Senin, 26 Desember 2011

Demokrasi Adalah Sebuah Agama

A. PENDAHULUAN


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Para fuqaha’ (ahli fiqih) berkata : Nama itu ada tiga macam. pertama; nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui syari’at seperti shalat dan zakat. Kedua; nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui bahasa seperti matahari dan bulan. Ketiga; adalah nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui kebiasaan seperti kata “segenggam” dan kata “baik” sebagaimana firman Allah :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
”dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik”. (Qs. An-Nisa’ : 19)
(Majmu’ Fatawa XIII/82)

Dan perkataan ini beliau ulang-ulang dalam beberapa tempat diantaranya pada Majmu’ Fatawa VII/286 dan XIX/235. Karena kata demokrasi ini adalah kata yang tidak dikenal dalam bahasa Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya harus dikembalikan kepada pemilik bahasa dan para pencetusnya.

Dalam hal ini Ibnul Qayyim mengatakan dalam “Ahkamul Mufti” : “Seorang mufti tidak diperbolehkan berfatwa dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiyat dan yang lainnya yang berkaitan dengan kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami kata-kata tersebut tanpa mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya, sehingga kata-kata tersebut dipahami sebagaimana apa yang biasa mereka gunakan meskipun bertentangan dengan hakekat asalnya, kalau ia tidak melakukannya maka ia akan sesat dan menyesatkan”. (I’lamul Muwaqqi’in IV/228)

Ini semua berkaitan dengan wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah demokrasi untuk mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud demokrasi adalah syuura (musyawarah), atau yang dimaksud adalah aktivitas politik atau nama-nama yang lain yang akan mengacaukan hakekatnya dan kemudian mengacaukan hukumnya. 

B. HAKEKAT DEMOKRASI

Karena demokrasi adalah istilah politik barat maka --- berdasarkan pendahuluan di atas --- harus dikembalikan kepada pemilik istilah tersebut untuk mengetahui artinya yang akan menentukan hukumnya.

Arti demokrasi menurut para penganutnya adalah : kedaulatan rakyat, dan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas tidak dikendalikan oleh kekuasaan apapun selainnya. Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini kadang rakyat mewakilkannya kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan.

Disebutkan dalam Mausu’atus Siyasah : “Semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya pada intinya demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan di tangan rakyat”. (Mausu’atus Siyasah tulisan Dr. Abdul Wahab Al-Kiyali II/756)

Beliau berkata tentang demokrasi perwakilan : “Yaitu bahwa rakyat --- sebagai pemegang kekuasaan --- tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat. Maka parlemen dalam demokrasi perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah muncul dari Inggris dan Perancis, kemudian berpindah ke negara-negara lain. (Mausu’atus Siyasah II/757)

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa demokrasi itu intinya adalah kedaulatan rakyat. Dan bahwa kedaulatan itu inti dasarnya adalah hak mutlak dalam membuat perundang-undangan yang tidak tunduk terhadap kekuasaan apapun selainnya. Dan berikut beberapa pengertian kedaulatan :

Abdul Hamid Mutawali --- dosen perundang-undangan --- berkata : “Demokrasi adalah perundang-undangan yang dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat sedangkan kedaulatan sesuai dengan pengertiannya adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya”. (Andzimatul Hukmi Fid Dualin Namiyah, Dr. Mutawali, hal. 625)

Yosep Frankl --- seorang politikus barat --- berkata : “Yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi daripadanya atau berada di belakangnya yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan inilah arti dasar yang tidak pernah mengalami perubahan selama ini.

Sedangkan definisi kedaulatan menurut John Bodn pada tahun 1576 M yang intinya : bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi berada di atas penduduk dan rakyat yang tidak dibatasi oleh undang-undang, definisi kedaulatan ini tetap benar meskipun arti kedaulatan yang dimaksud Bodn adalah pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah kepada rakyat”. (Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah tulisan Yosep Frankl, hal. 25) 

C. SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI MODERN

Demokrasi bermula dari Revolusi Perancis pada tahun 1789 M, meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya prinsip kedaulatan rakyat – yang merupakan dasar pemikiran demokrasi – telah tersebar sebelum terjadinya Revolusi Perancis selama beberapa puluh tahun. Yaitu dalam tulisan-tulisan John Locke, Montesqiue dan Jan Jacque, orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar pemikiran kedaulatan rakyat. Hal itu sebagai reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada tuhan yang berkembang di Eropa selama kurang lebih sepuluh abad. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa para raja itu menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Allah.

Dengan demikian maka para raja itu mempunyai kekuasaan mutlak yang diperkuat dengan dukungan dari para paus. Rakyat Eropapun sangat menderita lantaran sistem ini. Dan kedaulatan rakyat ketika itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para paus yang berkuasa atas dasar perwakilan tuhan ---sebagaimana pengakuan mereka---.

Dengan demikian pada asalnya demokrasi itu adalah penentangan terhadap kekuasaan Allah, untuk memberikan segala kekuasaan kepada manusia untuk membuat peraturan hidup dan perundang-undangannya sendiri tanpa batas apapun.

Dan perpindahan dari pemikiran kekuasaan berdasarkan perwakilan tuhan menuju pemikiran kedaulatan rakyat tidaklah berjalan dengan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah yang sangat dahsyat di dunia, yaitu yang dikenal dengan Revolusi Perancis pada tahun 1789 M, yang mana motto ketika itu adalah  “gantung raja terakhir dengan usus pendeta terakhir”.

Dr. Safar Al-Hawali berkata : “Revolusi itu melahirkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali di dalam sejarah Eropa nasrani sebuah negara republik sekuler yang berfalsafat kekuasaan atas nama rakyat, dan bukan atas nama Allah, bebas beragama sebagai ganti doktrin katolik, kebebasan setiap orang sebagai ganti dari ikatan perilaku keagamaan dan undang-undang ciptaan manusia sebagai ganti dari ketetapan-ketetapan gereja”. (Al-‘Ilmaniyah tulisan Dr. Safar Al-Hawali, hal. 178)

Pemikiran kedaulatan rakyat dan haknya dalam membuat undang-undang ini nampak jelas dalam prinsip-prinsip Revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal keenam dari proklamasi hak-hak azasi manusia pada tahun 1789 M tertera bahwa “Undang-Undang adalah manifestasi dari kehendak rakyat”, artinya bahwa undang-undang itu bukanlah manifestasi dari kehendak gereja atau kehendak Allah. Dalam proklamasi hak-hak azasi manusia yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang Perancis pada tahun 1793 M pasal keduapuluh lima menyatakan bahwa “kedaulatan terpusat pada rakyat”. (Dinukil dari Mabadi’ul Qanunid Dusturi tulisan Dr. As-Sayyid Shobri hal. 25)

Oleh karena itu Dr. Abdul Hamid Mutawali mengatakan : “Prinsip-prinsip revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip demokrasi barat”. (Andzimatul Hukmi Fid Duwalin Namiyah tulisan Dr. Mutawali hal.30) 

D. DEMOKRASI DALAM TIMBANGAN HUKUM SYAR’I

Yang menjadi patokan hukum demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa ada batasan apapun. Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan membuat undang-undang semaunya tanpa ada seorangpun yang berhak untuk mengkritisinya. Dan inilah sesungguhnya sifat Allah, sebagaimana firman Allah  :

وَاللّهُ يَحْكُمُ لاَ مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ
”Sesungguhnya Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya”.  (Qs. Ar-Ra’d : 41)

dan firman Allah  :

إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
 “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (Qs. Al-Maaidah : 1)

dan Allah  berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
 “Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”. (Qs. Al-Hajj : 14)

Kami ringkaskan dari penjelasan di atas bahwa demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang. Dengan demikian maka demokrasi menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah dan menjadikannya sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Dan ini adalah kufur akbar yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya.

Dengan ungkapan yang lebih detil lagi adalah bahwa tuhan baru dalam demokrasi adalah kemauan manusia. Ia membuat undang-undang sesuai dengan pemikiran dan kemauannya tanpa ada pembatas apapun. Allah  Ta’ala berfirman :

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ  أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan keinginannya sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu”. (Qs. Al-Furqan : 43-44)

Hal ini menjadikan demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah rakyat dan ini bertentangan dengan agama Islam yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah Allah . Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam  :

السَّيِدُ هُوَ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَى
”Penguasa itu Allah Tabaraka Wata’ala” . (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitaabul Adab dalam Kitab Sunan beliau dengan sanad shahih)

Ketika menerangkan penuhanan manusia di dalam demokrasi Ustadz Abul A’la Al-Maududi berkata :  ”Dasar-dasar kebudayaan barat : Sesungguhnya kebudayaan modern, yang menjadi landasan peraturan hidup pada masa sekarang ini, dengan berbagai macam cabang-cabangnya baik aqidah, akhlaq, perekonomian, politik dan intelektual, berfokus pada tiga pokok, yaitu prinsip-prinsip pokok berikut : sekulerisme, nasionalisme dan demokrasi”, --- sampai beliau berkata --- :

”Adapun prinsip ketiga adalah demokrasi atau penuhanan terhadap manusia. Dengan menggabungkannya dengan dua prinsip sebelumnya maka sempurnalah gambaran bencana dan kelelahan-kelelahan dunia ini. Telah kukatakan tadi bahwa pengertian demokrasi dalam kebudayaan modern adalah berkuasanya rakyat, artinya setiap penduduk negara merdeka pada segala hal yang berkaitan dengan merealisasikan kemaslahatan sosial mereka, dan perundang-undangan negara tersebut haruslah mengikuti keinginan mereka”, ---sampai beliau mengatakan--- :

”jika kita perhatikan tiga prinsip tersebut sekarang kita dapatkan : bahwa sekulerisme telah melepaskan manusia dari peribadahan, ketaatan dan ketakutan kepada Allah dan dari ikatan-ikatan akhlaq yang telah ditetapkan, dan melemparkan tali belenggunya dan menjadikan mereka hamba diri mereka sendiri tanpa bertanggung jawab di hadapan siapapun. Kemudian datang nasionalisme untuk menuangkan kepada mereka khamar individualis, kesombongan, kecongkakan dan meremehkan orang lain.
Kemudian terakhir datanglah demokrasi yang mendudukkan manusia ini ---setelah membebaskan dirinya dari belenggu yang mengikatnya lalau menjadi tawanan bagi hawa nafsunya dan tenggelam dalam individualisme--- di atas singgasana ketuhanan. Maka tunduklah segala kekuasaan perundang-undangan dan sarana pemerintahan kepadanya untuk mencapai segala sesuatu yang ia inginkan”. --- Kemudian Al-Maududi mengatakan --- :

”Dan saya katakan kepada umat Islam dengan terus terang, sesungguhnya demokrasi nasionalis sekuler bertentangan dengan agama dan aqidah yang kalian yakini, dan jika kalian tunduk kepadanya maka seolah-olah kalian meninggalkan kitabullah di belakang kalian, dan jika kalian ikut serta dalam menegakkannya atau dalam melanggengkannya maka berarti kalian telah mengkhianati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada kalian”, --- sampai beliau mengatakan --- : ”Maka selama sistem ini masih ada maka kami menganggap bahwa Islam itu tidak ada dan jika Islam itu ada maka tidak ada tempat bagi sistem ini”. (Dari buku “Al-Islam Wal Madaniyatul Haditsah” tulisan Al-Maududi) 

E. MEMBONGKAR BOROK DEMOKRASI 

Ketahuilah, sesungguhnya kata demokrasi yang busuk ini diambil dari bahasa Yunani bukan dari bahasa Arab. Kata ini merupakan ringkasan dari gabungan dua kata : (Demos) yang berarti rakyat dan (kratos) yang berarti hukum atau kekuasaan atau wewenang membuat aturan (tasyrii'). Jadi terjemahan harfiyyah dari kata demokrasi adalah : Hukum rakyat atau kekuasaan rakyat.

Makna tersebut merupakan makna demokrasi yang paling penting menurut para pengusungnya. Karena makna inilah mereka selalu bangga dengan memujinya, padahal makna ini (hukum, tasyri' dan kekuasaan rakyat) merupakan salah satu dari sekian ciri khusus kekafiran, kemusyrikan serta kebathilan yang sangat bertentangan dan bersebrangan dengan dienul Islam. Karena kita telah mengetahui dari uraian sebelumnya bahwa inti dari segala inti yang karenanya Allah menciptakan makhluk-Nya, dan menurunkan Kitab-Kitab-Nya serta mengutus Rasul-Rasul-Nya, dan yang merupakan ikatan yang paling agung di dalam Islam ini, yaitu adalah tauhidul ‘ibadah kepada Allah  saja dan menjauhi ibadah kepada selain-Nya. Karena sesungguhnya taat dalam pembuatan hukum merupakan bagian dari ibadah yang wajib hanya ditujukan kepada Allah semata, dan kalau seandainya orang tidak merealisasikannya, maka dia itu menjadi orang musyrik yang digiring bersama orang-orang yang binasa.

Ciri khusus ini sama saja baik diterapkan sesuai dengan ajaran demokrasi yang sebenarnya, sehingga keputusan (hukum) yang dirujuk itu adalah diserahkan kepada seluruh rakyat atau mayoritas mereka , sebagaimana yang menjadi impian tertinggi para demokrat dari kalangan orang-orang sekuler atau orang-orang yang mengaku Islam (Islamiyyin), atau hal itu (ciri khusus demokrasi) diterapkan seperti yang ada pada kenyataannya sekarang, dimana demokrasi itu (pada prakteknya) adalah keputusan (hukum) segolongan pemerintah dan kroni-kroninya dari kalangan keluarga dekatnya, atau para pengusaha besar dan konglomerat yang di mana mereka menguasai modal-modal usaha dan sarana-sarana informasi yang dengan perantaraannya mereka bisa mendapatkan kursi atau memberikan kursi parlemen (yang merupakan sarang kemusyrikan) kepada orang-orang yang mereka sukai.

Jadi demokrasi dari sisi mana saja dilihat dari kedua sisi (praktek) itu merupakan kekafiran terhadap Allah Yang Maha Agung, dan syirik terhadap Rabb langit dan bumi, serta bertentangan dengan millatuttauhid (Islam) dan dien para Rasul, berdasarkan alasan-alasan yang banyak, di antaranya :

Pertama : Sesungguhnya demokrasi adalah tasyrii'ul jamaahiir (penyandaran wewenang hukum kepada rakyat atau mayoritasnya) atau hukum Thaghut, dan bukan hukum Allah. Sedangkan Allah   memerintahkan Nabi-Nya  untuk menghukumi sesuai dengan apa yang telah Dia turunkan kepadanya, serta Dia melarangnya dari mengikuti keinginan umat, atau mayoritas orang atau rakyat, Dia menghati-hatikan Nabi-Nya agar jangan sampai mereka memalingkan dia dari apa yang telah Allah turunkan kepadanya, Allah Ta’ala berfirman :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”. (Qs. Al-Maaidah : 49)

Ini dalam ajaran tauhid dan dienul Islam. Adapun dalam agama demokrasi ada ajaran syirik, maka para penyembahnya berkata : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan rakyat, dan ikutilah keinginan mereka. Dan berhati-hatilah kamu jangan sampai kamu dipalingkan dari apa yang mereka inginkan dan mereka tetapkan hukumnya".

Begitulah yang mereka katakan dan inilah yang diajarkan dan ditetapkan oleh agama demokrasi. Ini merupakan kekafiran yang jelas dan kemusyrikan yang terang bila mereka menerapkannya, namun demikian sesungguhnya kenyataan mereka lebih busuk dari itu, sebab bila seseorang mau mengatakan tentang keadaan praktek mereka tentu dia pasti mengatakan : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan oleh para Thaghut dan kroni-kroninya, dan janganlah satu hukum dan satu undang-undang dibuat kecuali setelah ada pengesahan dan persetujuannya…!!!”.

Sungguh ini adalah kesesatan yang terang lagi nyata,
bahkan penyekutuan Pencipta dengan hamba-Nya secara aniaya

Kedua : Karena sesungguhnya itu adalah hukum rakyat atau Thaghut yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar, bukan yang sesuai dengan syari'at Allah . Begitulah yang ditegaskan oleh undang-undang dasar dan buku-buku panduan mereka yang mereka sakralkan dan mereka sucikan lebih dari pensucian mereka terhadap Al-Qur'an dengan bukti bahwa hukum undang-undang itu lebih didahulukan dan mendikte terhadap hukum dan syari'at Al-Qur'an. Dalam agama demokrasi, hukum dan perundang-undangan yang rakyat buat tidak bisa diterima --bila memang mereka (rakyat) memutuskan-- kecuali bila keputusan itu berdasarkan nash-nash Undang-Undang Dasar dan sesuai dengan materi-materinya, karena undang-undang itu adalah induk segala peraturan dan perundang-undangan serta kitab hukumnya yang mereka junjung tinggi.  

Dalam agama demokrasi ini ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits Rasulullah  tidak begitu dianggap, dan tidak mungkin suatu hukum atau undang-undang ditetapkan sesuai dengan ayat atau hadits kecuali bila hal itu sejalan dengan nash-nash Undang-Undang Dasar yang mereka junjung tinggi. Silahkan tanyakan hal itu kepada para pakar hukum dan perundang-undangan bila kita masih ragu tentangnya. Sedangkan Allah Ta’ala  berfirman :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs. An-Nisaa' :  59)

Adapun agama demokrasi mengatakan : “Bila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada rakyat, majelis perwakilannya, dan Presidennya sesuai dengan Undang-Undang Dasar dan aturan yang berlaku di bumi ini".

أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
”Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadahi selain Allah, maka apakah kalian tidak berakal?”.  (Qs. Al-Anbiya’ : 67) 

Oleh sebab itu bila mayoritas rakyat menghendaki penerapan hukum syari'at lewat jalur agama demokrasi ini dan lewat lembaga legislatif yang syirik ini, maka itu tidak bisa terealisasi kecuali lewat jalur undang-undang serta dari arah pasal-pasal dan penegasan undang-undang tersebut, karena itu adalah kitab suci agama demokrasi, atau silahkan katakan itu adalah Tauratnya dan Injilnya yang sudah dirubah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan selera mereka.

Ketiga : Sesungguhnya demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat busuk, dan anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari Negara dan hukum.

Sedangkan demokrasi adalah hukum rakyat   atau hukum Thaghut. Namun bagaimana-pun keadaannya sesungguhnya demokrasi bukanlah hukum Allah Yang Maha Besar lagi Maha Perkasa. Demokrasi sama sekali tidak mempertimbangkan hukum Allah yang muhkam (pasti), kecuali bila sesuai dan sejalan sebelumnya dengan undang-undang yang berlaku, dan bila sesuai dengan keinginan rakyat, serta sebelum itu semua harus sesuai dengan selera para Thaghut dan kroni-kroninya.

Oleh sebab itu bila rakyat seluruhnya mengatakan kepada Thaghut atau kepada arbaab (tuhan-tuhan) dalam demokrasi : “Kami ingin penerapan hukum Allah, dan tidak seorangpun memiliki hak untuk membuat hukum selama-lamanya baik itu rakyat atau para wakilnya atau penguasa, kami ingin menerapkan hukum Allah terhadap orang-orang murtad, pezina, pencuri, peminum khamr, dan kami juga ingin para wanita diwajibkan berhijab, kami melarang buka-bukaan, porno, cabul, zina, liwath (homosexual), dan perbuatan keji lainnya", maka dengan spontan para Thaghut dan para pengusung demokrasi itu akan mengatakan kepada mereka : “Ini bertentangan dengan paham demokrasi dan kebebasannya..!!”.

Inilah kebebasan agama demokrasi, yaitu melepaskan diri dari agama Allah, syari'at-Nya, dan melanggar batasan-batasannya.

Adapun hukum undang-undang bumi dan aturannya maka itu selalu dijaga, dijunjung tinggi dan disucikan (disakralkan) serta dilindungi dalam agama demokrasi mereka yang busuk, bahkan orang yang berusaha melanggarnya, menentangnya, atau menggugurkannya dia akan merasakan sanksinya.

F. MAKNA KATA ”DIEN”

Allah   berfirman :

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
”Sesungguhnya dien (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (Qs. Ali-’Imran : 19)

Dia   juga berfirman :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
”Barangsiapa mencari dien selain dien Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima dien itu daripadanya., dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Qs. Ali-’Imran : 85)

Didalam ayat-ayat ini Allah  mengatakan Islam sebagai ”Dien”. Kata ”Dien” didalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan ”Agama”. Namun banyak orang yang menganggap dien selain dien Islam itu hanya Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, atau Konghucu. Hal ini keliru, karena Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya  untuk mengatakan kepada orang-orang kafir Quraisy :

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
”bagimu agama-mu dan bagiku agama-ku”. (Qs. Al-Kaafirun : 6)

Lalu apa nama agama orang-orang Quraisy ? Jawabannya adalah ”Tidak ada nama”. Tapi karena mereka tidak mau mengikuti agama Islam, maka Allah  memerintahkan kepada Rasul-Nya   untuk mengatakan kepada orang-orang kafir Quraisy :

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
”bagimu agama-mu dan bagiku agama-ku”. (Qs. Al-Kaafirun : 6)

Dan diantara makna ”Dien” adalah Undang-Undang, Keputusan, dan Kedaulatan, sebagaimana firman-Nya   tentang Nabi Yusuf ’alaihissalam :

كِدْنَا لِيُوسُفَ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
”Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja”. (Qs. Yusuf : 76)

Banyak ahli tafsir berkata, الْمَلِكِ دِينِ (dienil maalik) adalah Undang-Undang/ Ketentuan/ Kedaulatan Raja.  Sebagaimana Yahudi adalah dien, Nasrani adalah dien, Hindu adalah dien, Majusi adalah dien, maka begitu juga Demokrasi adalah dien, Komunis adalah dien, Sekuler adalah dien, Sosialis adalah dien, Undang-Undang adalah dien, dan Peraturan Pemerintah adalah dien.

Kesimpulannya : Sesungguhnya kata agama (dien) itu mencakup segala paham (millah), jalan hidup (manhaj), atau aturan hukum, atau undang-undang yang dijadikan rujukan oleh umat manusia dan mereka merujuk kepadanya.. Wallahu a’lam.
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011