“Aku orang Islam,
aku hidup demi agamaku dan mati karenanya
Tak mungkin
–apapun yang terjadi—aku akan diam sedangkan Islam diperangi di mana-mana.”
(Syaikh Umar
Abdur Rahman di ruang persidangan)
Setelah
masa penyidikan dan penyiksaan selesai, plus penyidikan-penyidikan dari
kejaksaan, akhirnya kejaksaan melimpahkan para tersangka ke pengadilan dalam
kasus terbesar sepanjang sejarah peradilan Mesir. Sebab kejaksaan mengajukan
302 orang tersangka ke pengadilan, dan sidang baru dimulai sekitar dua tahun
sejak terbunuhnya Anwar Sadat.
Dan
persidangan kali ini lain daripada biasanya dan dipenuhi dengan
kejutan-kejutan, namun ada dua peristiwa paling penting dalam persidangan ini :
pertama, ketika DR. Umar Abdur Rahman menyampaikan pernyataan-pernyataannya
(yang kini sangat popular) selama tiga hari berturut-turut, kemudian satu lagi
adalah kesaksian bersejarah yang disampaikan oleh Syaikh Shalah Abu Ismail Rahimahullah.
DR.
Umar Abdur Rahman kemudian mendokumentasikan pernyataan-pernyatannya itu dalam
bukunya: Kalimatul Haq.
Dalam
pernyataan-pernyataannya ini beliau mengangkat isu berhukum dengan syari’at
Islam dan berjihad untuk merealisasikannya, lengkap dengan dalil-dalil
terperincinya dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama Umat, beliau juga
membantah argumentasi balik dari jaksa dan pernyataan Al-Azhar yang mereka
pakai.
Pernyataan
beliau ini sebenarnya sangat membahayakan posisi beliau secara hukum, sebab
pernyataan itu berisi bukti-bukti bahwa beliau membela program jihad yang
dilaksanakan dalam rangka menegakkan syari’at. Hakim juga sudah mengingatkan
bahwa kata-katanya itu membahayakan dirinya sendiri, lain dengan perkataan dari
pengacara yang aslinya juga bersumber dari jaksa sehingga bisa dicabut, tapi
jika perkataan itu bersumber dari dia langsung maka itu akan digunakan di
pengadilan.
Akan
tetapi DR. Umar Abdur Rahman –semoga Allah membebaskan beliau dari penjara—
bersikeras untuk tetap membela urusan Islam di pengadilan walaupun itu bisa
mengancam dirinya sendiri. Bahkan beliau memposisikan hakim sebagai tersangka,
menganggapnya bertanggung jawab atas kezhaliman yang dia lakukan terhadap kaum
Muslimin dan mengingatkannya akan siksa dan balasan dari Allah. Beliau juga
mengajaknya berhukum kepada syari’at Islam dan mengingatkannya akan akibat
meninggalkan hukum syari’at Islam.
Pernyataan-pernyataan
beliau ini sungguh sangat kuat dan lugas hingga sampai tingkatan mempengaruhi
pemikiran majelis hakim yang di dalam butir-butir petikan vonisnya sendiri
menyatakan bahwa Mesir tidak menggunakan Syari’at Islam dan undang-undangnya
bertentangan dengan syari’at Islam dalam banyak hal.
Dan
ketika itu DR. Umar Abdur Rahman berijtihad bahwa sekaranglah waktu yang tepat
untuk menyampaikan isu tentang berhukum kepada apa yang diturunkan Allah yang
beliau tidak ingin melewatkannya begitu saja. Beliau juga menilai
pernyataan-pernyataannya ini adalah bentuk pembelaan terbaik yang bisa dia
berikan kepada ikhwan-ikhwannya yang kemungkinan akan divonis mati, dengan
menunjukkan bahwa mereka adalah pihak yang benar dan bertujuan mulia.
Dan
ternyata benar, hakim tidak menjatuhkan vonis mati kepada siapa pun dalam kasus
ini, hakim justru memakai hal-hal yang meringankan karena melihat mulianya
tujuan yang dianut para tersangka, seperti yang mereka jelaskan dalam
butir-butir putusannya.
Saya
tidak bisa melewatkan begitu saja pembahasan mengenai pernyataan-pernyataan DR.
Umar Abdur Rahman di pengadilan tanpa mengutip sebagian pernyataannya yang
begitu kuat menyuarakan kebenaran dan menggelegarkan kejujuran di saat situasi
genting, di mana jaksa menuntutnya dengan hukuman mati dan menilai semua
kata-kata yang beliau keluarkan. Akan tetapi beliau memang ulamanya mujahidin
dan mujahid yang ulama (hanya Allah Yang Menilai beliau sebenarnya).
Syaikh
Umar Abdur Rahman berkata : “Point pertama, Jaksa mengatakan bahwa
orang-orang yang mengusung slogan berhukum kepada hukum Allah padahal
menginginkan merekalah yang memutuskan hukum disebut oleh seluruh umat Islam
dan disebut di dalam sejarah Islam sebagai “Orang-orang Khawarij” (Orang-orang
yang keluar) dari masyarakat.
Benar
bahwa “Hukum itu hanya milik Allah” adalah kata-kata yang benar dan diserukan
oleh orang mulia putera orang mulia putera orang mulia (Nabi Yusuf putera Nabi
Ya‘qub putera Nabi Ishaq putera Nabi Ibrahim), beliau menyerukannya kepada para
tahanan lain di penjaranya di Mesir, belenggu terali penjara tidak menghalangi
beliau untuk mengucapkan kebenaran yang ia dakwahkan secara terus terang
seperti halnya yang dilakukan oleh seluruh rasul. Dengan demikian, slogan itu
adalah dakwah kaum Muslimin dalam seluruh rentang waktu sejarah.
Bahkan
label Khawarij pernah dialamatkan kepada seorang pemimpin yang sabar memegang
kebenaran yang ia jalankan, mereka melabelkannya kepada Khulafa`u Rasyidin
keempat (Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu).
Jika
label itu di generasi awal dulu disebut Khawarij, maka untuk zaman sekarang
label itu maksudnya ditujukan kepada Mujahidin. Dan jika kami ini Khawarij,
lantas siapakah kalian? Apa kalian itu Ali bin Abi Thalib dan para pengikut
beliau? Apakah dulu Ali pernah mengambil hukum-hukum yang ia berlakukan dari
undang-undang produk Persia dan Romawi?
Apakah
hukum beliau itu berdasarkan faham sosialis, demokrasi, atau beliau menyeru
kepada persatuan nasional dan perdamaian bersama? Pernahkah beliau bersekutu
dengan Yahudi dan berteman dekat dengan Beijing?
Apakah
beliau meninggalkan hukum-hukum Allah dan melaksanakan hukuman-hukuman yang
tidak Allah turunkan hujjahnya?
Apakah
Ali menganggap ajakan untuk menegakkan kekhilafahan sebagai kejahatan yang tak
terampuni?
Apakah
Ali memerangi kesucian diri, menyeru kepada kebebasan wanita dan tabarruj?
Apakah
Ali termasuk orang-orang yang menjadikan isi Al-Quran terbagi-bagi, yang
mengatakan: tidak ada Islam dalam politik dan tidak ada politik dalam Islam?” …
“Point
kedelapan: Jaksa keberatan jika masyarakat yang ada sekarang ini disebut
sebagai masyarakat jahiliyah. Tentu saja, sebagai pengayom masyarakat
pemerintah tidak akan senang masyarakatnya disebut sebagai masyarakat
Jahiliyah?
Apakah
kami yang menyebutnya jahiliyah? Allahlah yang di dalam Kitab-Nya menyebut
dengan nama yang tidak kalian senangi itu, wahai para pengayom masyarakat
jahiliyah. Allah Ta‘ala berfirman:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ
وَمَنْ
أَحْسَنُ
مِنَ
اللّهِ
حُكْماً
لِّقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (QS.
Al-Maidah : 50)
“…dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah…”. (QS. Al-Ahzab :
33)
“…mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah…”. (Qs.
Ali-‘Imran : 154)
“Ketika
orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan
jahiliyah…”. (QS. Al-Fath: 26)”
“Point
kesembilan: Jaksa membela keberadaan perjanjian damai antara kita dengan
Yahudi. Saya tidak akan mendebat jaksa dalam hal ini, karena saya sudah menulis
bantahannya terhadap Lajnah Al-Azhar dan itu sudah cukup untuk menjawabnya.
Saya hanya akan membantah pengambilan dalil yang dilakukan oleh “Ulama yang hebat”
di jajaran Jaksa yang melegitimasi perjanjian dengan Yahudi dengan firman Allah
Ta‘ala :
“…maka
selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula)
terhadap mereka.” (QS. At-Taubah: 7)
Dan
firman Allah Ta’ala :
“Dan
jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)
Kami
katakana : Apakah yahudi berlaku lurus kepada kita? Apakah mereka condong
kepada perdamaian? Ataukah kita yang condong kepada perdamaian dan berlaku
lurus? Beritahulah aku dengan dasar ilmu jika kalian adalah orang-orang yang
benar.”
DR.
Umar Abdur Rahman juga mengatakan : “Point kedua puluh delapan: Terakhir
saya katakan, ‘dosa’ saya adalah karena saya mengkritik negara dan menelanjangi
kerusakan-kerusakan serta permusuhan-permusuhan terhadap agama Allah yang
terdapat dalam masyarakat, dan karena saya mengatakan yang benar apa adanya
yang menjadi pokok agama dan keyakinan di mana-mana. Sesungguhnya saya
tertuntut oleh agama dan hati nurani saya untuk melawan kezaliman dan
keangkara-murkaan, membantah syubhat-syubhat dan kesesatan-kesesatan, mengungkap
kesesatan dan penyimpangan, dan mempermalukan aib orang-orang dzalim di depan
umat manusia, meskipun semua itu akan mengorbankan hidup saya dan semua yang
saya miliki. Saya tidak takut penjara dan hukuman mati, saya juga tak gembira
ketika mendapat pengampunan atau vonis tak bersalah, saya tidak sedih ketika
saya harus dihukum mati sebab itu adalah mati syahid di jalan Allah dan ketika
itu saya akan katakan: “Aku menang, demi Rabb Ka‘bah,” ketika itu juga saya
katakan:
Aku
tak peduli ketika aku terbunuh dalam keadaan Muslim
Dalam
kondisi apa saja, asal kematianku karena Allah
Sesungguhnya
saya orang Islam, saya hidup untuk agama saya dan mati karenanya. Dan tak
mungkin saya akan diam –apapun kondisinya— sementara Islam diperangi di
mana-mana. Tidak, dan seribu kali tidak! Kami tidak akan ridha dengan hukum
thaghut, kami tidak akan merasa tenang terhadap hukum buatan manusia yang
menindas sesama manusia, menghinakan mereka dan menjadikan mereka hamba selain
hamba Allah.
Tuan
penasehat –Ketua Pengadilan Keamanan Tinggi Negara—, hujjah sudah ditegakkan,
kebenaran telah nampak, dan cahaya subuh telah terlihat bagi setiap yang punya
kedua mata, maka tidak ada pilihan lain bagi Anda selain berhukum dengan
Syari’at Allah dan menerapkan hukum-hukum Allah, sesungguhnya jika Anda tidak
melakukannya berarti Anda kafir, dzalim dan fasik, sebab Anda terkena firman
Allah :
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah :
44)
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Maidah :
45)
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah :
47)
Vonis
yang sebenarnya bukanlah yang dijatuhkan di ruang ini, atau ketika masih di
dunia. Vonis yang sebenarnya adalah di akhirat yang diputuskan oleh Dzat Yang
Maha Bijak lagi Maha Adil :
“(Yaitu)
pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat
Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS.
Ibrahim : 48)
Dan
sesungguhnya kami tidak gentar dengan penjara atau hukuman mati, kami tidak
takut dengan penyiksaan dan gangguan seperti apapun, kami katakan seperti
perkataan mantan tukang-tukang sihir Firaun kepada Firaun :
“Mereka
berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti
yang nyata yang telah datang kepada kami dan daripada Robb yang telah
menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya
kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.” (QS.
Thaha: 72)
Ketahuilah
wahai tuan penasehat, Allah menurunkan hukum-hukum hudud dalam rangka
menghentikan perbuatan-perbuatan keji, lalu bagaimana jika orang yang
seharusnya menjalankan hukum tersebut justru yang melakukannya? Dan Allah
menurunkan hukum qishash demi menjaga kehidupan hamba-hamba-Nya, lalu bagaimana
jika para hamba itu justeru dibunuh oleh orang yang seharusnya menjalankan
qishash untuk mereka?
Ingatlah
wahai tuan penasehat, kematian dan apa yang terjadi setelahnya, ingatlah
sedikitnya pengikut dan penolongmu ketika itu, maka carilah bekal untuk
menghadapinya dan menghadapi kegoncangan besar hari kiamat setelahnya.
Apa
yang akan Anda lakukan, wahai penasehat, jika datang kepadamu penghina semua
raja, yang mengalahkan semua penindas, yang menghancurkan semua thaghut, lalu
membiarkanmu tergeletak di tengah orang-orang yang Anda cintai dan
tetangga-tetanggamu, Anda tinggalkan keluarga dan saudara-saudaramu, mereka
tidak bisa memberi manfaat apapun kepadamu dan tidak bisa membelamu.
Wahai
penasehat, ketua majelis hakim : Sesungguhnya Allah bisa menghalangimu dari
penguasa tapi penguasa tidak akan bisa menghalangimu dari Allah. Perintah Allah
itu berada di atas segala perintah, dan tidak ada ketaatan dalam bermaksiat
kepada Allah. Saya mengingatkan Anda akan siksaan Allah yang tidak bisa tertolak
dari orang-orang jahat.
Wahai
para Penasehat, hisab (penghitungan amal) menantimu dengan cambukan demi
cambukan, kemurkaan demi kemurkaan, dan Allah Maha Mengawasi. Wassalamualaikum
wa rahmatullah wa barakatuh.”
Adapun
kesaksian Syaikh Shalah Abu Ismail Rahimahullah, adalah kesaksian
yang berbahaya karena berisi jabawan-jawaban yang jelas terhadap beberapa
pertanyaan penting terkait dengan hukum yang berlaku di Mesir dan kedudukannya
dalam Islam.
Syaikh
Shalah Abu Ismail menegaskan dalam kesaksiannya bahwa ketika Anwar Sadat
menyatakan : “Tidak ada politik dalam Islam dan tidak ada Islam dalam politik”,
maka dia telah melepas keislamannya. Dalam kesaksiannya ini Syaikh Shalah Abu
Ismail juga bercerita tentang usaha-usahanya memperbaiki sistem hukum melalui majelis
parlemen, namun mengharap syari’at Islam bisa diterapkan melalui jalan ini
berujung kepada keputusasaan akibat banyaknya konspirasi dan penipuan yang
terus menerus dilakukan pemerintah yang sudah terbiasa memanipulasi pemilu dan
hasil-hasilnya. Pemilu-pemilu itu adalah pelajaran menyakitkan bagi mereka yang
menempuh jalan perjuangan seperti itu dengan alasan mereka akan mewujudkan
maslahat bagi Islam dan bisa berhukum kepada syari’at (tapi dengan cara
menyelisihi syari’at), mereka beranggapan bahwa situasi-situasi saat ini
menuntut adanya fleksibilitas politik dalam menyikapi nash-nash syar‘i.
Akhirnya, mereka rugi agamanya dan tidak pula mendapat keuntungan dunia.
Adapun
vonis-vonis dari pengadilan, ternyata hasilnya sangat mengagetkan pihak pemerintah,
aparat keamanan dan kejaksaan. Sebab pengadilan tidak menjatuhkan hukuman mati
kepada siapapun dalam kasus ini. Pengadilan memvonis bebas kepada 194 terdakwa
dari total 302 orang. Dan butir-butir dalam petikan vonis ternyata jauh lebih
penting isinya daripada vonis itu sendiri:
1. Pengadilan
mengakui bahwa Mesir tidak berhukum dengan syari’at Islam.
2. Mengakui
bahwa berhukum dengan syari’at adalah wajib dan harapan setiap Muslim.
3. Mengakui
bahwa undang-undang dan konstitusi Mesir bertentangan dengan hukum-hukum Islam.
4. Mengakui
bahwa kerusakan dan kemurtadan dari Islam sudah merajalela di masyarakat Mesir
di bawah perlindungan dari undang-undang.
5. Mengakui
terjadinya penyiksaan fisik terhadap para terdakwa, sehingga berakibat kepada
cacat permanen pada sebagian mereka. Pengadilan juga meminta mereka yang
bertanggung jawab dalam penyiksaan diperiksa.
Di
sini akan kami kutipkan beberapa point petikan vonis pengadilan yang dibacakan
oleh hakim Abdul Ghaffar Muhammad:
“Terkait
dengan materi kedua secara khusus: maka yang menjadi kesimpulan kuat di fikiran
dewan hakim adalah: bahwasanya hukum-hukum syari’at Islam tidak diterapkan di
Republik Arab Mesir. Ini adalah fakta yang disimpulkan dari fakta pertama yaitu
wajibnya menerapkan Syari’at Islam.”
Setelah
itu hakim menyebutkan bukti-bukti lenyapnya syari’at dari hukum negara,
diantaranya : “Adanya fenomena-fenomena di tengah masyarakat Mesir yang tidak
sesuai dengan hukum-hukum Syari’at Islam yang suci, seperti klub-klub malam
yang berisi berbagai kejahatan yang mengerikan dan negara memberi kemudahan
untuk mengelolanya, kemudian pabrik-pabrik miras yang pendiriannya dilegalkan
oleh pemerintah, tempat-tempat penjualan dan penyajian miras yang juga
dilegalkan oleh negara, media-media informasi baik radio, televisi maupun cetak
yang menyiarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syari’at Islam,
kemudian tabarruj kaum wanita yang menyelisihi ketetapan hukum
dari agama resmi negara yaitu Islam.”
Dalam
butir-butir yang lain, vonis pengadilan juga menyatakan: “Sebenarnya setelah
pasal 12 dari undang-undang direvisi, isinya menyatakan bahwa Islam adalah agama
resmi negara, bahasa Arab adalah bahasa resmi negara dan prinsip-prinsip
Syari’at Islam adalah sumber utama penetapan undang-undang. Namun demikian,
sebagai bukti bahwa hukum-hukum konstitusi negara tidak bersesuaian dengan
hukum-hukum syari’at Islam majelis hakim cukup merujuk pernyataan yang
disampaikan saudara Umar Ahmad Abdur Rahman –di mana yang bersangkutan termasuk
salah satu ulama Islam— di hadapan majelis hakim dalam sidang 3 September 1983
bahwa undang-undang negara bertentangan dengan Syari’at Islam dan tidak
menjadikannya sebagai hukum, sebab pada pasal 86, 107, 108, 109, 112, 113, 189
dinyatakan bahwa majelis permusyawaratan rakyat punya hak membuat undang-undang
dan memberlakukan hukum, padahal di dalam Islam hak seperti itu hanya milik Allah
saja. Juga pada pasal 165 dinyatakan bahwa vonis di pengadilan yang didasarkan
kepada undang-undang, cara penjatuhan vonis dan butir-butir isinya tidak
bersesuaian dengan syari’at Islam.”
Dalam
butir-butir putusan vonis di tempat lain juga disebutkan, ketika menjelaskan
keadaan masyarakat Mesir sebelum terjadinya kasus pembunuhan Anwar Sadat :
“Hilangnya syari’at Allah dari tanah Republik Arab-Mesir; majelis hakim
sebelumnya sudah menunjukkan bukti-bukti yang kuat, sehingga kami kira tidak
perlu diulang kembali. Tetapi majelis hakim berpendapat bahwa pejabat pembuat
undang-undang tak henti-hentinya berusaha memperbaiki penerapan syari’at Islam,
dan mereka sudah mulai menjalankannya sejak tahun 1979. Ini masih ditambah lagi
dengan fenomena-fenomena di tengah masyarakat Mesir yang tidak sesuai sama
sekali dengan pokok-pokok ajaran Islam, tidak bisa dibayangkan sebuah negara
Islam tapi memberi kemudahan dibukanya tempat-tempat hiburan yang di dalamnya
berbagai dosa besar dilakukan, memberi kemudahan produksi miras atau pembukaan
tempat menjual dan mengkonsumsinya. Atau terus terang memerintahkan media-media
informasi, baik televisi, radio dan cetak, untuk menyebarkan apa-apa yang tidak
sesuai dengan syari’at Allah, atau menyiarkan wanita yang berdandan dengan pakaian
yang menyelisihi apa yang digariskan oleh Islam.”
Dan
presiden –dengan kapasitasnya sebagai pemegang kendali pembenaran— membenarkan
penilaian ini sesuai yang tertuang dalam undang-undang pembentukan Mahkamah
Keamanan Tinggi Negara (Thawari’) Presiden membenarkan bahwa dirinya:
1. Tidak
berhukum dengan hukum Islam.
2. Bahwa
undang-undang dan konstitusi berseberangan dengan syari’at Islam.
3. Bahwa
berbagai kerusakan merajalela di bawah perlindungan undang-undang.
4. Bahwa
pemerintahnya menyiksa kaum Muslimin dengan siksaan yang dahsyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar