Segala puji bagi Allah, Rabb yang Maha Berkuasa untuk membolak-balikkan segala hati., yang mana dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Sang Panglima tertinggi mujahidin, yang melalui pedangnya Allah tinggikan menara Islam.
Amma ba’du :
Ada sebuah pertanyaan yang belum terjawab ketika kita memperhatikan fenomena perdebatan dikalangan para aktivis dakwah dan jihad negeri ini seputar permasalahan takfir mu’ayyan para anshar pemerintah thaghut. Mengapa sulit sekali rasanya menemukan ujung dari semua ini??? Padahal dikalangan para aktivis dakwah dan jihad tersebut akidahnya sama, tujuannya sama, bahkan rujukannya juga sama.
Sebenarnya masalah ini adalah masalah yang sederhana dan mudah difahami, tapi kenapa realitanya justru perselisihan ini semakin lama semakin meruncing dan tiada akhir??? Wallahu a’lam, namun setelah kami memperhatikan, bisa jadi penyebabnya adalah karena adanya pembentukan opini dari satu pihak terhadap pihak yang lain. Yang mana akhirnya hal ini memunculkan keadaan adanya satu pihak yang merasa bahwa diri merekalah satu-satunya pemilik kebenaran, sedangkan satu pihak lagi diposisikan sebagai orang-orang yang telah tersesat dan terkena syubhat.
Dan efek dari pembentukan opini inilah yang akhirnya mengakibatkan perpecahan dan hilangnya ukhuwah antara sebagian ikhwan dengan sebagian yang lain. Imbasnya, orang-orang yang selama ini telah dikenal sebagai orang yang istiqamah diatas jalan tauhid dan jihad pun mendapatkan cemoohan dan hujatan dari orang-orang yang terpengaruh oleh pembentukan opini ini. Bahkan ada sebagian orang yang mempunyai “kelainan” sampai mengambil sikap membelakangi dan membuang muka terhadap mereka.
Oleh karena itu, kami merasa berkewajiban untuk meluruskan opini-opini ini agar kita semua bisa bersikap adil dan tidak zhalim. Menempatkan sesuatu itu pada tempatnya, dan menyikapi sesuatu itu sesuai dengan keadaannya.
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tolonglah saudaramu ketika dia berbuat zhalim atau ketika dia dizhalimi.” Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya jika ia terzhalimi, namun apabila dia berbuat zhalim, bagaimana aku menolongnya?”. Beliau menjawab : “Cegahlah dia atau tahanlah dia dari berbuat zhalim, maka ini adalah pertolongan baginya.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun diantara pembentukan opini yang menyebabkan berbagai kesalahfahaman didalam masalah ini diantaranya adalah :
Pertama : Digambarkan bahwasanya tidak mentakfir mu’ayyan seluruh anshar thaghut sama dengan meng-Islamkan mereka
Ini adalah opini yang paling parah yang menyebabkan kesalahfahaman dari orang-orang yang mengikuti pembahasan masalah ini selama ini. Dengan adanya opini ini, dianggaplah orang-orang yang berbeda pendapat dengan Ust. Aman Abdurrahman sebagai orang-orang yang telah meng-Islamkan kekafiran, meng-Islamkan para thaghut. Jika sudah seperti ini? Jadilah cacian, cemoohan, dan hinaan dilepaskan kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan Ust. Aman Abdurrahman tersebut. Bahkan sampai ada yang telah melepaskan hak-hak seorang muslim kepada mereka.
Padahal seandainya kita mau berpikir sedikit saja, opini ini adalah opini yang tidak jelas maksudnya. Coba saja kita perhatikan, apa yang dimaksud dengan meng-Islamkan disini??? Apakah maksudnya meng-Islamkan para anshar thaghut secara umum??? Atau meng-Islamkan setiap individu dari para anshar thaghut???
Jika yang dimaksud adalah meng-Islamkan para anshar thaghut secara umum, maka sejak awal penulisan artikel di Arrahmah telah disebutkan : “Kelompok Kedua : Kelompok yang mengkafirkan secara umum anshar taghut sebagai kelompok riddah, tanpa memastikan (menta’yin) kekafiran masing-masing individunya sebelum melalui prosesnya, yaitu proses meneliti syuruth takfir dan mawani’ takfir”.
Sedangkan jika yang dimaksud adalah meng-Islamkan setiap individu para anshar pemerintah thaghut, maka didalam artikel di situs Arrahmah pun sudah disebutkan : “Memang benar ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits, dan ijma’ ulama telah menegaskan kemurtadan muslim yang membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin. Namun tidak semua polisi, tentara, dan intel terlibat dalam perbuatan tersebut; sehingga hukum tersebut ‘hanya’ berlaku untuk sebagian anshar thaghut saja yaitu polisi, tentara, dan intel yang terlibat membantu kaum kafir memerangi kaum muslimin”.
Artinya, sudah ada sebagian anshar thaghut yang ditakfir secara mu’ayyan. Ditambah lagi, bagaimana mungkin dikatakan meng-Islamkan setiap individu para anshar thaghut sedangkan diantara mereka ada yang beragama Nasrani bahkan Hindu??? Jadi, kita semua bisa melihat betapa tidak jelasnya opini seperti ini.
Maka hendaknya setiap dari kita memahami, bahwasanya ketika dikatakan tidak mengkafirkan seluruh personel anshar thaghut secara mu’ayyan, maksudnya adalah ada sebagian yang sudah dikafirkan secara mu’ayyan karena diyakini sudah terpenuhi syuruth dan tidak ada lagi mawani’ atas diri mereka, baik itu bagi yang beragama Islam, Nasrani, maupun Hindu. Dan adapula diantara mereka yang baru dikafirkan secara umum saja dan BELUM dikafirkan secara mu’ayyan karena dianggap masih ada mawani’ atas diri mereka. Namun hal ini terkhusus untuk para anshar thaghut yang mengaku beragama Islam saja.
Dalam masalah ini, orang-orang yang berbeda pendapat dengan Ust. Aman Abdurrahman menganggap setiap individu para anshar thaghut yang beragama selain Islam, kemudian para komandan mereka serta bagian-bagian yang terlibat langsung dan loyalitas penuh kepada aliansi zionis salibis dalam memerangi Islam dan kaum muslimin serta mencegah tegaknya hukum-hukum Allah di negeri ini, sudah tidak ada lagi mawani’ pada diri mereka sehingga mereka sudah dikafirkan secara mu’ayyan. Adapun selain mereka, yang telah diketahui tidak ada lagi mawani’ atas diri mereka akan ditakfir secara mu’ayyan pula. Sedangkan bagi yang belum diketahui keadaannya, mereka BELUM ditakfir secara mu’ayyan sampai ditegakkan hujjah atas diri mereka.
Oleh karena itu setelah ini hendaknya setiap dari kita memperhatikan, tidak boleh lagi ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat dengan Ust. Aman Abdurrahman telah meng-Islamkan para anshar pemerintah thaghut. Namun yang benar dikatakan adalah, bahwa mereka sudah mentakfir secara umum namun BELUM mentakfir mu’ayyan seluruh anshar pemerintah thaghut berdasarkan dalil-dalil syar’I dan waqi’ yang mereka fahami.
Perkataan seperti ini, jika ditujukan terhadap orang-orang yang menganggap pemerintah thaghut ini sebagai pemerintah Islam tentulah tepat. Namun jika yang dimaksudkan kepadanya adalah para muwahhid mujahid yang berbeda pendapat dengan Ust. Aman Abdurrahman tersebut, maka ini adalah sebuah kedustaan, karena memang tidak demikianlah keadaan mereka sebenarnya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat : “Tahukah kalian apa itu ghibah?”. Para sahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau berkata : “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka”. Ada yang menyahut : “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?”. Beliau menjawab : “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”. (HR. Muslim)
Kedua : Digambarkan bahwasanya orang-orang yang berbeda pendapat dengan Ust. Aman Abdurrahman telah terkena syubhat dan menguntungkan para thaghut
Seandainya saja setiap dari kita mau membuka hati terhadap kebenaran dan jauh dari sifat fanatik buta, tentu kita akan bisa melihat dan memahami dengan baik permasalahan ini. Bahwasanya para ulama tauhid dan jihad telah berikhtilaf dalam hukum takfir mu’ayyan para anshar pemerintah thaghut hari ini, namun mereka bersepakat dalam pokok permasalahannya. Yaitu bahwasanya pemerintah yang berkuasa hari ini dan anshar-ansharnya adalah pemerintah thaghut murtad yang mana legalitas kepemimpinan dan pemerintahannya telah gugur, yang mana jika mereka tidak mau bertaubat dan kembali kepada Islam maka rakyat wajib melengserkannya dan menggantikannya dengan penguasa / pemerintah muslim yang menegakkan syariat Islam. Dan jika memungkinkan, pelengseran dilakukan dengan cara damai. Namun jika cara damai tidak memungkinkan, maka rakyat wajib mengangkat senjata untuk melengserkannya dan menegakkan pemerintahan Islam yang menerapkan syariat Islam. Dan jenis jihad melawan pemerintahan thaghut yang murtad tersebut adalah jihad difa’i (jihad defensif) yang hukumnya fardhu ‘ain atas setiap muslim sesuai kadar kemampuan masing-masing.
Dengan memahami pokok permasalahannya, sebenarnya masalah ini sudah cukup jelas dan sama sekali tidak membingungkan. Namun karena adanya satu pihak yang secara zhahir kita lihat mereka merasa diri paling benar, yang mana kemudian mereka tidak mau menerima perbedaan pendapat, lalu membentuk opini-opini sesat, bahkan tidak segan-segan menghina dan menuduh dengan tuduhan yang buruk terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka, jadilah masalah ini menjadi semakin membingungkan.
Kita lihat mereka dengan sangat mudah mengopinikan bahwasanya para thaghut telah beruntung karena adanya orang-orang yang berseberangan pendapat dengan mereka ini. Digambarkanlah kepada umat, bahwasanya orang-orang yang berseberangan pendapat dengan mereka ini keadaannya seperti Khairul Ghazali atau bahkan mungkin Nasir Abbas yang mana sikap mereka jelas-jelas telah menjadi pembela para thaghut dan anshar-ansharnya. Mereka memberikan penilaian hanya sepotong-potong dan tidak mau melihat masalah ini secara utuh dan menyeluruh.
Padahal kalau kita mau melihat dengan kepala yang jernih dan hati yang bersih, permasalahan takfir mu’ayyan ini memang terjadi ikhtilaf diantara kalangan ulama tauhid dan jihad hari ini. Bahkan mayoritas ulama ahluts tsughur hari ini memiliki pendapat yang berseberangan dengan ust. Aman Abdurrahman.
Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri hafizhahullah berkata : “Pengkafiran terhadap tentara dan lembaga keamanan itu dilakukan dengan perincian. Adapun menurut pendapat saya bahwa para dlubbath mabahits (para perwira intelejen) dalam lembaga keamanan Negara yang menjadi bagian dari lembaga kontra aktifitas keagamaan dan orang-orang yang seperti mereka, yang menginterogasi dan menyiksa orang-orang Islam, mereka ini adalah orang-orang kafir secara ta'yin (perorangannya). Namun perselisihan dalam masalah ini efeknya sangat sedikit sekali, dan hanya terbatas pada hukum-hukum pribadi seperti pernikahan dan warisan. Adapun secara praktek dalam memerangi mereka tidak ada perbedaan antara dua pendapat tersebut. Dan perselisihan dalam masalah ini ada kelonggaran. Akan tetapi yang harus benar-benar diwaspadai adalah manhaj yang dianut oleh penulis buku Watsiqatut Tarsyid, di mana dia mengkafirkan mereka semua secara ta'yin (setiap personalnya), bahkan dia mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan mereka, namun kemudian akhirnya --- secara terpaksa atau suka rela --- dia menjadi alat yang dipermainkan oleh mabahits (intelijen). Dan dalam masalah ini saya sarankan untuk mengkaji risalah Nadharat Fil Ijma' Al Qath'i karya Syaikh Abu Yahya Al Libi hafizhahullah”. (Al Liqa' Al Maftuh Ma'asy Syaikh Aiman Adh Dhawahiri, juz I; 3/4, Penerbit As Sahab Media th. 1429 H),
Syaikh Abu Yahya Al-Liby –hafizhahullah- berkata : “Oleh karena masalah hukum para pembantu pemerintah murtad zaman ini, dan apakah mereka itu kafir secara ta’yin atau tidak, itu adalah wilayah ijtihad yang bisa saja pandangan masing-masing orang berbeda, dengan syarat pandangan tersebut haruslah berdasarkan kepada dalil-dalil shahih dan disimpulkan dengan cara istidlal yang benar. Maka batasan yang disepakati, atau yang seharusnya disepakati dan tidak boleh diperselisihkan sejak awal tentang mereka ini adalah bahwasanya orang-orang yang membantu para penguasa murtad tersebut telah melakukan mukaffirat (berbagai hal yang bisa menyebabkan pelakunya kafir), dan mereka mempertahankan diri dalam melakukan mukaffirat tersebut.
Hal-hal mukaffirat tersebut adalah seperti membantu orang-orang kafir dalam memusuhi kaum muslimin, menghalalkan darah (nyawa) dan harta orang-orang yang (darah dan hartanya) dilindungi (oleh syari’at), melindungi undang-undang dan hukum kafir, dan lain-lain yang merupakan permasalahan-permasalahan yang telah diketahui dari kondisi mereka.
Diluar dari yang disepakati tentang mereka ini, maka bagi siapa saja yang mengetahui bahwa ada satu kelompok dari kelompok-kelompok yang mempertahankan diri tersebut yang berada di suatu tempat tertentu atau pada masa tertentu, dan telah tersebar diantara para personel kelompok tersebut sesuatu dari penghalang-penghalang pengkafiran yang dapat diterima, maka dalam kondisi seperti ini dia tidak boleh mengkafirkan para personelnya. Hal itu karena terdapat penghalang vonis kafir pada diri mereka. Dengan begitu seharusnya dia tetap berpegang dengan hukum asal mereka sebagai orang Islam kecuali pada orang yang telah diketahui kondisinya, sebagaimana bagi siapa saja yang telah mengetahui bahwa sebagian dari kelompok tersebut tidak terdapat pada mereka sesuatu dari penghalang-penghalang yang dapat diterima, maka tidak halal baginya untuk ragu-ragu dalam mengkafirkan para personelnya dan dalam memberikan kesaksian bahwa orang-orang yang terbunuh di kalangan mereka berada di neraka. Dengan begitu hukum yang diberlakukan kepada mereka hukum di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana mengeluarkan seorang muslim dari wilayah Islam dengan hanya berdasarkan sangkaan dan hal-hal yang masih samar bukanlah masalah sepele, demikian pula tidak boleh memberikan kesaksian sebagai orang Islam untuk orang yang secara yakin telah keluar dari Islam.Karena kisaran masalah mengkafirkan dan tidak mengkafirkan para personel kelompok-kelompok tersebut tergantung pada diketahuinya mawani’ takfir (penghalang-penghalang vonis kafir) pada diri mereka. Sementara ini adalah sebuah wilayah yang bisa saja pandangan masing-masing orang berbeda. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal ini tidak ada hubungannya sama sekali, baik dari dekat maupun dari jauh, dengan masalah mengecek atau membedah keyakinan para personel kelompok tersebut, atau meneliti apa yang ada pada hati mereka, maksudnya apakah mereka itu melakukan perbuatan-perbuatan mukaffir itu karena menganggapnya halal atau tidak?
Dengan begini jelaslah bahwa permasalahan ini adalah permasalahan ijtihadi yang tidak boleh sampai menegakkan bendera-bendera perselisihan dan mengobarkan permusuhan dan perpecahan. Bagaimana boleh begitu, sementara berbagai kelompok yang mumtani’ diatas perkara-perkara mukaffir itu terus bermunculan dari waktu ke waktu sejak dahulu. Dan para ulama pun masih terus berselisih pendapat dalam mengkafirkannya, dan tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengklaim bahwa masalah ini adalah masalah yang menjadi ijma’ qath’I yang menutup semua kajian dan pandangan, lalu melemparkan orang yang menyelisihinya kepada golongan kafir”. –selesai-
Perhatikanlah wahai umat… Apakah kita semua melihat yang mengatakan ini adalah Khairul Gazhali atau Nasir Abbas??? Atau yang mengatakan ini adalah para ulama yang sampai detik ini masih berada di front terdepan dalam rangka memerangi musuh-musuh syari’at dari kalangan aliansi zionis-salibis dan pemerintah murtad???
Maka fahamilah… Ketika sebagian ulama ahluts tsughur tersebut belum mentakfir mu’ayyan seluruh anshar pemerintah thaghut, maka itu bukan karena mereka tidak memahami permasalahan tauhid dan syirik ini. Namun hal itu lebih kepada pandangan mereka akan syirik hukum yang terjadi pada hari ini, yaitu mereka menganggap syirik hukum yang terjadi hari ini adalah masalah yang masih samar bagi sebagian besar umat Islam, sehingga setiap orang yang terjebak didalamnya tidak langsung dikafirkan sampai diberikan penjelasan. Dan pandangan yang seperti ini adalah pandangan yang benar dan sesuai dengan pemahaman ahlus sunnah wal jamaah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “Masalah mengkafirkan orang tertentu adalah masalah yang dikenal luas. Jika seseorang mengucapkan suatu ucapan dimana mengucapkannya merupakan kekufuran, maka dikatakan (secara umum), barangsiapa mengucapkan ucapan ini, maka dia kafir. Akan tetapi orang tertentu yang mengucapkan itu tidak dihukumi kafir sampai hujjah, dimana orang yang meninggalkannya dikafirkan, tegak atasnya. Ini dalam perkara-perkara yang samar dimana dalilnya bagi sebagian orang adalah samar.Adapun masalah-masalah yang jelas lagi gamblang yang ada pada mereka atau yang diketahui secara mendasar (dharuri) dalam agama, maka kekufuran orang yang mengatakannya tidak perlu diragukan”. (Ad-Durar As-Saniyyah 8/244, disadur dari Nawaqidhul Iman)
Bahkan kita katakan, sikap yang diambil oleh para ulama ahluts tsughur ini justru menunjukkan kedalaman ilmu mereka serta faqihnya mereka akan dien ini. Karena begitu banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta perkataan para ulama yang menghati-hatikan kita dari masalah takfir ini. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam Shahiih nya, Baabu Maa Yunhaa ‘Anis Sibaabi Wal La’ni (Bab: Orang yang dilarang untuk dicela dan dilaknat), dari Abu Dzar, bahwasanya ia mendengar Nabi salallahu 'alaihi wasallam bersabda :
“Tidaklah seseorang itu menuduh fasiq atau kafir kepada orang lain kecuali tuduhannya itu akan kembali kepada dirinya sendiri kecuali jika orang yang ia tuduh itu memang sebagaimana yang ia tuduhkan.”
Dan Al Haafidh Abu Ya’laa meriwayatkan dari Hudzaifah Ibnul Yamaan bahwa ia mengatakan: Rasulullah salallahu 'alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya di antara yang saya khawatirkan pada kalian adalah seseorang yang membaca Al Qur’an sampai ketika keelokannya dilihat orang lain, dan pakaiannya adalah Islam lalu ia melepaskannya sampai batas yang Allah kehendaki, ia menyeleweng darinya dan mencampakkannya ke belakang punggungnya, dan ia mendatangi tetangganya dengan pedang dan menuduhnya dengan kesyirikan”. Hudzaifah mengatakan : “Saya bertanya: Wahai Rasulullah siapa di antara keduanya yang lebih berhak dengan kesyirikan, yang menuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab : “Justru yang menuduh.”
Asy Syaukani di dalam As Sailul Jarrar IV/579 mengatakan : “Sesungguhnya orang yang berhati-hati dengan diin (agama) nya tidak akan berani melakukan perbuatan yang mengandung beberapa hal yang membahayakan, atau membiarkannya dengan hal-hal yang tidak ada manfaat dan keuntungannya. Apa lagi dengan hal-hal yang dikhawatirkan apabila dirinya salah di dalamnya akan menjadikan dirinya salah satu dari orang-orang yang Rasulullah sebut sebagai orang kafir. Hal yang semacam ini (tidak) akan dibenarkan oleh akal apalagi syariat.” (Disadur dari “Menyoal Manhaj Takfir Luqman Bin Muhammad Ba’abduh”, karya Ust. Luthfi Haidaroh)
Kehati-hatian didalam masalah takfir ini kita lihat hampir hilang didalam diri sebagian ikhwan. Kita melihat, yang menjadi fokus utama mereka adalah masalah takfir dan takfir. Jarang sekali kita melihat mereka membahas bagaimana cara terbaik untuk menyusun kekuatan umat? Atau bagaimana strategi terbaik untuk mengalahkan musuh-musuh syari’at? Kita hampir tidak mendengar ini semua didalam percakapan-percakapan mereka. Namun yang ada kita lihat mereka akan semakin tenggelam didalam masalah takfir ini, sampai-sampai kini mereka memutuskan silaturrahmi, mengobarkan permusuhan, dan bersikap membelakangi terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan faham takfir mereka. Wallahul musta'an…
Kemudian yang semakin menunjukkan kefaqihan para ulama ahluts tsughur tersebut akan dien ini adalah ketika mereka menasehati kita agar tetap menjaga persatuan dan tidak berpecah belah hanya karena perbedaan pendapat didalam masalah takfir mu’ayyan ini. Karena selama kita masih sepakat dalam pokok permasalahannya, maka perselisihan pendapat atas takfir mu’ayyan individu para anshar thaghut ini merupakan masalah furu’. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri –hafizhahullah-, perselisihan dalam masalah ini efeknya sangat sedikit sekali, hanya terbatas pada hukum-hukum pribadi seperti pernikahan dan warisan. Adapun secara praktek dalam memerangi mereka tidak ada perbedaan antara dua pendapat tersebut. Dengan demikian, perselisihan dalam masalah ini masih ada kelonggaran.
Berbeda halnya jika seperti yang dilakukan oleh Nasir Abbas cs. Perselisihan dengan mereka bukan lagi pada masalah cabang apakah para anshar thaghut hari ini ditakfir mu’ayyan seluruhnya atau tidak. Akan tetapi perselisihan dengan mereka sudah terjadi pada pokok permasalahannya, yaitu menganggap pemerintah thaghut ini sebagai pemerintah Islam dan haram untuk menjihadi mereka. Yang mana ujung dari pemahamannya ini ia berwala’ kepada thaghut dan anshar-ansharnya. Atau yang semisal dengannya adalah orang-orang yang sama sekali tidak mau mentakfir para anshar thaghut kecuali secara umum saja.
Syari’at telah mewajibkan kita untuk bersatu dan melarang kita berpecah belah, terutama dalam rangka perjuangan menegakkan Kalimat Allah. Maka dari itu, haram hukumnya meninggalkan sebuah kewajiban karena sebuah perbedaan pendapat didalam masalah cabang. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Qs. Ali-‘Imran : 103-105)
Imam Al Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini : “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al jama’ah (persatuan) merupakan keselamatan.” (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159)
Al Qurthubi juga mengatakan : “Maka Allah Ta’ala mewajibkan kita berpegang kepada kitabNya dan Sunnah NabiNya, serta -ketika berselisih- kembali kepada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di atas landasan Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam keyakinan dan perbuatan. Hal itu merupakan sebab persatuan kalimat dan tersusunnya perpecahan (menjadi persatuan), yang dengannya mashlahat-mashlahat dunia dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan yang telah terjadi pada kedua ahli kitab”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164)
Beliau juga mengatakan : “Boleh juga maknanya, janganlah kamu berpecah-belah karena mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan yang bermacam-macam. Jadilah kamu saudara-saudara di dalam agama Allah, sehingga hal itu menghalangi dari (sikap) saling memutuskan dan membelakangi.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159]
Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : "Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan untuk bersatu didalam agama dan Allah Ta'ala melarang perpecahan di dalam agama, maka Allah Ta'ala menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang sangat gamblang, telah memahaminya orang awam sekalipun, dan Allah Ta'ala melarang kita bahwa keadaan kita seperti orang-orang yang telah bercerai berai, berselisih dari orang-orang sebelum kita lalu merekapun binasa, Allah telah menyebutkan bahwasannya urusannya kaum muslimin adalah bersatu di dalam agama dan Dia melarang mereka dari perpecahan di dalam agama, dan apa-apa yang datang dari sunnah telah menambahi perkara tersebut dengan tambahan penjelasan yang sangat gamblang berupa sesuatu yang sangat mengherankan orang-orang yang heran”. (Syarh Ushulus Sittah)
Sikap yang diambil oleh para ulama ahlust tsughur ini adalah karena mereka memahami dien ini secara menyeluruh, tidak hanya sepotong-sepotong. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kita melihat setiap tindakan dan sikap yang mereka ambil adalah dalam rangka membentuk sebuah kekuatan umat.
Lalu jika bukan kepada para ulama ahluts tsughur, kepada siapa lagikah kita akan mempercayakan urusan dien ini??? Mengapa nasehat-nasehat dan arahan-arahan mereka tidak kita indahkan sama sekali??? Mengapa kita lebih memilih berpecah belah daripada melaksanakan perintah Allah???
Allah Ta’ala berfirman : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-’Ankabut : 69)
Sufyan ibnu ‘Uyainah berkata kepada Ibnul Mubarak : “Kalau engkau melihat manusia telah berselisih, hendaklah engkau bersama mujahidin dan ahluts tsughur, karena sesungguhnya Allah telah berfirman: Ù„َÙ†َÙ‡ْدِÙŠَÙ†َّÙ‡ُÙ…ْ “Benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka (jalan-jalan mereka).”(Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/365)
Setiap orang yang mengenal dien ini dengan baik, tentu akan bisa menilai bahwa beberapa perkataan didalam tulisan Ust. Aman Abdurrahman tersebut ada yang sudah melampaui batas dan zhalim serta menyakiti hati sesama mukmin. Apalagi jika kita termasuk orang-orang yang mengenal para penulis artikel di situs Arrahmah tersebut, maka kita akan mengetahui bahwa tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Ust. Aman Abdurrahman didalam tulisannya adalah semata-mata hanya berdasarkan zhan beliau semata. Keadaan para penulis tersebut sangat jauh dari yang beliau gambarkan. Sedangkan hal ini adalah dosa yang nyata disisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Hujurat : 12)
Allah Ta’ala juga befirman : “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”. (Qs. Al-Ahzab : 58)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat : “Tahukah kalian apa itu ghibah?”. Para sahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau berkata : “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka”. Ada yang menyahut : “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?”. Beliau menjawab : “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”. (HR. Muslim)
Namun kesalahan beliau ini tetap saja dibela dan dibenarkan. Bahkan tidak sampai sebatas ini saja, ada beberapa ikhwan yang mengabarkan kepada kami bahwasanya sebagian orang yang fanatik buta kepada Ust. Aman Abdurrahman saat ini telah membelakangi dan membuang muka terhadap para penulis artikel di situs Arrahmah tersebut.
Mereka seperti tidak mau tau dengan al-haq. Yang ada didalam pikiran mereka adalah siapa saja yang bertentangan dengan ust. Aman Abdurrahman berarti orang tersebut telah sesat atau terkena syubhat. Dan jika ada yang mencoba mengkritisi beliau, mereka langsung mengecam dan mencacinya. Mereka tidak bisa menerima kebenaran, kecuali jika itu berasal dari Ust. Aman Abdurrahman saja. Bahkan ada diantara mereka yang dengan sangat ringan dan tanpa beban berkata : “Syaikh Abu Yahya Al-Liby tidak punya dalil…!!!”, wallahul musta’an. Dan kesimpulan ini bukan kita ambil melalui perkataan mereka semata, akan tetapi sikap merekalah yang lebih jelas menunjukkan akan kebenaran ini semua.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Ada seseorang yang bertanya : “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?”. Beliau menjawab :“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim no. 91)
Syaikh Abu Basheer –hafizhahullah-, telah dengan sangat baik menjelaskan perihal permasalahan ini didalam kitabnya “Sifat Thaifah Manshurah”. Beliau berkata :
“Di antara bentuk muwaalah batil yang menguasai peri kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri Islam adalah muwaalah kepada Syaikh karena pribadinya. Muwaalah ini mempunyai beberapa bentuk :
Di antaranya: Orang-orang mencintainya karena pribadinya; lalu mereka mendukung dan memusuhi orang karenanya, bersahabat dengan orang yang bersahabat dengannya dan loyal kepadanya, dan memusuhi orang yang memusuhinya atau menjauhinya, mengesampingkan pertimbangan agama dan akhlak, dan siapa di antara mereka yang paling baik amalnya?!
Di antaranya: Fanatik kepada perkataan-perkataannya dan madzhab-madzhabnya dalam perkara yang haq dan yang batil, dalam perkara yang dia salah di dalamnya ataupun benar, oleh karena perkataan itu berasal darinya tanpa menimbangnya dahulu dengan Al Kitab dan As Sunnah..!
Di antaranya: Para pengikutnya tidak menerima kritik ataupun komentar atas diri Syaikh-Syaikh mereka. Mereka tidak tahan melihat seseorang mengkritiknya dalam satu masalah atau dalam satu perkara --meski orang tersebut benar--. Siapa yang melakukannya, maka langsung mereka naik darah, mengingkari, mengecam dan mencacinya, oleh karena dalam pandangan mereka Syaikh tersebut terlampau tinggi kedudukannya untuk dikritik atau dibenarkan pendapatnya..?!
Di antaranya: Mereka memperlakukan perkataannya dan fatwa-fatwanya sebagai perkataan yang luar biasa sucinya, seolah-olah ia adalah kata-kata yang turun dari langit, tak bisa dikritik ataupun ditolak?!
Setiap orang perkataannya bisa diambil dan bisa ditolak kecuali Syaikh mereka, maka sesungguhnya ia harus diambil dan tidak boleh ditolak. Ini, jika mereka tidak mengatakannya dengan bahasa lisan mereka, maka mereka mengatakannya dengan bahasa keadaan dan perbuatan mereka, dan ia sering kali lebih benar ungkapannya daripada bahasa perkataan..!
Di antaranya: Mendahulukan perkataannya atas Al Kitab dan As Sunnah, dengan anggapan bahwa orang-orang tidak memahami Al Kitab dan As Sunnah, pemahaman dan ilmu mereka masih di bawah Syaikh, dan bahwa Syaikh mereka adalah orang yang paham dan paling mengetahui Al Kitab dan As Sunnah. Jadi dia tidak menyelisihi keduanya kecuali karena alasan yang mu`tabar menurutnya, dia yang mengetahuinya sedangkan yang lain tidak mengetahuinya..?!!
Di antaranya: Menolak kebenaran, jika kebenaran itu bertentangan dengan perkataannya. Jadi kebenaran itu adalah perkataannya, meskipun perkataan tersebut batil dan bertentangan dengan dalil-dalil yang sharih/jelas dari Al Kitab dan As Sunnah!
Di antaranya: Mereka tidak menerima kebenaran, kecuali apabila ia datang darinya atau melalui jalan (Syaikh) nya. Jika ia melalui jalan orang lain, maka kebenaran itu tidak mendapat penerimaan mereka sama seperti penerimaan mereka seandainya ia datang melalui jalan Syaikh-Syaikh mereka..!
Di antaranya: Selalu menafsirkan kesalahan-kesalahannya dengan penakwilan-penakwilan dan makna-makna pengertian yang positif, sementara bila kesalahan-kesalahan yang sama dilakukan orang lain, maka orang itu dicap sebagai orang fasik dan pelaku dosa, dan dunia akan bangkit menentangnya dan tak akan ridha.
Mereka ridha --atau minimal tidak perduli!-- bila Syaikh atau figur lain dikata-katai dengan perkataan yang sangat buruk. Masalah tersebut bagi mereka adalah remeh sekali, tidak membangkitkan kemarahan dan kemurkaan mereka. Adapun jika perkataan buruk itu ditujukan kepada Syaikh mereka --meskipun dengan alasan yang benar-- maka yang seperti ini tidak boleh terjadi, dan tidak bisa ditolelir!
Dagingnya berlumur racun kuning yang mematikan, celakalah siapa yang berani mendekatinya. Sedangkan daging orang-orang berilmu dan pemilik keutamaan yang lain adalah daging panggang, gurih dan mengundang selera, tak ada keberatan untuk menggigitnya dan memakannya!
Orang-orang Islam, apabila sikap mereka terhadap Syaikh-Syaikh mereka atau ulama-ulama mereka telah sampai pada taraf (keta`atan dan loyalitas yang) seperti ini, maka sesungguhnya dibawa kepada mereka --dan itu adalah keharusan-- penafsiran firman Allah Ta`ala tentang Ahli Kitab dahulu : "Mereka telah menjadikan rabbi-rabbi mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah". (Qs At Taubah : 31) –selesai perkataan Syaikh Abu Basheer, hafizhahullah-.
Perhatikanlah!!! Jangan sampai ada orang-orang yang sibuk kesana-kemari mendakwahkan tauhid dan membongkar masalah syirik hukum ini, namun tanpa disadari diri mereka ternyata telah terjebak kedalam syirik hukum itu sendiri, na’udzubillahi min dzalik.
Kemudian, didalam kitab tersebut Syaikh Abu Basheer membawakan beberapa perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, diantaranya adalah : Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu` Fatawa juz: VII hal: 71-72 : "Adapun jika orang yang mengikut tadi, lemah di dalam memahami kebenaran secara detail, dan dia telah melakukan apa yang mampu dikerjakannya, seperti melakukan ijtihad dalam taqlid, maka orang ini tidak mendapat sanksi hukuman apabila dia salah, seperti dalam perkara menentukan arah kiblat. Adapun jika dia taqlid pada seseorang tanpa melakukan pertimbangan hanya sekedar mengikuti hawa nafsunya, dan menolongnya dengan tangan dan lisannya tanpa dasar ilmu, (meyakini) bahwa kebenaran ada bersamanya, maka ini termasuk perbuatan orang-orang jahiliyah."
Beliau mengatakan: "Siapa yang mengetahui bahwa orang itu salah menurut apa yang dibawa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia tetap mengikuti kesalahannya serta berpaling dari perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, maka orang ini mendapatkan bagian dari syirik yang dicela oleh Allah, lebih-lebih jika dia mengikut dalam perkara tadi menurut hawa nafsunya, dan dia tetap menolongnya dengan lisan dan tangan sedangkan dia tahu bahwa dia menyelisihi Rasul; maka ini adalah syirik, yang pelakunya berhak mendapatkan sanksi hukuman atasnya.''
Beliau mengatakan pula : "Apabila terjadi perselisihan dan persengketaan antara seorang seorang guru dengan guru, atau seorang murid dengan murid, atau seorang murid dengan guru, maka tidak boleh bagi seseorang untuk mendukung salah seorang di antara mereka sehingga dia mengetahui yang benar. Dia tidak boleh menolongnya karena ketidak tahuannya (akan persoalan yang sesungguhnya) atau karena hawa nafsunya, tapi dia harus melihat perkara tersebut. Apabila dia sudah tahu yang benar, maka dia harus menolong pihak yang benar atas pihak salah, sama saja apakah yang benar adalah kawannya atau kawan yang lain. Jadi tujuannya adalah beribadah kepada Allah saja, menta`ati Rasul-Nya, mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan.
Allah Ta`ala berfirman : "Wahai orang-orang beriman; jadilah kalian orang-orang yang senantiasa menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap diri kalian sendiri atau kedua orang tua atau karib kerabat kalian. Jika ia (yang disaksikan) kaya atau miskin, maka Allah lebih berhak atas keduanya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu sehingga membuat kalian berbuat tidak adil. Dan jika kalian memutar balikkan (fakta) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan." (Qs An Nisaa` 135)
Dan siapa yang berpihak pada kawannya --sama saja apakah ia di pihak yang benar atau di pihak yang salah--, maka sungguh dia telah memutuskan hukum dengan hukum jahiliyah dan telah keluar dari hukum Allah dan Rasul-Nya”. –selesai-. (Disadur dari “Sifat Thaifah Manshurah)
Demikianlah, bahwasanya realita yang terjadi menunjukkan banyak diantara kita yang merasa paling bertauhid, tapi justru terjebak kedalam syirik. Banyak pula diantara kita yang merasa telah mengingkari hukum-hukum jahiliyah, namun justru tanpa disadari kita telah berhukum dengan hukum jahiliyah. Maka hendaknya setiap dari kita menghisab dirinya sendiri sebelum nanti diri kita dihisab.
Ketiga : Digambarkan bahwasanya tidak mentakfir mu’ayyan seluruh anshar thaghut berarti membuat senang para thaghut
Jika kita termasuk orang-orang yang pernah merasakan ditangkap oleh para thaghut dan ansharnya, maka kita pasti akan pernah mendengar para thaghut itu berkata : “Masalah keyakinan itu urusan kalian, yang penting kalian jangan beraksi (maksudnya amaliyah jihadiyah)”.
Bagi pemerintah thaghut saat ini, yang terpenting bagi mereka terhadap ikhwan muwahhid mujahid adalah para ikhwan tidak lagi melakukan aksi amaliyah jihadiyah. Mereka tidak pernah perduli apakah kita mengkafirkan mereka secara mu’ayyan ataupun tidak??? Mereka tidak pernah sibuk mengurusi agar kita tidak mengkafirkan mereka secara mu’ayyan lagi. Bahkan mayoritas dari mereka tidak memahami, apa itu takfir ‘aam dan apa itu takfir mu’ayyan??? Yang mereka ketahui, kita telah menganggap mereka pemerintah thaghut yang kafir dan harus diperangi untuk digantikan dengan pemerintahan Islam.
Fokus para thaghut tersebut saat ini bukanlah bagaimana caranya membuat para ikhwan tidak mentakfir mu’ayyan mereka. Akan tetapi fokus mereka adalah bagaimana mereka bisa melemahkan semangat jihad para ikhwan dan memecah belah serta menebarkan permusuhan dikalangan mereka.
Dan jika saja ukurannya adalah seperti yang mereka katakan, maka ada seorang ustadz yang lebih keras pemahamannya dalam permasalahan takfir mu’ayyan, bahkan beberapa diantara ikhwan pengajian beliau sudah melakukan beberapa aksi amaliyah. Namun karena beliau sendiri tidak terlibat dalam aksi amaliyah tersebut para thaghut tidak menyentuhnya hatta dengan sekedar cubitan kecil saja, padahal beliau termasuk orang yang sangat keras didalam pemahaman takfirnya.
Oleh karena itu kita katakan, justru yang membuat senang para thaghut itu adalah mereka yang diajak ishlah dan bersatu untuk menghadapi para thaghut dan ansharnya, namun justru menebarkan permusuhan dan kebencian dikalangan ikhwan serta membuat perpecahan.
Akhirnya, sebelum kami menutup penjelasan tambahan ini kami ingin memberitahukan, bahwasanya salah seorang penulis artikel di situs Arrahmah yang dikritisi oleh Ust. Aman Abdurrahman tersebut, menasehati kami dengan sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu sabda beliau : "Apabila seseorang mencacimu dengan sesuatu yang ia ketahui maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau mengetahui tentangnya. Sebab dengan itu engkau mendapat pahala sedang ia akan mendapat akibat buruknya". (Shahih lighairihi, HR al-Manawi dalam kitab Faidhul Qadir I/372 dari sahabat Ibnu Umar)
Yang beliau maksudkan kepada kami dengan hadits ini adalah beliau menasehati kami agar menghapus beberapa paragraf perkataan kami didalam bagian akhir tulisan kami yang berjudul “Diskusi Seputar Masalah Takfir Mu’ayyan Bersama Ust. Aman Abdurrahman”. Kata-kata yang dimaksud yaitu :
“Sebelum kami menutup artikel singkat ini, kami ingin mengingatkan kepada orang-orang yang suka mengekor kepada Ust. Aman Abdurrahman secara membabi buta. Ingatlah wahai orang-orang yang berakal, bahwasanya Al-Ustadz Aman Abdurrahman tidak ma’shum. Beliau bisa saja keliru, apalagi tingkatan beliau belumlah sampai kepada tingkatan mujtahid. Jika seorang mujtahid saja bisa keliru, apalah lagi dengan beliau.
Kami ingatkan kalian dengan apa yang terjadi dimasa lalu, ketika Al-Ustadz Aman Abdurrahman masih menganut faham Ghuluw Fit Takfir yang mentakfir setiap orang yang tidak izharuddin hanya karena mengambil suatu perkataan dari Syaikh Hamd bin ‘Athiq, bukankah kalian saat itu sangat meyakini bahwa itu adalah sebuah kebenaran yang pasti, sampai-sampai kalian sangat berbangga hati jika kalian dan istri-istri kalian bisa mengutil barang dagangan di pasar atau mencuri buku di bazaar dengan keyakinan telah beramaliyah terhadap orang-orang kafir yang kalian yakini itu??? Lalu bukankah kalian semua bertaubat setelah Al-Ustadz Aman bertaubat dan merujuk kembali pemahamannya???
Maka demikian pula dengan sekarang. Janganlah kalian terlalu taqlid buta kepada beliau sehingga kalian memusuhi orang-orang yang tidak sependapat dengan beliau. Karena bisa jadi suatu waktu beliau rujuk dari pemahaman beliau yang sekarang, ketika itu kalian kembali akan menjilat ludah kalian sendiri untuk berkali-kali.
Dan untuk Al-Ustadz Aman Abdurrahman sendiri tidak lupa pula kami menasehati : Janganlah antum merasa bahwa diri antumlah pemilik kebenaran itu dan hanya antum sendiri yang bisa memahami perkara Tauhid ini. Sehingga dengannya antum tidak segan-segan memberikan stempel kepada orang-orang yang berlainan pendapat dengan antum sebagai orang-orang yang ingin mencari selamat dan pembela thaghut yang lemah bashirahnya.
Ketahuilah wahai ustadz, bahwasanya orang-orang yang berbeda pendapat dengan antum tersebut ada yang mendapatkan penyiksaaan yang jauh lebih berat dari yang antum rasakan dari Thaghut. Diantara mereka juga ada yang sampai detik ini masih ada di front terdepan pertempuran dengan thaghut dan anshar-ansharnya. Bahkan ada diantara mereka yang telah membuktikan dirinya dengan kesyahidan (kama nahsubuhu) dijalan Allah.
Kami ingatkan anda akan Allah wahai ustadz kami tercinta… Takutlah antum kepada Allah akan menjadi sumber fitnah perpecahan diantara para ikhwan muwahhid mujahid. Jika antum belum mengetahuinya, maka kami sampaikan kepada antum, bahwasanya sebagian ikhwan yang selama ini taklid buta kepada antum tidak segan-segan untuk memusuhi dan berpecah belah dengan saudaranya seiman dan seperjuangan karena mereka terpengaruh dengan stempel-stempel yang antum berikan terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan antum”.
Maka menyikapi nasehat beliau ini, kami ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut :
Pertama :
Dapat kami jelaskan, bahwasanya kata-kata tersebut tidaklah keluar kecuali karena kami terbawa oleh perasaan kami setelah membaca tanggapan dari Ust. Aman Abdurrahman –fakallahu asrah- terhadap artikel yang dikeluarkan oleh situs Arrahmah. Kami tidak dapat lagi menahan diri ketika membaca tuduhan-tuduhan dan stempel-stempel yang diberikan oleh Ust. Aman Abdurrahman kepada para penulis artikel tersebut. Jadi, kata-kata itu kami keluarkan sebagai sebuah reaksi, bukan karena kami memiliki dendam atau kebencian kepada Ust. Aman Abdurrahman dan pengikut-pengikutnya.
Kedua :
Walaupun tidak ada kata-kata dusta yang kami ucapkan disitu, namun dengan hati terbuka kami menerima nasehat beliau. Dan memang tidak mungkin kami menolak nasehat seseorang yang membawakan hadits Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu kami akan merevisi tulisan awal kami dengan menghapus kata-kata tersebut. Dan kami menekankan kepada siapa saja yang sudah terlanjur mengcopy-paste tulisan kami, agar menghapus kata-kata yang sudah kami sebutkan diatas didalam tulisan kami tersebut. Atau minimal memberikan link evaluasi kami ini jika tulisan kami sudah terlanjur disebarluaskan. Dan tidak lupa pula kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada setiap pihak yang merasa tersinggung atau merasa sakit hati dengan kata-kata kami tersebut.
Sebagai penutup, sekali lagi kami mengulangi harapan kami, harapan kita dan insya Allah harapan seluruh kaum muslimin yang masih sehat imannya, masih memiliki ghirah terhadap agamanya, masih sangat ingin kalimat Allah tegak dimuka bumi, agar mendengarkan nasehat dari para ulama ahluts tsughur untuk tetap bersatu dan tidak berpecah belah. Cukuplah kita diuji dengan kezhaliman musuh kita. Mari satukan moncong senjata para rijal, tajamnya pena para ulama yang ikhlas dan seluruh potensi ummat untuk kita arahkan kepada musuh yang nyata, thaghut dan para ansharnya, membongkar makar mereka, memporakporandakan barisan mereka demi LI I’LA KALIMATILLAH.
Jangan sampai ada lagi perpecahan, karena masalah ini adalah masalah cabang yang masih terdapat kelonggaran. Bagi yang lebih memilih pendapat mengkafirkan secara mu’ayyan seluruh anshar thaghut, silahkan ia berpegang dengan pendapatnya. Dan juga bagi yang lebih memilih untuk merincinya, silahkan juga ia berpegang dengan pendapatnya. Yang penting, kita tetap bersatu diatas pokok permasalahannya.
Sedangkan bagi orang-orang yang ngeyel dan tetap menegakkan bendera-bendera perselisihan serta mengobarkan permusuhan dan perpecahan, maka kami tidak ragu untuk mengatakan bahwasanya ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.
Ya Allah, bukankah kami telah menyampaikan? Ya Allah saksikanlah…
Al-faqir ilallah
Abu Mush’ab Al-Muhajir
6 komentar:
ana sangat setuju dengan tulisan antum akhi.. semoga dengan adanya penengah semacam ini para mujahidin bisan semakin terbuka wawasannya. dan tidak mudah menvonis orang yang tidak sependapat dengannya dalam persoalan ijtihadiy. jazamullah
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
ana pun setuju dengan antum akhi. dalam suatu forum kajian ada pertanyaan bagaimana menyatukan ummat yang saling berselisih sedang musuh bersatu memerangi kita. jawaban ust tersebut adalah hendaklah masing-masing kita berusaha ikhlas untuk berjuang menegakkan dien ini, kelak Alloh akan menyatukan hati-hati kita. barokalloh fik akhi...
Tapi inilah pendapat terbaru Al Qaeda Iraq dan suriah yang disampaikan juru bicaranya:
Sesungguhnya bala tentara para thaghut yang menguasi negeri-negeri kaum muslimin itu secara keseluruhan mereka itu adalah bala tentara kemurtaddan dan kekafiran, dan sesungguhnya pernyataan hari ini yang mengatakan bahwa bala tentara itu kafir, murtad dan keluar dari Islam bahkan wajib diperangi apalagi bala tentara Mesir adalah pernyataan yang tidak sah diselisihi lagi di dalam Dienul Islam, yang mana ia itu telah dikukuhkan dengan dalil-dalil syar’iy dari Al Kitab, Assunnah dan perkataan-perkataan para ulama pilihan yang mu’tabar, dan ia itu dipastikan bukan termasuk ucapan orang-orang yang ghuluw dan yang suka mengkafirkan tanpa dasar yang benar.
Kemudian Beliau Al Mujahid: Abu Muhammad Al ‘Adnaniy Asy Syamiy -juru bicara resmi Daulah Islamiyyah Iraq dan Syam- hafidhahullah melanjutkan:
Dan sesungguhnya orang-orang yang mengaku berilmu yang suka berdebat membela-bela-bala tentara itu sampai sekarang dan mereka memerintahkan kaum muslimin agar tidak mengkafirkan dan memerangi bala tentara itu, maka mereka itu sungguh benar-benar manusia yang paling bodoh terhadap hakikat dien ini dan hakikat apa yang dilakukan bala tentara ini sekarang.
Ini buktinya tentara Mesir yang merupakan bagian dari tentara-tentara itu dan ia adalah copyan darinya, ia berupaya mati-matian untuk mencegah pemberlakuan syari’at Allah Tabaraka wa Ta’ala dan ia bertindak serius untuk mengokohkan prinsif-prinsif Sekulerisme dan memberlakukan Qawanin Wadl’iyyah (undang-undang buatan). Sesungguhnya tentara Mesir dan semua tentara para thaghut yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin, mereka itu memerangi kaum muslimin karena sebab aqidah mereka dan karena seruan mereka untuk memberlakukan syari’at Rabb mereka dan Sunnah Nabi mereka yang suci, tentara-tentara itu memerangi mereka, membunuhi mereka dan menangkapi mereka karena sebab hal itu. Sesungguhnya tentara Mesir dan tentara-tentara (para thaghut) itu secara palsu dan dusta mengklaim bahwa ia itu adalah pelindung kaum muslimin, pembela mereka, pemelihara ketentraman, keamanan dan ketenangan mereka, padahal tentara-tentara ini pada dasarnya tidak dibentuk kecuali untuk melindungi para thaghut itu, membela mereka serta mengokohkan kekuasaan-kekuasaan mereka. Sesungguhnya tentara Mesir dan tentara-tentara (para thaghut) itu tidak dibentuk kecuali untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya serta untuk menghalang-halangi dari jalan Allah. Sesungguhnya tentara Mesir yang merupakan satu copyan dari tentara-tentara itu adalah tentara yang melindungi bank-bank riba, tempat-tempat maksiat dan pelacuran, ia adalah pelindung perbatasan Yahudi dan pelindung bangsa Qibthiy (kristen Koptik) dan orang-orang Nashara yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, ia adalah tentara yang bila diperintahkan untuk meninggalkan shalat tentu ia pasti meninggalkannya, ia adalah tentara yang menjarah lagi memperkosa kehormatan, yang membakar mesjid-mesjid dan mushhaf-mushhaf, yang menghabisi orang-orang yang terluka agar mati serta yang membakar jasad-jasad warga yang terbunuh. Maka adakah orang berakal yang mengatakan bahwa tentara ini tidak boleh diperangi? hatta walaupun dia menganggapnya masih muslim.
Coba yg jeli dlm membawakan perkataan kmdn menempatkannya.. Kpnkah pernyataan ini dibuat? Dan dimana? Pernyataan ini dikeluarkan di daerah konflik dan baru dikeluarkan stlh konflik itu terjadi..
Hrs ada pembedaan antara ketika sdh pecahnya 2 barisan, dgn keadaan masih bercampur baur sprt indonesia.. Dlm keadaan sudah pecah 2 barisan, mk sdh sama sekali tidak ada lg udzur thdp mrk..
Dulu sebelum perang badar, Rasulullah SAW prnh mengatakan kpd sahabat2nya, "Sesungguhnya ada saudara2 kalian di Mekkah ada yg dipaksa. Mka jika kalian menemui mrk, jgnlah membunuhnya".
Perhatikan bgmn Rasulullah menganggap org2 Islam yg ada di Barisan Quraisy masih muslim. Namun ketika sdh pecah 2 barisan, blm mgtkn kpd Abbas : "kami melihat zhahirmu, adapun hatimu kami serahkan kpd Allah".
Hal ini penting, krn mmg ada diantara para ansharut thaghut itu yg mmg mencintai Islam dan mujahidin. Sbgmn yg diisyaratkan oleh Syaikh Usamah thdp tentara2 Arab Saudi.
Akan tetapi, hukum wajibnya memerangi mereka sdh tdk ada perbedaan lg, baik mrk itu masih muslim ataupun kafir, wallahu a'lam..
Posting Komentar