Bismillahirrahmaanirrahiim.
Seorang kawan bercerita. Dia kini punya kantor resmi di Jakarta. Bukan sekedar kerja biasa, tetapi dia punya saham di kantor itu. Dia sudah dianggap masuk jajaran “Dewan Direksi”. Pemilik saham terbesar orang-orang China (lokal). Umumnya beragama non Muslim.
Dia biasanya kerja lapangan, sebagai peneliti, surveyor, dan lainnya. Namun kemudian harus sering ngetem di kantor, berdampingan dengan para bos. Saya pernah bertanya, “Apa bos-bos itu tidak memaksakan gaya hidupnya?” Apalagi mereka kan non Muslim. Singkat kata, pengaruh itu ada, tetapi kata kawan, dia masih bisa mengeliminir pengaruh buruknya.
Dari obrolan ini, dia tahu gaya hidup kawan-kawan kantornya yang memang tergolong level eksekutif muda. Sekali lagi, mereka non Muslim. Kawan saya itu tentu diajak-ajak “mencicipi” gaya hidup itu, tetapi dia dengan sopan menolak. Kawan saya selalu beralasan “ingat anak-isteri di rumah”.
Salah satu gaya hidup yang diceritakan. Di antara eksekutif muda itu, kalau habis capek kerja, mereka datang ke tempat SPA. Disana dia dipijit dari ujung rambut sampai ujung kaki; dalam keadaan “tanpa sehelai benang”. Yang melakukan pemijitan itu cewek-cewek cantik. Biasanya sekali masuk SPA tarif mencapai Rp. 250.000 (setara dengan honor kalau aku mengisi bedah buku. He he he). Durasi SPA itu selama 2 jam.
Setelah dipijit-pijit secara sempurna, tentu termasuk selangkangan juga. Laki-laki eksekutif itu lalu diberi “sentuhan spesial” (baca: masturbasi). Setelah mencapai puncaknya… Lalu dia istirahat. Katanya, setelah semua proses itu, badannya merasa segar dan ringan kembali. (Heran juga ya, kok bisa badannya jadi segar bugar? Tidak terbalik tuh?).
Kawan saya kalau dipijat dengan cara refleksi, oleh pemijat tunanetra. Tentu saja laki-laki. Dan tidak ada sentuhan-sentuhan seks-nya. Tapi eksekutif muda di atas dan yang semisalnya tidak puas sekedar dipijat saja. Harus ada plus-plus-nya… Ya begitulah kaum hedonic mania!
Malah katanya, bisa lebih parah dari itu. Bisa mengarah ke model pelacuran, meskipun cover-nya layanan SPA. Maka harus hati-hati terhadap layanan seperti ini. Termasuk bagi kaum wanita. Harus pilih-pilih secara teliti.
Tapi ada satu hikmah yang menarik…
Nah, untuk itu pula, saya sengaja menulis artikel ini.
Kalau dilihat dari sisi moral, para eksekutif itu jelas bobrok, rusak, dan mengerikan. Ya, namanya manusia yang sehat, benar, dan bermoral, sudah semestinya menghindari hal-hal tercela seperti itu. Bukan hanya soal SPA oleh perempuan, masturbasi, hingga seks pelacuran. Tetapi semua itu sudah menjadi gaya hidup, dan ingin ditular-tularkan ke orang lain.
Di atas budaya hidupnya yang rusak itu, TERNYATA…ini harus benar-benar kita camkan…orang-orang itu memiliki skill kerja, pengetahuan,pengalaman, dan keahlian. Bisa jadi, kemampuan SDM yang mereka miliki, melebihi kemampuan orang-orang shalih (aktivis Islam).
Inilah yang membuat kita sangat MIRIS…
Ternyata, di balik kebobrokan moralnya itu, mereka memiliki kemampuan, keahlian, dan pengalaman kerja. Kalau mereka bobrok moral plus letoy kerja, mungkin kita bisa memaklumi, “Ya maklumlah, mereka bobrok!” Tapi ternyata, mereka punya keahlian juga.
Disini kita dapati sebuah kenyataan yang bisa disebut “sindrom manusia kaleng”. Maksudnya, ada sekumpulan manusia yang punya keahlian, kecakapan, dan pengalaman kerja; tetapi moralnya bobrok. Diri mereka seperti sebentuk tubuh terbuat dari kaleng. Fisiknya ada, berdiri kokoh, dan bisa jadi pintar. Tetapi jiwanya kosong, moralnya rusak, hati nuraninya “mati”.
Anda masih ingat sebuah “tragedi kemanusiaan” yang terjadi di China beberapa waktu lalu. Ketika itu ada anak kecil tertabrak kendaraan, lalu dibiarkan saja oleh manusia yang lalu-lalang di jalan. Nah, seperti itulah “sindroma manusia kaleng”. Fisiknya ada, kehidupan ada, tetapi nurani mati.
Banyak pejabat, politisi, perwira, tokoh publik, artis, dll. mereka juga terkena “sindroma manusia kaleng” itu. Fisiknya ada, kaya raya, terkenal, bahkan cantik dan tampan; tetapi hati nurani lenyap, moral bobrok, kesantunan diri nihil. Mereka disebut dengan istilah “mayat hidup” gentayangan. Fisik masih hidup, tetapi jiwa sudah mati. Makan-minum jalan terus, tetapi ekspressi hati nurani tidak ada.
Di zaman modern, banyak manusia-manusia kaleng itu. Mereka memiliki raga, tanpa jiwa. Mereka hidup, padahal hakikatnya “mati”. Kehidupan modern membuat mereka menjauhi hakikat agama, dan terjerumus memuja hawa nafsu. Akibatnya fatal, mereka hanya memiliki kehidupan fisik belaka, tanpa reputasi kebaikan insani.
Na’udzubillah wa na’udzubillah bi izzatillahil karim min kulli dzalika, wa ilallahi nas’alul ‘afiyah lid dina wad dunya wal akhirah. Amin Allahumma amin.
(Mine/abisyakir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar