Minggu, 25 Desember 2011

Kaum Muslimin Tidak Akan Mungkin Mencapai Tujuan Mereka Melalui Jalan Demokrasi


Penulis : Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah

Kaum muslimin tidak akan mungkin mencapai tujuan mereka atau merealisasikan satupun dari tujuan-tujuan Islam melalui jalan demokrasi atau sistem demokrasi, disebabkan beberapa hal, yang terpenting adalah :

Pertama : Islam adalah dien Allah Ta’ala yang disyari’atkan untuk hamba-Nya. Sebagai sebuah dien rabbani. Islam mempunyai tujuan-tujuan dan sarana-sarana yang khusus yang bersumber dari Allah Ta’ala. Tujuan-tujuan Islam tidak mungkin diraih kecuali melalui sarana-sarana syar’i yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tujuan syar’i manapun yang dicari tidak melalui sarana yang syar’i yang benar, maka cara tersebut merupakan sebuah kesesatan dan menyimpang dari kebenaran. Berarti juga melaksanakan ketaatan tidak sesuai dengan yang disunnahkan dan disyari’atkan. Minimal status hukumnya adalah bid’ah yang sesat. Sementara Allah Ta’ala tidak akan menerima ibadah dari hamba-Nya kecuali bila dilaksanakan sesuai cara yang telah diperintahkan dan disyariahkan kepada mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya". (QS. Al-Kahfi : 110)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Abi Ashim dalam Kitabus Sunnah :
Dari Jabir bin Abdullah ia berkata : “Kami duduk-duduk bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Beliau menggaris sebuah garis lurus di depan beliau kemudian bersabda : “Ini adalah jalan Allah”. Beliau kemudian menggaris sebuah garis di sebelah kanan dan sebelah kiri beliau kemudian bersabda : “Ini adalah jalan-jalan syetan”. Beliau lantas meletakkan tangan beliau di garis yang berada di tengah kemudian membaca firman Allah Ta’ala :

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS. Al-An’am : 153)

Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi adalah jalan syetan yang memecah belah manusia dan menjauhkan mereka dari jalan Allah Ta’ala yang lurus. Barangsiapa menempuh jalan demokrasi dan menempuh sarana-sarana demokrasi berarti telah menempuh jalan syetan. Bagaimana mungkin orang yang menempuh jalan syetan akan bisa mencapai pantai kemenangan dan keamanan dengan bahtera Islam ?  

Adapun pernyataan para pendukung demokrasi bahwa hukum sarana berbeda dengan hukum tujuan, di mana  kita tidak boleh menyelisihi nash-nash syariat dalam urusan tujuan, namun boleh saja menyelisihi syariat dalam urusan sarana mencapai tujuan sesuai kebutuhan keadaan, maka pernyataan ini adalah pernyataan yang rusak dan bathil, secara akal dan syariat tidak benar. Pernyataan ini menyerupai pernyataan orang-orang Yahudi yang berprinsip tujuan menghalalkan segala cara.

Benarlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang telah bersabda :

“Kalian akan benar-benar mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap akan mengikuti mereka”. Para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, Apakah mereka (yang kami ikuti itu) adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?”. Beliau menjawab : ”Siapa lagi kalau bukan mereka”.  (Muttafaq’ alaihi)

Dalam riwayat yang lain :

“Bahkan seandainya di antara mereka ada yang memperkosa ibunya sendiri di pinggir jalan raya, kalian pun akan berbuat serupa”.  Artinya, diantara kalian akan ada juga yang melakukan perbuatan mereka yang bejat tersebut.

Kalaupun hal ini terjadi, tentulah dalam suasana serba permissif dan kebebasan individu yang menjadi prinsip dasar dan ciri khas demokrasi !!!!

Kami bertanya : Cara untuk meraih kehidupan islami yang baru (khilafah islamiyah—pent) adalah dengan cara yang diterangkan oleh syari’at, ataukah  ---meskipun cara menegakkan kehidupan Islami yang baru tersebut sangat urgen---dibiarkan kosong dan diserahkan kepada hawa nafsu dan akal manusia tanpa ada penjelasan dari Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam.

Jika jawabannya adalah dengan cara yang telah diterangkan oleh syari’at, maka kami katakan : Anda telah mengerti, maka komitmenlah dengan jalan syari’at tersebut. Tak seorangpun boleh menyelisihi cara yang telah disunnahkan dan disyari’atkan tersebut.

Adapun jika jawaban anda adalah jalan tersebut diserahkan kepada manusia, Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa salam belum menjelaskannya, maka anda telah menyelisihi nash-nash syari’at yang menyebutkan dien Islam telah sempurna, tak ada sebuah perkarapun yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala kecuali telah disebutkan dan dijelaskan Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”. (QS. Al-Maidah : 3)

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59)

Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in 1/49 mengatakan : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu”, menggunakaln lafal nakirah (indifinitief) dengan konteks syarat yang umum mencakup segala hal urusan dien yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman, baik urusan yang besar maupun kecil, yang jelas maupun masih samar-samar. Jika dalam kitabullah belum ada penjelasan atas masalah yang diperselisihkan, tentulah Allah Ta’ala tidak memerintahan mengembalikan persoalan kepada Al Qur’an (dan As-Sunnah). Karena mustahil Allah Ta’ala memerintahkan mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada sesuatu yang tidak memberikan jawaban tuntas. Dari ayat ini, manusia telah bersepakat (ijma’ ulama—pent) bahwa  mengembalikan persoalan kepada Allah maknanya adalah mengembalikan kepada Al-Qur’an, sedang mengembalikan persoalan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam artinya mengembalikan kepada pribadi beliau saat beliau masih hidup, dan kepada sunnah beliau setelah beliau meninggal”.

Dalam hadits yang shahih, beliau telah bersabda ;
“Tidak ada satu halpun yang mendekatkan diri kalian kepada Allah kecuali telah aku perintahkan kepada kalian, dan tidak ada halpun yang menjauhkan diri kalian dari Allah dan mendekatkan kepada neraka, kecuali aku telah  melarang kalian melakukannya”.

Kedua : Kekuasaan dan menjadi khalifah di atas bumi bagi umat yang beriman adalah terikat dengan syarat bertauhid kepada Allah serta menjauhi kesyirikan dan segala hal yang menyebabkan kesyirikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik”. (QS. An-Nuur : 55)

Berkuasa di bumi, teguhnya kekuasaan dan keamanan setelah sebelumnya berada dalam ketakutan, seluruh karunia Allah Ta’ala ini adalah balasan dari bertauhid dan menjauhi kesyirikan.  

Sementara demokrasi ----sebagaimana telah kami jelaskan---adalah pemikiran syirik, tegak diatas kesyirikan, mentuhankan makhluk dengan cara menjadikan makhluk sebagai sumber hukum, perundang-undangan, menghalalkan dan mengharamkan. Jika keadaannya seperti itu, maka bagaimana hendak mengharapkan pertolongan Allah turun lewat jalan tersebut ? Orang yang bertindak demikian bagaikan orang yang menjadikan kesyirikan dan kekafiran sebagai sarana untuk menolong Islam dan tauhid. Ini jelas mustahil !!!!!

Allah Ta’ala berfirman :

“Jika kalian menolong (agama) Allah, Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki kalian”. (QS. Muhammad :7)

Artinya, jika kalian menolong Allah Ta’ala dengan cara mentaati perintahnya dan menjauhi larangan-Nya, Allah Ta’ala akan menolong kalian dengan meneguhkan kalian dan menjadikan kalian berkuasa di muka bumi. Janji ini adalah jawaban dari syarat yang disebutkan pertama, bila syarat tersebut tidak dilaksanakan maka janji Allah pun tidak akan datang. Maka dipahami dari syarat ini, Allah tidak akan menolong orang-orang yang tidak menolong Allah Ta’ala.

Ayat yang serupa adalah ayat yang berbicara tentang diri Rasulullah :

“Jika kalian mentaatinya ( Muhammad ), kalian akan mendapat petunjuk”. (QS. An-Nuur : 54) 

Artinya, jika kalian tidak mentaatinya, kalian tidak akan mendapat petunjuk. Akibatnya, kalian tidak akan mendapat pertolongan. Di antara bentuk ketaatan kepada Rasulullah adalah menjauhi syirik dan segala hal yang menjurus kepada kesyirikan, termasuk di dalamnya demokrasi yang mentuhankan makhluk ini.  

Maka janganlah –wahai kaum pendukung demokrasi--- lambatnya datangnya kemenangan menjadikan kalian mencari kemenangan dengan kesyirikan dan cara-cara yang bathil. Sesungguhnya apa yang ada di tangan Allah Ta’ala tidak bisa diraih kecuali dengan mentaati dan mentauhidkan-Nya. Orang yang paham mengetahui hal ini, dan orang yang bodoh tidak menyadari hal ini.

Ustadz Sayyid Quthb mengatakan : ”Saya masih ingat ketika akh Ali Asymawi memberitahukan kepadaku bahwa di Mesir ada seorang akh dari Sudan yang berkunjung. Ia adalah pimpinan ikhwanul Muslimin cabang Sudan. Ia datang untuk mengunjungiku, hanya saja waktunya belum ditentukan dan akhirnya kunjungan tersebut tidak jadi. Hanya saja saya mengetahui dari akh Ali Asymawi bahwa Ali Asymawi telah menemui akh dari Sudan tersebut satu atau dua kali tiap berkunjung ke Mesir. Akh dari Sudan  tersebut menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Sudan, termasuk peran pokok ikhwanul Muslimin, yang menyebabkan jatuhnya rezim militer sebagaimana sudah sama-sama diketahui. Ia juga menyatakan rasa optimisnya yang mendalam akan sudah dekatnya pemerintahan Islam di Sudan sebgai hasil dari pemilihan umum yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat.

Saya juga masih ingat, pada saat itu saya mengomentari semua cerita tersebut bahwa tegaknya pemerintahan Islam di sebuah negara tidak akan pernah datang melalui cara-cara seperti ini. Sesungguhnya tegaknya sebuah pemerintahan Islam hanya akan tercapai melalui metode yang lambat dan dalam rentang waktu yang panjang, sebuah metode yang bertujuan membangun landasan, bukan puncak, dimulai dengan menanamkan aqidah sejak awal dan mentarbiyah akhlak yang islami. Sesunggguhnya jalan yang nampaknya pelan dan sangat panjang ini, pada hakekatnya adalah jalan yang paling dekat dan paling cepat.

Saat itu saya juga menyatakan : Mereka (ikhwanul muslimin di Sudan) belum pernah merasakan pengalaman-pengalaman yang telah kita lalui di Mesir. Karena itu, mereka pasti akan mencobanya karena saya sudah bisa mengira mereka pasti tidak akan menerima sebuah nasehatpun dari kami, akibat semangat dan rasa optimis mereka yang terlalu mendalam”. (dalam buku “Limadza A’damuuni hal. 66)

Saya katakan : Pandangan Sayyid Quthb telah benar. Sesungguhnya kalangan aktivis Islam di Sudan telah berkali-kali mencoba pemilihan umum dalam demokrasi. Setiap kali mereka terlibat, akibat yang ditimbulkan terhadap mereka dan masyarat Sudan ternyata buruk dan tidak menyenangkan.

Ketiga : Diantara sebab lain yang menghalangi kaum muslimin mampu meraih tujuan-tujuan gerakan keislaman mereka melalui demokrasi, atau pemilihan umum atau kotak undian (kotak suara) adalah adanya sunnah perlawanan dan  pertarungan antara kebenaran dengan kebatilan, sejak adanya kehidupan di muka bumi dan Allah mengutus para rasul, sampai  Allah mewarisi dunia dan seluruh isinya.

Orang-orang kafir ---dengan seluruh kelompok dan pemikirannya--- sekali-kali tidak akan pernah ridha dan membiarkan tegaknya sebuah negara Islam atau Islam mempunyai kekuatan, selama mereka mempunyai kekuatan untuk merealisasikan hal tersebut, meskipun  untuk  hal itu mereka harus menghadapi berbagai peperangan, terbunuhnya ribuan nyawa dan ternodainya kehormatan. Ketika perang melawan Islam sudah berkecamuk, segala hal yang terlarang dianggap boleh oleh orang-orang kafir. Menurut mereka segala yang mereka lakukan adalah sesuai dan demi menegakkan undang-undang (konstitusi), mendapat tanda tangan dan persetujuan persatuan bangsa –bangsa.

Perhatiikanlah apa yang terjadi pada hari-hari ini dengan bangsa muslim Chechnya, dengan hak mereka, sebuah bangsa yang menolak tunduk kepada kekuatan kafir. Seluruh kekuatan kafir, kejahatan dan kemunafikan telah bersatu padu mengeroyok mereka, membunuh anak-anak, perempuan, orang tua, menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tank, rudal dan pesawat tempur .Mereka membiarkan anak-anak dan wanita beralaskan salju, beratapkan langit terbuka. Ini semua terjadi dengan segenap penglihatan dan pendengaran seluruh dunia, mereka sama sekali tidak bergerak atau mengatakan kecaman terhadap para thaghut pembuat kerusakan tersebut !!!!

Silahkan bertanya dosa apa yang dilakukan oleh bangsa yang tertindas tersebut, yang dikeroyok oleh kekuatan kafir dan syirik internasional. Jawabannya tak lain karena mereka mengatakan Rabb kami adalah Allah Ta’ala. Mereka mengatakan no kepada atheisme dan kekafiran yang berwujud thaghut Rusia. Mereka mengatakan kami ingin hidup secara Islami, agama yang kami yakini dan kami peluk. Inilah dosa mereka, dosa yang tidak mungkin diampuni atau didiamkan menurut undang-undang PBB !!!!

Demokrasi mana yang kalian inginkan wahai orang-orang yang tertipu ???? Negara mana yang kalian tegakkan lewat kotak undian ???? Sedang kalian sendiri diatur dengan undang-undang kafir yang tidak manusiawi???

Hal yang sudah sangat jelas dan telah disepakati ini ----tidak ada yang menyelisihinya selain para pendukung demokrasi---telah ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur’an, demikian juga realita yang kita alami dan kita lihat.

Adapun dalil-dalil Al qur’an, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala :

Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam”. (QS. Al-Baqarah : 251)

Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sseungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Hajj : 40)

 “Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil”. (QS. Ar Ra’d : 17)

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.
                                                  
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup”. (QS. Al-Baqarah : 217)

Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”. (QS. Al Baqarah : 109)

“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian)”. (QS. At-Taubah : 8)

Dan banyak ayat lainnya yang menunjukkan bahwa kebenaran dan kebathilan akan senantiasa berseteru dan bertabrakan. Kebathilan tidak mungkin akan ridha selama di sampingnya masih ada kebenaran dan pendukungnya. Kebathilan tidak akan pernah diam, tenang dan senang, kecuali dengan salah satu dari dua alternatif ; menghalangi pendukung kebenaan dari dien mereka yang benar dan memurtadkan mereka jika mereka mempunyai kemampuan untuk hal itu, atau melenyapkan keberadaan mereka, melancarkan peperangan dan pembunuhan. Inilah yang dinyatakan oleh ayat-ayat Al Qur’an :

“Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah”. (QS. An-Nisa’ : 122)

Begitu juga realita yang kita lihat dan kita alami, membenarkan nash-nash Al Qur’an yang telah disebutkan diatas. Apa yang telah terjadi di Tunisia, Mesir, Sudan ---sebelum masa jendral Basyir---Turki, Aljazair, Malaysia dan negara-negara lain di mana kaum muslimin mencoba berjuang lewat jalan demokrasi dan pemilihan umum, kemudian mereka meraih kemenangan (suara mayoritas). Kita melihat, bagaimana demokrasi para thaghut telah berubah menjadi nyata-nyata rezim diktator, mereka membolehkan untuk mereka sendiri ---dengan mengatas namakan demokrasi---apa yang sejatinya oleh demokrasinya sendiri dilarang. Itu semua dilakukan dengan sepengetahuan dan sependengaran para kampiun demokrasi di seluruh dunia !!!! Bagaimana undang-undang dasar, peraturan pemerintah dan kondisi damai dianulir begitu saja, lantas secara tiba-tiba kondisi darurat diberlakukan, tank-tank militer turun ke jalan raya, ribuan umat Islam dijebloskan ke penjara, demi menjaga ---menurut pengakuan mereka---keselamatan demokrasi dari bahaya terorisme.

Hal ini sudah menjadi fenomena umum yang diketahui dengan baik oleh para aktivis Islam pendukung demokrasi. Mereka menyebutkan hal ini dalam buku-buku dan jurnal-jurnal mereka. Meski demikian, mereka tetap saja menyombongkan diri dan menyelisihi perintah syari’at. Mereka tidak mau, kecuali menempuh jalan yang gelap gulita ini. Seakan-akan saat digiring ke penjara, mereka justru merasakan enaknya cemeti para algojo penjara.

Mereka paham betul bahwa Islam tidak mungkin akan mencapai kenangan lewat jalan ini, Islam tidak akan mungkin merealisasikan satu saja dari sekian banyak tujuannya lewat jalan ini. Meski demikian, mereka tetap saja berusaha lewat jalan ini dan berulang kali mengulangi usaha tersebut, tanpa mau mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang lalu dan kerasnya pelajaran. Mereka tidak mau mempertimbangkan dampak-dampak destruktif yang mengenai umat Islam dan para pemuda Islam, akibat percobaan mereka ini !!!!

Seakan-akan mereka itu lupa atau memang pura-pura lupa, akan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam :

Orang yang beriman itu cerdik dan sehat pikirannya. Ia tidak akan terjatuh dua kali dalam lubang yang sama”.

Sayang, para aktivis Islam pendukung demokrasi telah  terjatuh puluhan kali dalam lubang yang sama, tanpa mau belajar !!!
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011