A.
PENDAHULUAN
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata : “Para fuqaha’ (ahli fiqih) berkata : Nama itu ada tiga macam. pertama;
nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui syari’at seperti shalat dan zakat.
Kedua; nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui bahasa seperti matahari dan
bulan. Ketiga; adalah nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui kebiasaan
seperti kata “segenggam” dan kata “baik” sebagaimana firman Allah :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
”dan
pergaulilah istri-istrimu dengan baik”. (Qs.
An-Nisa’ : 19)
(Majmu’ Fatawa XIII/82)
Dan perkataan ini beliau
ulang-ulang dalam beberapa tempat diantaranya pada Majmu’ Fatawa VII/286 dan
XIX/235. Karena kata demokrasi ini adalah kata yang tidak dikenal dalam bahasa
Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya harus dikembalikan kepada
pemilik bahasa dan para pencetusnya.
Dalam hal ini Ibnul Qayyim
mengatakan dalam “Ahkamul Mufti” : “Seorang mufti tidak diperbolehkan berfatwa
dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiyat dan yang lainnya yang berkaitan dengan
kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami kata-kata tersebut tanpa
mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya, sehingga kata-kata tersebut
dipahami sebagaimana apa yang biasa mereka gunakan meskipun bertentangan dengan
hakekat asalnya, kalau ia tidak melakukannya maka ia akan sesat dan menyesatkan”.
(I’lamul Muwaqqi’in IV/228)
Ini semua berkaitan dengan
wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah demokrasi untuk
mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud
demokrasi adalah syuura (musyawarah), atau yang dimaksud adalah aktivitas
politik atau nama-nama yang lain yang akan mengacaukan hakekatnya dan kemudian
mengacaukan hukumnya.
B. HAKEKAT
DEMOKRASI
Karena demokrasi adalah
istilah politik barat maka --- berdasarkan pendahuluan di atas --- harus
dikembalikan kepada pemilik istilah tersebut untuk mengetahui artinya yang akan
menentukan hukumnya.
Arti demokrasi menurut para
penganutnya adalah : kedaulatan rakyat, dan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan
tertinggi dan tanpa batas tidak dikendalikan oleh kekuasaan apapun selainnya.
Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam membuat
perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini kadang rakyat mewakilkannya
kepada orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para
wakil tersebut mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan.
Disebutkan dalam Mausu’atus
Siyasah : “Semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu
bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya
pada intinya demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan di tangan rakyat”.
(Mausu’atus Siyasah tulisan Dr. Abdul Wahab Al-Kiyali II/756)
Beliau berkata tentang
demokrasi perwakilan : “Yaitu bahwa rakyat --- sebagai pemegang kekuasaan ---
tidak melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan
tetapi menyerahkannya kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa
tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan kekuasaan dengan
mengatasnamakan rakyat. Maka parlemen dalam demokrasi perwakilan adalah yang
memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan rakyat
melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara
sejarah muncul dari Inggris dan Perancis, kemudian berpindah ke negara-negara
lain. (Mausu’atus Siyasah II/757)
Dari keterangan di atas
jelaslah bahwa demokrasi itu intinya adalah kedaulatan rakyat. Dan bahwa
kedaulatan itu inti dasarnya adalah hak mutlak dalam membuat perundang-undangan
yang tidak tunduk terhadap kekuasaan apapun selainnya. Dan berikut beberapa
pengertian kedaulatan :
Abdul Hamid Mutawali ---
dosen perundang-undangan --- berkata : “Demokrasi adalah perundang-undangan
yang dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat sedangkan kedaulatan sesuai
dengan pengertiannya adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang
lebih tinggi dari padanya”. (Andzimatul Hukmi Fid Dualin Namiyah, Dr. Mutawali,
hal. 625)
Yosep Frankl --- seorang
politikus barat --- berkata : “Yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan
tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi daripadanya atau
berada di belakangnya yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan
inilah arti dasar yang tidak pernah mengalami perubahan selama ini.
Sedangkan definisi kedaulatan
menurut John Bodn pada tahun 1576 M yang intinya : bahwa kedaulatan adalah
kekuasaan tertinggi berada di atas penduduk dan rakyat yang tidak dibatasi oleh
undang-undang, definisi kedaulatan ini tetap benar meskipun arti kedaulatan
yang dimaksud Bodn adalah pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah
kepada rakyat”. (Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah tulisan Yosep Frankl, hal. 25)
C. SEJARAH
PERKEMBANGAN DEMOKRASI MODERN
Demokrasi bermula dari
Revolusi Perancis pada tahun 1789 M, meskipun sistem perwakilan parlemen ini
telah bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran
sesungguhnya prinsip kedaulatan rakyat – yang merupakan dasar pemikiran
demokrasi – telah tersebar sebelum terjadinya Revolusi Perancis selama beberapa
puluh tahun. Yaitu dalam tulisan-tulisan John Locke, Montesqiue dan Jan Jacque,
orang-orang yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar
pemikiran kedaulatan rakyat. Hal itu sebagai reaksi dan perlawanan terhadap
pemikiran penyerahan diri kepada tuhan yang berkembang di Eropa selama kurang
lebih sepuluh abad. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa para raja itu
menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Allah.
Dengan demikian maka para
raja itu mempunyai kekuasaan mutlak yang diperkuat dengan dukungan dari para
paus. Rakyat Eropapun sangat menderita lantaran sistem ini. Dan kedaulatan
rakyat ketika itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan mutlak para
raja dan para paus yang berkuasa atas dasar perwakilan tuhan ---sebagaimana
pengakuan mereka---.
Dengan
demikian pada asalnya demokrasi itu adalah penentangan terhadap kekuasaan
Allah, untuk memberikan segala kekuasaan kepada manusia untuk membuat peraturan
hidup dan perundang-undangannya sendiri tanpa batas apapun.
Dan perpindahan dari
pemikiran kekuasaan berdasarkan perwakilan tuhan menuju pemikiran kedaulatan
rakyat tidaklah berjalan dengan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah
yang sangat dahsyat di dunia, yaitu yang dikenal dengan Revolusi Perancis pada
tahun 1789 M, yang mana motto ketika itu adalah
“gantung raja terakhir dengan usus pendeta terakhir”.
Dr. Safar Al-Hawali berkata :
“Revolusi itu melahirkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali
di dalam sejarah Eropa nasrani sebuah negara republik sekuler yang berfalsafat
kekuasaan atas nama rakyat, dan bukan atas nama Allah, bebas beragama sebagai
ganti doktrin katolik, kebebasan setiap orang sebagai ganti dari ikatan
perilaku keagamaan dan undang-undang ciptaan manusia sebagai ganti dari
ketetapan-ketetapan gereja”. (Al-‘Ilmaniyah tulisan Dr. Safar Al-Hawali, hal.
178)
Pemikiran kedaulatan rakyat
dan haknya dalam membuat undang-undang ini nampak jelas dalam prinsip-prinsip
Revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal keenam dari proklamasi
hak-hak azasi manusia pada tahun 1789 M tertera bahwa “Undang-Undang adalah
manifestasi dari kehendak rakyat”, artinya bahwa undang-undang itu bukanlah
manifestasi dari kehendak gereja atau kehendak Allah. Dalam proklamasi hak-hak
azasi manusia yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang Perancis pada tahun
1793 M pasal keduapuluh lima menyatakan bahwa “kedaulatan terpusat pada
rakyat”. (Dinukil dari Mabadi’ul Qanunid Dusturi tulisan Dr. As-Sayyid Shobri
hal. 25)
Oleh karena itu Dr. Abdul
Hamid Mutawali mengatakan : “Prinsip-prinsip revolusi Perancis tahun 1789
terhitung sebagai dasar prinsip-prinsip demokrasi barat”. (Andzimatul Hukmi Fid
Duwalin Namiyah tulisan Dr. Mutawali hal.30)
D.
DEMOKRASI DALAM TIMBANGAN HUKUM SYAR’I
Yang menjadi patokan hukum
demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang dimaksud
dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang
lebih tinggi dari padanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa
ada batasan apapun. Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan membuat
undang-undang semaunya tanpa ada seorangpun yang berhak untuk mengkritisinya.
Dan inilah sesungguhnya sifat Allah, sebagaimana firman Allah :
وَاللّهُ يَحْكُمُ لاَ مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ
”Sesungguhnya
Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak
ketetapan-Nya”. (Qs. Ar-Ra’d :
41)
dan firman Allah :
إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya”. (Qs. Al-Maaidah : 1)
dan Allah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki”. (Qs. Al-Hajj : 14)
Kami ringkaskan dari
penjelasan di atas bahwa demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari
manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang.
Dengan demikian maka demokrasi menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah
dan menjadikannya sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Dan ini adalah
kufur akbar yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya.
Dengan ungkapan yang lebih
detil lagi adalah bahwa tuhan baru dalam demokrasi adalah kemauan manusia. Ia
membuat undang-undang sesuai dengan pemikiran dan kemauannya tanpa ada pembatas
apapun. Allah Ta’ala berfirman :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ
تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ
بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
”Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan keinginannya sebagai ilahnya. Maka
apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang
ternak itu”. (Qs. Al-Furqan : 43-44)
Hal ini menjadikan demokrasi
sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang kedaulatan padanya adalah
rakyat dan ini bertentangan dengan agama Islam yang mana pemegang kedaulatan
padanya adalah Allah . Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi
wasallam :
السَّيِدُ هُوَ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَى
”Penguasa
itu Allah Tabaraka Wata’ala” . (Hadits ini diriwayatkan oleh
Abu Dawud dalam Kitaabul Adab dalam Kitab Sunan beliau dengan sanad shahih)
Ketika menerangkan penuhanan
manusia di dalam demokrasi Ustadz Abul A’la Al-Maududi berkata : ”Dasar-dasar kebudayaan barat : Sesungguhnya
kebudayaan modern, yang menjadi landasan peraturan hidup pada masa sekarang
ini, dengan berbagai macam cabang-cabangnya baik aqidah, akhlaq, perekonomian,
politik dan intelektual, berfokus pada tiga pokok, yaitu prinsip-prinsip pokok
berikut : sekulerisme, nasionalisme dan demokrasi”, --- sampai beliau berkata
--- :
”Adapun prinsip ketiga adalah
demokrasi atau penuhanan terhadap manusia. Dengan menggabungkannya dengan dua
prinsip sebelumnya maka sempurnalah gambaran bencana dan kelelahan-kelelahan
dunia ini. Telah kukatakan tadi bahwa pengertian demokrasi dalam kebudayaan
modern adalah berkuasanya rakyat, artinya setiap penduduk negara merdeka pada
segala hal yang berkaitan dengan merealisasikan kemaslahatan sosial mereka, dan
perundang-undangan negara tersebut haruslah mengikuti keinginan mereka”,
---sampai beliau mengatakan--- :
”jika kita perhatikan tiga
prinsip tersebut sekarang kita dapatkan : bahwa sekulerisme telah melepaskan
manusia dari peribadahan, ketaatan dan ketakutan kepada Allah dan dari
ikatan-ikatan akhlaq yang telah ditetapkan, dan melemparkan tali belenggunya
dan menjadikan mereka hamba diri mereka sendiri tanpa bertanggung jawab di
hadapan siapapun. Kemudian datang nasionalisme untuk menuangkan kepada mereka
khamar individualis, kesombongan, kecongkakan dan meremehkan orang lain.
Kemudian terakhir datanglah
demokrasi yang mendudukkan manusia ini ---setelah membebaskan dirinya dari
belenggu yang mengikatnya lalau menjadi tawanan bagi hawa nafsunya dan
tenggelam dalam individualisme--- di atas singgasana ketuhanan. Maka tunduklah
segala kekuasaan perundang-undangan dan sarana pemerintahan kepadanya untuk
mencapai segala sesuatu yang ia inginkan”. --- Kemudian Al-Maududi mengatakan
--- :
”Dan saya katakan kepada umat
Islam dengan terus terang, sesungguhnya demokrasi nasionalis sekuler
bertentangan dengan agama dan aqidah yang kalian yakini, dan jika kalian tunduk
kepadanya maka seolah-olah kalian meninggalkan kitabullah di belakang kalian,
dan jika kalian ikut serta dalam menegakkannya atau dalam melanggengkannya maka
berarti kalian telah mengkhianati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada
kalian”, --- sampai beliau mengatakan --- : ”Maka selama sistem ini masih ada
maka kami menganggap bahwa Islam itu tidak ada dan jika Islam itu ada maka
tidak ada tempat bagi sistem ini”. (Dari buku “Al-Islam Wal Madaniyatul
Haditsah” tulisan Al-Maududi)
E.
MEMBONGKAR BOROK DEMOKRASI
Ketahuilah, sesungguhnya kata
demokrasi yang busuk ini diambil dari bahasa Yunani bukan dari bahasa Arab.
Kata ini merupakan ringkasan dari gabungan dua kata : (Demos) yang berarti
rakyat dan (kratos) yang berarti hukum atau kekuasaan atau wewenang membuat
aturan (tasyrii'). Jadi terjemahan harfiyyah dari kata demokrasi adalah : Hukum
rakyat atau kekuasaan rakyat.
Makna tersebut merupakan
makna demokrasi yang paling penting menurut para pengusungnya. Karena makna
inilah mereka selalu bangga dengan memujinya, padahal makna ini (hukum, tasyri'
dan kekuasaan rakyat) merupakan salah satu dari sekian ciri khusus kekafiran,
kemusyrikan serta kebathilan yang sangat bertentangan dan bersebrangan dengan
dienul Islam. Karena kita telah mengetahui dari uraian sebelumnya bahwa inti
dari segala inti yang karenanya Allah menciptakan makhluk-Nya, dan menurunkan
Kitab-Kitab-Nya serta mengutus Rasul-Rasul-Nya, dan yang merupakan ikatan yang
paling agung di dalam Islam ini, yaitu adalah tauhidul ‘ibadah kepada
Allah saja dan menjauhi ibadah kepada
selain-Nya. Karena sesungguhnya taat dalam pembuatan hukum merupakan bagian
dari ibadah yang wajib hanya ditujukan kepada Allah semata, dan kalau
seandainya orang tidak merealisasikannya, maka dia itu menjadi orang musyrik
yang digiring bersama orang-orang yang binasa.
Ciri khusus ini sama saja
baik diterapkan sesuai dengan ajaran demokrasi yang sebenarnya, sehingga
keputusan (hukum) yang dirujuk itu adalah diserahkan kepada seluruh rakyat atau
mayoritas mereka , sebagaimana yang menjadi impian tertinggi para demokrat dari
kalangan orang-orang sekuler atau orang-orang yang mengaku Islam (Islamiyyin),
atau hal itu (ciri khusus demokrasi) diterapkan seperti yang ada pada
kenyataannya sekarang, dimana demokrasi itu (pada prakteknya) adalah keputusan
(hukum) segolongan pemerintah dan kroni-kroninya dari kalangan keluarga
dekatnya, atau para pengusaha besar dan konglomerat yang di mana mereka
menguasai modal-modal usaha dan sarana-sarana informasi yang dengan perantaraannya
mereka bisa mendapatkan kursi atau memberikan kursi parlemen (yang merupakan
sarang kemusyrikan) kepada orang-orang yang mereka sukai.
Jadi demokrasi dari sisi mana
saja dilihat dari kedua sisi (praktek) itu merupakan kekafiran terhadap Allah
Yang Maha Agung, dan syirik terhadap Rabb langit dan bumi, serta bertentangan
dengan millatuttauhid (Islam) dan dien para Rasul, berdasarkan alasan-alasan
yang banyak, di antaranya :
Pertama :
Sesungguhnya demokrasi adalah tasyrii'ul jamaahiir (penyandaran wewenang hukum
kepada rakyat atau mayoritasnya) atau hukum Thaghut, dan bukan hukum Allah. Sedangkan
Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menghukumi sesuai dengan apa yang telah
Dia turunkan kepadanya, serta Dia melarangnya dari mengikuti keinginan umat, atau
mayoritas orang atau rakyat, Dia menghati-hatikan Nabi-Nya agar jangan sampai
mereka memalingkan dia dari apa yang telah Allah turunkan kepadanya, Allah Ta’ala
berfirman :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ إِلَيْكَ
”Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu”. (Qs. Al-Maaidah : 49)
Ini dalam ajaran tauhid dan
dienul Islam. Adapun dalam agama demokrasi ada ajaran syirik, maka para
penyembahnya berkata : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diinginkan rakyat, dan ikutilah keinginan mereka. Dan
berhati-hatilah kamu jangan sampai kamu dipalingkan dari apa yang mereka
inginkan dan mereka tetapkan hukumnya".
Begitulah yang mereka katakan
dan inilah yang diajarkan dan ditetapkan oleh agama demokrasi. Ini merupakan
kekafiran yang jelas dan kemusyrikan yang terang bila mereka menerapkannya,
namun demikian sesungguhnya kenyataan mereka lebih busuk dari itu, sebab bila
seseorang mau mengatakan tentang keadaan praktek mereka tentu dia pasti
mengatakan : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diinginkan oleh para Thaghut dan kroni-kroninya, dan janganlah satu
hukum dan satu undang-undang dibuat kecuali setelah ada pengesahan dan
persetujuannya…!!!”.
Sungguh
ini adalah kesesatan yang terang lagi nyata,
bahkan
penyekutuan Pencipta dengan hamba-Nya secara aniaya
Kedua : Karena
sesungguhnya itu adalah hukum rakyat atau Thaghut yang sesuai dengan
Undang-Undang Dasar, bukan yang sesuai dengan syari'at Allah . Begitulah yang
ditegaskan oleh undang-undang dasar dan buku-buku panduan mereka yang mereka
sakralkan dan mereka sucikan lebih dari pensucian mereka terhadap Al-Qur'an
dengan bukti bahwa hukum undang-undang itu lebih didahulukan dan mendikte
terhadap hukum dan syari'at Al-Qur'an. Dalam agama demokrasi, hukum dan
perundang-undangan yang rakyat buat tidak bisa diterima --bila memang mereka
(rakyat) memutuskan-- kecuali bila keputusan itu berdasarkan nash-nash Undang-Undang
Dasar dan sesuai dengan materi-materinya, karena undang-undang itu adalah induk
segala peraturan dan perundang-undangan serta kitab hukumnya yang mereka
junjung tinggi.
Dalam agama demokrasi ini
ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits-hadits Rasulullah tidak begitu dianggap, dan tidak mungkin
suatu hukum atau undang-undang ditetapkan sesuai dengan ayat atau hadits
kecuali bila hal itu sejalan dengan nash-nash Undang-Undang Dasar yang mereka
junjung tinggi. Silahkan tanyakan hal itu kepada para pakar hukum dan
perundang-undangan bila kita masih ragu tentangnya. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
”Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Qs. An-Nisaa' :
59)
Adapun agama demokrasi
mengatakan : “Bila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan
kepada rakyat, majelis perwakilannya, dan Presidennya sesuai dengan
Undang-Undang Dasar dan aturan yang berlaku di bumi ini".
أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ
اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
”Enyahlah
kalian dan apa yang kalian ibadahi selain Allah, maka apakah kalian tidak
berakal?”. (Qs.
Al-Anbiya’ : 67)
Oleh sebab itu bila mayoritas
rakyat menghendaki penerapan hukum syari'at lewat jalur agama demokrasi ini dan
lewat lembaga legislatif yang syirik ini, maka itu tidak bisa terealisasi
kecuali lewat jalur undang-undang serta dari arah pasal-pasal dan penegasan
undang-undang tersebut, karena itu adalah kitab suci agama demokrasi, atau
silahkan katakan itu adalah Tauratnya dan Injilnya yang sudah dirubah sesuai
dengan hawa nafsu dan keinginan selera mereka.
Ketiga :
Sesungguhnya demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat busuk, dan
anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya
memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari Negara dan
hukum.
Sedangkan demokrasi adalah
hukum rakyat atau hukum Thaghut. Namun
bagaimana-pun keadaannya sesungguhnya demokrasi bukanlah hukum Allah Yang Maha
Besar lagi Maha Perkasa. Demokrasi sama sekali tidak mempertimbangkan hukum
Allah yang muhkam (pasti), kecuali bila sesuai dan sejalan sebelumnya dengan
undang-undang yang berlaku, dan bila sesuai dengan keinginan rakyat, serta sebelum
itu semua harus sesuai dengan selera para Thaghut dan kroni-kroninya.
Oleh sebab itu bila rakyat
seluruhnya mengatakan kepada Thaghut atau kepada arbaab (tuhan-tuhan) dalam
demokrasi : “Kami ingin penerapan hukum Allah, dan tidak seorangpun memiliki
hak untuk membuat hukum selama-lamanya baik itu rakyat atau para wakilnya atau
penguasa, kami ingin menerapkan hukum Allah terhadap orang-orang murtad,
pezina, pencuri, peminum khamr, dan kami juga ingin para wanita diwajibkan
berhijab, kami melarang buka-bukaan, porno, cabul, zina, liwath (homosexual),
dan perbuatan keji lainnya", maka dengan spontan para Thaghut dan para
pengusung demokrasi itu akan mengatakan kepada mereka : “Ini bertentangan
dengan paham demokrasi dan kebebasannya..!!”.
Inilah
kebebasan agama demokrasi, yaitu melepaskan diri dari agama Allah, syari'at-Nya,
dan melanggar batasan-batasannya.
Adapun hukum undang-undang
bumi dan aturannya maka itu selalu dijaga, dijunjung tinggi dan disucikan
(disakralkan) serta dilindungi dalam agama demokrasi mereka yang busuk, bahkan
orang yang berusaha melanggarnya, menentangnya, atau menggugurkannya dia akan
merasakan sanksinya.
F. MAKNA
KATA ”DIEN”
Allah berfirman :
إِنَّ
الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
”Sesungguhnya
dien (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (Qs.
Ali-’Imran : 19)
Dia juga berfirman :
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن
يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
”Barangsiapa
mencari dien selain dien Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima dien
itu daripadanya., dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Qs.
Ali-’Imran : 85)
Didalam ayat-ayat ini
Allah mengatakan Islam sebagai ”Dien”.
Kata ”Dien” didalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan ”Agama”. Namun
banyak orang yang menganggap dien selain dien Islam itu hanya Yahudi, Nasrani,
Hindu, Budha, atau Konghucu. Hal ini keliru, karena Allah memerintahkan kepada
Rasul-Nya untuk mengatakan kepada orang-orang
kafir Quraisy :
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
”bagimu
agama-mu dan bagiku agama-ku”. (Qs. Al-Kaafirun : 6)
Lalu apa nama agama
orang-orang Quraisy ? Jawabannya adalah ”Tidak ada nama”. Tapi karena mereka
tidak mau mengikuti agama Islam, maka Allah
memerintahkan kepada Rasul-Nya
untuk mengatakan kepada orang-orang kafir Quraisy :
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
”bagimu
agama-mu dan bagiku agama-ku”. (Qs. Al-Kaafirun : 6)
Dan diantara makna ”Dien”
adalah Undang-Undang, Keputusan, dan Kedaulatan, sebagaimana firman-Nya tentang Nabi Yusuf ’alaihissalam :
كِدْنَا لِيُوسُفَ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ
فِي دِينِ الْمَلِكِ
”Tiadalah
patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja”. (Qs.
Yusuf : 76)
Banyak ahli tafsir berkata, الْمَلِكِ دِينِ (dienil maalik) adalah
Undang-Undang/ Ketentuan/ Kedaulatan Raja.
Sebagaimana Yahudi adalah dien, Nasrani adalah dien, Hindu adalah dien,
Majusi adalah dien, maka begitu juga Demokrasi adalah dien, Komunis adalah
dien, Sekuler adalah dien, Sosialis adalah dien, Undang-Undang adalah dien, dan
Peraturan Pemerintah adalah dien.
Kesimpulannya : Sesungguhnya
kata agama (dien) itu mencakup segala paham (millah), jalan hidup (manhaj),
atau aturan hukum, atau undang-undang yang dijadikan rujukan oleh umat manusia
dan mereka merujuk kepadanya.. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar