Kamis, 12 Desember 2013

Apakah Wajib Membela Tanah Air Kaum Muslimin Yang Terjajah?


Penulis : Syaikh Abdullah Azzam -Rahimahullah-

Segala puji kepada Allah SWT, kita selalu memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya dan kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kita dan keburukan amal-amal kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT maka tidak ada siapapun yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah SWT maka tidak akan ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi tidak ada Tuhan yang boleh disembah dan ditaati kecuali Allah SWT saja dan Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya dan shalawat salam untuk Rasulullah dan untuk segenap keluarganya dan segenap para sahabatnya.
Sungguh Allah SWT telah memilih agama ini dengan rahmat-Nya untuk menjadi rahmat bagi segenap makhluk-Nya dan Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya SAW untuk menjadi Nabi terakhir dengan membawa agama Islam ini. Dan sesungguhnya Allah SWT telah memenangkan agama ini dengan pedang dan tombak, setelah Islam itu disampaikan dengan jelas oleh Rasullullah SAW dengan hujah dan keterangan yang tidak bisa dibantah oleh ilmu siapapun. Rasulullah SAW telah bersabda dalam hadits shahih riwayat Ahmad dan Thabrani:
“Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang sehingga Allah SWT saja yang disembah dan tidak disekutukan dengan lain-Nya dan rezekiku terletak di bawah tombakku, dan kehinaan itu dijadikan atas orang yang menyelisihi agamaku.  Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia itu adalah termasuk golongan kaum itu”. (HR. Ahmad)
Dan sesungguhnya Allah SWT telah menentukan dengan hikmah-Nya bahwa kemakmuran bumi tegak diatas landasan hukum/aturan pembelaan (daf’u).
Allah SWT berfirman:
“Seandainya Allah SWT tidak menolak keganasan sebahagiaan manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah SWT mempunyai karunia yang dicurahkan atas semesta alam”. (Al-Baqarah: 251).
Yakni Allah SWT telah memuliakan manusia dengan menetapkan aturan ini dan menerangkan pula kepada mereka aturan tersebut. Atau dengan kata lain pergumulan antara haq dan bathil akan selalu ada yang kesemuanya itu adalah demi kebaikan manusia, agar kemenangan diraih oleh yang haq sehingga tersebarlah kebaikan.  Bahkan syiar-syiar keagamaan dan kelangsungan ibadah dilindungi oleh adanya aturan tersebut.
Allah SWT berfirman :
“Dan sekiranya Allah SWT tidak menolak keganasan suatu kaum terhadap kaum yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang-orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.  Dan Allah pasti menolong orang yang menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah SWT benar-benar Maha Kuat lagi Maha Kuasa.” (QS Al haj: 40)
Dan hukum/aturan  ini (yakni aturan pembelaan/daf’u) atau dengan kata lain al-jihad banyak dibahas dalam kitabullah. Karena sesuatu yang dikatakan Al Haq itu, haruslah ada padanya kekuatan yang dapat melindunginya. Kenyataan menunjukkan banyak kebenaran (Al Haq) yang jatuh derajatnya karena rendahnya kedudukan orang-orang yang berpegang padanya dan sebaliknya berapa banyak kebatilan yang tinggi derajatnya karena adanya pembela dan orang-orang yang bersedia berkorban untuknya.
Adapun dalam jihad itu, terdapat dua rukun yang sangat mendasar, yaitu:
1.    Sabar yang tumbuh dari jiwa yang pemberani
2.    Sifat dermawan yaitu dengan mengorbankan harta dan nyawa. Sedangkan mengorbankan nyawa adalah setinggi-tinggi sifat dermawan.
Dua rukun itu bisa kita lihat dalam hadits berikut ini:
“Iman itu ialah kesabaran dan kedermawanan”. (HR Ahmad)
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata didalam Majmu’ Fatawa, 28:157 : “Sesungguhnya kebaikan Bani Adam tidak akan sempurna di dalam hal agamanya dan dalam hal dunianya kecuali dengan adanya keberanian dan kedermawanan. Allah SWT telah menjelaskan bahwa barangsiapa berpaling dari jihad yang mengorbankan nyawanya, maka Allah SWT akan menggantinya  dengan kaum yang lain.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Kalau kalian tidak mau pergi berjihad (membela agama dengan harta dan nyawamu) maka Allah SWT akan mengazab kalian dengan azab-Nya yang pedih dan Allah  akan menggantikan kalian dengan kaum yang lainnya, dan kalian tidak akan dapat merugikan-Nya sedikitpun dan Allah SWT Maha Kuasa. atas segala sesuatu” (QS At-taubah : 39)
Oleh karena itu Rasulullah SAW menerangkan bahwa seburuk-buruk sifat yang dapat menimbulkan kerusakan jiwa dan binasanya masyarakat adalah bakhil dan penakut, dalam sabda beliau SAW sebagai berikut:
“Seburuk-buruk sifat yang ada pada seorang laki-laki itu ialah bakhil (yang selalu takut miskin) dan penakut (yang selalu lari dari perjuangan).” (HR Abu Dawud).
Dan sungguh telah berlalu zaman para salafus shalih yang telah mengamalkan tuntunan ini, sehingga mereka mampu memimpin dunia dan mereka menjadi pembimbing segenap manusia, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:
“Dan sesungguhnya telah Kami jadikan sebagian dari mereka itu para pemimpin yang membimbing umat manusia dengan petunjuk Kami, ketika mereka itu sabar dan yakin dengan ayat-ayat Kami”. (QS. As Sajadah: 24)
Sebagaimana juga Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits shahih:
“Kebaikan generasi pertama umat ini adalah dengan adanya sifat zuhud dan keyakinan yang kuat, dan binasanya generasi akhir umat ini adalah karena adanya sifat bakhil dan banyak berkhayal.” (HR Ahmad, Thabrani dalam Al-ausath, dan Baihaqi)
Kemudian datanglah anak cucu kaum muslimin yang mereka itu meremehkan tuntunan jihad ini dan melupakan Tuhannya, maka Allah SWT-pun melupakan mereka sehingga mereka kehilangan perlindungan dari-Nya dan akhirnya mereka menjadi manusia-manusia yang rendah.
“Maka datanglah setelah mereka itu suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti syahwat mereka maka mereka kelak akan menemui kesesatan”. (QS Maryam: 59)
Amal keburukan mereka itu dihiasi oleh syaitan sehingga seolah-olah ia adalah amal kebaikan dan mereka mengikuti kemauan hawa nafsunya.
Diriwayatkan dalam suatu hadits :
“Sesungguhnya Allah SWT membenci orang yang berhati kejam dan sombong yang suka mengumpulkan harta dan mencegah orang berinfak yang banyak bicara di pasar-pasar, tidur bagaikan bangkai di malam hari dan kerja bagaikan himar di siang hari, sangat tahu perkara keduniaannya dan jahil perkara keakhiratannya”. (HR. Thabrani, Baihaqi, Hadits Hasan)
Akibatnya, kewajiban yang sangat penting, yaitu jihad, justru banyak dilupakan dan nyaris sirna dari kaum muslimin, sehingga mereka itu bagaikan buih yang tidak ada kekuatannya sama sekali. Rasulullah SAW bersabda:
“Nyaris sudah akan datang suatu masa di mana umat-umat lain akan mengelilingi kamu sebagaimana mereka mengelilingi makanan. Ditanya: “Wahai Rasulullah apakah karena sedikitnya kita ketika itu? Dijawab: “Tidak, bahkan kalian saat itu banyak, tetapi kalian bagaikan buih di lautan, dan Allah menghilangkan rasa takut musush-musuh kalian terhadap kalian, dan menimpakan kedalam hati kalian penyakit wahn, para sahabat bertanya: “Apakah yang dinamakan wahn itu Ya Rasulullah?” beliau menjawab: “Kamu cinta dunia dan kamu takut mati (sehingga tidak mau berperang).” (HR. Abu Dawud)

BEBERAPA JENIS JIHAD DALAM MENGHADAPI ORANG KAFIR
Jihad dalam rangka menghadapi orang kafir, terbagi kedalam dua keadaan :
1.    Jihad untuk memerangi negeri kafir dalam keadaan orang kafir tersebut tidak memerangi orang Islam.
Jihad semacam ini adalah fardhu kifayah.  Dan serendah-rendah fardhu kifayah dalam masalah ini ialah, menutup segala kemungkinan penyerangan orang kafir terhadap kaum mukminin.  Dengan mengutus tentara untuk melakukan tugas ini agar musuh-musuh Allah SWT jadi gentar, sekurang-kurangnya setahun sekali. Karenanya wajib atas pemimpin negara Islam untuk mengutus kesatuan tentaranya ke negeri-negeri yang harus diperangi sekali atau dua kali dalam setahunnya.  Dan wajib atas sekalian rakyat untuk membantunya. Dan kalau imam tersebut tidak melakukan hal tersebut, maka dosanya dipikul olehnya. Demikianlah para ahli fiqih telah menerangkannya. (Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin, 3;138)
Para ahli ushul fiqh menyatakan:
“Jihad itu adalah dakwah dengan kekuatan, oleh sebab itu wajib pelaksanaannya dengan sekuat tenaga sehingga di dunia ini hanya ada muslim atau orang-orang kafir yang mau menyerah kepada pemerintah Islam dengan membayar jizyah (upeti) kepada pemerintah tersebut.” (Hasyiyah asy-Syarwani wa Ibn al-Qasim ‘ala Tuhfat al-Muhtaj ‘ala al-Minhaj, 9:213) 
2.     Jihad untuk membela diri dari serangan orang kafir terhadap negeri Islam.
Jihad jenis ini hukumnya adalah fardhu ‘ain bahkan sepenting-penting fardhu ‘ain. Yang termasuk Jihad yang fardhu ‘ain itu ialah:
  1. Bila orang kafir menyerang salah satu negeri kaum muslimin
  2. Apabila dua kelompok pasukan, muslimin dan kafir saling bertemu
  3. Bila Imam kaum muslimin meminta kaum muslimin untuk keluar berperang
  4. Bila orang kafir menawan sekelompok orang Islam
Tentang fardhu’ain-nya (kewajiban) jihad bagi kaum muslimin bila orang kafir menyerang salah satu negeri Islam, telah sepakat baik ulama salaf maupun khalaf dan juga para ahli fiqih madzhab yang empat, para ahli hadits dan para ahli tarsir di segala zaman dengan kesepakatan yang mutlak, bahwasanya jihad dalam keadaan yang demikian ini adalah fardhu ‘ain atas setiap muslimin yang bertempat tinggal di negeri yang terserang itu dan yang berdekatan dengan negeri tersebut.
Dalam jihad yang seperti ini seorang anak keluar berjihad tidak harus izin orang tuanya, isteri tidak harus izin suaminya, dan orang yang punya hutang tidak harus izin orang yang menghutanginya.  Tetapi bila penduduk negeri tersebut atau orang sekitarnya tidak mampu menghadapi serbuan orang kafir tersebut baik karena kemampuannya yang terbatas atau karena malas dan tidak mau berjuang, maka kewajiban itu meluas kepada penduduk yang bersebelahan dengan negeri yang diserang itu.  Dan bila juga penduduk tersebut tidak menghadapi musuh tersebut, kewajiban jihad semakin meluas kepada penduduk negeri yang di sebelahnya lagi demikian seterusnya kewajiban itu meluas ke seluruh dunia dengan tahapan-tahapan perluasannya seperti lingkaran bulat. Sehingga fardhu ‘ain kepada setiap orang Islam yang berada di manapun untuk terjun dalam medan jihad melawan serbuan tentara kafir yang menyerbu negeri Islam tersebut. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Dan adapun jihad untuk membela diri, membela kemuliaan umat Islam dan agamanya dari serangan musuhnya adalah seutama-utama kewajiban jihad.  Yang kewajiban itu merupakan ijma’ ulama. Dan tidak ada kewajiban dalam Islam setelah kewajiban beriman, yang lebih utama dari dari kewajiban membela agama dan umat Islam dari serangan musuhnya yang merusak agama maupun kehidupan umat Islam. Maka dalam jihad sepert ini tidak disyaratkan lagi perbekalan atau kendaraan bagi para mujahid untuk ikut berperang. Bahkan diwajibkan kepada para mujahid tersebut untuk menghadapi serangan tentara kafir itu dengan kekuatan yang seadanya pada dirinya, dan sungguh telah diriwayatkan bahwa para ulama juga berpendapat seperti itu baik ulama dari  kalangan kita maupun lainnya.”
Ibnu Taimiyah juga membantah pendapat seorang Qadhi yang menyatakan bahwa apabila ditetapkan kewajiban jihad atas suatu penduduk negeri Islam, maka kewajiban atas mereka itu bersyarat harus ada perbekalan dan kendaraan, kalau perjalanan jihadnya berjarak, yang menyebabkan diqasharnya shalat. Hal ini diqiyaskan dengan hukum haji. Ibnu Taimiyah membantah pendapat ini dengan keterangan sebagai berikut :
“Apa yang dikatakan qadhi tersebut di atas, yang mengqiyaskan hukum jihad dengan hukum haji, tidak pernah diriwayatkan dari seorang ulama pun cara istinbath hukum seperti ini. Dan pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Karena kewajiban jihad jenis ini adalah untuk membela agama dan umat Islam dari bahaya serangan musuh. Sehingga jihad seperti ini bahkan lebih wajib dari hijrah.  Padahal kewajiban hijrah tidak pernah disyaratkan padanya adanya kendaraan, maka jihad ini tentunya lebih tidak disyaratkan yang demikian itu.  Dan dalam Bukhari Muslim terdapat riwayat Ubadah bin Shamit bahwa Nabi SAW bersabda:
“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (terhadap pimpinannya dari kaum mukminin) dalam keadaan sulit maupun mudah dalam sesuatu yang disenanginya maupun yang tidak disukainya dan dia wajib mementingkan perintah imamnya itu.”
Maka seutama-utama kewajiban taat itu adalah perintah untuk pergi berperang dalam keadan sulit maupun lapang.  Dalam hal ini, berhubung ada nash (dalil) yang mewajibkan pergi berperang walaupun dalam keadaan sulit, maka jihad ini tidak bisa disamakan atau diqiyaskan dengan haji.  Apalagi hadits tersebut di atas adalah dalam masalah perang dengan orang kafir yang masih di negeri kafir. Maka tentunya lebih tidak bisa diqiyaskan dengan hukum haji bila jihad itu terhadap orang kafir yang sudah menyerbu ke wilayah kaum muslimin, dan ini adalah jihad yang lebih utama.  Maka oleh sebab itu jihad untuk membela kaum muslimin dari serangan musuhnya yang merusak agama dan kehidupan mereka adalah kewajiban yang paling utama setelah kewajiban iman.(al-Fatawa al-Kubra 4:608)
Dalam pembicaraan ini juga saya sampailah kepada segenap pembaca, pendapat para ahli fiqih dari empat madzhab tentang perkara ini :
  1. Para ahli fiqih Madzhab Hanafi
Ibnu Abidin berkata : “Adalah fardhu ‘ain jihad itu, bila musuh telah menyerang sebagian dari wilayah Islam, atas penduduk yang berdekatan dengan wilayah tersebut. Adapun penduduk yang jauh dari wilayah tersebut adalah fardhu kifayah, kalau mereka tidak diperlukan untuk pembelaan wilayah yang diserang tersebut. Adapun kalau penduduk yang berjauhan dengan wilayah tersebut diperlukan untuk membantu mengusir penyerang, karena penduduk yang berdekatan dengan wilayah tersebut tidak mampu mengusir musuh dari wilayahnya atau penduduk wilayah tersebut malas untuk berjihad, maka kewajiban jihad itu menjadi fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh dari wilayah tersebut.  Dan bila mereka juga tidak mampu, maka fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh lagi dan demikian seterusnya sampai kewajiban jihad itu menjadi fardhu ‘ain atas segenap umat Islam di timur maupun di barat untuk membela wilayah yang diserang itu dengan tahapan-tahapan sebagai mana yang dijelaskan di atas.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 3:238)
Pendapat seperti ini juga sesuai dengan pendapat Al Kassani (Badai’ as-Shanai’ 7:72) dan Ibnu Najim (al-Bahr al-Raiq karya Ibnu Najim, 5:191) dan Ibnu Al Hamam (Fath al-Qadir, karya al-Hammam, 5:191).
  1. Pendapat Ahli Fiqih Maliki:
Dalam kitab Hasyiyatud-Dasuki terdapat keterangan seperti ini:
“Dan jihad itu wajib karena serangan mendadak musuh Islam. Ad Dasuqi mengatakan : wajib jihad atas setiap muslim laki-laki maupun wanita untuk menghadapi musuh yang menyerang mendadak dan bahkan juga terhadap anak kecil.  Walaupun pemilik budak melarang budaknya, suami melarang istrinya, dan pemberi hutang melarang orang yang dihutanginya tetap saja kewajiban itu tidak bisa gugur atas orang-orang tersebut dengan larangan itu”. (Hasyiyah ad-Dasuqi, 2;174)
  1. Pendapat ahli fiqih madzhab Syafi’i:
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj Ar Ramli menerangkan : “Kalau orang kafir itu sudah masuk ke negeri kita, dan jarak antara kita dengan mereka tidak ada lagi, yaitu sejauh perjalanan yang kita boleh mengqashar shalat, maka penduduk negeri tersebut wajib jihad membela wilayah tersebut dari serangan musuh. Dan kewajiban ini berlaku juga bagi mereka yang asalnya tidak wajib perang seperti orang fakir, anak-anak, hamba sahaya, orang yang terlibat hutang dan wanita.” (Nihayat al-Muhtaj, 8:58)
  1. Pendapat para ahli fiqih Madzhab Hambali
Dalam kitab Al Mughni, Ibnu Qudamah menerangkan: “Dan jihad itu wajib dalam tiga keadaan:
a.    Apabila barisan tentara muslimin bertemu dengan barisan tentara kafirin di medan perang.
b.    Apabila orang kafir masuk ke negeri yang penduduknya diwajibkan memerangi orang kafir itu (yakni penduduk negeri yang Islam)
c.     Bila imam kaum muslimin mengeluarkan perintah jihad.” (al-Mughni, 8:345)
Ibnu Taimiyah berkata : “Apabila musuh telah masuk menyerang negeri Islam maka tidak diragukan lagi bahwa wajib atas setiap orang Islam yang dekat dengan negeri yang diserang itu dan kemudian yang lebih dekat.  Karena seluruh negeri Islam pada hakikatnya adalah satu negara yang tak terpisahkan.  Maka oleh sebab itu wajib atas setiap muslim pergi berperang menuju wilayah yang diserang itu dengan tanpa izin orang tua dan tidak pula izin yang lainnya. Dan keterangan-keterangan Imam Ahmad amat terang dalam masalah ini.” (al-Fatawa al-Kubra, 4:608)
Keadaan yang digambarkan para ahli fiqih tersebut dikenal dengan nama “Nafirul A’m” (seruan umum untuk keluar memerangi musuh).

DALIL-DALIL PERINTAH UMUM UNTUK BERPERANG DAN KEWAJIBAN MENTAATINYA
1.    Allah SWT berfirman:
“Berangkatlah kamu untuk berperang baik kamu merasa ringan maupun kamu merasa berat dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At Taubah: 41)
Dan sebelum ayat ini Allah SWT telah menerangkan adzab dan balasan bagi orang yang menolak atau tidak ikut dalam menjalankan perintah umum untuk berperang.  Dan kita telah sama mengeahui bahwa tidak ada siksaan terhadap orang yang meninggalkan suatu perintah kecuali kalau perintah itu wajib dan juga siksaan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang haram.
Allah SWT berfirman:
Kalau kamu tidak mau pergi berperang, nicaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak dapat memberi kemudharatan kepada Nya sedikitpun.  Dan Allah  Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At Taubah 39)
Ibnu Katsir menyatakan : “Allah SWT telah memerintahkan dan juga Rasul-Nya telah memerintahkan untuk keluar berperang kepada segenap kaum muslimin di tahun peperangan tabuk untuk memerangi musuh Allah dari bangsa Rum yang kafir dari kalangan ahli kitab.  Dan Bukhari telah menjadikan bab tersendiri dalam shahihnya dengan nama : Bab kewajiban berperang dan perkara yang diwajibkan dalam jihad dan niat.
Bukhari dalam bab ini mencantumkan sebab turunnya ayat ini (At Taubah 41). Dikatakan bahwa perintah umum berperang itu disebabkan oleh adanya berita yang didengar kaum muslimin bahwa kerajaan Rum telah melampaui perbatasan jazirah Arab untuk menyerang Madinah. Maka bagaimanakah kalau orang kafir telah masuk ke negeri muslimin, tentunya perintah umum berperang lebih wajib lagi.  Abu Thalhah menyatakan: dalam hal makna kalimat  خِفَافًا وَثِقَالاً dalam ayat ini (yakni ayat 41) ialah: Bermakna orang tua dan pemuda (wajib berangkat berperang). Allah SWT tidak akan meminta alasan dari siapapun untuk meninggalkan kewajiban berperang ini”. (Mukhtashar Ibnu Katsir, 2:144)
Hasal Al Bashri menyatakan bahwa makna خِفَافًا وَثِقَالاً ialah wajib pergi berjihad dalam keadaan sulit maupun mudah.
Ibnu Taimiyah dalam Majma’ul Fatawa jilid 28 halaman 358 menyatakan : “Maka apabila musuh akan menyerang kaum muslimin, maka wajib atas kaum muslimin yang diserang maupun yang tidak diserang untuk membela diri dan melawan serangAN musuh tersebut.  Sebagaimana firman Allah SWT Ta’ala:
“Bila mereka minta tolong kepadamu dalam membela agamanya, maka wajib atas kamu menolong mereka”. (Al-Anfal: 72)
Dan juga sebagaimana perintah Rasulullah SAW kepada kaum muslimin agar mereka menolong atau membela saudaranya sesama kaum mukminin.  Dan kewajiban jihad ini sama beratnya atas orang yang mampu menyediakan harta untuk peperangan tersebut ataupun yang tidak mampu.  Dan jihad yang seperti ini wajib atas setiap muslim dengan segala kemungkinan yang dipunyai oleh setiap orang dari segi tenaga maupun harta, baik yang sedikit maupun yang banyak hartanya, baik yang berjalan kaki maupun yang berkendaraan, sebagaimana keadaan kaum muslimin ketika musuh mereka bermaksud menyerang mereka di peperangan khandaq.  Dalam peperangan ini Allah SWT tidak mengizinkan siapapun untuk meninggalkan kewajiban ikut berjihad”.
Az Zuhri menyatakan : “Said bin Musayyab pergi berperang dan aku juga ikut pergi berperang bersamanya. Maka orang menyatakan kepada Said: “Engkau ini dalam keadaan sakit hendaknya jangan ikut berperang.” Maka Said menyatakan: “Allah SWT telah meminta kaum muslimin pergi berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat. Maka kalaupun aku (karena sakitku) tidak mampu ikut menyerang musuh, aku ikut berperang sekadar memperbanyak jumlah pasukan dan menjaga barang-barang pasukan. (al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, 8:150)
2.    Allah SWT berfirman:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwa Allah  itu beserta orang-orang yang bertakwa” (At Taubah: 36)
Ibnul ‘Arabi menyatakan : “Makna - Kaaffatan كافة - ialah dengan mengepung mereka yaitu kaum musyrikin dari segala arah dan keadaan”. (al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, 8:150)
3.    Allah  SWT berfirman:
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan sampai agama itu semuanya untuk Allah.” (Al Anfal : 39)
Yang dimaksud dengan fitnah di ayat ini ialah syirik sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas dan As Suddi. (al-Qurthubi, 2:253)
Oleh sebab itu bila orang kafir menyerang dan menduduki suatu negara Islam, sehingga umat Islam padanya merasa tidak aman lagi dalam menjalankan agamanya dan si kafir terus-menerus melakukan usaha-usaha pengaburan aqidah kaum muslimin pada negeri tersebut, maka  pada saat itulah wajib atas setiap muslim bangkit untuk membela agama dan diri mereka serta membela kehormatan dan harta mereka.
4.    Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada hijrah (dari Mekah ke Madinah) setelah pembebasan kota Mekah. Yang ada ialah jihad dan niat (yang baik). Maka oleh sebab itu bila kamu diseru untuk berjihad memerangi orang kafir maka keluarlah”. (HR Bukhari)
Maka umat Islam wajib pergi berjihad bila diseru untuk itu.  Dan dalam keadaan mereka diserang oleh orang kafir, umat Islam dengan otomatis wajib berperang (walaupun tidak ada yang menyerukannya untuk itu) guna melindungi agamanya.  Dan sandaran wajib berperang atas umat Islam itu ialah keperluan umat Islam untuk membela diri atau karena seruan imam untuk berperang.  Demikianlah pernyataan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam menerangkan hadits ini.
Al Qurtubi menyatakan : “Setiap orang Islam yang tahu kelemahan kaum muslimin dalam menghadapi musuh mereka, dan dia tahu bahwa dia mampu menghadapi musuh tersebut dan memungkinkan baginya untuk mengusir orang kafir tersebut, maka wajib dia membantu kaum muslimin yang diserang oleh orang kafir itu.” (Fath al-Bari, 6;30)
5.    Sesungguhnya semua agama yang turun dari sisi Allah SWT, datang ke muka bumi untuk memelihara lima perkara penting, yaitu: agama, diri pribadi, kehormatan, akal, dan harta.  Oleh sebab itu wajib memelihara lima perkara tersebut dengan jalan apapun.  Dan dari itu pula Islam mensyariatkan membela diri dari serangan musuh. (Jami’ al-Ahkam, 8;150)
Adapun yang dikatakan penyerang itu ialah mereka yang menyerbu pihak lain dengan paksa dan bertujuan menguasai diri yang diserang atau hartanya atau kehormatannya atau negerinya.
Sedangkan yang dikatakan penyerang ada dua macam:
a.    Penyerang atau perampas kehormatan.  Dalam hal ini walaupun penyerang itu muslim maka wajib untuk dilawan. Para ahli fiqih sepakat bahwa perlawanan itu wajib walaupun menyebabkan terbunuhnya penyerang itu.  Para ahli fiqih berpendapat bahwa seorang wanita muslimah dilarang menyerah kepada musuh walaupun sampai terbunuh kalau dia takut kehormatannya dianiaya oleh musuh tersebut.
b.    Penyerang atau perampas harta atau jiwa yang menurut jumhur ulama wajib dilawan, walaupun perlawanan itu menimbulkan terbunuhnya penyerang yang muslim.  Ini adalah merupakan pendapat yang kuat dalam Madzhab Maliki dan Syafi’i.
Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa terbunuh karena membela hartanya maka dia itu syahid dan barangsiapa terbunuh karena membela darahnya maka dia itu syahid dan barang siapa terbunuh karena membela agamanya maka dia itu syahid dan barangsiapa terbunuh karena membela keluarganya maka dia itu syahid” (HR Tirmidzi dan Nasai).
Al Jashshash menjelaskan : “Tidak ada khilaf di kalangan ulama bahwa bila seseorang menghunuskan pedangnya terhadap seorang lainnya untuk membunuhnya dengan kezaliman, maka wajib atas kaum muslimin untuk membunuh penyerang tersebut”. (Ahkam al-Qur’an, 1;2402)
Dalam hal ini bila penyerang atau perampas terbunuh maka dia masuk neraka walaupun dia muslim dan bila orang yang diserang itu terbunuh maka dia syahid.
Ini adalah hukum penyerang yang muslim.  Lalu bagaimana pula bila penyerang itu adalah kafir yang mereka itu menyerang negeri kaum muslimin dimana pada waktu itu agama, kehormatan, harta, dan jiwa terancam hilang atau rusak.  Bukankah dalam keadaan ini wajib atas kaum muslimin melawan negara kafir yang menyerang itu?
6.    Bila orang kafir menawan kaum muslimin dan kemudian tawanan itu dijadikan lindungan dalam gerak maju mereka guna merampas negeri-negeri Islam, maka tetap wajib atas kaum muslimin untuk menyerang orang kafir tersebut walaupun mengakibatkan terbunuhnya kaum muslimin yang ditawan itu. 
Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Majma’ul Fatawa 28/537 sebagai berikut : “Bahkan kalau seandainya di dalam orang kafir itu ada orang yang shalih dari sebaik-baik manusia dan tidak mungkin menyerang tentara kafir itu kecuali dengan membunuh orang shalih itu, maka terpaksa orang-orang shalih itu dibunuh juga.  Karena para Imam empat madzhab telah sepakat bahwa bila orang kafir menawan orang-orang Islam dan dijadikan tameng hidup untuk menghindarkan serangan kaum muslimin dan dihawatirkan bila tidak menyerang orang kafir itu, akan membahayakan kaum muslimin seluruhnya, maka pada saat itu boleh menembak mereka yang menjadi tameng hidup itu –tetapi dengan target tembakan orang kafir. Dan menurut pendapat salah seorang ulama, bahwa walaupun tidak dikhawatirkan hal itu akan membahayakan kaum muslimin pada umumnya, tetap boleh menyerang kaum kafir yang menyebabkan kematian orang-orang Islam yang tertawan tersebut”. 
Dan dalam halaman 45 dalam kitab dan jilid yang sama, Ibnu Taimiyah menyatakan : “Menurut sunnah dan ijma’ yang keduanya sepakat bahwa penyerang yang muslim sekalipun, bila yang diserang tidak bisa membela diri kecuali dengan membunuhnya, maka penyerang itupun boleh dibunuh. Dalam hadits shahih Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa terbunuh dalam membela hartanya maka dia itu syahid.”
Hukum yang demikian ini haruslah ada karena kepentingan melindungi kaum muslimin secara umum dari bahaya fitnah dan syirik.  Dan melindungi agama mereka serta kehormatan mereka adalah lebih diutamakan daripada melindungi beberapa gelintir orang Islam yang ditawan itu dan dijadikan perlindungan oleh orang kafir tersebut.
7.    Memerangi kelompok pengacau
Allah SWT SWT berfirman:
“Dan jika ada dua golongan dari orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.  Jika salah satu dari keduanya berbuat anaiaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat anaiaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Dan berlaku adillah sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al Hujurat: 9).
Kalau Allah SWT memerintahkan kita untuk memerangi kelompok pengacau yang mereka itu muslim untuk menjaga persatuan umat Islam dan melindungi agama, kehormatan dan harta mereka, maka bagaimana pula hukumnya memerangi negara kafir yang durhaka kepada Allah SWT, bukankah yang demikian itu lebih utama dan lebih dianjurkan.
8.    Hukum orang yang memerangi atau memusuhi Islam
“Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).  Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang berat.” (Al Maidah: 33)
Ini adalah hukum bagi orang Islam yang memerangi kaum muslimin, menakut-nakuti mereka dan membuat kerusakan di muka bumi serta mempermainkan harta orang ramai dan menginjak-injak kehormatan mereka.  Sungguh Rasulullah SAW telah menjalankan hukum ini terhadap orang-orang Urniyyin sebagaimana yang terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim.
Di dalam hadis yang diriwayatkan dari Anas, bahwa sekelompok orang dari suku ‘Ukl dan Urainah hendak masuk Islam, tetapi mereka berkhianat maka Rasulullah memerintahkan untuk mendatangi mereka dan menghukum mereka dengan  mencongkel mata mereka, memotong tangan dan kaki mereka Maka bagaimana pula dengan negara kafir yang membuat kerusakan di kalangan manusia dengan merusakkan agama, harta, dan kehormatan mereka. Sesungguhnya mengusir musuh adalah kewajiban yang paling utama setelah beriman, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Inilah sebagian dalil-dalil dan keharusan mentaati perintah umum berperang apabila orang kafir masuk menduduki negeri kaum muslimin. Dan memerangi musuh yang kafir adalah seutama-utama kewajiban setelah kewajiban iman. (Al-Fatawa Al Kubra, 4/608)

HUKUM PERANG DI PALESTINA DAN AFGHANISTAN
Telah jelas dalam uraian di atas, bahwa bila sejengkal tanah kaum muslimin dilanggar oleh musuh mereka. maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas penduduk negeri tersebut dan penduduk sekitarnya yang berdekatan dengannya.  Dan kalau mereka tidak mampu atau kemampuannya terbatas atau mereka malas, maka bertambah lebarlah wilayah yang penduduknya terkena kewajiban jihad sehingga kewajiban itu terkena kepada segenap kaum muslimin di barat maupun di timur. Maka dalam situasi yang demikian ini tidak ada lagi keharusan idzin bagi seorang istri kepada suaminya untuk berangkat jihad dan juga tidak ada keharusan idzin bagi anak kepada orang tuanya untuk berangkat berjihad atau orang yang terlibat utang dari orang orang yang menghutanginya.
Karena itu perlu diketahui bahwa:
1.    Kaum muslimin secara keseluruhan tetap berdosa selama ada negeri Islam yang diduduki orang kafir.
2.    Bertambah besar kemampuannya maka bertambah besar pula dosanya. Oleh sebab itu dosa para ulama, para dai dan para pemimpin adalah lebih besar dibanding dengan masyarakat awam.
3.    Sesungguhnya dosa generasi sekarang ini akibat jatuhnya Afghanistan, Palestina, Philipina, Kasymir, Libanon, Chechnya, Eritira adalah lebih besar dibanding dosa jatuhnya kerajaan Islam yang dahulu.  Karena kerajaan yang dulu jatuh setelah melalui perjuangan yang dahsyat.  Sedangkan jatuhnya negeri-negeri Islam sekarang akibat kaum muslimin mengundur-undurkan keberangkatan mereka berjihad.
Dan kita semua menyatakan : bahwa sekarang ini harus kita pusatkan perjuangan kita di Afghanistan dan Palestina.  Karena keduaya adalah merupakan masalah pokok, dan musuh yang menjajah dan membuat tipu daya di dua wilayah tersebut mempunyai program perluasan ke wilayah-wilayah sekitarnya secara keseluruhan. Juga penyelesaian masalah Palestina dan Afghanistan adalah merupakan penyelesaian banyak masalah di negeri-negeri Islam lainnya, dan melindungi kedua negeri tersebut dari akibat pengrusakan musuh, juga merupakan perlindungan terhadap wilayah-wilayah Islam lainnya secara keseluruhan.

FARDHU ‘AIN DAN FARDHU KIFAYAH
Fardhu ‘ain itu ialah fardu yang harus dilakukan oleh setiap muslim, seperti shalat dan puasa.  Fardhu kifayah ialah fardu yang bila telah dijalankan oleh sebagian orang, maka kewajiban itu berarti telah terlaksanakan dan gugurlah kewajiban itu atas yang lainnya sebaliknya bila semua orang yang dikenai kewajiban itu tidak menjalankannya, maka semuanya berdosa. Oleh karenanya alamat perintah itu pada mulanya kepada semua orang seperti fardhu ‘ain. Kemudian perbedaannya dengan fardhu ‘ain ialah bila fardhu kifayah itu telah dilaksanakan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban itu atas yang lain, sedangkan fardhu ‘ain tidak gugur kewajiban itu karena sebagian orang yang melaksanakannya (al-Mughni, 8;345). Oleh sebab itu Al Fachrur Razi menyatakan, bahwa fardhu kifayah itu suatu fardu yang dituntut melakukannya tanpa melihat siapa yang mengerjakannya (Lihat ar-Razi, al-Mahshul, tahqiq Dr. Thaha Jabir, 2;31). Imam Syafi’i menyatakan: “Sesungguhnya fardhu kifayah ialah suatu kewajiban atas orang umum sedangkan yang dikehendaki untuk mengerjakannya adalah orang-orang tertentu.” (Abu Zahrah, Ushul Fiqh)
Sedangkan jumhur ulama Ushul Fiqh termasuk Ibnul Hijab Al Amidi dan Ibnu Abdusysyakur berpendapat bahwa fardhu kifayah diwajibkan atas semua orang dan gugur kewajiban itu karena dikerjakan oleh sebagian orang.  Dan sebagian orang pada masa kini memperdebatkan hukum jihad, sehingga mereka menganggap bahwa hukum jihad ialah fardhu kifayah.  Sedangkan fardhu kifayah itu diwajibkan atas semua orang dan gugur kewajiban itu karena sebagian orang telah mengerjakannya.

IDZIN KEDUA ORANG TUA, SUAMI, DAN ORANG YANG MENGHUTANGI
Hukum idzin untuk pergi berperang tergantung kepada keadaan perang yang akan diikuti itu.  Oleh sebab itu hukum idzin untuk pergi berperang ada dua perkara:
1.    Bila musuh masih berada di negaranya dan tidak bermaksud menyerang perbatasan wilayah negara kaum muslimin, dan di negara bertempatnya tentara kafir itu kaum muslimin hanya sedikit dan tentara kafir itu tidak membahayakan, dan negara kaum muslimin penuh dengan tentara kaum muslimin yang menjaganya, maka dalam keadaan ini jihad hukumnya fardhu kifayah.  Dan untuk jihad semacam ini anak harus idzin kepada kedua orang tuanya.  Istri juga harus izin kepada suaminya. Karena ketaatan kepada kedua orang tua dan suami adalah fardhu ‘ain sedangkan jihad semacam ini fardhu kifayah.  Maka fardhu ‘ain harus lebih diutamakan daripada fardhu kifayah.
2.    Tetapi kalau musuh sudah menggempur perbatasan wilayah kaum muslimin atau bahkan telah masuk ke salah satu negara kaum muslimin, maka hukum jihad menjadi fardhu ‘ain atas setiap kaum muslimin sebagaimana yang telah kita bahas di atas.  Dan dalam situasi ini telah gugur kewajiban idzin kepada siapapun.  Sehingga tidak ada lagi kewajiban seorang muslim untuk minta idzin kepada siapapun untuk pergi berperang.  Anak harus pergi berjihad tanpa idzin kepada kedua orangnya, istri pergi berjihad tanpa harus idzin kepada suaminya, dan orang yang terlibat hutang keluar berjihad tanpa harus minta idzin kepada yang menghutanginya.  Dan keharusan pergi berjihad tanpa harus idzin dari siapapun ini, terus berlangsung sampai tentara kafir yang menyerang itu keluar dari negeri kaum muslimin yang diserang itu atau tentara mujahidin telah mencapai jumlah yang mencukupi untuk mengusir tentara kafir yang menyerang itu dari negara yang diserang tersebut.
Dan jihad dalam situasi demikian yang merupakan fardhu ‘ain itu lebih diutamakan daripada taat kepada kedua orang tua yang juga fardhu ‘ain.  Karena jihad adalah untuk melindungi agama sedangkan taat kepada orang tua adalah untuk melindungi pribadi orang tua tersebut.  Karena berangkat berjihad diduga menyedihkan kedua orang tua atau menyengsarakannya. Sedangkan memelihara agama adalah lebih diutamakan daripada memelihara diri orang tua. Dan memelihara agama itu adalah perintah yang yakin sedangkan binasanya kedua orang tua (karena kesedihannya disebabkan oleh syahidnya sang anak) adalah perkara yang masih diduga akan terjadi.  Maka tentunya yang yakin itu lebih diutamakan daripada yang masih diragukan.

CONTOH FARDHU ‘AIN DAN FARDHU KIFAYAH
Misalnya ada sekumpulan orang yang sedang berlibur di tepi pantai.  Di kalangan mereka ada sekelompok orang yang mahir berenang.  Tiba-tiba mereka melihat ada anak kecil yang hampir tenggelam dan dia menjerit minta tolong dan tidak ada seorang pun dari perenang  itu yang menolongnya.  Maka ketika seorang laki-laki yang pandai berenang akan menolong anak tersebut, tiba-tiba ayah laki-laki itu melarangnya untuk melakukan pertolongan.  Apakah ada seorah ahli fiqih yang menyatakan bahwa perenang itu harus mentaati ayahnya dan membiarkan anak tersebut mati tenggelam?  Dan ini adalah contoh keadaan di Afghanistan sekarang ini.  Karena Afghanistan telah meminta tolong, di sana anak-anak kecil disembelih, tanah-tanahnya dirampas dan orang-orang baiknya dibunuh dan perburuan terhadap manusia tersebar di mana-mana.
Dan ketika beberapa pemuda yang mempunyai iman yang kuat ingin menolong kaum muslimin Afghanistan itu, tiba-tiba para  pemuda itu dihadapkan kepada pertanyaan: “Bagaimanakah kamu berangkat jihad ke Afghanistan padahal kamu belum idzin kepada kedua orang tuamu?”
Menyelamatkan anak yang akan tenggelam tadi adalah fardhu atas setiap perenang yang melihatnya.  Dan sebelum seseorang dari mereka bergerak menolong anak tersebut, kewajiban itu tidak akan hilang atas semua dari mereka. Sehingga kalau anak tersebut tenggelam dan mati karena tidak ada yang berusaha menolongnya, segenap perenang tadi berdosa.
Ibnu Taimiyah menyatakan, “Bila musuh telah menyerang ke suatu negeri kaum muslimin, tidak ada khilaf di kalangan ulama, sesungguhnya mencegah bahaya musuh terhadap agama, jiwa dan kehormatan kaum muslimin adalah sesuatu yang wajib.” (al-fatawa al-Kubra, 4;607)
Adapun dalil keharusan meminta idzin kepada kedua orang tua adalah ketika perang termasuk fardhu kifayah, ketika hukum turut berperang menjadi fardhu ‘ain tidak perlu ada idzin orang tua, berdasarkan pemahaman kedua hadis berikut:
‘Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a.: Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW meminta idzin daripadanya untuk berjihad.  Maka Nabi SAW bertanya kepadanya: Apakah kedua orang tuanya masih hidup? Dijawab: Ya! Maka Nabi SAW bersabda: Berbakti kepada keduanya adalah jihad.” (HR Bukhari)
“Dari Abdullah bin Amr r.a.: Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW kemudian dia menanyakan kepada beliau tentang amal yang utama. Rasulullah menjawab: Shalat. Dia bertanya lagi: kemudian apa? Beliau menjawab: Jihad. Kemudian laki-laki itu menyatakan: Aku mempunyai dua orang tua. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadanya: Aku menganjurkan kepadamu untuk berbuat baik kepada kedua orang tuamu. Lelaki itu menyatakan: Aku bersumpah demi yang mengutus engkau dengan benar, aku akan berjihad dan aku akan tinggalkan keduanya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Engkau lebih tahu (urusanmu).” (HR Ibnu Hibban, Hadits Hasan)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa bila kedua hadits tersebut dikompromikan maka mengandung kemungkinan jihad yang dimaksudkan dalam jihad yang fardhu ‘ain. (Fath al-bari, 6;106)
Share on :

1 komentar:

Jefry mengatakan...

Terima kasih atas penjelasannya, sekarang saya tahu hukumnya membela bangsa muslim yang terjajah dan sedang dilanda peperangan

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011