Sabtu, 24 Desember 2011

Afghanistan, Hijrah dan Jihad


Terimalah kabar gembira atas pengorbananmu, wahai fulan
Orang-orang yang hilang itu kini sampai di medan tempur
Mereka masuk dalam pentas sejarah melalui gerbang-gerbang Afghan
(Syair Syaikh Yusuf Abu Hilalah atas syahidnya –kamaa nahsabuhuu— Abdullah Azzam Rahimahullah)

Hubunganku dengan Afghanistan dimulai pada musim panas tahun 1980, sesuai urutan takdirku ketika itu aku bekerja sebagai pegawai sementara menggantikan temanku di klinik milik Ibu Zainab, cabang dari Ikatan Kedokteran Islam yang merupakan bagian dari unit amal usaha Ikhwanul Muslimin.

Suatu malam, direktur klinik –juga anggota Ikhwanul Muslimin— mengatakan kepadaku tentang ide pergi ke Pakistan dalam rangka memberi bantuan pengobatan operasi luka kepada muhajirin Afghanistan. Tanpa pikir panjang aku langsung menyetujuinya, sebab aku melihat ada peluang emas dalam tawaran ini untuk berkelana di salah satu medan jihad yang mungkin bisa dijadikan sebagai alternatif atau basis untuk mengoperasikan jihad di Mesir dan dunia Arab yang notabene sebagai jantung dunia Islam, tempat di mana pertempuran politik Islam antara kaum Muslimin melawan pembesar-pembesar pasukan neo perang salib (Amerika, Yahudi, dan penguasa-penguasa Arab yang menjalankan kebijakan politiknya) akan berlangsung.

Problem mencari basis yang aman untuk operasi jihad di Mesir menjadi hal yang sangat menyita perhatianku, melihat kondisi gerakan-gerakan jihad yang terlibat langsung dalam pertempuran di Mesir sebagai negara yang punya sistem keamanan ketat dan pemerintah pusat yang diktator, dan juga karakter geografis yang mudah untuk dikontrol dengan mengalirnya sungai Nil dengan lembah-lembahnya yang sempit d antara dua padang pasir membentang yang tak ada tumbuhan dan air sama sekali. Karakter tersebut membuat perang gerilya di Mesir tidak mungkin dilakukan. Akibatnya penduduk di lembah-lembah dipaksa untuk tunduk kepada pemerintahan pusat yang mengendalikan segalanya, mulai dari penertiban opini, penindasan, wajib militer dan pemberantasan semua gerakan pemberontak. Akhirnya, tempat pelampiasan dari kezhaliman penguasa yang diktator dalam sejarah bangsa Mesir selalunya adalah letupan-letupan yang jaraknya saling berjauhan, seperti kawah mendidih yang tak seorang pun tahu kapan ia akan menyemburkan laharnya, atau seperti gempa yang tak seorang pun tahun kapan bumi akan diguncang olehnya. Tak aneh jika sejarah gerakan Islam modern di Mesir identik dengan sejarah tindakan-tindakan kejam yang silih berganti, sejak tahun 40-an hingga hari ini.

Oleh karena itu, ajakan untuk ikut dalam misi kedokteran untuk kaum muhajirin Afghan ini benar-benar tepat datang kepada saya, saya menyetujuinya karena sangat ingin mencari medan-medan yang tepat untuk membangun basis yang aman demi kelanjutan amal jhad di Mesir, khususnya di era Anwar Sadat ketika tanda-tanda serangan Neo-perang salib akan segera dimulai tampak begitu jelas bagi siapa saja, nyata bagi setiap yang memperhatikan urusan umatnya.

Dan benar, akhirnya saya pergi ke kota Peshawar, Pakistan, dengan ditemani oleh kawan yang spesialis di bidang pembiusan. Tak lama kemudian ada lagi satu kawan menyusul, ia ahli di bidang operasi rehabilitasi. Kami bertiga adalah harapan dari Arab, yang bekerja untuk misi sosial bagi para muhajirin Afghan.

Sebelum kami, Ustadz Kamal As-Sananiri Rahimahullah sudah mendahului datang ke Peshawar. Kami menggunakan nama beliau sebagai simbol untuk pergi ke mana saja. Rumah sakit tempat kami bekerja pertama kali adalah rintisannya, para komandan Mujahidin yang kami temui selalu menceritakan bantuan-bantuannya kepada mereka dan usahanya menyatukan mereka. Dan meskipun saya belum pernah bertemu dengan Kamal As-Sananiri, tapi kegiatan-kegiatan dan program-programnya menunjukkanya dia adalah sosok pekerja keras dan gemar berkorban di jalan Allah. Makanya tidak aneh jika Kamal As-Sananiri diberitakan terbunuh pada peristiwa penangkapan yang dimulai sejak dikeluarkannya surat keputusan reservasi di bulan September 1981.

Kamal As-Sananiri terbunuh akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Hasan Abu Basya, Direktur Pelaksana Intelejen Keamanan Negara, dan Menteri Dalam Negeri sendiri. Dan kita harus berhenti sejenak memperhatikan bagaimana kisah terbunuhnya Kamal As-Sananiri Rahimahullah.

Kamal As-Sananiri tertangkap pada bulan September 1981. Setelah pembunuhan Anwar Sadat bulan Oktober 1981, pemerintah mengetahui bahwa aparat keamanannya –intelejen keamanan negara, intelejen perang dan intelejen umum—adalah fihak yang paling terakhir tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Mesir, yaitu kemarahan terselubung dan pemberontakan yang terus mengalami eskalasi.

Melihat instabilitas yang mengguncang pemerintahan, dan hampir saja pilar-pilarnya hancur, maka pemerintah memutuskan untuk mengusut sebab yang memicu semua kejadian ini. Dan pertama-tama yang pemerintah lakukan adalah menolak semua usulan yang diajukan oleh aparat keamanan yang terbukti lemah, pemerintah mulai melakukan investigasi berdarah-darah dan kasar untuk membuka semua file data baik yang lama maupun yang baru.

Salah satu file yang dibuka kembali adalah file-file Ikhwanul Muslimin setelah pemerintah tak percaya lagi kepada pernyataan-pernyataan Intelejen Keamanan Negara yang kelemahannya terbukti sangat nyata, di mana lembaga itu tak mampu mengungkap pembunuhan Anwar Sadat kecuali setelah itu terjadi, bahkan tak mampu membongkar organisasi-organisasi jihad yang muncul segera setelah peristiwa pembunuhan terjadi.

Kebodohan Intelejen Negara mengenai apa yang tengah terjadi di Mesir begitu parah, hingga pada tingkat mereka meyakinkan Sadat bahwa penangkapan yang ia perintahkan terhadap para penentang di bulan September 1981 telah mengamankan kepentingan negaranya dari perlawanan politik secara umum dan perlawanan dari kelompok Islam secara khusus.

Oleh karena itu, pihak intelejen segera melakukan investigasi baru terhadap Ikhwanul Muslimin, walaupun sebelumnya mereka yakin Ikhwanul Muslimin adalah orang-orang yang menempuh jalan damai. Investigasi itu difokuskan kepada mereka yang berada di jajaran kedua dan ketiga, dan termasuk yang paling penting adalah Ustadz Kamal As-Sananiri Rahimahullah karena beberapa pertimbangan, di antaranya: Mursyid Ikhwanul Muslimin, Umar Tilmisani, sudah tua dan tak mungkin kuat menghadapi penyiksaan, ditambah lagi dia adalah simbol moral sebagai Mursyid ‘Aam bagi Ikhwan, ini bisa mengundang banyak masalah bagi pemerintah jika pemerintah menyiksanya dengan pukulan, pelecehan atau ia tewas karena disiksa. Pemerintah juga faham bahwa kunci semua permasalahan dan rincian-rincian dari program-program Ikhwan bukan pada Umar At-Tilmisani.

Pertimbangan lain adalah besarnya program yang dijalankan oleh Kamal As-Sananiri yang berusaha menjalin hubungan antara Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan organisasi internasional di luar negeri dan seringnya ia bepergian untuk urusan ini.

Pertimbangan lainnya lagi adalah pernyataan dia mengenai masalah Afghanistan dan langkah pertamanya dalam membantu jihad Afghan serta menjalin hubungan dengan komandan-komandannya.

Selain itu, yang juga menjadi pertimbangan adalah posisi Kamal As-Sananiri di organisasi Ikhwanul Muslimin. Susunan pengurus di tubuh Ikhwan memang sedikit unik, tokoh di permukaan yang diwakili oleh Mursyid ‘Aam –dalam hal ini Umar Tilmisani—muncul di hadapan orang banyak dan pemerintah, sedangkan kepemimpinan yang sebenarnya dikendalikan oleh satu tim khusus seperti Mushthafa Masyhur, DR. Ahmad Milth Rahimahullah, dan termasuk Ust. Kamal As-Sananiri Rahimahullah. Dari sinilah Intelejen Negara berkeyakinan bahwasanya jika Ikhwanul Muslimin memiliki organisasi rahasia maka pasti rahasia itu ada pada Ust. Kamal As-Sananiri Rahimahullah.

Interogasi kasar terhadap Kamal As-Sananiri pun dimulai. DR. Abdul Mun‘im Abul Futuh –beliau adalah teman saya di Fakultas Kedokteran Kairo— bercerita kepada saya ketika kami berbincang-bincang melalui jendela sel kami di penjara Al-Qal‘ah, tentang bagaimana Ustadz Kamal As-Sananiri Rahimahullah diambil dari tengah-tengah ikhwan yang lain –termasuk salah satunya adalah Abdul Mun‘im Abul Futuh— dari sebuah sel di penjara Istiqbal Thurah, ia mengenakan jilbab dan sepotong jubah dan setelah itu Abdul Mun‘im tak pernah melihatnya lagi kecuali di kantor Responden Umum Sosialis, di mana tubuhnya terlihat membengkak dan tampak bekas-bekas penyiksaan yang keras, ia mengatakan kepada mereka bahwa dirinya mengalami penyiksaan yang belum pernah ia alami pasca era Abdul Nashir, ia menceritakan penyiksaan ini kepada tim investigasi dari Responden Umum Sosialis itu.

Tak lama setelah itu, salah seorang pemantau penjara memberitahu Abdul Munim Futuh bahwa salah seorang kawan mereka hari ini ada yang tewas akibat penyiksaan. Di kemudian hari diketahui bahwa ternyata dia adalah Ust. Kamal As-Sananiri Rahimahullah.

Menteri Dalam Negeri lalu mengumumkan bahwa ia mati karena bunuh diri dengan cara gantung diri di pipa saluran kamar mandi di dalam sel isolasinya menggunakan tali yang ia lilitkan pada tubuhnya, setelah sebelumnya menulis di dinding sel: “Aku bunuh diri karena melindungi saudara-saudaraku.”

Abdul Munim Abul Futuh menuturkan kepadaku betapa kisah murahan ini sarat dengan rekayasa, sebab ketika Ustadz Kamal meninggalkan dirinya, beliau tidak membawa tali tetapi mengenakan jilbab dan kain, lagi pula pihak pengurus penjara tidak akan mungkin mengizinkan penghuni penjara –siapapun—menyimpan ikat pinggang, tali atau ikat leher, dan juga pipa saluran ke kamar mandi tidak mungkin bisa dipakai untuk mengggantung diri, sebab jaraknya dengan tanah sangat dekat. 

Al-Akh Thal‘at Fuad Qashim –yang diculik Amerika di Kroasia lalu diserahkan kepada Mesir—bercerita kepada saya bahwa Kamal As-Sananiri ditahan di sel isolasi yang bersebelahan dengan selnya di lantai bawah tanah blok I penjara Istiqbal Thurah. Kemudian di suatu malam ia mendengar suara keributan, sejurus kemudian pintu-pintu blok dibuka dan sekelompok perwira dan tentara masuk, ia mengintip dari celah pintu dan ia melihat Mayjen Muhsin As-Sarsawi –kepala penjara Istiqbal Thurah—berkata dengan nada gugup dan gelisah : “Mana sel almarhum?”, para petugas pun menunjukkannya. Mayjen Muhsin meminta pintunya dibuka, kemudian para tentara tadi memasukkan ke dalamnya sesosok mayat lalu menguncinya kembali.

Penuturan ini memperkuat bahwa Ustadz Kamal As-Sananiri sudah dibunuh terlebih dahulu di luar penjara, setelah itu jasadnya dimasukkan ke dalamnya. Ini yang benar dan bukan seperti cerita bohong murahan Menteri Dalam Negeri.

Ada saksi lain yang bercerita kepadaku, ia ada ketika Ustadz Kamal As-Sananiri disiksa di malam terakhir dari umurnya: Bahwa beliau menerima penyiksaan sangat sadis dan yang menangani penyiksaan itu adalah Hasan Abu Basya –pembantu Menteri Dalam Negeri ketika itu dan selanjutnya dilantik menjadi menteri Dalam Negeri—langsung, orang ini mencaci beliau dengan kata-kata paling buruk sambil menanyainya: “Siapa Mursyid di permukaan? Siapa Mursyid di bawah tanah?”. Ustadz Kamal As-Sananiri karena saking tak berdayanya menjawab dengan suara lemah akibat penyiksaan: “Tidak ada Mursyid bawah tanah.”

Yang mengherankan, setelah semua fakta yang terkenal ini terungkap dan meyakinkan fihak Ikhwanul Muslimin, tidak ada seorang pun dari mereka yang bergerak menuntut balas terhadap darah As-Sananiri –meskipun mereka tahu betul cerita detail tentang pembunuhannya— atau bahkan sekedar menuntut mereka yang bertanggung jawab dalam pembunuhannya (dan mereka orang-orangnya jelas, untuk membuktikannya juga sangat mudah) di pengadilan pun tidak.

Kamal As-Sananiri masuk penjara masih dalam kondisi berjalan kaki, dan keluar sudah menjadi mayat yang terbujur kaku. Maka kepala dan pengurus penjara serta Menteri Dalam Negeri adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas semua ini, dan hasil otopsi jenazah akan menjelaskan dengan gamblang mengenai kebohongan cerita yang dibuat-buat oleh Menteri Dalam Negeri.

Padahal sebenarnya para pengacara dari Ikhwanul Muslimin –mereka adalah orang-orang ahli dalam dunia hukum—bisa mengangkat perkara ini hingga sampai ke presiden, jangkauan media informasi mereka yang luas juga bisa –jika mereka mau—membentuk opini masyarakat Mesir dan dunia Arab seputar kejahatan yang sadis ini.

Dan jika mereka mau, mereka juga bisa melatih generasi muda mereka untuk melakukan aksi pembalasan terhadap kaum Muslimin yang terbunuh, terhadap tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar mereka yang terbunuh. Namun yang menggelikan sekaligus memilukan, mereka keluar penjara justru memuji-muji Husni Mubarak, sebab dalam pandangan mereka ia tak terlibat dalam penyiksaan terhadap orang-orang Ikhwan, karena dialah yang membuka pintu kebebasan-kebebasan.

Lebih parah lagi mereka mengirim telegram berisi ucapan selamat terhadap Hasan Basya –pembunuh As-Sananiri—, karena ia selamat dari usaha pembunuhan terhadapnya, dan mereka menilai usaha pembunuhan itu adalah konspirasi Zionis-Komunis… dsb.

Begitulah, darah Kamal As-Sananiri Rahimahullah tertumpah begitu saja di ‘penjagalan sikap damai’ terhadap Husni Mubarak, sebagaimana sebelumnya darah Hasan Al-Banna juga tertumpah begitu saja ketika para pengikutnya mau menandatangani daftar penghormatan terhadap Istana Abidin setelah pemilihan lembaga Irsyad yang baru, mereka mengulurkan tangannya kepada Raja Faruq, orang yang membunuh sesepuh mereka. Persis seperti kata Al-Mutanabbi :

Betapa banyak di Mesir cerita-cerita menggelikan,
Namun mentertawakannya seperti menangis

Kembali ke Peshawar. Dengan bersinggungan dengan jihad Afghanistan sejak tahun 1980, tahulah saya kalau medan jihad ini memiliki banyak kekayaan dan manfaat yang bisa dia berikan kepada umat Islam secara umum, dan gerakan jihad secara khusus.  Saya juga menyimpulkan betapa pentingnya memanfaatkan medan ini. Oleh karena itu, saya tinggal di sana untuk pertama kalinya selama empat bulan. Saya kembali lagi ke sana pada bulan Maret 1981 dan tinggal selama dua bulan, saya terpaksa kembali ke Mesir karena situasi mendesak yang ada di sana.

Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkehendak (Dia Maha Terpuji, baik dalam kondisi lapang maupun sempit) saya harus masuk penjara di Mesir selama tiga tahun dan masa tahanan itu berakhir di akhir tahun 1984. Namun karena kondisi pribadi yang menyangkut diri saya sendiri, saya baru bisa kembali ke medan jihad Afghanistan pada pertengahan tahun 1986.

Selama bersinggungan dan bergaul dengan para aktifis di front, saya memperoleh fakta-fakta sangat penting yang harus dicatat di sini:

1.   Bahwa gerakan jihad butuh kepada medan jihad sebagai tempat pengasuhan yang menumbuhkan benih yang baru muncul, juga untuk memperoleh pengalaman-pengalaman nyata, pengalaman-pengalaman perang, pengalaman politik dan berorganisasi.

Saudara kami yang sudah syahid –kamaa nahsabuhuu— Abu Ubaidah Al-Bansyiri Rahimahullah pernah berkata : “Di Afghanistan, umur saya bertambah seratus tahun.”

2.    Para pemuda Muslim di Afghanistan terjun dalam pertempuran untuk memerdekakan tanah air Islam di bawah bendera Islam yang murni. Ini adalah perkara yang sangat penting, mengingat bahwa kebanyakan perang kemerdekaan yang berlangsung di dunia Islam kita benderanya masih bercampur dengan bendera-bendera nasionalisme dan kebangsaan, bahkan kadang-kadang tercampur dengan bendera kiri-komunis. Akibatnya, ada kerenggangan dalam diri pemuda Muslim antara ideologi jihad Islam yang harus dibangun di atas pondasi kemurnian agama hanya untuk Allah dengan praktek nyatanya di lapangan.
Kasus Palestina adalah contoh paling nyata dalam hal ini. Berbagai bendera dan ideologi di sana bercampur aduk di bawah slogan persatuan (dengan syetan) demi membebaskan tanah Palestina. Akhirnya mereka bersekutu dengan syetan, namun tak berhasil membebaskan Palestina. Maha Benar Allah yang berfirman:

كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِّنكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Robb semesta alam.” (QS. Al-Hasyr: 16)

Hal lain yang juga penting, bahwa pertempuran-pertempuran yang mengibarkan bendera-bendera selain Islam atau bendera yang bercampur-campur telah menghilangkan garis pembatas antara siapa kawan dan siapa lawan dalam kacamata seorang pemuda Muslim. Akhirnya, musuh jadi tak jelas, apakah yang disebut musuh itu yang berasal dari luar negeri lalu menjajah negeri kaum Muslimin, ataukah musuh itu mereka yang tidak mau berhukum dengan hukum Islam, menindas kaum Muslimin, menyebarkan maksiat dan budaya pornografi dengan mengatasnamakan kebebasan, nasionalisme dan kemerdekaan, yang menggiring negara kepada kehancuran dari dalam dan mengalah kepada musuh asing, seperti yang terjadi di mayoritas negeri kita yang tunduk kepada undang-undang globalisasi.

Adapun Afghanistan, bentuknya jelas sekali. Bangsa Muslim berperang di bawah bendera Islam, musuhnya adalah orang asing yang bengis dan kafir dengan dibantu rezim lokal yang murtad dan rusak. Makanya praktek teori ajaran ke dunia nyata di sana sangat jelas dan nyata. Kejelasan seperti ini juga berguna untuk mematahkan syubhat dari orang-orang yang terjun ke perjuangan Islam tapi lari dari medan perang dengan alasan tidak ada medan perang yang di situ kaum Muslimin terpisah secara jelas dari musuh-musuhnya.

3.    Medan jihad Afghanistan juga menjadi contoh nyata (terutama setelah Rusia mundur) jihad melawan para penguasa yang keluar dari Islam, yang bersekutu dengan musuh-musuh Islam dari luar. Najibullah di Afghanistan adalah contoh terulang bagi para penguasa kita, dia juga shalat, puasa dan naik hajji, tapi di saat yang sama tidak mau berhukum dengan hukum Islam dan bersekutu dengan musuh Islam serta mempersilahkan mereka masuk ke negaranya, ia juga bertindak kejam kepada kaum Muslimin yang berjihad.

4.    Urgensi pertempuran di Afghanistan adalah keberhasilannya menghancurkan mitos kekuatan “super power” dari benak para pemuda Muslim yang berjihad. Uni Soviet (sebagai negara super power yang memiliki angkatan darat terkuat di dunia) dibuat babak belur dan lari mundur dari Afghanistan di depan mata para pemuda Muslim dan dengan peran mereka.

Maka jihad Afghan ini adalah pelatihan yang sangat penting untuk menyiapkan pemuda Muslim mujahid guna menerjuni medan tempur melawan kekuatan super power berikutnya yang sudah menunggu, yang hari ini satu-satunya yang memegang adalah Amerika.

5.    Keikut sertaan para pemuda muslim dalam jihad –baik yang dari Arab, Pakistan, Turki, Asia Tengah, Asia Timur dan dari berbagai penjuru dunia—memberi kesempatan besar bagi mereka untuk saling mengenal dalam momentum jihad Afghan dan sepenanggungan dalam memanggul senjata melawan musuh-musuh Islam.

Demikianlah, para pemuda mujahid dan harakah-harakah jihad menjalin perkenalan yang kokoh, saling tukar pengalaman dan memahami masalah-masalah yang dihadapi saudara mereka.

Melalui muaskar-muaskar tadrib dan front-front jihad terbentuk kesadaran yang luas dan pemahaman mendalam pada diri para pemuda yang berjihad akan konspirasi yang dilancarkan terhadap Islam, juga pemahaman syar‘i yang lebih kuat lagi mengenai kewajiban mereka dalam menghadapi musuh-musuh Islam, baik musuh yang asing maupun yang lokal yang menjadi bonekanya.

6.    Para pemuda muslim yang berjihad di Afghanistan inilah cikal bakal dari apa yang dikenal di media informasi sekarang dengan sebutan orang Afghan-Arab. Istilah ini punya misi terselubung, sebab para pemuda itu bukan saja dari Arab tapi berasal dari berbagai penjuru dunia Islam, meskipun orang Arab menjadi unsur yang paling menonjol di tengah mereka.

Dan para pemuda ini membentuk sebuah fenomena baru yang penuh berkah dalam sejarah gerakan Islam kontemporer, fenomena berupa lahirnya para pemuda yang mempersembahkan dirinya untuk jihad fi sabilillah demi membela umat Islam, yang berpindah dari Afghanistan menuju Kashmir, Bosnia, Tajikistan, Cechnya. Dengan begitu, para pemuda yang baik tersebut telah menghidupkan kembali kewajiban yang umat Islam sudah lama terhalang untuk melaksakannya.

7.    Sudah secara otomatis tatanan dunia baru takkan pernah senang dengan kemunculan fenomena yang terus berkembang dan tak bisa dikendalikan serta mengancam eksistensinya ini, apalagi setelah mengorbankan banyak tenaga yang terus menerus selama kurang lebih satu abad sehingga Barat dan Komunis bisa menjajah negeri-negeri Islam, sehingga bangsa-bangsa Muslim tunduk kepada hukum, undang-undang, dan pemilu yang sudah dimanipulasi, tunduk kepada undang-undang darurat dan aturan tentang imigrasi dan kewarganegaraan.

Maka pressure mulai diberlakukan dalam rangka mengusir para pemuda Arab yang terlibat dalam jihad dari Pakistan, dimulai di awal tahun 90-an dan mencapai klimaksnya pada tahun 1992.

Demikianlah, pemerintah sekuler Pakistan mengusir orang-orang yang membentengi perbatasan-perbatasan Pakistan hingga mereka menjadi orang-orang yang tak jelas. Yang mengerikan, wilayah Towrkham di perbatasan Pakistan-Afghanistan yang menjadi jalur masuk terdapat sekitar seratus kuburan mujahidin Arab yang ikut berperang di Afghanistan. Ini sudah cukup menjadi bukti dalam sejarah tentang perlakuan buruk pemerintah Pakistan terhadap orang-orang yang melindungi perbatasan Pakistan dari ancaman komunis.

Makar busuk ini diketuai oleh Amerika dan Arab Saudi setelah mereka sadar bahwa para pemuda yang ikut berjihad itu akan merusak rencana-rencana mereka untuk menguasai Afghanistan. Akhirnya satu kelompok orang-orang baik ini harus berpencar-pencar ke berbagai penjuru dunia, ada yang meminta suaka politik, ada yang eksodus, ada yang bersembunyi, ada yang tertangkap, ada yang terbunuh, dan ada juga yang pergi ke medan jihad lain mengangkat senjata. Bahkan ada juga yang putus asa dan mencoba kembali ke kehidupan normal setelah ia melihat musuh yang begitu kuat dan gencarnya perburuan terhadap mujahidin.

Di sisi lain, media informasi Arab dan Barat mulai menggambarkan buruknya citra para pemuda itu, menggambarkan mereka sebagai orang-orang tak waras dan gila yang menantang Amerika, padahal Amerikalah yang dulu melatih dan mendanai mereka. Kebohongan opini ini semakin tajam setelah para pemuda kembali berjihad untuk kedua kalinya ke Afghanistan di pertengahan tahun 90-an, terutama pasca peledakan bom di dua kedutaan Amerika di Nairobi dan Darus Salam.

Tujuan dari pembunuhan karakter ini jelas sekali; yaitu Amerika ingin menghalangi umat Islam dari kemuliaan menjadi pahlawan, seolah ia ingin katakan kepada kaum Muslimin: “Orang-orang yang selama ini kalian anggap sebagai pahlawan itu sebenarnya adalah kader dan agen-agenku, mereka melawanku ketika bantuan yang kuberikan kepada mereka kuhentikan.”

Opini dusta ini secara subtansial sudah mengandung kontradiktif, sebab jika memang para pemuda yang berjihad di Afghanistan itu agennya kader-kadernya Amerika lantas mengapa mereka terus dikejar-kejar selama dua tahun?

Fakta yang harus diketahui oleh semua orang adalah: Amerika tidak pernah membantu para pemuda Arab yang berjihad di Afghanistan, walau dengan satu Rupee. Jika Amerika membantu Pakistan dan faksi-faksi mujahidin dengan kucuran dana dan senjata, maka sebenarnya hubungan pemuda Arab yang berjihad dengan Amerika adalah kebalikannya. Bahkan keberadaan para pemuda Arab dan semakin bertambahnya jumlah mereka adalah kerugian bagi langkah politik Amerika, sekaligus membuktikan akan kebodohan politik Amerika selama ini.

Kegiatan mujahidin Arab di Afghanistan didanai melalui sumbangan umat terhadap Afghanistan, dan itu adalah sumbangan yang tak bisa dianggap kecil. Para mujahidin Arab juga tak hanya mendanai diri mereka sendiri, mereka juga datang membawa sumbangan dari kaum Muslimin untuk mujahidin dan muhajirin Afghanistan.

Syaikh Usamah bin Ladin memberitahu saya –dan beliau adalah sebaik-baik saksi—tentang jumlah bantuan masyarakat Arab untuk mujahidin Afghan yang melebihi jumlah yang beliau ketahui selama ini; untuk urusan militer saja sumbangannya berjumlah 200 juta dollar, ini untuk waktu sepuluh tahun. Lalu berapa kira-kira sumbangan yang disalurkan untuk selain keperluan militer, seperti urusan pengobatan, kesehatan, pendidikan, pelatihan kerja, pemenuhan gizi dan sumbangan sosial (seperti sumbangan untuk anak yatim, para janda dan orang-orang cacat)? Belum lagi sumbangan-sumbangan yang datang di momentum-momentum penting, seperti hari raya dan bulan Ramadhan dan lain-lain.

Melalui bantuan tak resmi dari masyarakat inilah mujahidin Arab membangun kamp-kamp latihan dan dakwah, mereka juga membuka front-front jihad yang telah melatih dan mengkader ribuan mujahidin Arab, memenuhi keperluan hidup, tempat tinggal, dana perjalanan dan organisasi mereka.

Jika memang mujahidin Arab itu agen Amerika yang sekarang melawannya (seperti yang diisukan), lantas mengapa sampai sekarang Amerika tak mampu “membeli” mereka lagi? Bukankah sampai sekarang mereka –terutama Syaikh Usamah bin Ladin—dianggap sebagai bahaya nomor satu bagi kepentingan-kepentingan Amerika? Bukankah membeli mereka akan jauh lebih murah biayanya daripada anggaran yang selama ini dikeluarkan Amerika untuk membangun keamanan dan tekhnologi perlindungan dari serangan mereka?

Amerika dengan gaya lamanya dalam membesar-besarkan perkara dan penanganan yang dangkal berusaha memperjual belikan sesuatu yang membingungkan kepada umat manusia, dengan mengabaikan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Sekarang apa mungkin orang seperti Usamah bin Ladin yang dalam pidatonya tahun 1987 di Saudi menyerukan pentingnya memboikot produk-produk Amerika demi mendukung intifadhah Palestina menjadi agen Amerika di Afghanistan?

Saya teringat, dulu Syaikh Usamah pernah mengunjungi kami di Rumah Sakit Bulan Sabit Kuwait di Peshawar, beliau menyampaikan kepada kami tentang isi pidatonya itu, dan seingat saya ketika itu saya katakan kepada beliau: “Sejak sekarang Anda harus mengubah sistem pengawalan dan keamanan Anda, sebab kepala Anda sekarang bukan hanya diburu oleh kaum komunis dan Rusia saja, tapi juga oleh Amerika dan Yahudi. Anda sekarang tengah memukul kepala ular.”

Apakah mungkin Asy-Syahid--kamaa nahsabuhuu-- Abdullah Azzam menjadi agen Amerika padahal beliaulah yang tak kenal lelah mengobarkan semangat para pemuda untuk melawannya dan mendukung gerakan Hamas dengan segala yang beliau miliki? Apakah mungkin gerakan jihad di Mesir itu agennya Amerika, padahal Khalid Islambuli dkk-lah yang membunuh Anwar Sadat, agen setia Amerika di Timur Tengah, sebelum fenomena mujahidin Arab di Afghanistan muncul?

Mungkinkah gerakan jihad di Mesir menjadi agen Amerika padahal gerakan ini mendidik anggota-anggotanya untuk selalu menentang Israel dan semua kesepakatan damai dengannya, dan menganggap perjanjian damai dengannya bertentangan dengan Syari’at Islam?

Sesungguhnya Amerika dibuat kaget karena “masakannya” di Afghanistan dirusak oleh mujahidin Arab dan mujahidin Afghan yang tulus. Amerika menginginkan Afghanistan mewakilinya dalam perang melawan Rusia, tapi Mujahidin Arab –dengan karunia Allah—membaliknya menjadi kampanye menghidupkan kembali kewajiban yang selama ini hilang; jihad fi sabilillah.

Tak heran jika Amerika menyadari bahaya yang sama di Bosnia, maka syarat pertama yang diberlakukan sebelum penandatanganan kesepakatan Dayton adalah :  mengusir mujahidin Arab dari Bosnia.

8.    Bahaya dari keberadaan para pemuda Muslim –terutama Arab—di medan jihad Afghanistan adalah: mengubah isu Afghanistan dari masalah lokal dalam negeri menjadi masalah umat Islam seluruh dunia yang mana seluruh umat ikut berperan serta di dalamnya.
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011