Demikianlah,
ketika menyadari segala tipu dayanya tak mampu menggoyahkan keimanan sang
pemuda, raja thaghut ini pun merasa sangat gelisah.
Dia
sadar bahwa kelemahannya akan menyeret kepada musnahnya kerajaan dan
kekuasaannya di tangan pemuda yang lemah itu. Hal ini berarti orang-orang akan
beralih dari beribadah dan taat kepadanya, menuju peribadatan kepada Allah Yang Mahatunggal.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Pemuda itu berkata), “Wahai Raja,
engkau tidak akan bisa membunuhku, kecuali bila engkau menuruti perintahku”. Di
sini, sang pemuda semakin mempertegas kelemahan sang raja bahwa ia tidak akan
mampu membunuhnya. Bila ia berkeinginan untuk membunuhnya, ia harus menuruti
apa yang ia perintahkan.
Subhanallah! Sebelumnya ia seorang raja
zhalim yang titahnya tak pernah ditolak. Namun, hari ini ia menjadi seseorang
yang mau diperintah, sedangkan musuhnya yang memberikan perintah kepadanya.
Maha Suci Allah yang memuliakan siapa saja yang Dia kehendaki dan merendahkan
siapa saja yang Dia kehendaki.
“Apa
perintahmu itu?”, tanya
sang raja”, dengan penuh semangat. Ia
ingin tahu solusinya dan bagaimana agar ia segera terlepas dari luka yang pedih
di hadapan antek-antek dan rakyatnya, berapapun harganya.
Ia ingin
tahu bagaimana ia meyakinkan rakyatnya bahwa ia adalah tuhan dan sesembahan
mereka. Padahal, ia tidak sanggup membunuh pemuda lemah tak bersenjata dan tak
memiliki sarana materi maupun kekuasaan.
Oleh
karena itu, ia siap untuk melakukan apa saja yang diminta sebagai harga untuk
membunuh pemuda tadi dan terbebas darinya dan dari dakwahnya.
“Kumpulkan
manusia di sebuah tanah lapang”. Yakni di satu tempat di dataran tinggi agar mereka dapat melihat
apa yang bakal terjadi. “Kemudian saliblah tubuhku pada sebatang kayu. Ambil
satu anak panah dari sarung panahku ini, lalu pasang panah itu di tengah-tengah
busur”, saat memegangnya. “Lalu,ucapkan, “Bismillahi Rabbil Ghulam”
(Dengan menyebut nama Allah, Tuhan pemuda ini)”. Setelah itu panahlah aku. Jika
engkau melakukan ini, engkau akan berhasil membunuhku!”.
Engkau
akan dapat membunuhku bila engkau melakukan hal itu–sebagaimana yang
kuperintahkan tanpa mengurangi sedikit pun--. Bila tidak, maka engkau tak akan
mampu membunuhku, bagaimana pun usahamu.
Tak ada
jalan lain bagi sang raja selain melaksanakan apa yang diperintahkan pemuda
tadi. Ia ingin berlepas diri darinya dengan harga apapun, sebelum hancur
kerajaan dan pemerintahannya.
Sehingga,
ia tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan apapun yang dapat membunuh si pemuda,
berlepas diri darinya, dari dakwahnya, dan dari ucapannya.
“Akhirnya,
raja mengumpulkan manusia di sebuah tanah lapang dan menyalib pemuda itu pada
sebuah kayu. Setelah itu, ia mengambil satu anak panah dari tempat anak
panahnya dan meletakkannya di tengah-tengah busur. Lalu raja mengucapkan,
‘Bismillah Rabbil Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”. Allahu Akbar.
Nah,
inilah sang thaghut yang sombong yang mengaku-ngaku sebagai tuhan dan ilah
sebagai tandingan Allah Ta'ala. Ia mengucapkannya dengan ketundukkan, kesombongan,
dan kecongkakannya dengan suara yang dapat didengar oleh semua orang : “Bismillah Rabbil Ghulam
(Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”.
Padahal,
kalimat inilah yang ia gunakan sebagai alasan untuk membunuh, mengusir, dan
memotong-motong setiap orang yang mengucapkannya. Nah, sekarang ia sendiri yang
mengucapkannya dengan lantang di hadapan khalayak.
“Bismillah
Rabbil Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”. Sebuah pernyataan secara tegas dari pihak raja
–di hadapan seluruh manusia—yang menunjukkan kelemahannya untuk membunuh sang
pemuda.
Oleh
karena itu, saat membunuhnya ia membunuhnya dengan menyebut nama Allah yang
telah menciptakan si pemuda. Ia membunuhnya dengan nama Rabb dan sesembahan
sang pemuda. Sebab, tiada ilah yang hak di alas semesta ini selain-Nya.
“Bismillah
Rabbil Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”. Lafazh ini mengandung arti bahwa ia meminta
ijin kepada Pencipta untuk membunuh sang pemuda. Pemuda tersebut adalah hamba
Allah Ta'ala dan termasuk salah satu kepunyaan dan makhluk-Nya.
Dialah
yang telah menganugerahkan
kehidupan dan Dialah yang berhak mencabutnya kembali darinya, kapan saja Dia
menghendakinya. Oleh karenanya, untuk membunuh sang pemuda harus meminta
ijin-Nya. Permintaan ijin kepada Allah Ta'ala dengan cara raja tadi mengucapkan : “Bismillah Robbil Ghulam
(Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”.
Bila
tidak meminta ijin kepada Sang Pencipta dengan ucapan seperti itu, maka tidak
mungkin bagi si raja dan seluruh kekuatan yang ada di muka bumi ini untuk
membunuh pemuda mukmin tadi. Risalah ini dengan begitu terang telah sampai ke
seluruh manusia yang hadir saat itu.
“Kemudian
dipanahnya pemuda itu. Anak panah mengenai bagian pelipisnya”. Yakni, bagian tubuh antara
mata dan telingga. “Pemuda itu meletakkan tangannya pada pelipisnya yang
terkena panah. Tak lama kemudian ia mati”.
Pemuda tadi meninggal untuk
menghidupkan seluruh umat yang telah diperbudak oleh sang thaghut untuk
kepentingan pribadi dan kesenangannya sejak bertahun-tahun. Ia meninggal untuk
menghidupkan umat manusia dari kebodohan, rasa takut, dan kefakiran.
Pemuda
tadi meninggal untuk mengeluarkan manusia dari peribadatan kepada makhluk
menuju peribadatan kepada Rabb pemilik makhluk. Dari kezhaliman agama-agama
manusia menuju keadilan agama Islam.
Alangkah
indah dan lezatnya kematian bilamana menjadi salah sebab hidupnya sebuah umat
atau rakyat yang telah diperbudak oleh rasa takut dari pihak thaghut.
Bila ada
yang bertanya :
"Bagaimana mungkin kematian si pemuda untuk kehidupan umat manusia?". Maka saya katakan : Ya. Coba kalian perhatikan. Apa
yang terjadi setelah kematian sang pemuda.
“Melihat
kejadian ini, manusia mengatakan : “Kami beriman kepada Rabb
pemuda ini! Kami beriman kepada Rabb
pemuda ini! Kami beriman kepada Rabb
pemuda ini!”
Kalimat
tersebut terulang-ulang dari mulut seluruh manusia yang hadir dan menyaksikan
peristiwa tersebut secara serempak. Mereka tak memperdulikan sang raja dan bala
tentaranya.
Kami
beriman kepada Rabb pemuda ini! Kami beriman kepada Rabb pemuda ini! Konsekwensinya dari keimanan kepada Rabb pemuda tersebut
adalah mengingkari thaghut dan berlepas diri darinya.
Bukankah makna kehidupan yang hakiki
bilamana seluruh manusia keluar dari peribadatan kepada thaghut menuju
peribadatan kepada Sang Pencipta.
Bukankah makna hidup yang hakiki
bilamana manusia terbebas dari rasa takut kepada thaghut dan bala tentaranya
untuk melesat menuju kehidupan dunia mereka dengan penuh keimanan, keteguhan,
keamanan, cita-cita dan pengharapan, menuju tujuan mereka yang telah digariskan
oleh Allah.
Bukankah makna hidup yang hakiki
bilamana manusia terbebas dari kebodohan, dari sihir para tukang sihir yang
membuat tipu daya menuju kehidupan yang menjadikan seluruh sendi kehidupan
mereka berdasarkan ilmu dan pemahaman serta melihat segala sesuatu berdasarkan
hakikat dan realitanya.
Bukankah hidup yang hakiki bilamana seluruh manusia sama dalam beribadah
kepada Sang pencipta. Tak ada perbedaan antara tuan dan hamba sahaya; antara
satu warga negara dengan warga negara yang lain; antara satu warna kulit dengan
warna kulit yang lain, kecuali karena faktor takwa dan amal shalih. Bukankah
makna hidup yang sebenarnya saat seluruh manusia hidup sesuai dengan kehendak
dan hukum Allah, sebagai ganti dari kehidupan mereka yang sesuai dengan
kehendak dan hukum thaghut.
Hidup yang mulia dengan berbagai sifat
yang kami sebutkan di atas –meski hanya sebentar—itu lebih utama dari kehidupan
–meski lama—yang dibayang-bayangi rasa takut, ketundukkan, kebodohan, dan
peribadatan kepada thaghut.
“Si raja
datang, lantas dikatakan kepadanya : “Tidakkah engkau melihat apa yang selama
ini engkau khawatirkan?”. Yakni, apa yang engkau
khawatirkan telah terjadi. Yaitu, seluruh manusia telah beriman kepada Rabb
pemuda itu dan mengingkarimu, mengingkari ketuhananmu.
“Demi Allah,
kekhawatiranmu itu telah terjadi”. Yakni, apa yang engkau khawatirkan dan engkau takutkan telah
terjadi.
“Manusia
telah beriman”. Mereka telah beriman kepada
Rabb pemuda itu dan mengingkarimu, mengingkari tata aturanmu, undang-undangmu,
dan metodemu. Lantas, apa reaksi si raja melihat pembangkangan ini dan
keluarnya manusia dari ketaatan dan peribadatan kepadanya?
“Maka
raja memerintahkan untuk dibuatkan parit-parit”. Yakni, ia memerintahkan bala tentaranya untuk
membuat parit. Sebuah lubang yang
besar, luas, dalam, dan memanjang.
“Di
atasnya dipasang jembatan”. Yakni di
atas parit tersebut dan diujungnya.
“Maka,
dibuatlah parit”, sebagaimana
yang diinginkan oleh sang raja.
“Dinyalakan
dengan api”. Kobarannya
menyala-nyala di hadapan manusia. Lantas, untuk apa tindakan yang menimbulkan
kengerian ini?
“Raja
berkata : “Siapa yang tidak mau meninggalkan agama barunya, lemparkan ke dalam
parit'“. Barangsiapa
yang tidak keluar dari agamanya; kafir kepada Allah dan beriman kepada thaghut,
maka lemparkanlah ke dalam api agar tubuhnya terpanggang di dalamnya. Tak ada
hak hidup bagi yang mengingkari thaghut, mengingkari undang-undangnya,
metodenya dalam hidup ini.
Inilah
tindakan para thaghut dan orang-orang zhalim sepanjang sejarah hingga saat ini.
Bagi yang tidak mau keluar dari agama Islam dan masuk ke dalam agama thaghut,
undang-undang dan tata aturannya, ia akan mendapatkan hukuman –sesuai dengan
syari’at thaghut—dengan dibunuh, dibakar, atau bahkan pembunuhan masal.
Betapa
banyak peristiwa kekinian yang senada dengan tindakan ini, bila kita mau
menghitungnya. Kita bisa melihat pembunuhan massal yang menimpa kaum muslimin melalui tangan-tangan para thaghut
yang zhalim lagi kafir.
Kita
bisa melihatnya dengan jelas di Palestina, Lebanon, Suria, Afghanistan,
Chechnya, Bosnia, dan Iraq. Mungkin berita terakhir tentang pembunuhan masal
seperti ini adalah apa yang telah dilakukan oleh thaghut Amerika Salibis
terhadap kaum muslimin di kota Fallujah, Iraq.-
Inilah
bahasa diskusi mereka. Inilah cara
berpikir mereka, cara berpikir orang-orang bangkrut yang tidak memahami realita
obyektif yang dapat didiskusikan dengan pihak lain. Inilah kekakuan budaya dan
akhlak yang mereka gunakan sebagai dalih untuk membersihkan etnis, dan
pembunuhan massal.
“Pasukan
raja melakukan perintahnya”. Yakni,
pasukan tersebut melaksanakan seluruh titah sang raja. Mereka bergabung bersama
thaghut dalam hal dosa dan kesalahan serta segala yang diperbuatnya berupa
perampasan hak rakyat sipil.
Kalau
bukan karena bala tentara, tentu para thaghut itu tak bisa berbuat apa-apa.
Oleh karena itu, mereka memiliki tingkatan yang sama dalam hal dosa dan
kezhaliman, sebagaimana yang tertera dalam fiman Allah :
“Sesungguhnya
Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. [Qs. Al-Qashash: 8]
Hal ini mengandung pelajaran bagi para
tentara thaghut modern, alat kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang mengira
bahwa mereka berada dalam kebaikan. Padahal, pada hakikatnya mereka berada
dalam keburukan dan bahaya besar, sekiranya mereka mengetahui hal ini.
“Sampai tiba giliran seorang wanita yang menggendong bayinya”. Bayi yang menyusu yang lisannya tak bisa berkata apa-apa dan belum disapih.
“Sejenak ia hendak mengurungkan niatnya menceburkan diri ke dalam parit”. Sang ibu berhenti di tempat. Ia tidak menceburkan diri ke dalam api.
Mungkin para tentara thaghut –pada saat itu—mengira bahwa wanita tersebut akan keluar dari agamanya karena kasihan terhadap bayinya yang masih menyusu.
Sungguh, itu adalah saat yang sangat sulit dan berat. Boleh jadi seorang ibu takkan sanggup mengukurnya. Sebab, mereka tahu betul arti seorang bayi yang masih menyusu bagi seorang ibu. Seorang ibu mungkin akan menganggap remeh dirinya. Namun, sangat sulit baginya bila harus kehilangan anaknya yang masih menyusu. Yakni dengan menceburkan diri bersama sang bayi ke dalam api.
Namun, pilihan sebaliknya untuk berada dalam lumpur kekafiran, kesyirikan, dan peribadatan kepada thaghut adalah pilihan yang sangat sulit dan menjijikkan bagi siapa saja yang telah mengecap manisnya iman.
Ataukah ia harus memilih keimanan yang mengharuskannya menceburkan diri bersama bayinya yang masih menyusu ke dalam api. Wanita tersebut ragu, dan pantas saja bila ia ragu. Inilah adalah ujian terbesar baginya.
Ia baru saja beriman. Ia sangat butuh bantuan yang dapat menambah keimanan dan keyakinannya. Ia sangat butuh bukti-bukti kebesaran Allah yang dapat menumbuhkan keberaniannya untuk menceburkan diri dan bayinya ke dalam api, di saat yang sangat sulit seperti ini.
Thaghut dan bala tentaranya melihat ke arahnya untuk mengetahui apa yang bakal dilakukan dan apa pilihannya. Sedangkan pandangannya bergantian memandang sang bayi dan parit yang ada di hadapannya yang penuh dengan api.
Rasa belas kasihan dan kasih sayangnya berkata kepadanya, “Apa salah bayimu”. Sedangkan, panggilan akal dan hati mengatakan, “Engkau berada dalam kebenaran. Maka, jangan sampai engkau keluar dari agamamu”.
Dalam kondisi yang sulit dan berat ini, maka Allah menolongnya dengan memberikan satu bukti kekuasaan Allah yang agung yang mencengangkan semua orang. Sebuah tanda kebesaran Allah yang mampu menambah keimanan, keyakinan, dan keteguhan bagi orang-orang mukmin.
Alangkah butuhnya mereka terhadap bukti kekuasaan Allah tersebut saat mereka berada dalam kesulitan seperti itu. Namun, hal itu malah menambah kekafiran bagi orang-orang kafir –dengan penolakan dan penentangan mereka--.
“Namun tiba-tiba bayinya berkata : “Ibu, bersabarlah, sesungguhnya ibu berada di atas kebenaran”. Allahu Akbar… Allahu Akbar. Allah menjadikan bayi tersebut mampu berbicara untuk mengucapkan kebenaran dan pilihan yang harus dipilih oleh sang ibu.
Ia mengucapkannya dengan suara yang dapat didengar oleh semua orang disekitarnya : “Ibu, bersabarlah, sesungguhnya ibu berada di atas kebenaran”.
Bersabarlah wahai ibu. Sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Kondisi sulit ini hanya sebentar. Ruh kita akan keluar dari jasad kita untuk kembali kepada Penciptanya untuk menerima balasan yang paling baik, kenikmatan yang kekal.
Di dalamnya terdapat kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbesit dalam benak manusia. Lebih dari itu, keridhaan Allah Ta'ala terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin yang takkan pernah mendapatkan murka-Nya.
Terkait dengan kisah ini dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya serta pelajaran yang agung, Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya dalam surat Al-Buruj:
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar,ketika mereka duduk di sekitarnya,sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. [Qs. Al-Buruj: 4-8]
Semoga shalawat dan salam tercurah limpahkan kepada Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.
Akhir do’a kami, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar