Bismillahirrahmaanirrahiim...
Kalau kita menelaah masalah bangsa Indonesia, intinya ada pada 3 masalah, yaitu: Pemimpin, Kultur Politik, dan Mental Rakyat. Ketiga hal ini saling kait-mengait, sebagian mempengaruhi sebagian yang lain. Kondisi yang selama ini digambarkan sebagai “lingkaran setan” ada dalam 3 aspek tersebut.
Posisi seorang pemimpin (seperti SBY saat ini) amat sangat penting. Bukan omong kosong ya, pemimpin benar-benar seperti nahkoda dalam pelayaran. Kalau belum paham, coba pahami dulu posisi nahkoda sebuah kapal. Banyaknya korupsi, kebobrokan birokrasi, mafia hukum, dekadensi moral, kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, frustasi massa, kegagalan pendidikan, kerusakan lingkungan, bencana alam, ambruknya lembaga keluarga, dll. semua itu TERKONEKSI langsung ke sosok pemimpin (seperti SBY).
Maka itu, mengharapkan tokoh pemimpin itu akan masuk syurga, rasanya seperti mimpi. (Kecuali, kalau Allah menghendakinya masuk syurga). Mengapa? Sebab dosa-dosa yang kelak akan ditanggung sang pemimpin sebagai akibat dari kehancuran kehidupan yang melanda rakyat Indonesia amat sangat besar. (Di akhirat nanti, semua orang yang menderita di bawah kepemimpinan SBY misalnya, akan dipertanggung-jawabkan oleh SBY di hadapan Allah Al Hasib).
Andaikan pemimpin sudah baik, belum tentu kehidupan akan serta merta bisa menjadi baik. Mengapa? Karena kultur politik bangsa Indonesia sudah dikuasai oleh kaum mafia. Mereka adalah Mafia PBB (mafia politik, mafia bisnis, mafia birokrasi). Mafia PBB ini akan berusaha mempertahankan kondisi negara yang carut-marut ini dengan sekuat tenaga (dengan uang, senjata, media, lobi-lobi, sampai pertumpahan darah). Mereka merasa tentram dengan kondisi serba carut-marut itu, sebab disana mereka bisa menikmati kehidupan enak, nyaman, bermandi uang, bermandi kekuasaan, kepuasan, serta arogansi tinggi. Mereka tidak mau kondisi carut-marut itu akan diubah menjadi kondisi Indonesia yang sehat, adil, teratur, sejahtera, kemakmuran merata, dan bermartabat.
Banyak sekali kasus-kasus korupsi melibatkan elit-elit politik, tokoh nasional, pejabat birokrasi, pejabat partai politik, pengusaha, konglomerat, perusahaan asing, dll. Semua itu tak bisa diusut, karena di-back up oleh Mafia PBB tersebut. Dalam kondisi demikian, adanya pemimpin yang shalih satu atau dua, belum bisa mengubah keadaan. Apalagi kalau pemimpin itu bernyali lebay. Harus ada gebrakan berulang-ulang dari pemimpin yang shalih untuk meruntuhkan sistem Mafia PBB itu; sekalipun resikonya sang pemimpin harus terbunuh di tangan mafia. Selagi belum ada pemimpin bertipe mujahid, siap mati demi kemaslahatan besar, jangan berharap ada perbaikan.
Andaikan pemimpin shalih sudah ada, sistem Mafia PBB bisa diruntuhkan, masih ada satu hambatan lagi, yaitu MENTAL masyarakat Indonesia. Nah, ini juga bukan masalah kecil. Secara umum, yang membuat pemimpin bertipe lebay, dan struktur Mafia PBB sangat kuat mengakar; hal itu tidak lepas dari karakter masyarakat kita juga. Karakter yang bagaimana?
Antara lain: Malas belajar, lebih suka senang-senang. Tidak mau susah, lebih suka cara-cara instan, meskipun curang. Gampang ikut-ikutan orang lain, sekalipun ajakan untuk korupsi dan manipulasi. Senang berpikir konsumtif, bukan kreatif. Silau dengan budaya Barat, tidak percaya dengan diri sendiri. Bersikap materialis, enggan membangun kesehatan spiritual. Banyak basa-basi, sekalipun terhadap praktik kezhaliman-kezhaliman yang nyata. Mudah lupa catatan sejarah, meskipun baru berlalu 2-3 tahun lalu. Sangat sulit melepaskan diri dari budaya-budaya kemusyrikan. Dalam beragama, lebih suka ikut-ikutan tokoh daripada memahami. Dan lain-lain karakter yang sangat menguntungkan bagi para pemimpin penjahat dan sistem mafia, untuk membelenggu hidup mereka.
Nah, inilah masalah-masalah kita selama ini. Pemimpin lemah, kultur mafia mendominasi, rakyat tak berdaya. Adanya ribuan masalah yang membelenggu bangsa ini tak bisa dilepaskan dari 3 persoalan tersebut.
Sebagai contoh, baru-baru ini SBY berkomentar soal PSSI. Setelah Timnas PSSI kalah 0-10 melawan Bahrain, SBY meminta PSSI introspeksi. Gayung bersambut, Djohar Arifin, langsung bersedia introspeksi. Tetapi masalah utamanya, justru SBY yang harus paling duluan introspeksi. Semua masalah yang ada, termasuk kekalahan PSSI 0-10 lawan Bahrain, itu semuanya bermuara kepada kepemimpinan SBY sendiri. Semua masalah di negeri ini, dari soal bocah kecil menangis karena kakinya digigit semut, sampai soalgonjang-ganjing harga minyak dunia; semua itu kembali ke pundak SBY selaku pemimpin.
Tapi kan masalahnya, seorang pemimpin berkomentar “hendaknya PSSI introspeksi”…ucapan begini ini hanya untuk “mengisi waktu luang” saja. Daripada tidak ada pekerjaan sama sekali. Ya, masak untuk anggaran pribadi presiden yang setiap bulan ditetapkan sangat tinggi; masak hanya untuk bercuap-cuap ini itu saja, tidak bisa. Ironis kan. Maka itu, daripada tak ada kerjaan, ya sudahlah keluar “PSSI harus introspeksi ya”. Padahal yang bersangkutan harusnya lebih dulu introspeksi.
Inilah zaman dimana kehidupan kita diliputi oleh berbagai fitnah yang menyulitkan. Fitnah tersebar dimana-mana, bentuknya beraneka rupa. Kehidupan kita diliputi kesulitan akibat pemimpin durhaka, sistemnya menindas, sementara rakyat tak berdaya untuk mengadakan perbaikan. Inilah masa dimana Sistem Islami tidak tegak sehingga tak mampu melindungi hajat kehidupan kaum Muslimin. Seperti kehidupan Nabi dan para Sahabat saat di Makkah. Di bawah sistem non Islami mereka hidup benar-benar mengalami ujian sangat berat. Ya, seperti itu kondisi kaum Muslimin di negeri kita selama ini. Kita hidup di bawah “sistem haram”, sementara dalam kehidupan sehari-hari kita diwajibkan menjalani hidup “selalu halal”.
Maka sebaik-baik doa adalah seperti yang diajarkan oleh RasulullahShallallah ‘Alaihi Wasallam. Doa ini biasanya dibaca setiap akhir bacaan Tasyahud, sebelum salam. Bunyi doanya sebagai berikut: “Allahumma inniy a’udzubika min adzabi jahannam, wa a’udzubika min adzabil qabri, wa a’udzubika min fitnatil mahya wal mamati, wa a’udzubika min syarri fitnatil masihid dajjal” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab jahannam, aku berlindung kepada-Mu dari adzab qubur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan fitnah dajjal).
Boleh juga ditambahkan doa berikut: “Allahummaghfirlana warhamna wahdina wa ‘afina warzuqna” (Ya Allah, ampunilah kami, sayangilah kami, berikan petunjuk kepada kami, beri keselamatan kami, dan berikan rizki kepada kami).
Semoga ada manfaatnya, sebagai renungan dan saling nasehat-menasehati antar sesama Muslim. Mohon maaf atas segala salah dan kekurangan. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
(Mine/abisyakir)
1 komentar:
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.[Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178]
Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
surah / surat : Ar-Ra'd Ayat : 11
lahu mu'aqqibaatun min bayni yadayhi wamin khalfihi yahfazhuunahu min amri allaahi inna allaaha laa yughayyiru maa biqawmin hattaa yughayyiruu maa bi-anfusihim wa-idzaa araada allaahu biqawmin suu-an falaa maradda lahu wamaa lahum min duunihi min waalin
11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. Dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah. Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
Saatnya introspeksi diri, tidak perlu rakyat selalu menyalahkan pemimpin atau presidennya. Semuanya itu bermula dari kesalahan rakyat itu sendiri. Jika mereka suka korupsi, begitulah keadaan pemimpin mereka. Jika mereka suka “suap”, maka demikian pula keadaan pemimpinnya. Jika mereka suka akan maksiat, demikianlah yang ada pada pemimpin mereka. Jika setiap rakyat memikirkan hal ini, maka tentu mereka tidak sibuk mengumbar aib penguasa di muka umum. Mereka malah akan sibuk memikirkan nasib mereka sendiri, merenungkan betapa banyak kesalahan dan dosa yang mereka perbuat.
Posting Komentar