Jumat, 23 Desember 2011

Syarah Hadits Ashabul Ukhdud, Bag. 4


Demikianlah, ketika menyadari segala tipu dayanya tak mampu menggoyahkan keimanan sang pemuda, raja thaghut ini pun merasa sangat gelisah.
Dia sadar bahwa kelemahannya akan menyeret kepada musnahnya kerajaan dan kekuasaannya di tangan pemuda yang lemah itu. Hal ini berarti orang-orang akan beralih dari beribadah dan taat kepadanya, menuju  peribadatan kepada Allah Yang Mahatunggal.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Pemuda itu berkata), “Wahai Raja, engkau tidak akan bisa membunuhku, kecuali bila engkau menuruti perintahku”. Di sini, sang pemuda semakin mempertegas kelemahan sang raja bahwa ia tidak akan mampu membunuhnya. Bila ia berkeinginan untuk membunuhnya, ia harus menuruti apa yang ia perintahkan.
Subhanallah! Sebelumnya ia seorang raja zhalim yang titahnya tak pernah ditolak. Namun, hari ini ia menjadi seseorang yang mau diperintah, sedangkan musuhnya yang memberikan perintah kepadanya. Maha Suci Allah yang memuliakan siapa saja yang Dia kehendaki dan merendahkan siapa saja yang Dia kehendaki.
“Apa perintahmu itu?”, tanya sang raja”, dengan penuh semangat. Ia ingin tahu solusinya dan bagaimana agar ia segera terlepas dari luka yang pedih di hadapan antek-antek dan rakyatnya, berapapun harganya.
Ia ingin tahu bagaimana ia meyakinkan rakyatnya bahwa ia adalah tuhan dan sesembahan mereka. Padahal, ia tidak sanggup membunuh pemuda lemah tak bersenjata dan tak memiliki sarana materi maupun kekuasaan.
Oleh karena itu, ia siap untuk melakukan apa saja yang diminta sebagai harga untuk membunuh pemuda tadi dan terbebas darinya dan dari dakwahnya.
“Kumpulkan manusia di sebuah tanah lapang”. Yakni di satu tempat di dataran tinggi agar mereka dapat melihat apa yang bakal terjadi. “Kemudian saliblah tubuhku pada sebatang kayu. Ambil satu anak panah dari sarung panahku ini, lalu pasang panah itu di tengah-tengah busur”, saat memegangnya. “Lalu,ucapkan, “Bismillahi Rabbil Ghulam” (Dengan menyebut nama Allah, Tuhan pemuda ini)”. Setelah itu panahlah aku. Jika engkau melakukan ini, engkau akan berhasil membunuhku!”.
Engkau akan dapat membunuhku bila engkau melakukan hal itu–sebagaimana yang kuperintahkan tanpa mengurangi sedikit pun--. Bila tidak, maka engkau tak akan mampu membunuhku, bagaimana pun usahamu.
Tak ada jalan lain bagi sang raja selain melaksanakan apa yang diperintahkan pemuda tadi. Ia ingin berlepas diri darinya dengan harga apapun, sebelum hancur kerajaan dan pemerintahannya.
Sehingga, ia tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan apapun yang dapat membunuh si pemuda, berlepas diri darinya, dari dakwahnya, dan dari ucapannya.
“Akhirnya, raja mengumpulkan manusia di sebuah tanah lapang dan menyalib pemuda itu pada sebuah kayu. Setelah itu, ia mengambil satu anak panah dari tempat anak panahnya dan meletakkannya di tengah-tengah busur. Lalu raja mengucapkan, ‘Bismillah Rabbil Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”. Allahu Akbar.
Nah, inilah sang thaghut yang sombong yang mengaku-ngaku sebagai tuhan dan ilah sebagai tandingan Allah Ta'ala. Ia mengucapkannya dengan ketundukkan, kesombongan, dan kecongkakannya dengan suara yang dapat didengar oleh semua orang : “Bismillah Rabbil Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”.
Padahal, kalimat inilah yang ia gunakan sebagai alasan untuk membunuh, mengusir, dan memotong-motong setiap orang yang mengucapkannya. Nah, sekarang ia sendiri yang mengucapkannya dengan lantang di hadapan khalayak.
“Bismillah Rabbil Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”. Sebuah pernyataan secara tegas dari pihak raja –di hadapan seluruh manusia—yang menunjukkan kelemahannya untuk membunuh sang pemuda.
Oleh karena itu, saat membunuhnya ia membunuhnya dengan menyebut nama Allah yang telah menciptakan si pemuda. Ia membunuhnya dengan nama Rabb dan sesembahan sang pemuda. Sebab, tiada ilah yang hak di alas semesta ini selain-Nya.
“Bismillah Rabbil Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”. Lafazh ini mengandung arti bahwa ia meminta ijin kepada Pencipta untuk membunuh sang pemuda. Pemuda tersebut adalah hamba Allah Ta'ala dan termasuk salah satu kepunyaan dan makhluk-Nya.
Dialah yang telah menganugerahkan kehidupan dan Dialah yang berhak mencabutnya kembali darinya, kapan saja Dia menghendakinya. Oleh karenanya, untuk membunuh sang pemuda harus meminta ijin-Nya. Permintaan ijin kepada Allah Ta'ala dengan cara raja tadi mengucapkan : “Bismillah Robbil Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan pemuda ini)”.
Bila tidak meminta ijin kepada Sang Pencipta dengan ucapan seperti itu, maka tidak mungkin bagi si raja dan seluruh kekuatan yang ada di muka bumi ini untuk membunuh pemuda mukmin tadi. Risalah ini dengan begitu terang telah sampai ke seluruh manusia yang hadir saat itu.
“Kemudian dipanahnya pemuda itu. Anak panah mengenai bagian pelipisnya”. Yakni, bagian tubuh antara mata dan telingga. “Pemuda itu meletakkan tangannya pada pelipisnya yang terkena panah. Tak lama kemudian ia mati”.
Pemuda tadi meninggal untuk menghidupkan seluruh umat yang telah diperbudak oleh sang thaghut untuk kepentingan pribadi dan kesenangannya sejak bertahun-tahun. Ia meninggal untuk menghidupkan umat manusia dari kebodohan, rasa takut, dan kefakiran.
Pemuda tadi meninggal untuk mengeluarkan manusia dari peribadatan kepada makhluk menuju peribadatan kepada Rabb pemilik makhluk. Dari kezhaliman agama-agama manusia menuju keadilan agama Islam.
Alangkah indah dan lezatnya kematian bilamana menjadi salah sebab hidupnya sebuah umat atau rakyat yang telah diperbudak oleh rasa takut dari pihak thaghut.
Bila ada yang bertanya : "Bagaimana mungkin kematian si pemuda untuk kehidupan umat manusia?". Maka saya katakan : Ya. Coba kalian perhatikan. Apa yang terjadi setelah kematian sang pemuda.
“Melihat kejadian ini, manusia mengatakan : “Kami beriman kepada Rabb pemuda ini! Kami beriman kepada Rabb pemuda ini! Kami beriman kepada Rabb pemuda ini!”
Kalimat tersebut terulang-ulang dari mulut seluruh manusia yang hadir dan menyaksikan peristiwa tersebut secara serempak. Mereka tak memperdulikan sang raja dan bala tentaranya.
Kami beriman kepada Rabb pemuda ini! Kami beriman kepada Rabb pemuda ini! Konsekwensinya dari keimanan kepada Rabb pemuda tersebut adalah mengingkari thaghut dan berlepas diri darinya.
Bukankah makna kehidupan yang hakiki bilamana seluruh manusia keluar dari peribadatan kepada thaghut menuju peribadatan kepada Sang Pencipta.
Bukankah makna hidup yang hakiki bilamana manusia terbebas dari rasa takut kepada thaghut dan bala tentaranya untuk melesat menuju kehidupan dunia mereka dengan penuh keimanan, keteguhan, keamanan, cita-cita dan pengharapan, menuju tujuan mereka yang telah digariskan oleh Allah.
Bukankah makna hidup yang hakiki bilamana manusia terbebas dari kebodohan, dari sihir para tukang sihir yang membuat tipu daya menuju kehidupan yang menjadikan seluruh sendi kehidupan mereka berdasarkan ilmu dan pemahaman serta melihat segala sesuatu berdasarkan hakikat dan realitanya.
Bukankah hidup yang hakiki bilamana seluruh manusia sama dalam beribadah kepada Sang pencipta. Tak ada perbedaan antara tuan dan hamba sahaya; antara satu warga negara dengan warga negara yang lain; antara satu warna kulit dengan warna kulit yang lain, kecuali karena faktor takwa dan amal shalih. Bukankah makna hidup yang sebenarnya saat seluruh manusia hidup sesuai dengan kehendak dan hukum Allah, sebagai ganti dari kehidupan mereka yang sesuai dengan kehendak dan hukum thaghut.
Hidup yang mulia dengan berbagai sifat yang kami sebutkan di atas –meski hanya sebentar—itu lebih utama dari kehidupan –meski lama—yang dibayang-bayangi rasa takut, ketundukkan, kebodohan, dan peribadatan kepada thaghut.
“Si raja datang, lantas dikatakan kepadanya : “Tidakkah engkau melihat apa yang selama ini engkau khawatirkan?”. Yakni, apa yang engkau khawatirkan telah terjadi. Yaitu, seluruh manusia telah beriman kepada Rabb pemuda itu dan mengingkarimu, mengingkari ketuhananmu.
“Demi Allah, kekhawatiranmu itu telah terjadi”. Yakni, apa yang engkau khawatirkan dan engkau takutkan telah terjadi.
“Manusia telah beriman”. Mereka telah beriman kepada Rabb pemuda itu dan mengingkarimu, mengingkari tata aturanmu, undang-undangmu, dan metodemu. Lantas, apa reaksi si raja melihat pembangkangan ini dan keluarnya manusia dari ketaatan dan peribadatan kepadanya?
“Maka raja memerintahkan untuk dibuatkan parit-parit”. Yakni, ia memerintahkan bala tentaranya untuk membuat parit. Sebuah lubang yang besar, luas, dalam, dan memanjang.
“Di atasnya dipasang jembatan”. Yakni di atas parit tersebut dan diujungnya.
“Maka, dibuatlah parit”, sebagaimana yang diinginkan oleh sang raja.
“Dinyalakan dengan api”. Kobarannya menyala-nyala di hadapan manusia. Lantas, untuk apa tindakan yang menimbulkan kengerian ini?
“Raja berkata : “Siapa yang tidak mau meninggalkan agama barunya, lemparkan ke dalam parit'“. Barangsiapa yang tidak keluar dari agamanya; kafir kepada Allah dan beriman kepada thaghut, maka lemparkanlah ke dalam api agar tubuhnya terpanggang di dalamnya. Tak ada hak hidup bagi yang mengingkari thaghut, mengingkari undang-undangnya, metodenya dalam hidup ini.
Inilah tindakan para thaghut dan orang-orang zhalim sepanjang sejarah hingga saat ini. Bagi yang tidak mau keluar dari agama Islam dan masuk ke dalam agama thaghut, undang-undang dan tata aturannya, ia akan mendapatkan hukuman –sesuai dengan syari’at thaghut—dengan dibunuh, dibakar, atau bahkan pembunuhan masal.
Betapa banyak peristiwa kekinian yang senada dengan tindakan ini, bila kita mau menghitungnya. Kita bisa melihat pembunuhan massal yang menimpa kaum muslimin melalui tangan-tangan para thaghut yang zhalim lagi kafir.
Kita bisa melihatnya dengan jelas di Palestina, Lebanon, Suria, Afghanistan, Chechnya, Bosnia, dan Iraq. Mungkin berita terakhir tentang pembunuhan masal seperti ini adalah apa yang telah dilakukan oleh thaghut Amerika Salibis terhadap kaum muslimin di kota Fallujah, Iraq.-
Inilah bahasa diskusi mereka. Inilah  cara berpikir mereka, cara berpikir orang-orang bangkrut yang tidak memahami realita obyektif yang dapat didiskusikan dengan pihak lain. Inilah kekakuan budaya dan akhlak yang mereka gunakan sebagai dalih untuk membersihkan etnis, dan pembunuhan massal.
“Pasukan raja melakukan perintahnya”. Yakni, pasukan tersebut melaksanakan seluruh titah sang raja. Mereka bergabung bersama thaghut dalam hal dosa dan kesalahan serta segala yang diperbuatnya berupa perampasan hak rakyat sipil.
Kalau bukan karena bala tentara, tentu para thaghut itu tak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu, mereka memiliki tingkatan yang sama dalam hal dosa dan kezhaliman, sebagaimana yang tertera dalam fiman Allah :
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. [Qs. Al-Qashash: 8]
Hal ini mengandung pelajaran bagi para tentara thaghut modern, alat kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang mengira bahwa mereka berada dalam kebaikan. Padahal, pada hakikatnya mereka berada dalam keburukan dan bahaya besar, sekiranya mereka mengetahui hal ini.
“Sampai tiba giliran seorang wanita yang menggendong bayinya”. Bayi yang menyusu yang lisannya tak bisa berkata apa-apa dan belum disapih.
“Sejenak ia hendak mengurungkan niatnya menceburkan diri ke dalam parit”. Sang ibu berhenti di tempat. Ia tidak menceburkan diri ke dalam api. 
Mungkin para tentara thaghut –pada saat itu—mengira bahwa wanita tersebut akan keluar dari agamanya karena kasihan terhadap bayinya yang masih menyusu. 
Sungguh, itu adalah saat yang sangat sulit dan berat. Boleh jadi seorang ibu takkan sanggup mengukurnya. Sebab, mereka tahu betul arti seorang bayi yang masih menyusu bagi seorang ibu. Seorang ibu mungkin akan menganggap remeh dirinya. Namun, sangat sulit baginya bila harus kehilangan anaknya yang masih menyusu. Yakni dengan menceburkan diri bersama sang bayi ke dalam api.
Namun, pilihan sebaliknya untuk berada dalam lumpur kekafiran, kesyirikan, dan peribadatan kepada thaghut adalah pilihan yang sangat sulit dan menjijikkan bagi siapa saja yang telah mengecap manisnya iman.
Ataukah ia harus memilih keimanan yang mengharuskannya menceburkan diri bersama bayinya yang masih menyusu ke dalam api. Wanita tersebut ragu, dan pantas saja bila ia ragu. Inilah adalah ujian terbesar baginya.
Ia baru saja beriman. Ia sangat butuh bantuan yang dapat menambah keimanan dan keyakinannya. Ia sangat butuh bukti-bukti kebesaran Allah yang dapat menumbuhkan keberaniannya untuk menceburkan diri dan bayinya ke dalam api, di saat yang sangat sulit seperti ini. 
Thaghut dan bala tentaranya melihat ke arahnya untuk mengetahui apa yang bakal dilakukan dan apa pilihannya. Sedangkan pandangannya bergantian memandang sang bayi dan parit yang ada di hadapannya yang penuh dengan api. 
Rasa belas kasihan dan kasih sayangnya berkata kepadanya, “Apa salah bayimu”. Sedangkan, panggilan akal dan hati mengatakan, “Engkau berada dalam kebenaran. Maka, jangan sampai engkau keluar dari agamamu”.
Dalam kondisi yang sulit dan berat ini, maka Allah menolongnya dengan memberikan satu bukti kekuasaan Allah yang agung yang mencengangkan semua orang. Sebuah tanda kebesaran Allah yang mampu menambah keimanan, keyakinan, dan keteguhan bagi orang-orang mukmin. 
Alangkah butuhnya mereka terhadap bukti kekuasaan Allah tersebut saat mereka berada dalam kesulitan seperti itu. Namun, hal itu malah menambah kekafiran bagi orang-orang kafir –dengan penolakan dan penentangan mereka--. 
“Namun tiba-tiba bayinya berkata : “Ibu, bersabarlah, sesungguhnya ibu berada di atas kebenaran”. Allahu Akbar… Allahu Akbar. Allah menjadikan bayi tersebut mampu berbicara untuk mengucapkan kebenaran dan pilihan yang harus dipilih oleh sang ibu. 
Ia mengucapkannya dengan suara yang dapat didengar oleh semua orang disekitarnya : “Ibu, bersabarlah, sesungguhnya ibu berada di atas kebenaran”. 
Bersabarlah wahai ibu. Sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Kondisi sulit ini hanya sebentar. Ruh kita akan keluar dari jasad kita untuk kembali kepada Penciptanya untuk menerima balasan yang paling baik, kenikmatan yang kekal. 
Di dalamnya terdapat kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbesit dalam benak manusia. Lebih dari itu, keridhaan Allah Ta'ala terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin yang takkan pernah mendapatkan murka-Nya.  
Terkait dengan kisah ini dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya serta pelajaran yang agung, Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya dalam surat Al-Buruj:
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar,ketika mereka duduk di sekitarnya,sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman.Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. [Qs. Al-Buruj: 4-8]
Semoga shalawat dan salam tercurah limpahkan kepada Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.  
Akhir do’a kami, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.



Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011