Terimalah
kabar gembira atas pengorbananmu, wahai fulan
Orang-orang
yang hilang itu kini sampai di medan tempur
Mereka masuk
dalam pentas sejarah melalui gerbang-gerbang Afghan
(Syair Syaikh
Yusuf Abu Hilalah atas syahidnya –kamaa nahsabuhuu— Abdullah Azzam Rahimahullah)
Hubunganku
dengan Afghanistan dimulai pada musim panas tahun 1980, sesuai urutan takdirku
ketika itu aku bekerja sebagai pegawai sementara menggantikan temanku di klinik
milik Ibu Zainab, cabang dari Ikatan Kedokteran Islam yang merupakan bagian
dari unit amal usaha Ikhwanul Muslimin.
Suatu
malam, direktur klinik –juga anggota Ikhwanul Muslimin— mengatakan kepadaku
tentang ide pergi ke Pakistan dalam rangka memberi bantuan pengobatan
operasi luka kepada muhajirin Afghanistan. Tanpa pikir panjang aku
langsung menyetujuinya, sebab aku melihat ada peluang emas dalam tawaran ini
untuk berkelana di salah satu medan jihad yang mungkin bisa dijadikan sebagai
alternatif atau basis untuk mengoperasikan jihad di Mesir dan dunia Arab yang
notabene sebagai jantung dunia Islam, tempat di mana pertempuran politik Islam
antara kaum Muslimin melawan pembesar-pembesar pasukan neo perang salib
(Amerika, Yahudi, dan penguasa-penguasa Arab yang menjalankan kebijakan
politiknya) akan berlangsung.
Problem
mencari basis yang aman untuk operasi jihad di Mesir menjadi hal yang sangat
menyita perhatianku, melihat kondisi gerakan-gerakan jihad yang terlibat
langsung dalam pertempuran di Mesir sebagai negara yang punya sistem keamanan
ketat dan pemerintah pusat yang diktator, dan juga karakter geografis yang
mudah untuk dikontrol dengan mengalirnya sungai Nil dengan lembah-lembahnya
yang sempit d antara dua padang pasir membentang yang tak ada tumbuhan dan air
sama sekali. Karakter tersebut membuat perang gerilya di Mesir tidak mungkin
dilakukan. Akibatnya penduduk di lembah-lembah dipaksa untuk tunduk kepada
pemerintahan pusat yang mengendalikan segalanya, mulai dari penertiban opini,
penindasan, wajib militer dan pemberantasan semua gerakan pemberontak.
Akhirnya, tempat pelampiasan dari kezhaliman penguasa yang diktator dalam
sejarah bangsa Mesir selalunya adalah letupan-letupan yang jaraknya saling
berjauhan, seperti kawah mendidih yang tak seorang pun tahu kapan ia akan
menyemburkan laharnya, atau seperti gempa yang tak seorang pun tahun kapan bumi
akan diguncang olehnya. Tak aneh jika sejarah gerakan Islam modern di Mesir
identik dengan sejarah tindakan-tindakan kejam yang silih berganti, sejak tahun
40-an hingga hari ini.
Oleh
karena itu, ajakan untuk ikut dalam misi kedokteran untuk kaum muhajirin Afghan
ini benar-benar tepat datang kepada saya, saya menyetujuinya karena sangat
ingin mencari medan-medan yang tepat untuk membangun basis yang aman demi
kelanjutan amal jhad di Mesir, khususnya di era Anwar Sadat ketika tanda-tanda
serangan Neo-perang salib akan segera dimulai tampak begitu jelas bagi siapa
saja, nyata bagi setiap yang memperhatikan urusan umatnya.
Dan
benar, akhirnya saya pergi ke kota Peshawar, Pakistan, dengan
ditemani oleh kawan yang spesialis di bidang pembiusan. Tak lama kemudian ada
lagi satu kawan menyusul, ia ahli di bidang operasi rehabilitasi. Kami bertiga
adalah harapan dari Arab, yang bekerja untuk misi sosial bagi para muhajirin
Afghan.
Sebelum
kami, Ustadz Kamal As-Sananiri Rahimahullah sudah mendahului
datang ke Peshawar. Kami menggunakan nama beliau sebagai simbol untuk pergi ke
mana saja. Rumah sakit tempat kami bekerja pertama kali adalah rintisannya,
para komandan Mujahidin yang kami temui selalu menceritakan bantuan-bantuannya
kepada mereka dan usahanya menyatukan mereka. Dan meskipun saya belum pernah
bertemu dengan Kamal As-Sananiri, tapi kegiatan-kegiatan dan program-programnya
menunjukkanya dia adalah sosok pekerja keras dan gemar berkorban di jalan
Allah. Makanya tidak aneh jika Kamal As-Sananiri diberitakan terbunuh pada
peristiwa penangkapan yang dimulai sejak dikeluarkannya surat keputusan
reservasi di bulan September 1981.
Kamal
As-Sananiri terbunuh akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Hasan Abu Basya,
Direktur Pelaksana Intelejen Keamanan Negara, dan Menteri Dalam Negeri sendiri.
Dan kita harus berhenti sejenak memperhatikan bagaimana kisah terbunuhnya Kamal
As-Sananiri Rahimahullah.
Kamal
As-Sananiri tertangkap pada bulan September 1981. Setelah pembunuhan Anwar
Sadat bulan Oktober 1981, pemerintah mengetahui bahwa aparat keamanannya
–intelejen keamanan negara, intelejen perang dan intelejen umum—adalah fihak
yang paling terakhir tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Mesir, yaitu
kemarahan terselubung dan pemberontakan yang terus mengalami eskalasi.
Melihat
instabilitas yang mengguncang pemerintahan, dan hampir saja pilar-pilarnya
hancur, maka pemerintah memutuskan untuk mengusut sebab yang memicu semua
kejadian ini. Dan pertama-tama yang pemerintah lakukan adalah menolak semua
usulan yang diajukan oleh aparat keamanan yang terbukti lemah, pemerintah mulai
melakukan investigasi berdarah-darah dan kasar untuk membuka semua file data
baik yang lama maupun yang baru.
Salah
satu file yang dibuka kembali adalah file-file Ikhwanul Muslimin setelah
pemerintah tak percaya lagi kepada pernyataan-pernyataan Intelejen Keamanan
Negara yang kelemahannya terbukti sangat nyata, di mana lembaga itu tak mampu
mengungkap pembunuhan Anwar Sadat kecuali setelah itu terjadi, bahkan tak mampu
membongkar organisasi-organisasi jihad yang muncul segera setelah peristiwa
pembunuhan terjadi.
Kebodohan
Intelejen Negara mengenai apa yang tengah terjadi di Mesir begitu parah, hingga
pada tingkat mereka meyakinkan Sadat bahwa penangkapan yang ia perintahkan
terhadap para penentang di bulan September 1981 telah mengamankan kepentingan
negaranya dari perlawanan politik secara umum dan perlawanan dari kelompok
Islam secara khusus.
Oleh
karena itu, pihak intelejen segera melakukan investigasi baru terhadap Ikhwanul
Muslimin, walaupun sebelumnya mereka yakin Ikhwanul Muslimin adalah orang-orang
yang menempuh jalan damai. Investigasi itu difokuskan kepada mereka yang berada
di jajaran kedua dan ketiga, dan termasuk yang paling penting adalah Ustadz
Kamal As-Sananiri Rahimahullah karena beberapa pertimbangan,
di antaranya: Mursyid Ikhwanul Muslimin, Umar Tilmisani, sudah
tua dan tak mungkin kuat menghadapi penyiksaan, ditambah lagi dia adalah simbol
moral sebagai Mursyid ‘Aam bagi Ikhwan, ini bisa mengundang banyak masalah bagi
pemerintah jika pemerintah menyiksanya dengan pukulan, pelecehan atau ia tewas
karena disiksa. Pemerintah juga faham bahwa kunci semua permasalahan dan
rincian-rincian dari program-program Ikhwan bukan pada Umar At-Tilmisani.
Pertimbangan
lain adalah besarnya program yang dijalankan oleh Kamal As-Sananiri yang
berusaha menjalin hubungan antara Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan organisasi
internasional di luar negeri dan seringnya ia bepergian untuk urusan ini.
Pertimbangan
lainnya lagi adalah pernyataan dia mengenai masalah Afghanistan dan
langkah pertamanya dalam membantu jihad Afghan serta menjalin hubungan dengan
komandan-komandannya.
Selain
itu, yang juga menjadi pertimbangan adalah posisi Kamal As-Sananiri di
organisasi Ikhwanul Muslimin. Susunan pengurus di tubuh Ikhwan memang sedikit
unik, tokoh di permukaan yang diwakili oleh Mursyid ‘Aam –dalam hal ini Umar
Tilmisani—muncul di hadapan orang banyak dan pemerintah, sedangkan kepemimpinan
yang sebenarnya dikendalikan oleh satu tim khusus seperti Mushthafa Masyhur,
DR. Ahmad Milth Rahimahullah, dan termasuk Ust. Kamal As-Sananiri Rahimahullah.
Dari sinilah Intelejen Negara berkeyakinan bahwasanya jika Ikhwanul Muslimin
memiliki organisasi rahasia maka pasti rahasia itu ada pada Ust. Kamal
As-Sananiri Rahimahullah.
Interogasi
kasar terhadap Kamal As-Sananiri pun dimulai. DR. Abdul Mun‘im Abul Futuh
–beliau adalah teman saya di Fakultas Kedokteran Kairo— bercerita kepada saya
ketika kami berbincang-bincang melalui jendela sel kami di penjara Al-Qal‘ah,
tentang bagaimana Ustadz Kamal As-Sananiri Rahimahullah diambil
dari tengah-tengah ikhwan yang lain –termasuk salah satunya adalah Abdul Mun‘im
Abul Futuh— dari sebuah sel di penjara Istiqbal Thurah, ia mengenakan jilbab
dan sepotong jubah dan setelah itu Abdul Mun‘im tak pernah melihatnya lagi
kecuali di kantor Responden Umum Sosialis, di mana tubuhnya terlihat membengkak
dan tampak bekas-bekas penyiksaan yang keras, ia mengatakan kepada mereka bahwa
dirinya mengalami penyiksaan yang belum pernah ia alami pasca era Abdul Nashir,
ia menceritakan penyiksaan ini kepada tim investigasi dari Responden Umum
Sosialis itu.
Tak
lama setelah itu, salah seorang pemantau penjara memberitahu Abdul Munim Futuh
bahwa salah seorang kawan mereka hari ini ada yang tewas akibat penyiksaan. Di
kemudian hari diketahui bahwa ternyata dia adalah Ust. Kamal As-Sananiri Rahimahullah.
Menteri
Dalam Negeri lalu mengumumkan bahwa ia mati karena bunuh diri dengan cara
gantung diri di pipa saluran kamar mandi di dalam sel isolasinya menggunakan
tali yang ia lilitkan pada tubuhnya, setelah sebelumnya menulis di dinding sel:
“Aku bunuh diri karena melindungi saudara-saudaraku.”
Abdul
Munim Abul Futuh menuturkan kepadaku betapa kisah murahan ini sarat dengan
rekayasa, sebab ketika Ustadz Kamal meninggalkan dirinya, beliau tidak membawa
tali tetapi mengenakan jilbab dan kain, lagi pula pihak pengurus penjara tidak
akan mungkin mengizinkan penghuni penjara –siapapun—menyimpan ikat pinggang,
tali atau ikat leher, dan juga pipa saluran ke kamar mandi tidak mungkin bisa
dipakai untuk mengggantung diri, sebab jaraknya dengan tanah sangat
dekat.
Al-Akh Thal‘at
Fuad Qashim –yang diculik Amerika di Kroasia lalu diserahkan kepada
Mesir—bercerita kepada saya bahwa Kamal As-Sananiri ditahan di sel isolasi yang
bersebelahan dengan selnya di lantai bawah tanah blok I penjara Istiqbal
Thurah. Kemudian di suatu malam ia mendengar suara keributan, sejurus kemudian
pintu-pintu blok dibuka dan sekelompok perwira dan tentara masuk, ia mengintip
dari celah pintu dan ia melihat Mayjen Muhsin As-Sarsawi –kepala penjara
Istiqbal Thurah—berkata dengan nada gugup dan gelisah : “Mana sel almarhum?”,
para petugas pun menunjukkannya. Mayjen Muhsin meminta pintunya dibuka,
kemudian para tentara tadi memasukkan ke dalamnya sesosok mayat lalu
menguncinya kembali.
Penuturan
ini memperkuat bahwa Ustadz Kamal As-Sananiri sudah dibunuh terlebih dahulu di
luar penjara, setelah itu jasadnya dimasukkan ke dalamnya. Ini yang benar dan
bukan seperti cerita bohong murahan Menteri Dalam Negeri.
Ada
saksi lain yang bercerita kepadaku, ia ada ketika Ustadz Kamal As-Sananiri
disiksa di malam terakhir dari umurnya: Bahwa beliau menerima penyiksaan sangat
sadis dan yang menangani penyiksaan itu adalah Hasan Abu Basya –pembantu
Menteri Dalam Negeri ketika itu dan selanjutnya dilantik menjadi menteri Dalam
Negeri—langsung, orang ini mencaci beliau dengan kata-kata paling buruk sambil
menanyainya: “Siapa Mursyid di permukaan? Siapa Mursyid di bawah tanah?”.
Ustadz Kamal As-Sananiri karena saking tak berdayanya menjawab dengan suara
lemah akibat penyiksaan: “Tidak ada Mursyid bawah tanah.”
Yang
mengherankan, setelah semua fakta yang terkenal ini terungkap dan meyakinkan
fihak Ikhwanul Muslimin, tidak ada seorang pun dari mereka yang bergerak
menuntut balas terhadap darah As-Sananiri –meskipun mereka tahu betul cerita
detail tentang pembunuhannya— atau bahkan sekedar menuntut mereka yang
bertanggung jawab dalam pembunuhannya (dan mereka orang-orangnya jelas, untuk
membuktikannya juga sangat mudah) di pengadilan pun tidak.
Kamal
As-Sananiri masuk penjara masih dalam kondisi berjalan kaki, dan keluar sudah
menjadi mayat yang terbujur kaku. Maka kepala dan pengurus penjara serta
Menteri Dalam Negeri adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas semua ini,
dan hasil otopsi jenazah akan menjelaskan dengan gamblang mengenai kebohongan
cerita yang dibuat-buat oleh Menteri Dalam Negeri.
Padahal
sebenarnya para pengacara dari Ikhwanul Muslimin –mereka adalah orang-orang
ahli dalam dunia hukum—bisa mengangkat perkara ini hingga sampai ke presiden,
jangkauan media informasi mereka yang luas juga bisa –jika mereka mau—membentuk
opini masyarakat Mesir dan dunia Arab seputar kejahatan yang sadis ini.
Dan
jika mereka mau, mereka juga bisa melatih generasi muda mereka untuk melakukan
aksi pembalasan terhadap kaum Muslimin yang terbunuh, terhadap tokoh-tokoh dan
pembesar-pembesar mereka yang terbunuh. Namun yang menggelikan sekaligus
memilukan, mereka keluar penjara justru memuji-muji Husni Mubarak, sebab dalam
pandangan mereka ia tak terlibat dalam penyiksaan terhadap orang-orang Ikhwan,
karena dialah yang membuka pintu kebebasan-kebebasan.
Lebih
parah lagi mereka mengirim telegram berisi ucapan selamat terhadap Hasan Basya
–pembunuh As-Sananiri—, karena ia selamat dari usaha pembunuhan terhadapnya,
dan mereka menilai usaha pembunuhan itu adalah konspirasi Zionis-Komunis… dsb.
Begitulah,
darah Kamal As-Sananiri Rahimahullah tertumpah begitu saja di
‘penjagalan sikap damai’ terhadap Husni Mubarak, sebagaimana sebelumnya darah
Hasan Al-Banna juga tertumpah begitu saja ketika para pengikutnya mau
menandatangani daftar penghormatan terhadap Istana Abidin setelah pemilihan
lembaga Irsyad yang baru, mereka mengulurkan tangannya kepada Raja Faruq, orang
yang membunuh sesepuh mereka. Persis seperti kata Al-Mutanabbi :
Betapa
banyak di Mesir cerita-cerita menggelikan,
Namun
mentertawakannya seperti menangis
Kembali
ke Peshawar. Dengan bersinggungan dengan jihad Afghanistan sejak
tahun 1980, tahulah saya kalau medan jihad ini memiliki banyak
kekayaan dan manfaat yang bisa dia berikan kepada umat Islam secara umum, dan
gerakan jihad secara khusus. Saya juga menyimpulkan betapa pentingnya
memanfaatkan medan ini. Oleh karena itu, saya tinggal di sana untuk
pertama kalinya selama empat bulan. Saya kembali lagi ke sana pada bulan Maret
1981 dan tinggal selama dua bulan, saya terpaksa kembali ke Mesir karena
situasi mendesak yang ada di sana.
Kemudian
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkehendak (Dia Maha Terpuji, baik
dalam kondisi lapang maupun sempit) saya harus masuk penjara di Mesir selama
tiga tahun dan masa tahanan itu berakhir di akhir tahun 1984. Namun karena
kondisi pribadi yang menyangkut diri saya sendiri, saya baru bisa kembali ke medan jihad Afghanistan pada
pertengahan tahun 1986.
Selama
bersinggungan dan bergaul dengan para aktifis di front, saya memperoleh
fakta-fakta sangat penting yang harus dicatat di sini:
1. Bahwa gerakan jihad butuh kepada medan
jihad sebagai tempat pengasuhan yang menumbuhkan benih yang baru muncul, juga
untuk memperoleh pengalaman-pengalaman nyata, pengalaman-pengalaman perang,
pengalaman politik dan berorganisasi.
Saudara kami yang sudah syahid
–kamaa nahsabuhuu— Abu Ubaidah Al-Bansyiri Rahimahullah pernah
berkata : “Di Afghanistan, umur saya bertambah seratus tahun.”
2. Para pemuda
Muslim di Afghanistan terjun dalam pertempuran untuk memerdekakan tanah air
Islam di bawah bendera Islam yang murni. Ini adalah perkara yang sangat
penting, mengingat bahwa kebanyakan perang kemerdekaan yang berlangsung di
dunia Islam kita benderanya masih bercampur dengan bendera-bendera nasionalisme
dan kebangsaan, bahkan kadang-kadang tercampur dengan bendera kiri-komunis.
Akibatnya, ada kerenggangan dalam diri pemuda Muslim antara ideologi jihad
Islam yang harus dibangun di atas pondasi kemurnian agama hanya untuk Allah
dengan praktek nyatanya di lapangan.
Kasus Palestina adalah contoh
paling nyata dalam hal ini. Berbagai bendera dan ideologi di sana bercampur
aduk di bawah slogan persatuan (dengan syetan) demi membebaskan tanah
Palestina. Akhirnya mereka bersekutu dengan syetan, namun tak berhasil
membebaskan Palestina. Maha Benar Allah yang berfirman:
كَمَثَلِ
الشَّيْطَانِ
إِذْ
قَالَ
لِلْإِنسَانِ
اكْفُرْ
فَلَمَّا
كَفَرَ
قَالَ
إِنِّي
بَرِيءٌ
مِّنكَ
إِنِّي
أَخَافُ
اللَّهَ
رَبَّ
الْعَالَمِينَ
“(Bujukan orang-orang munafik
itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia:
“Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata:
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada
Allah, Robb semesta alam.” (QS. Al-Hasyr:
16)
Hal lain yang juga penting,
bahwa pertempuran-pertempuran yang mengibarkan bendera-bendera selain Islam
atau bendera yang bercampur-campur telah menghilangkan garis pembatas antara
siapa kawan dan siapa lawan dalam kacamata seorang pemuda Muslim. Akhirnya,
musuh jadi tak jelas, apakah yang disebut musuh itu yang berasal dari luar
negeri lalu menjajah negeri kaum Muslimin, ataukah musuh itu mereka yang tidak
mau berhukum dengan hukum Islam, menindas kaum Muslimin, menyebarkan maksiat
dan budaya pornografi dengan mengatasnamakan kebebasan, nasionalisme dan
kemerdekaan, yang menggiring negara kepada kehancuran dari dalam dan mengalah
kepada musuh asing, seperti yang terjadi di mayoritas negeri kita yang tunduk
kepada undang-undang globalisasi.
Adapun Afghanistan, bentuknya
jelas sekali. Bangsa Muslim berperang di bawah bendera Islam, musuhnya adalah
orang asing yang bengis dan kafir dengan dibantu rezim lokal yang murtad dan
rusak. Makanya praktek teori ajaran ke dunia nyata di sana sangat
jelas dan nyata. Kejelasan seperti ini juga berguna untuk mematahkan syubhat
dari orang-orang yang terjun ke perjuangan Islam tapi lari dari medan perang
dengan alasan tidak ada medan perang yang di situ kaum Muslimin
terpisah secara jelas dari musuh-musuhnya.
3. Medan jihad Afghanistan juga
menjadi contoh nyata (terutama setelah Rusia mundur) jihad melawan para
penguasa yang keluar dari Islam, yang bersekutu dengan musuh-musuh Islam dari
luar. Najibullah di Afghanistan adalah contoh terulang bagi para
penguasa kita, dia juga shalat, puasa dan naik hajji, tapi di saat yang sama
tidak mau berhukum dengan hukum Islam dan bersekutu dengan musuh Islam serta
mempersilahkan mereka masuk ke negaranya, ia juga bertindak kejam kepada kaum Muslimin
yang berjihad.
4. Urgensi
pertempuran di Afghanistan adalah keberhasilannya menghancurkan mitos
kekuatan “super power” dari benak para pemuda Muslim yang berjihad. Uni Soviet
(sebagai negara super power yang memiliki angkatan darat terkuat di dunia)
dibuat babak belur dan lari mundur dari Afghanistan di depan mata
para pemuda Muslim dan dengan peran mereka.
Maka jihad Afghan ini adalah pelatihan yang
sangat penting untuk menyiapkan pemuda Muslim mujahid guna menerjuni medan
tempur melawan kekuatan super power berikutnya yang sudah menunggu, yang hari
ini satu-satunya yang memegang adalah Amerika.
5. Keikut
sertaan para pemuda muslim dalam jihad –baik yang dari Arab, Pakistan, Turki,
Asia Tengah, Asia Timur dan dari berbagai penjuru dunia—memberi kesempatan
besar bagi mereka untuk saling mengenal dalam momentum jihad Afghan dan
sepenanggungan dalam memanggul senjata melawan musuh-musuh Islam.
Demikianlah, para pemuda
mujahid dan harakah-harakah jihad menjalin perkenalan yang kokoh, saling tukar
pengalaman dan memahami masalah-masalah yang dihadapi saudara mereka.
Melalui muaskar-muaskar tadrib
dan front-front jihad terbentuk kesadaran yang luas dan pemahaman mendalam pada
diri para pemuda yang berjihad akan konspirasi yang dilancarkan terhadap Islam,
juga pemahaman syar‘i yang lebih kuat lagi mengenai kewajiban mereka dalam
menghadapi musuh-musuh Islam, baik musuh yang asing maupun yang lokal yang
menjadi bonekanya.
6. Para
pemuda muslim yang berjihad di Afghanistan inilah cikal bakal dari apa yang
dikenal di media informasi sekarang dengan sebutan orang Afghan-Arab. Istilah
ini punya misi terselubung, sebab para pemuda itu bukan saja dari Arab tapi
berasal dari berbagai penjuru dunia Islam, meskipun orang Arab menjadi unsur
yang paling menonjol di tengah mereka.
Dan para pemuda ini membentuk
sebuah fenomena baru yang penuh berkah dalam sejarah gerakan Islam kontemporer,
fenomena berupa lahirnya para pemuda yang mempersembahkan dirinya untuk jihad
fi sabilillah demi membela umat Islam, yang berpindah dari Afghanistan menuju
Kashmir, Bosnia, Tajikistan, Cechnya. Dengan begitu, para pemuda yang baik
tersebut telah menghidupkan kembali kewajiban yang umat Islam sudah lama
terhalang untuk melaksakannya.
7. Sudah
secara otomatis tatanan dunia baru takkan pernah senang dengan kemunculan
fenomena yang terus berkembang dan tak bisa dikendalikan serta mengancam
eksistensinya ini, apalagi setelah mengorbankan banyak tenaga yang terus
menerus selama kurang lebih satu abad sehingga Barat dan Komunis bisa menjajah
negeri-negeri Islam, sehingga bangsa-bangsa Muslim tunduk kepada hukum,
undang-undang, dan pemilu yang sudah dimanipulasi, tunduk kepada undang-undang
darurat dan aturan tentang imigrasi dan kewarganegaraan.
Maka pressure mulai
diberlakukan dalam rangka mengusir para pemuda Arab yang terlibat dalam jihad
dari Pakistan, dimulai di awal tahun 90-an dan mencapai klimaksnya pada
tahun 1992.
Demikianlah, pemerintah sekuler Pakistan mengusir
orang-orang yang membentengi perbatasan-perbatasan Pakistan hingga
mereka menjadi orang-orang yang tak jelas. Yang mengerikan, wilayah Towrkham di
perbatasan Pakistan-Afghanistan yang menjadi jalur masuk terdapat sekitar
seratus kuburan mujahidin Arab yang ikut berperang di Afghanistan. Ini sudah
cukup menjadi bukti dalam sejarah tentang perlakuan buruk pemerintah Pakistan terhadap
orang-orang yang melindungi perbatasan Pakistan dari ancaman komunis.
Makar busuk ini diketuai oleh
Amerika dan Arab Saudi setelah mereka sadar bahwa para pemuda yang ikut
berjihad itu akan merusak rencana-rencana mereka untuk menguasai Afghanistan.
Akhirnya satu kelompok orang-orang baik ini harus berpencar-pencar ke berbagai
penjuru dunia, ada yang meminta suaka politik, ada yang eksodus, ada yang
bersembunyi, ada yang tertangkap, ada yang terbunuh, dan ada juga yang pergi ke medan jihad
lain mengangkat senjata. Bahkan ada juga yang putus asa dan mencoba kembali ke
kehidupan normal setelah ia melihat musuh yang begitu kuat dan gencarnya
perburuan terhadap mujahidin.
Di sisi lain, media informasi
Arab dan Barat mulai menggambarkan buruknya citra para pemuda itu,
menggambarkan mereka sebagai orang-orang tak waras dan gila yang menantang
Amerika, padahal Amerikalah yang dulu melatih dan mendanai mereka. Kebohongan
opini ini semakin tajam setelah para pemuda kembali berjihad untuk kedua
kalinya ke Afghanistan di pertengahan tahun 90-an, terutama pasca
peledakan bom di dua kedutaan Amerika di Nairobi dan Darus Salam.
Tujuan dari pembunuhan karakter
ini jelas sekali; yaitu Amerika ingin menghalangi umat Islam dari kemuliaan
menjadi pahlawan, seolah ia ingin katakan
kepada kaum Muslimin: “Orang-orang yang selama ini kalian anggap sebagai
pahlawan itu sebenarnya adalah kader dan agen-agenku, mereka melawanku ketika
bantuan yang kuberikan kepada mereka kuhentikan.”
Opini dusta ini secara subtansial
sudah mengandung kontradiktif, sebab jika memang para pemuda yang berjihad di Afghanistan itu
agennya kader-kadernya Amerika lantas mengapa mereka terus dikejar-kejar selama
dua tahun?
Fakta yang harus diketahui oleh
semua orang adalah: Amerika tidak pernah membantu para pemuda Arab yang
berjihad di Afghanistan, walau dengan satu Rupee. Jika Amerika membantu Pakistan dan
faksi-faksi mujahidin dengan kucuran dana dan senjata, maka sebenarnya hubungan
pemuda Arab yang berjihad dengan Amerika adalah kebalikannya. Bahkan keberadaan
para pemuda Arab dan semakin bertambahnya jumlah mereka adalah kerugian bagi
langkah politik Amerika, sekaligus membuktikan akan kebodohan politik Amerika
selama ini.
Kegiatan mujahidin Arab di
Afghanistan didanai melalui sumbangan umat terhadap Afghanistan, dan itu
adalah sumbangan yang tak bisa dianggap kecil. Para mujahidin Arab
juga tak hanya mendanai diri mereka sendiri, mereka juga datang membawa
sumbangan dari kaum Muslimin untuk mujahidin dan muhajirin Afghanistan.
Syaikh Usamah bin Ladin
memberitahu saya –dan beliau adalah sebaik-baik saksi—tentang jumlah bantuan
masyarakat Arab untuk mujahidin Afghan yang melebihi jumlah yang beliau ketahui
selama ini; untuk urusan militer saja sumbangannya berjumlah 200 juta dollar,
ini untuk waktu sepuluh tahun. Lalu berapa kira-kira sumbangan yang disalurkan
untuk selain keperluan militer, seperti urusan pengobatan, kesehatan,
pendidikan, pelatihan kerja, pemenuhan gizi dan sumbangan sosial (seperti
sumbangan untuk anak yatim, para janda dan orang-orang cacat)? Belum lagi
sumbangan-sumbangan yang datang di momentum-momentum penting, seperti hari raya
dan bulan Ramadhan dan lain-lain.
Melalui bantuan tak resmi dari
masyarakat inilah mujahidin Arab membangun kamp-kamp latihan dan dakwah, mereka
juga membuka front-front jihad yang telah melatih dan mengkader ribuan
mujahidin Arab, memenuhi keperluan hidup, tempat tinggal, dana perjalanan dan
organisasi mereka.
Jika memang mujahidin Arab itu
agen Amerika yang sekarang melawannya (seperti yang diisukan), lantas mengapa
sampai sekarang Amerika tak mampu “membeli” mereka lagi? Bukankah sampai
sekarang mereka –terutama Syaikh Usamah bin Ladin—dianggap sebagai bahaya nomor
satu bagi kepentingan-kepentingan Amerika? Bukankah membeli mereka akan jauh
lebih murah biayanya daripada anggaran yang selama ini dikeluarkan Amerika
untuk membangun keamanan dan tekhnologi perlindungan dari serangan mereka?
Amerika dengan gaya lamanya
dalam membesar-besarkan perkara dan penanganan yang dangkal berusaha memperjual
belikan sesuatu yang membingungkan kepada umat manusia, dengan mengabaikan
fakta-fakta yang sebenarnya terjadi. Sekarang apa mungkin orang seperti Usamah
bin Ladin yang dalam pidatonya tahun 1987 di Saudi menyerukan pentingnya
memboikot produk-produk Amerika demi mendukung intifadhah Palestina menjadi
agen Amerika di Afghanistan?
Saya teringat, dulu Syaikh
Usamah pernah mengunjungi kami di Rumah Sakit Bulan Sabit Kuwait di Peshawar,
beliau menyampaikan kepada kami tentang isi pidatonya itu, dan seingat saya
ketika itu saya katakan kepada beliau: “Sejak sekarang Anda harus mengubah
sistem pengawalan dan keamanan Anda, sebab kepala Anda sekarang bukan hanya
diburu oleh kaum komunis dan Rusia saja, tapi juga oleh Amerika dan Yahudi.
Anda sekarang tengah memukul kepala ular.”
Apakah mungkin Asy-Syahid--kamaa
nahsabuhuu-- Abdullah Azzam menjadi agen Amerika padahal beliaulah
yang tak kenal lelah mengobarkan semangat para pemuda untuk melawannya dan
mendukung gerakan Hamas dengan segala yang beliau miliki? Apakah mungkin
gerakan jihad di Mesir itu agennya Amerika, padahal Khalid Islambuli dkk-lah
yang membunuh Anwar Sadat, agen setia Amerika di Timur Tengah, sebelum fenomena
mujahidin Arab di Afghanistan muncul?
Mungkinkah gerakan jihad di
Mesir menjadi agen Amerika padahal gerakan ini mendidik anggota-anggotanya
untuk selalu menentang Israel dan semua kesepakatan damai dengannya, dan
menganggap perjanjian damai dengannya bertentangan dengan Syari’at Islam?
Sesungguhnya Amerika dibuat
kaget karena “masakannya” di Afghanistan dirusak oleh mujahidin Arab
dan mujahidin Afghan yang tulus. Amerika menginginkan Afghanistan mewakilinya
dalam perang melawan Rusia, tapi Mujahidin Arab –dengan karunia
Allah—membaliknya menjadi kampanye menghidupkan kembali kewajiban yang selama
ini hilang; jihad fi sabilillah.
Tak heran jika Amerika
menyadari bahaya yang sama di Bosnia, maka syarat pertama yang diberlakukan
sebelum penandatanganan kesepakatan Dayton adalah : mengusir mujahidin
Arab dari Bosnia.
8. Bahaya
dari keberadaan para pemuda Muslim –terutama Arab—di medan jihad Afghanistan adalah:
mengubah isu Afghanistan dari masalah lokal dalam negeri menjadi
masalah umat Islam seluruh dunia yang mana seluruh umat ikut berperan serta di
dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar