Kaum
muslimin tidak akan mungkin mencapai tujuan mereka atau merealisasikan satupun
dari tujuan-tujuan Islam melalui jalan demokrasi atau sistem demokrasi, disebabkan
beberapa hal, yang terpenting adalah :
Pertama : Islam adalah dien Allah Ta’ala
yang disyari’atkan untuk hamba-Nya. Sebagai sebuah dien rabbani. Islam
mempunyai tujuan-tujuan dan sarana-sarana yang khusus yang bersumber dari Allah
Ta’ala. Tujuan-tujuan Islam tidak mungkin diraih kecuali melalui sarana-sarana
syar’i yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tujuan syar’i manapun
yang dicari tidak melalui sarana yang syar’i yang benar, maka cara tersebut
merupakan sebuah kesesatan dan menyimpang dari kebenaran. Berarti juga
melaksanakan ketaatan tidak sesuai dengan yang disunnahkan dan disyari’atkan.
Minimal status hukumnya adalah bid’ah yang sesat. Sementara Allah Ta’ala tidak
akan menerima ibadah dari hamba-Nya kecuali bila dilaksanakan sesuai cara yang
telah diperintahkan dan disyariahkan kepada mereka. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala :
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada
Rabb-nya". (QS. Al-Kahfi : 110)
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Abi Ashim dalam Kitabus Sunnah :
Dari
Jabir bin Abdullah ia berkata : “Kami duduk-duduk bersama Nabi shalallahu
‘alaihi wa salam. Beliau menggaris sebuah garis lurus di depan beliau kemudian
bersabda : “Ini adalah jalan Allah”. Beliau kemudian menggaris sebuah
garis di sebelah kanan dan sebelah kiri beliau kemudian bersabda : “Ini
adalah jalan-jalan syetan”. Beliau lantas meletakkan tangan beliau di garis
yang berada di tengah kemudian membaca firman Allah Ta’ala :
“Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS. Al-An’am : 153)
Tidak diragukan lagi bahwa
demokrasi adalah jalan syetan yang memecah belah manusia dan menjauhkan mereka
dari jalan Allah Ta’ala yang lurus. Barangsiapa menempuh jalan demokrasi dan
menempuh sarana-sarana demokrasi berarti telah menempuh jalan syetan. Bagaimana
mungkin orang yang menempuh jalan syetan akan bisa mencapai pantai kemenangan
dan keamanan dengan bahtera Islam ?
Adapun pernyataan para pendukung
demokrasi bahwa hukum sarana berbeda dengan hukum tujuan, di mana kita tidak boleh menyelisihi nash-nash
syariat dalam urusan tujuan, namun boleh saja menyelisihi syariat dalam urusan
sarana mencapai tujuan sesuai kebutuhan keadaan, maka pernyataan ini adalah
pernyataan yang rusak dan bathil, secara akal dan syariat tidak benar.
Pernyataan ini menyerupai pernyataan orang-orang Yahudi yang berprinsip tujuan
menghalalkan segala cara.
Benarlah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam yang telah bersabda :
“Kalian akan benar-benar
mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta, bahkan sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian
tetap akan mengikuti mereka”. Para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, Apakah mereka (yang kami
ikuti itu) adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?”. Beliau menjawab : ”Siapa
lagi kalau bukan mereka”. (Muttafaq’
alaihi)
Dalam riwayat yang lain :
“Bahkan seandainya di antara
mereka ada yang memperkosa ibunya sendiri di pinggir jalan raya, kalian pun
akan berbuat serupa”. Artinya, diantara kalian
akan ada juga yang melakukan perbuatan mereka yang bejat tersebut.
Kalaupun hal ini terjadi,
tentulah dalam suasana serba permissif dan kebebasan individu yang menjadi
prinsip dasar dan ciri khas demokrasi !!!!
Kami bertanya : Cara untuk meraih kehidupan islami yang baru
(khilafah islamiyah—pent) adalah dengan cara yang diterangkan oleh syari’at,
ataukah ---meskipun cara menegakkan
kehidupan Islami yang baru tersebut sangat urgen---dibiarkan kosong dan
diserahkan kepada hawa nafsu dan akal manusia tanpa ada penjelasan dari Allah
Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam.
Jika jawabannya adalah dengan
cara yang telah diterangkan oleh syari’at, maka kami katakan : Anda telah
mengerti, maka komitmenlah dengan jalan syari’at tersebut. Tak seorangpun boleh
menyelisihi cara yang telah disunnahkan dan disyari’atkan tersebut.
Adapun jika jawaban anda adalah
jalan tersebut diserahkan kepada manusia, Allah dan Rasulullah Shallallahu
‘alahi wa salam belum menjelaskannya, maka anda telah menyelisihi nash-nash
syari’at yang menyebutkan dien Islam telah sempurna, tak ada sebuah perkarapun
yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala kecuali telah disebutkan dan dijelaskan
Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”.
(QS. Al-Maidah : 3)
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59)
Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul
Muwaqi’in 1/49 mengatakan : “Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu”, menggunakaln lafal nakirah
(indifinitief) dengan konteks syarat yang umum mencakup segala hal urusan dien
yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman, baik urusan yang besar
maupun kecil, yang jelas maupun masih samar-samar. Jika dalam kitabullah belum
ada penjelasan atas masalah yang diperselisihkan, tentulah Allah Ta’ala tidak
memerintahan mengembalikan persoalan kepada Al Qur’an (dan As-Sunnah). Karena
mustahil Allah Ta’ala memerintahkan mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada sesuatu yang tidak memberikan jawaban tuntas. Dari ayat
ini, manusia telah bersepakat (ijma’ ulama—pent) bahwa mengembalikan persoalan kepada Allah maknanya
adalah mengembalikan kepada Al-Qur’an, sedang mengembalikan persoalan kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam artinya mengembalikan kepada pribadi
beliau saat beliau masih hidup, dan kepada sunnah beliau setelah beliau
meninggal”.
Dalam
hadits yang shahih, beliau telah bersabda ;
“Tidak
ada satu halpun yang mendekatkan diri kalian kepada Allah kecuali telah aku
perintahkan kepada kalian, dan tidak ada halpun yang menjauhkan diri kalian
dari Allah dan mendekatkan kepada neraka, kecuali aku telah melarang kalian melakukannya”.
Kedua
: Kekuasaan dan menjadi khalifah di atas bumi
bagi umat yang beriman adalah terikat dengan syarat bertauhid kepada Allah
serta menjauhi kesyirikan dan segala hal yang menyebabkan kesyirikan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang
yang fasik”. (QS. An-Nuur : 55)
Berkuasa
di bumi, teguhnya kekuasaan dan keamanan setelah sebelumnya berada dalam
ketakutan, seluruh karunia Allah Ta’ala ini adalah balasan dari bertauhid dan
menjauhi kesyirikan.
Sementara
demokrasi ----sebagaimana telah kami jelaskan---adalah pemikiran syirik, tegak
diatas kesyirikan, mentuhankan makhluk dengan cara menjadikan makhluk sebagai
sumber hukum, perundang-undangan, menghalalkan dan mengharamkan. Jika
keadaannya seperti itu, maka bagaimana hendak mengharapkan pertolongan Allah
turun lewat jalan tersebut ? Orang yang bertindak demikian bagaikan orang yang
menjadikan kesyirikan dan kekafiran sebagai sarana untuk menolong Islam dan
tauhid. Ini jelas mustahil !!!!!
Allah
Ta’ala berfirman :
“Jika
kalian menolong (agama) Allah, Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki
kalian”. (QS. Muhammad :7)
Artinya,
jika kalian menolong Allah Ta’ala dengan cara mentaati perintahnya dan menjauhi
larangan-Nya, Allah Ta’ala akan menolong kalian dengan meneguhkan kalian dan
menjadikan kalian berkuasa di muka bumi. Janji ini adalah jawaban dari syarat
yang disebutkan pertama, bila syarat tersebut tidak dilaksanakan maka janji
Allah pun tidak akan datang. Maka dipahami dari syarat ini, Allah tidak akan
menolong orang-orang yang tidak menolong Allah Ta’ala.
Ayat
yang serupa adalah ayat yang berbicara tentang diri Rasulullah :
“Jika
kalian mentaatinya ( Muhammad ), kalian akan mendapat petunjuk”.
(QS. An-Nuur : 54)
Artinya,
jika kalian tidak mentaatinya, kalian tidak akan mendapat petunjuk. Akibatnya,
kalian tidak akan mendapat pertolongan. Di antara bentuk ketaatan kepada
Rasulullah adalah menjauhi syirik dan segala hal yang menjurus kepada
kesyirikan, termasuk di dalamnya demokrasi yang mentuhankan makhluk ini.
Maka
janganlah –wahai kaum pendukung demokrasi--- lambatnya datangnya kemenangan
menjadikan kalian mencari kemenangan dengan kesyirikan dan cara-cara yang bathil.
Sesungguhnya apa yang ada di tangan Allah Ta’ala tidak bisa diraih kecuali
dengan mentaati dan mentauhidkan-Nya. Orang yang paham mengetahui hal ini, dan orang yang bodoh
tidak menyadari hal ini.
Ustadz
Sayyid Quthb mengatakan : ”Saya masih ingat ketika akh Ali Asymawi
memberitahukan kepadaku bahwa di Mesir ada seorang akh dari Sudan yang
berkunjung. Ia adalah pimpinan ikhwanul Muslimin cabang Sudan . Ia
datang untuk mengunjungiku, hanya saja waktunya belum ditentukan dan akhirnya
kunjungan tersebut tidak jadi. Hanya saja saya mengetahui dari akh Ali Asymawi
bahwa Ali Asymawi telah menemui akh dari Sudan tersebut satu atau dua kali
tiap berkunjung ke Mesir. Akh dari Sudan tersebut menceritakan peristiwa-peristiwa
yang terjadi di Sudan ,
termasuk peran pokok ikhwanul Muslimin, yang menyebabkan jatuhnya rezim militer
sebagaimana sudah sama-sama diketahui. Ia juga menyatakan rasa optimisnya yang
mendalam akan sudah dekatnya pemerintahan Islam di Sudan sebgai hasil dari
pemilihan umum yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat.
Saya
juga masih ingat, pada saat itu saya mengomentari semua cerita tersebut bahwa tegaknya
pemerintahan Islam di sebuah negara tidak akan pernah datang melalui cara-cara
seperti ini. Sesungguhnya tegaknya sebuah pemerintahan Islam hanya akan
tercapai melalui metode yang lambat dan dalam rentang waktu yang panjang,
sebuah metode yang bertujuan membangun landasan, bukan puncak, dimulai
dengan menanamkan aqidah sejak awal dan mentarbiyah akhlak yang islami.
Sesunggguhnya jalan yang nampaknya pelan dan sangat panjang ini, pada
hakekatnya adalah jalan yang paling dekat dan paling cepat.
Saat
itu saya juga menyatakan : Mereka (ikhwanul muslimin di Sudan) belum pernah
merasakan pengalaman-pengalaman yang telah kita lalui di Mesir. Karena itu,
mereka pasti akan mencobanya karena saya sudah bisa mengira mereka pasti tidak
akan menerima sebuah nasehatpun dari kami, akibat semangat dan rasa optimis
mereka yang terlalu mendalam”. (dalam buku “Limadza A’damuuni hal. 66)
Saya
katakan : Pandangan Sayyid Quthb telah benar. Sesungguhnya kalangan aktivis
Islam di Sudan telah berkali-kali mencoba pemilihan umum dalam demokrasi.
Setiap kali mereka terlibat, akibat yang ditimbulkan terhadap mereka dan
masyarat Sudan ternyata buruk dan tidak menyenangkan.
Ketiga
: Diantara sebab lain yang menghalangi kaum
muslimin mampu meraih tujuan-tujuan gerakan keislaman mereka melalui demokrasi,
atau pemilihan umum atau kotak undian (kotak suara) adalah adanya sunnah
perlawanan dan pertarungan antara
kebenaran dengan kebatilan, sejak adanya kehidupan di muka bumi dan Allah
mengutus para rasul, sampai Allah
mewarisi dunia dan seluruh isinya.
Orang-orang
kafir ---dengan seluruh kelompok dan pemikirannya--- sekali-kali tidak akan
pernah ridha dan membiarkan tegaknya sebuah negara Islam atau Islam mempunyai
kekuatan, selama mereka mempunyai kekuatan untuk merealisasikan hal tersebut,
meskipun untuk hal itu mereka harus menghadapi berbagai
peperangan, terbunuhnya ribuan nyawa dan ternodainya kehormatan. Ketika perang
melawan Islam sudah berkecamuk, segala hal yang terlarang dianggap boleh oleh
orang-orang kafir. Menurut mereka segala yang mereka lakukan adalah sesuai dan
demi menegakkan undang-undang (konstitusi), mendapat tanda tangan dan
persetujuan persatuan bangsa –bangsa.
Perhatiikanlah
apa yang terjadi pada hari-hari ini dengan bangsa muslim Chechnya , dengan hak mereka, sebuah
bangsa yang menolak tunduk kepada kekuatan kafir. Seluruh kekuatan kafir,
kejahatan dan kemunafikan telah bersatu padu mengeroyok mereka, membunuh
anak-anak, perempuan, orang tua, menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tank,
rudal dan pesawat tempur .Mereka membiarkan anak-anak dan wanita beralaskan
salju, beratapkan langit terbuka. Ini semua terjadi dengan segenap penglihatan
dan pendengaran seluruh dunia, mereka sama sekali tidak bergerak atau
mengatakan kecaman terhadap para thaghut pembuat kerusakan tersebut !!!!
Silahkan
bertanya dosa apa yang dilakukan oleh bangsa yang tertindas tersebut, yang dikeroyok
oleh kekuatan kafir dan syirik internasional. Jawabannya tak lain karena mereka
mengatakan Rabb kami adalah Allah Ta’ala. Mereka mengatakan no
kepada atheisme dan kekafiran yang berwujud thaghut Rusia. Mereka mengatakan
kami ingin hidup secara Islami, agama yang kami yakini dan kami peluk. Inilah
dosa mereka, dosa yang tidak mungkin diampuni atau didiamkan menurut
undang-undang PBB !!!!
Demokrasi
mana yang kalian inginkan wahai orang-orang yang tertipu ???? Negara mana yang
kalian tegakkan lewat kotak undian ???? Sedang kalian sendiri diatur dengan
undang-undang kafir yang tidak manusiawi???
Hal
yang sudah sangat jelas dan telah disepakati ini ----tidak ada yang
menyelisihinya selain para pendukung demokrasi---telah ditunjukkan oleh
nash-nash Al Qur’an, demikian juga realita yang kita alami dan kita lihat.
Adapun
dalil-dalil Al qur’an, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala :
“Seandainya
Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagian yang lain,
pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam”. (QS. Al-Baqarah : 251)
“Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sseungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
(QS. Al-Hajj : 40)
“Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi)
yang benar dan yang bathil”. (QS. Ar Ra’d : 17)
Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama
mereka.
“Mereka
tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu
dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup”.
(QS. Al-Baqarah : 217)
“Sebagian
besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”.
(QS. Al Baqarah : 109)
“Bagaimana
bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang
musyirikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak
memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan)
perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak.
Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian)”.
(QS. At-Taubah : 8)
Dan
banyak ayat lainnya yang menunjukkan bahwa kebenaran dan kebathilan akan
senantiasa berseteru dan bertabrakan. Kebathilan tidak mungkin akan ridha
selama di sampingnya masih ada kebenaran dan pendukungnya. Kebathilan tidak
akan pernah diam, tenang dan senang, kecuali dengan salah satu dari dua
alternatif ; menghalangi pendukung kebenaan dari dien mereka yang benar dan
memurtadkan mereka jika mereka mempunyai kemampuan untuk hal itu, atau melenyapkan
keberadaan mereka, melancarkan peperangan dan pembunuhan. Inilah yang
dinyatakan oleh ayat-ayat Al Qur’an :
“Dan
siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah”.
(QS. An-Nisa’ : 122)
Begitu
juga realita yang kita lihat dan kita alami, membenarkan nash-nash Al Qur’an
yang telah disebutkan diatas. Apa yang telah terjadi di Tunisia, Mesir, Sudan ---sebelum
masa jendral Basyir---Turki, Aljazair, Malaysia dan negara-negara lain di mana
kaum muslimin mencoba berjuang lewat jalan demokrasi dan pemilihan umum,
kemudian mereka meraih kemenangan (suara mayoritas). Kita melihat, bagaimana
demokrasi para thaghut telah berubah menjadi nyata-nyata rezim diktator, mereka
membolehkan untuk mereka sendiri ---dengan mengatas namakan demokrasi---apa
yang sejatinya oleh demokrasinya sendiri dilarang. Itu semua dilakukan dengan
sepengetahuan dan sependengaran para kampiun demokrasi di seluruh dunia !!!!
Bagaimana undang-undang dasar, peraturan pemerintah dan kondisi damai dianulir
begitu saja, lantas secara tiba-tiba kondisi darurat diberlakukan, tank-tank
militer turun ke jalan raya, ribuan umat Islam dijebloskan ke penjara, demi
menjaga ---menurut pengakuan mereka---keselamatan demokrasi dari bahaya
terorisme.
Hal
ini sudah menjadi fenomena umum yang diketahui dengan baik oleh para aktivis
Islam pendukung demokrasi. Mereka menyebutkan hal ini dalam buku-buku dan jurnal-jurnal
mereka. Meski demikian, mereka tetap saja menyombongkan diri dan menyelisihi
perintah syari’at. Mereka tidak mau, kecuali menempuh jalan yang gelap gulita
ini. Seakan-akan saat digiring ke penjara, mereka justru merasakan enaknya
cemeti para algojo penjara.
Mereka
paham betul bahwa Islam tidak mungkin akan mencapai kenangan lewat jalan ini,
Islam tidak akan mungkin merealisasikan satu saja dari sekian banyak tujuannya
lewat jalan ini. Meski demikian, mereka tetap saja berusaha lewat jalan ini dan
berulang kali mengulangi usaha tersebut, tanpa mau mengambil pelajaran dari
pengalaman-pengalaman yang lalu dan kerasnya pelajaran. Mereka tidak mau
mempertimbangkan dampak-dampak destruktif yang mengenai umat Islam dan para
pemuda Islam, akibat percobaan mereka ini !!!!
Seakan-akan mereka itu lupa atau
memang pura-pura lupa, akan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam :
“Orang
yang beriman itu cerdik dan sehat pikirannya. Ia tidak akan terjatuh dua kali
dalam lubang yang sama”.
Sayang,
para aktivis Islam pendukung demokrasi telah
terjatuh puluhan kali dalam lubang yang sama, tanpa mau belajar !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar