Mulai dari, benarkah demokrasi akan menjadi solusi atas berbagai persoalan dunia saat ini. Apakah demokrasi memberikan kebaikan pada manusia atau sebaliknya?
Apa yang disebut dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi, baik dalam tataran konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Dari sana diharapkan muncul kesadaran baru bagi kita tentang bagaimana sebenarnya sistem ini.
(1) Demokrasi : Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat
Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah Demokrasi Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya seperti itu?
Faktanya, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Para kapitalis raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapatalis pulalah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat.
Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).
Kritik yang sama muncul dari C. Wright Mills yang memfokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat bahwa meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Merekapun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama. Memang, secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi, dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok tertentu.
Pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga bangsawan, atau dari militer.
Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil, kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen kalau tidak memiliki modal.
Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman Sam tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah Saudi Arabia.
Dalam sejarah Inggris, PM Anthony Eden, misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen. Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan, Sudan, Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota parlemen. Dalam pembuatan UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas menngesahkan rancangan UU yang dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana menteri).
Memang, dalam kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan suara rakyat’ hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksanakan, setiap kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka bertanya dulu kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja, cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan Indonesia.
Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini, selain keliru, juga utopis. Pada praktiknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.
(2) Demokrasi dan Kebebasan
Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.
Sebenarnya dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak. Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang kebebasan berpendapat ini.
Tidak mengherankan kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Prancis dan beberapa negara lainya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya atas nama sekulerisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi).
Atas nama perang melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara ataupun oleh kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang diplintir untuk kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang dianggap mengancam kepentingan AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak oleh pemerintah sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan AS) merupakan praktik lain dari kebohongan kebebasan demokrasi.
(3) Demokrasi dan Kesejahteraan
Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura.
Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah, Dunia Ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. Kemiskinan terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli parfum mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde Diplomatique, November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak lain adalah sistem Kapitalisme internasional yang dipraktikkan saat ini oleh negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia.
Sementara itu, kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya.
Demokrasi sering dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh mereka untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan demokratisasi. Beberapa negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan alasan melanggar demokrasi dan HAM. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut.
Tidak adanya relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina, ternyata bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam penderitaan. Indonesia, yang sering dipuji lebih demokratis pada masa reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Sebaliknya, banyak negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, atau Brunei. Di sini jelas, demokrasi bukanlah faktor kunci sejahtera-tidaknya sebuah negara.
(4) Demokrasi dan Stabilitas
Mitos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya. Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. Masa reformasi ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur (yang kemudian lepas), Aceh, Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi.
Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh Presiden. Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih oleh DPRD masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal antar masyarakat.
Hal yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok. Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia, sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran demokrasi AS ternyata menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama demokrasi ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang disebut dengan stabilitas?
(5) Demokrasi dan Kemajuan
Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan (jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan.
Benarkah dengan kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.
Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi (mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif.
Inilah 5 Buaian “ide” Demokrasi yang sebenarnya justru menunjukkan 5 “Fakta” kebobrokan Demokrasi. (gegenism)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar