di atas tujuh lapis langit, dijelaskan dalam kisah Isra’-Mi’raj yang derajatnya mencapai mutawatir, yaitu diriwayatkan dari banyak jalur yang kesemuanya shahih [lihat Mukhtasar al-‘Uluw hal. 90].

Dalam peristiwa Isra’-Mi’raj, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  naik bersama Jibril ‘alaihissalam menembus langit dunia, terus naik sampai langit ke tujuh dan Sidratul Muntaha. Kemudian beliau menghadap Allah untuk menerima perintah shalat. Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah  Shallallahu Alaihi wa Sallam menceritakan : “Maka aku menemui Tuhanku Yang Maha Suci dan Maha Tinggi sementara Dia berada di atas ‘Arsy-Nya”. [lihat Mukhtasar al-‘Uluw hal. 87]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : “Sungguh di dalam surga ada 100 tingkatan yang telah disediakan Allah bagi orang-orang yang berjuang di jalan-Nya. Setiap tingkatan jaraknya seperti jarak antara langit dan bumi. Maka jika kalian meminta, mintalah surga Firdaus, karena sesungguhnya ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi, dan di atasnya ada ‘Arsy ar-Rahman Yang Maha Pemurah, dan darinya bersumber air sungai-sungai di surga.” [Bukhari: 6/2700]

Dalil-Dalil Pendukung
Dalil bahwa Allah bersemyam di atas ‘Arsy, didukung oleh dalil-dalil yang menyatakan atau menyiratkan Kemahatinggian (al-’Uluw) Allah dan keberadaan-Nya di atas langit, seperti ayat-ayat berikut ini :

“Mereka (para malaikat yang di langit) takut pada Tuhan mereka yang ada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.” [QS. An-Nahl: 50]

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?”. [QS. Al-Mulk: 16-17]

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” [QS. Al-Ma’arij: 4]

“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir”. [QS. Ali Imran: 55]

Adapun keterangan yang datang dari baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam banyak hadits di antaranya adalah : “Tidakkah kalian percaya kepadaku, padahal aku ini adalah kepercayaan yang ada di langit (yaitu Allah)”. [HR. Bukhari no.4351 Kitabul Maghazi; Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]

Di antara dalil dan bukti yang paling jelas akan keberadaan Allah di atas langit adalah hadits dari Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Salami yang menceritakan ketika beliau hendak membebaskan (Jariah) hamba perempuannya, maka beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu “Alaihi wa sallam kemudian baginda menyuruh agar hamba tersebut dipanggil lalu baginda Nabi Shallallahu “Alaihi wa sallam bersabda : “Di manakah Allah?”. Dia menjawab : “Di Langit”.  Baginda Shallallahu “Alaihi wa sallam bertanya lagi : “Siapa aku?”. Jawab Jariah : “Engkau adalah Rasulullah”. Lalu baginda Shallallahu “Alaihi wa sallam berkata : “Merdekakan dia kerana dia adalah Mu’minah”.

Takhrij hadis ini seperti berikut :
  • Muslim bin Hajjaj dalam Shahih Muslim, no: 537.
  • Malik bin Anas dalam al-Muwattha', no: 1468.
  • Abu Daud al-Tayalisi dalam al-Musnad, no: 1105.
  • Muhammad bin Idris as-Syafi'i dalam al-Umm, no: 242.
  • 'Abd al-Razzaq dalam al-Musannaf, no: 16851.
  • Ibn Abi Syaibah dalam al-Musannaf, no 30333.
  • Ahmad bin Hanbal dalam al-Musannaf, no: 7906, 23762, 23765 & 23767.
  • Abu Daud al-Sajastani dalam Sunan Abu Daud, no: 930 & 3282.
  • Ibn Qutaibah dalam Ta'wil Mukhtalaf al-Hadis, no: 272.
  • 'Utsman bin Sa'id al-Darimi dalam al-Rad 'ala al-Jahmiyyah, no: 62.
  • al-Harith bin Abi Usamah dalam al-Musnad, no: 015.
  • 'Amr bin Abi 'Ashim al-Shaibani dalam al-Sunnah Li Ibn Abi 'Ashim, no: 489.
  • al-Nasai dalam Sunan al-Nasai, no: 1142, 7708, 8535 & 11401.
  • Ibn Jarud dalam al-Muntaqa, no: 212.
  • Ibn Khuzaimah dalam Kitab al-Tauhid wa Itsbat Sifat al-Rabb 'Azza wa Jalla, no: 178, 179, 180, 181 & 182.
  • Abi 'Uwanah dalam al-Musnad, no: 1727 & 1728.
  • Abu al-Husain 'Abd al-Baqi' dalam al-Mu'jam al-Sahabah, 735.
  • Ibn Hibban dalam Sahih Ibn Hibban, no: 165 & 2247.
  • al-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir, no: 937 & 938.
  • Muhammad bin Ishaq bin Manduh dalam al-Iman, no: 091.
  • al-Lalaka'I dalam Syarah Usul I'tiqad Ahl al-Sunnah, no: 652.
  • Abu Nu'aim al-Asbahani dalam al-Musnad al-Mustakhraj 'ala Sahih Imam Muslim, no: 1183.
  • Ibn Hazm dalam al-Muhalla, no: 1664.
  • al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra, no: 15266, 15268, 19984 & 19985.
  • 'Abd Allah bin Muhammad bin 'Ali al-Harawi dalam al-'Arba'in fi Dalail al-Tauhid, no: 011.

Hadits di atas adalah SHAHIH. Imam Muslim telah memasukkan hadits ini kedalam kitab Sahihnya pada kitab (
الصلاة والمواضع المساجد) dalam bab (إباحتِه مِن كَان ما ونسخ الصلاة في الكلام تحريم). Bahkan sangat masyhur karena banyaknya hadits ini diriwayatkan seperti takhrij di atas.

Ada sebahagian golongan yang sangat anti kepada wahabi, mereka kononnya berhujjah berlandaskan al-Quran dan Sunnah. Padahal kenyataannya mereka hanyalah mengikut hawa nafsu semata karena mereka mengingkari aqidah para salaf yang menyatakan bahwasanya Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Mereka mempertahankan aqidah “ALLAH WUJUD BILAA MAKAN” (Allah ada tanpa tempat dan arah), tidak di atas, tidak dibawah, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di dalam dan tidak di luar. Bahkan, mereka ingkar dengan hadits di atas dengan menjatuhkan darjatnya kepada dha’if karena semata-mata ingin membenarkan hujjah mereka.

Para Salafus Shaleh tidak pernah mentakwil ataupun menukar (tahrif) makna hadits ini. Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak salah jika kita berkata Allah itu di atas langit, karena Allah itu di atas 'Arsy dan 'Arsy itu adalah di atas langit. Sebagaimana Firman Allah :

“Tuhan yang Maha Pemurah beristiwa di atas 'Arsy”. [QS. Thaha: 5]

“Kemudian Dia beristiwa ke arah langit dan langit itu masih merupakan asap”. [QS. Fushsilat: 11]

“Allah, Dialah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas 'Arsy”. [QS. As-Sajdah: 4]

Apakah yang dimaksudkan dengan "Istiwa"? Istiwa (استوى) bermakna tinggi di langit. Ini sebagaimana pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir Ath-Thabari. Setelah itu Ibn Jarir menyebut : "Makna yang paling benar tentang firman Allah "kemudian Dia bersemayam diatas 'Arsy" adalah tinggi di atas langit dan meninggi, kemudian Ia mengatur langit dengan kekuasaan-Nya dan menciptakannya menjadi tujuh langit."

Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah : “Dan adapun FirmanNya Ta’ala : "Ar-Rahman yang bersemayam diatas 'arsy", maka pada masalah ini ada pendapat yang banyak dan bukanlah di sini tempat membahaskannya dan sesungguhnya hendaklah diikuti dalam masalah ini madzhab Salaf As-Shaleh : Malik, Auza’i, As-Tsaury, Al-Laith bin Saad, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuwaih, dan selainnya daripada imam-imam muslimin dahulu dan sekarang yaitu melalukannya seperti mana datangnya tanpa takyif (memberi rupa), dan tidak pula tsaybih (penyerupaan), dan tidak pula ta’thil (membatalkan sifat”. (Tafsir Al-Quran Al-'Adzhim)

Inilah pandangan Salafus Shaleh dan inilah pendapat yang lebih patut didahulukan dibandingkan pendapat ulama-ulama mutaakhkhirin yang telah mengubah atau mentakwil Istawa dengan makna 'menguasai' seperti golongan asya’irah.

Ibn 'Abd al-Barr menjelaskan tentang hadis ini : "Dan adapun hadits jariah : Di manakah Allah? Maka menjadi pegangan atasnya oleh jamaah ahlu sunnah dan mereka adalah juga ahli hadits dan seluruh perawi yang memahaminya, mereka semua berkata sebagaimana firman Allah dalam kitabnya : "al-Rahman Bersemayam di atas 'Arsy." Dan bahawa sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla di langit dan Ilmunya pada setiap tempat. (Al-Istizkar: al-Jamii' li mazhab Fuqaha al-Ansar wa 'Ulama al-Aqtar)

Perkataan Ulama Imam Empat Mazhab
1. IMAM ABU HANIFAH berkata : “Tidak patut bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang Zat Allah kecuali kepada diriNya, dan tidak boleh seseorang mengatakan sesuatu tentang Allah dengan pendapat (ra’yu) nya. Maha Suci serta Maha Tinggi Allah Ta’ala, Rabb semesta Alam.” (Syarhul Aqidah at-Tahawiyah (2/472), tahqiq Dr. At-Turky, Jalaulm’Ainain, ms. 368)

Ketika Imam Abu Hanifah ditanya tentang nuzuluIlah (turunnya Allah), ia menjawab : “Dia turun dengan tidak kita menanyakan bagaimana (kaifiatnya) caranya.” (Aqidatus salaf Ashabil Hadis, ms. 42, al-Asma’ Was Sifat oleh al-Baihaqi, ms. 456)

Imam Abu Hanifah berkata lagi : “Barangsiapa yang berkata : “Aku tidak tahu Rabbku, di langit atau di bumi?”, berarti ia kafir. Begitu juga seseorang menjadi kafir apabila mengatakan bahwa Allah itu di atas ‘Arasy, tetapi aku tidak tahu adakah ‘Arsy itu di langit atau di bumi”. (al-Fiqhul Absath, ms. 46)

Imam Abu Hanifah berkata kepada seseorang wanita yang bertanya : “Dimanakah Ilahmu yang engkau sembah itu?”. Ia menjawab : “Sesungguhnya Allah itu ada di langit bukan di bumi.” Lalu datanglah seorang pemuda mengajukan pertanyaan: “Bagaimana dengan ayat
 : “Dia bersama kamu dimana kamu berada.” (QS. Al-Hadid : 4) ??

Imam Abu Hanifah menjawab : “Dia seperti engkau menulis surat kepada seorang lelaki dengan mengatakan, sesungguhnya aku selalu bersamamu, padahal engkau tidak ada di sampingnya.” (al-Asma’ was Sifat, ms. 429)

2. IMAM MALIK BIN ANAS. Abu Nu’aim mentakhrijkan dari Ja’far bin Abdillah berkata : “Ketika kami sedang berada di samping Malik bin Anas, datanglah seorang pemuda lalu bertanya : “Wahai Abu Abdillah, Ar-Rahman (Allah yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arsy, bagaimana bersemayam-Nya?”. Mendengar pertanyaan ini, Imam Malik menjadi berang dan marah. Lalu ia menundukkan muka ke bumi seraya menyandarkannya ke tongkat yang dipegangnya hingga tubuhnya bersimbah peluh. Setelah ia mengangkat kepalanya, ia lantas berkata : “Cara bersemayamNya tidak diketahui (tidak dapat digambarkan), sedang istiwanya (bersemayamnya) telah jelas dan diketahui, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku menyangka engkau adalah si pelaku bid’ah.” Lalu beliau menyuruh orang itu keluar. (Hilyatul Aulia’ (VI/325-326), Ibn Abdil Barr dalam at-Tauhid (VI/151), Al-Baihaqi dalam al-Asma’ Was Sifat, ms. 498, Ibn Hajar dalam Fathul Bari (XIII/406-407), Az-Zahabi dalam al-Uluw, ms. 103)

3. IMAM MUHAMMAD IDRIS AS-SYAFI’I. Imam Syafi’i Rahimahullah berkata : “Allah Tabaraka wa Taala memiliki asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh KitabNya dan diberitakan oleh NabiNya Shallallahu ‘Alaihi wa sallam kepada umatnya, yang tidak boleh diingkari oleh sesiapa pun dari makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah sampai kepadanya dalil bahwa al-Quran turun membawa keterangan tentang hal tersebut, juga sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan tsiqah telah jelas-jelas shahih yang menerangkan masalah itu. Maka barangsiapa yang mengingkari atau berbeda dengan semuanya itu padahal hujjah (dalil/ keterangan) tersebut telah jelas baginya, bererti ia kafir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Adapun jika ia menentang karena belum mendapat hujjah/ keterangan tersebut, maka ia diampuni karena kebodohannya, kerana pengetahuan tentang semuanya itu (sifat-sifat Allah dan asma’-Nya) tidak dapat dijangkau oleh akal dan pemikiran.

Yang termasuk ke dalam keterangan-keterangan seperti itu adalah juga keterangan-keterangan Allah S.ubhanahu Wa Ta’ala bahwa Dia Maha Mendengar dan bahwa Allah itu memiliki tangan sesuai dengan firmanNya : “Bahkan Tangan Allah itu terbuka.” (QS. Al-Maidah: 64). Dan bahwa Allah memiliki tangan kanan, sebagaimana dinyatakan : “Dan langit digulung dengan tangan kananNya.” (QS. Az-Zumar : 67), dan bahwa Allah itu memiliki wajah, berdasarkan firmanNya yang menetapkan : “Dan tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa, kecuali Wajah Allah”. (QS. Al-Qashash : 88), “Dan kekallah wajah Rabbmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27). Juga bahwa Allah mempunyai tumit, sesuai dengan pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam : “Sehingga Rabb ‘Azza wa Jalla meletakkan tumit-Nya pada Jahannam.” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848) dan Allah tertawa berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam tentang orang yang mati fi sabilillah : “Ia akan bertemu dengan Allah ‘Azza wa Jalla sedang Allah tertawa kepadanya”. (Riwayat Bukhari, no : 2826 dan Muslim, no : 1890).

Dan bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap malam berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam tentangnya. Begitu juga keterangan bahawa Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu tidak buta sebelah mataNya berdasarkan pernyataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam ketika baginda menyebut dajjal, baginda bersabda : “Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabbmu tidaklah buta (sebelah mataNya).” (Riwayat Bukhari, no: 7231 dan Muslim, no: 2933). Dan bahwa orang-orang mukmin pasti akan melihat Rabb mereka pada hari kiamat dengan pandangan mata mereka seperti halnya mereka melihat bulan di malam purnama, juga bahawa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mempunyai jari-jemari seperti ditetapkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam : “Tidaklah ada satu jari pun melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman ‘Azza wa Jalla.” (Riwayat Ahmad IV/182, Ibnu Majah I/72, Hakim I/525 dan Ibn Mandah ms.87. Imam Hakim mensahihkannya dipersetujui oleh az-Zahabi dalam at-Talkhis)

Semua sifat-sifat ini yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sendiri bagi diriNya dan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam untukNya, hakikatnya tidaklah dapat dijangkau oleh akal atau fikiran dan orang yang mengingkarinya kerana bodoh (tidak mengetahui keterangan-keterangan tentangnya) tidaklah kafir kecuali jika ia mengetahuinya tetapi ia mengingkarinya, barulah ia kafir. Dan bilamana yang datang tersebut merupakan berita yang kedudukannya dalam pemahaman seperti sesuatu yang disaksikan dalam apa yang didengar, maka wajib baginya sebagai orang yang mendengar berita tersebut untuk mengimani dan tunduk kepada hakikat hal tersebut dan mempersaksikan atasnya seperti halnya ia melihat dan mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.

Namun kita tetapkan sifat-sifat ini dengan menafikan (meniadakan) tasybih sebagaimana Allah telah menafikannya dari diriNya dalam firmanNya : “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura : 11). (Dinukil daripada I’tiqadul Aimmatil Arba’ah oleh Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-Khumais)

4. IMAM AHMAD BIN HANBAL. Ibnu Taimiyah menyebut kata-kata Imam Hanbal : “Kita beriman kepada Allah itu di atas ‘Arsy sesuai dengan kehendak-Nya tanpa dibatasi dan tanpa disifati dengan sifat yang kepada-Nya seseorang yang berusaha mensifati-Nya telah sampai atau dengan batas yang kepada-Nya seseorang yang membatasinya telah sampai. Sifat-sifat Allah itu (datang) dariNya dan milikNya. Ia mempunyai sifat seperti yang Ia sifatkan untuk diriNya, yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan.” (Ta’arudh al-‘Aqli wa al-Naqli II/30)

Ibnul Jauzi dalam al-Manaqib menyebutkan tulisan (surat) Imam Ahmad bin Hanbal kepada Musaddad yang di antara isinya ialah : “Sifatilah Allah dengan sifat yang denganNya Ia telah mensifati diriNya dan nafikanlah dari Allah apa-apa yang Ia nafikan dari diriNya. (Manaqib Imam Ahmad, ms. 221)

Di dalam kitab ar-Raddu ‘ala al-jahmiah tulisan Imam Ahmad, ia mengucapkan : “Jahm bin Safwan telah menyangka bahawa orang yang mensifati Allah dengan sifat yang dengannya Ia mensifati diriNya dalam kitabNya, atau dengan yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dalam haditsnya adalah seorang kafir atau termasuk Musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).” (Ar-Raddu ‘ala al-Jahmiah, ms. 104)

Demikian pernyataan-pernyataan para Imam empat untuk membuktikan aqidah para salaf adalah sama dan tidak ada penambahan juga tidak ada pengurangan. Tidak ada takwil dengan makna tahrif apatah lagi menta’tilkan yaitu mengosongkan dari sembarang sifat. Maka, jelas aqidah yang benar dan selamat adalah yang mengatakan Allah bersemayam di atas ‘Arsy sebagaimana hujjah-hujjah yang telah diberikan di atas tadi. Mereka golongan asya’irah mati-matian hendak menyelewengkan, fakta yang ada sebaliknya jawaban mereka sendiri menguburkan hujjah mereka kerana ketidakjujuran mereka dalam menukilkan tulisan ulama-ulama silam. Semoga Allah membukakan hati mereka agar terus mengkaji sehingga menemui kebenaran yang amat lezat jika dapat dirasakan oleh siapa yang pernah merasakannya yang dinamakan sebagai al-Hidayah.

Catatan Penting
Kita wajib meyakini bahwa Allah tidak butuh kepada tempat ataupun kepada ‘Arsy, karena ‘Arsy adalah makhluk-Nya. Allah menciptakan ‘Arsy dan memilihnya sebagai singgasana untuk-Nya padahal Dia tidak butuh terhadap ‘Arsy, adalah dalam rangka hikmah yang besar dan agung, yang hanya diketahui oleh-Nya. Kita wajib menjauhkan diri dari tasybiih, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dalam hal ini. Kita tidak boleh mengatakan—misalkan saja—: “Allah bersemayam di atas ‘Arsy seperti duduknya seorang Raja di atas singgasananya (Maha Suci Allah dari serupa dengan makhluk-Nya).” Karena Allah berfirman : “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura : 11)

Demikian juga kita tidak boleh menolak bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy dengan alasan penyerupaan dengan sifat makhluk. Yakini dan benarkan, jangan ditolak, jangan pertanyakan bagaimana Allah bersemayam, jangan dibayangkan, jangan dimisalkan, serahkan kaifiat (bagaimana)-nya kepada Allah karena hanya Dia yang tahu. Yang jelas, kaifiat bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy tidak sama dengan makhluk-Nya dan berbeda dengan apa yang kita bayangkan. Inilah aqidah yang saliim (selamat). Wallahu a’lam...
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011