Kamis, 22 Desember 2011

Secercah Cahaya di Persidangan



“Aku orang Islam, aku hidup demi agamaku dan mati karenanya
Tak mungkin –apapun yang terjadi—aku akan diam sedangkan Islam diperangi di mana-mana.”
(Syaikh Umar Abdur Rahman di ruang persidangan)

Setelah masa penyidikan dan penyiksaan selesai, plus penyidikan-penyidikan dari kejaksaan, akhirnya kejaksaan melimpahkan para tersangka ke pengadilan dalam kasus terbesar sepanjang sejarah peradilan Mesir. Sebab kejaksaan mengajukan 302 orang tersangka ke pengadilan, dan sidang baru dimulai sekitar dua tahun sejak terbunuhnya Anwar Sadat.

Dan persidangan kali ini lain daripada biasanya dan dipenuhi dengan kejutan-kejutan, namun ada dua peristiwa paling penting dalam persidangan ini : pertama, ketika DR. Umar Abdur Rahman menyampaikan pernyataan-pernyataannya (yang kini sangat popular) selama tiga hari berturut-turut, kemudian satu lagi adalah kesaksian bersejarah yang disampaikan oleh Syaikh Shalah Abu Ismail Rahimahullah.

DR. Umar Abdur Rahman kemudian mendokumentasikan pernyataan-pernyatannya itu dalam bukunya: Kalimatul Haq.

Dalam pernyataan-pernyataannya ini beliau mengangkat isu berhukum dengan syari’at Islam dan berjihad untuk merealisasikannya, lengkap dengan dalil-dalil terperincinya dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama Umat, beliau juga membantah argumentasi balik dari jaksa dan pernyataan Al-Azhar yang mereka pakai.

Pernyataan beliau ini sebenarnya sangat membahayakan posisi beliau secara hukum, sebab pernyataan itu berisi bukti-bukti bahwa beliau membela program jihad yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan syari’at. Hakim juga sudah mengingatkan bahwa kata-katanya itu membahayakan dirinya sendiri, lain dengan perkataan dari pengacara yang aslinya juga bersumber dari jaksa sehingga bisa dicabut, tapi jika perkataan itu bersumber dari dia langsung maka itu akan digunakan di pengadilan.

Akan tetapi DR. Umar Abdur Rahman –semoga Allah membebaskan beliau dari penjara— bersikeras untuk tetap membela urusan Islam di pengadilan walaupun itu bisa mengancam dirinya sendiri. Bahkan beliau memposisikan hakim sebagai tersangka, menganggapnya bertanggung jawab atas kezhaliman yang dia lakukan terhadap kaum Muslimin dan mengingatkannya akan siksa dan balasan dari Allah. Beliau juga mengajaknya berhukum kepada syari’at Islam dan mengingatkannya akan akibat meninggalkan hukum syari’at Islam.

Pernyataan-pernyataan beliau ini sungguh sangat kuat dan lugas hingga sampai tingkatan mempengaruhi pemikiran majelis hakim yang di dalam butir-butir petikan vonisnya sendiri menyatakan bahwa Mesir tidak menggunakan Syari’at Islam dan undang-undangnya bertentangan dengan syari’at Islam dalam banyak hal.

Dan ketika itu DR. Umar Abdur Rahman berijtihad bahwa sekaranglah waktu yang tepat untuk menyampaikan isu tentang berhukum kepada apa yang diturunkan Allah yang beliau tidak ingin melewatkannya begitu saja. Beliau juga menilai pernyataan-pernyataannya ini adalah bentuk pembelaan terbaik yang bisa dia berikan kepada ikhwan-ikhwannya yang kemungkinan akan divonis mati, dengan menunjukkan bahwa mereka adalah pihak yang benar dan bertujuan mulia.

Dan ternyata benar, hakim tidak menjatuhkan vonis mati kepada siapa pun dalam kasus ini, hakim justru memakai hal-hal yang meringankan karena melihat mulianya tujuan yang dianut para tersangka, seperti yang mereka jelaskan dalam butir-butir putusannya.

Saya tidak bisa melewatkan begitu saja pembahasan mengenai pernyataan-pernyataan DR. Umar Abdur Rahman di pengadilan tanpa mengutip sebagian pernyataannya yang begitu kuat menyuarakan kebenaran dan menggelegarkan kejujuran di saat situasi genting, di mana jaksa menuntutnya dengan hukuman mati dan menilai semua kata-kata yang beliau keluarkan. Akan tetapi beliau memang ulamanya mujahidin dan mujahid yang ulama (hanya Allah Yang Menilai beliau sebenarnya).

Syaikh Umar Abdur Rahman berkata : “Point pertama, Jaksa mengatakan bahwa orang-orang yang mengusung slogan berhukum kepada hukum Allah padahal menginginkan merekalah yang memutuskan hukum disebut oleh seluruh umat Islam dan disebut di dalam sejarah Islam sebagai “Orang-orang Khawarij” (Orang-orang yang keluar) dari masyarakat.

Benar bahwa “Hukum itu hanya milik Allah” adalah kata-kata yang benar dan diserukan oleh orang mulia putera orang mulia putera orang mulia (Nabi Yusuf putera Nabi Ya‘qub putera Nabi Ishaq putera Nabi Ibrahim), beliau menyerukannya kepada para tahanan lain di penjaranya di Mesir, belenggu terali penjara tidak menghalangi beliau untuk mengucapkan kebenaran yang ia dakwahkan secara terus terang seperti halnya yang dilakukan oleh seluruh rasul. Dengan demikian, slogan itu adalah dakwah kaum Muslimin dalam seluruh rentang waktu sejarah.

Bahkan label Khawarij pernah dialamatkan kepada seorang pemimpin yang sabar memegang kebenaran yang ia jalankan, mereka melabelkannya kepada Khulafa`u Rasyidin keempat (Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu).

Jika label itu di generasi awal dulu disebut Khawarij, maka untuk zaman sekarang label itu maksudnya ditujukan kepada Mujahidin. Dan jika kami ini Khawarij, lantas siapakah kalian? Apa kalian itu Ali bin Abi Thalib dan para pengikut beliau? Apakah dulu Ali pernah mengambil hukum-hukum yang ia berlakukan dari undang-undang produk Persia dan Romawi?

Apakah hukum beliau itu berdasarkan faham sosialis, demokrasi, atau beliau menyeru kepada persatuan nasional dan perdamaian bersama? Pernahkah beliau bersekutu dengan Yahudi dan berteman dekat dengan Beijing?

Apakah beliau meninggalkan hukum-hukum Allah dan melaksanakan hukuman-hukuman yang tidak Allah turunkan hujjahnya?

Apakah Ali menganggap ajakan untuk menegakkan kekhilafahan sebagai kejahatan yang tak terampuni?

Apakah Ali memerangi kesucian diri, menyeru kepada kebebasan wanita dan tabarruj?

Apakah Ali termasuk orang-orang yang menjadikan isi Al-Quran terbagi-bagi, yang mengatakan: tidak ada Islam dalam politik dan tidak ada politik dalam Islam?” …

Point kedelapan: Jaksa keberatan jika masyarakat yang ada sekarang ini disebut sebagai masyarakat jahiliyah. Tentu saja, sebagai pengayom masyarakat pemerintah tidak akan senang masyarakatnya disebut sebagai masyarakat Jahiliyah?

Apakah kami yang menyebutnya jahiliyah? Allahlah yang di dalam Kitab-Nya menyebut dengan nama yang tidak kalian senangi itu, wahai para pengayom masyarakat jahiliyah. Allah Ta‘ala berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (QS. Al-Maidah : 50)

“…dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah…”. (QS. Al-Ahzab : 33)

“…mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah…”. (Qs. Ali-‘Imran : 154)

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah…”. (QS. Al-Fath: 26)

Point kesembilan: Jaksa membela keberadaan perjanjian damai antara kita dengan Yahudi. Saya tidak akan mendebat jaksa dalam hal ini, karena saya sudah menulis bantahannya terhadap Lajnah Al-Azhar dan itu sudah cukup untuk menjawabnya. Saya hanya akan membantah pengambilan dalil yang dilakukan oleh “Ulama yang hebat” di jajaran Jaksa yang melegitimasi perjanjian dengan Yahudi dengan firman Allah Ta‘ala :

“…maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka.” (QS. At-Taubah: 7)

Dan firman Allah Ta’ala :

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)

Kami katakana : Apakah yahudi berlaku lurus kepada kita? Apakah mereka condong kepada perdamaian? Ataukah kita yang condong kepada perdamaian dan berlaku lurus? Beritahulah aku dengan dasar ilmu jika kalian adalah orang-orang yang benar.”

DR. Umar Abdur Rahman juga mengatakan : “Point kedua puluh delapan: Terakhir saya katakan, ‘dosa’ saya adalah karena saya mengkritik negara dan menelanjangi kerusakan-kerusakan serta permusuhan-permusuhan terhadap agama Allah yang terdapat dalam masyarakat, dan karena saya mengatakan yang benar apa adanya yang menjadi pokok agama dan keyakinan di mana-mana. Sesungguhnya saya tertuntut oleh agama dan hati nurani saya untuk melawan kezaliman dan keangkara-murkaan, membantah syubhat-syubhat dan kesesatan-kesesatan, mengungkap kesesatan dan penyimpangan, dan mempermalukan aib orang-orang dzalim di depan umat manusia, meskipun semua itu akan mengorbankan hidup saya dan semua yang saya miliki. Saya tidak takut penjara dan hukuman mati, saya juga tak gembira ketika mendapat pengampunan atau vonis tak bersalah, saya tidak sedih ketika saya harus dihukum mati sebab itu adalah mati syahid di jalan Allah dan ketika itu saya akan katakan: “Aku menang, demi Rabb Ka‘bah,” ketika itu juga saya katakan:

Aku tak peduli ketika aku terbunuh dalam keadaan Muslim
Dalam kondisi apa saja, asal kematianku karena Allah

Sesungguhnya saya orang Islam, saya hidup untuk agama saya dan mati karenanya.  Dan tak mungkin saya akan diam –apapun kondisinya— sementara Islam diperangi di mana-mana. Tidak, dan seribu kali tidak! Kami tidak akan ridha dengan hukum thaghut, kami tidak akan merasa tenang terhadap hukum buatan manusia yang menindas sesama manusia, menghinakan mereka dan menjadikan mereka hamba selain hamba Allah.

Tuan penasehat –Ketua Pengadilan Keamanan Tinggi Negara—, hujjah sudah ditegakkan, kebenaran telah nampak, dan cahaya subuh telah terlihat bagi setiap yang punya kedua mata, maka tidak ada pilihan lain bagi Anda selain berhukum dengan Syari’at Allah dan menerapkan hukum-hukum Allah, sesungguhnya jika Anda tidak melakukannya berarti Anda kafir, dzalim dan fasik, sebab Anda terkena firman Allah :

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah : 44)

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Maidah : 45)

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah : 47)

Vonis yang sebenarnya bukanlah yang dijatuhkan di ruang ini, atau ketika masih di dunia. Vonis yang sebenarnya adalah di akhirat yang diputuskan oleh Dzat Yang Maha Bijak lagi Maha Adil :

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS. Ibrahim : 48)

Dan sesungguhnya kami tidak gentar dengan penjara atau hukuman mati, kami tidak takut dengan penyiksaan dan gangguan seperti apapun, kami katakan seperti perkataan mantan tukang-tukang sihir Firaun kepada Firaun :

“Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata yang telah datang kepada kami dan daripada Robb yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.” (QS. Thaha: 72)

Ketahuilah wahai tuan penasehat, Allah menurunkan hukum-hukum hudud dalam rangka menghentikan perbuatan-perbuatan keji, lalu bagaimana jika orang yang seharusnya menjalankan hukum tersebut justru yang melakukannya? Dan Allah menurunkan hukum qishash demi menjaga kehidupan hamba-hamba-Nya, lalu bagaimana jika para hamba itu justeru dibunuh oleh orang yang seharusnya menjalankan qishash untuk mereka?

Ingatlah wahai tuan penasehat, kematian dan apa yang terjadi setelahnya, ingatlah sedikitnya pengikut dan penolongmu ketika itu, maka carilah bekal untuk menghadapinya dan menghadapi kegoncangan besar hari kiamat setelahnya.

Apa yang akan Anda lakukan, wahai penasehat, jika datang kepadamu penghina semua raja, yang mengalahkan semua penindas, yang menghancurkan semua thaghut, lalu membiarkanmu tergeletak di tengah orang-orang yang Anda cintai dan tetangga-tetanggamu, Anda tinggalkan keluarga dan saudara-saudaramu, mereka tidak bisa memberi manfaat apapun kepadamu dan tidak bisa membelamu.

Wahai penasehat, ketua majelis hakim : Sesungguhnya Allah bisa menghalangimu dari penguasa tapi penguasa tidak akan bisa menghalangimu dari Allah. Perintah Allah itu berada di atas segala perintah, dan tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Saya mengingatkan Anda akan siksaan Allah yang tidak bisa tertolak dari orang-orang jahat.

Wahai para Penasehat, hisab (penghitungan amal) menantimu dengan cambukan demi cambukan, kemurkaan demi kemurkaan, dan Allah Maha Mengawasi. Wassalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh.”

Adapun kesaksian Syaikh Shalah Abu Ismail Rahimahullah, adalah kesaksian yang berbahaya karena berisi jabawan-jawaban yang jelas terhadap beberapa pertanyaan penting terkait dengan hukum yang berlaku di Mesir dan kedudukannya dalam Islam.

Syaikh Shalah Abu Ismail menegaskan dalam kesaksiannya bahwa ketika Anwar Sadat menyatakan : “Tidak ada politik dalam Islam dan tidak ada Islam dalam politik”, maka dia telah melepas keislamannya. Dalam kesaksiannya ini Syaikh Shalah Abu Ismail juga bercerita tentang usaha-usahanya memperbaiki sistem hukum melalui majelis parlemen, namun mengharap syari’at Islam bisa diterapkan melalui jalan ini berujung kepada keputusasaan akibat banyaknya konspirasi dan penipuan yang terus menerus dilakukan pemerintah yang sudah terbiasa memanipulasi pemilu dan hasil-hasilnya. Pemilu-pemilu itu adalah pelajaran menyakitkan bagi mereka yang menempuh jalan perjuangan seperti itu dengan alasan mereka akan mewujudkan maslahat bagi Islam dan bisa berhukum kepada syari’at (tapi dengan cara menyelisihi syari’at), mereka beranggapan bahwa situasi-situasi saat ini menuntut adanya fleksibilitas politik dalam menyikapi nash-nash syar‘i. Akhirnya, mereka rugi agamanya dan tidak pula mendapat keuntungan dunia.

Adapun vonis-vonis dari pengadilan, ternyata hasilnya sangat mengagetkan pihak pemerintah, aparat keamanan dan kejaksaan. Sebab pengadilan tidak menjatuhkan hukuman mati kepada siapapun dalam kasus ini. Pengadilan memvonis bebas kepada 194 terdakwa dari total 302 orang. Dan butir-butir dalam petikan vonis ternyata jauh lebih penting isinya daripada vonis itu sendiri:

1.    Pengadilan mengakui bahwa Mesir tidak berhukum dengan syari’at Islam.
2.    Mengakui bahwa berhukum dengan syari’at adalah wajib dan harapan setiap Muslim.
3.    Mengakui bahwa undang-undang dan konstitusi Mesir bertentangan dengan hukum-hukum Islam.
4.    Mengakui bahwa kerusakan dan kemurtadan dari Islam sudah merajalela di masyarakat Mesir di bawah perlindungan dari undang-undang.
5.    Mengakui terjadinya penyiksaan fisik terhadap para terdakwa, sehingga berakibat kepada cacat permanen pada sebagian mereka. Pengadilan juga meminta mereka yang bertanggung jawab dalam penyiksaan diperiksa.

Di sini akan kami kutipkan beberapa point petikan vonis pengadilan yang dibacakan oleh hakim Abdul Ghaffar Muhammad:

“Terkait dengan materi kedua secara khusus: maka yang menjadi kesimpulan kuat di fikiran dewan hakim adalah: bahwasanya hukum-hukum syari’at Islam tidak diterapkan di Republik Arab Mesir. Ini adalah fakta yang disimpulkan dari fakta pertama yaitu wajibnya menerapkan Syari’at Islam.”

Setelah itu hakim menyebutkan bukti-bukti lenyapnya syari’at dari hukum negara, diantaranya : “Adanya fenomena-fenomena di tengah masyarakat Mesir yang tidak sesuai dengan hukum-hukum Syari’at Islam yang suci, seperti klub-klub malam yang berisi berbagai kejahatan yang mengerikan dan negara memberi kemudahan untuk mengelolanya, kemudian pabrik-pabrik miras yang pendiriannya dilegalkan oleh pemerintah, tempat-tempat penjualan dan penyajian miras yang juga dilegalkan oleh negara, media-media informasi baik radio, televisi maupun cetak yang menyiarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syari’at Islam, kemudian tabarruj kaum wanita yang menyelisihi ketetapan hukum dari agama resmi negara yaitu Islam.”

Dalam butir-butir yang lain, vonis pengadilan juga menyatakan: “Sebenarnya setelah pasal 12 dari undang-undang direvisi, isinya menyatakan bahwa Islam adalah agama resmi negara, bahasa Arab adalah bahasa resmi negara dan prinsip-prinsip Syari’at Islam adalah sumber utama penetapan undang-undang. Namun demikian, sebagai bukti bahwa hukum-hukum konstitusi negara tidak bersesuaian dengan hukum-hukum syari’at Islam majelis hakim cukup merujuk pernyataan yang disampaikan saudara Umar Ahmad Abdur Rahman –di mana yang bersangkutan termasuk salah satu ulama Islam— di hadapan majelis hakim dalam sidang 3 September 1983 bahwa undang-undang negara bertentangan dengan Syari’at Islam dan tidak menjadikannya sebagai hukum, sebab pada pasal 86, 107, 108, 109, 112, 113, 189 dinyatakan bahwa majelis permusyawaratan rakyat punya hak membuat undang-undang dan memberlakukan hukum, padahal di dalam Islam hak seperti itu hanya milik Allah saja. Juga pada pasal 165 dinyatakan bahwa vonis di pengadilan yang didasarkan kepada undang-undang, cara penjatuhan vonis dan butir-butir isinya tidak bersesuaian dengan syari’at Islam.”

Dalam butir-butir putusan vonis di tempat lain juga disebutkan, ketika menjelaskan keadaan masyarakat Mesir sebelum terjadinya kasus pembunuhan Anwar Sadat : “Hilangnya syari’at Allah dari tanah Republik Arab-Mesir; majelis hakim sebelumnya sudah menunjukkan bukti-bukti yang kuat, sehingga kami kira tidak perlu diulang kembali. Tetapi majelis hakim berpendapat bahwa pejabat pembuat undang-undang tak henti-hentinya berusaha memperbaiki penerapan syari’at Islam, dan mereka sudah mulai menjalankannya sejak tahun 1979. Ini masih ditambah lagi dengan fenomena-fenomena di tengah masyarakat Mesir yang tidak sesuai sama sekali dengan pokok-pokok ajaran Islam, tidak bisa dibayangkan sebuah negara Islam tapi memberi kemudahan dibukanya tempat-tempat hiburan yang di dalamnya berbagai dosa besar dilakukan, memberi kemudahan produksi miras atau pembukaan tempat menjual dan mengkonsumsinya. Atau terus terang memerintahkan media-media informasi, baik televisi, radio dan cetak, untuk menyebarkan apa-apa yang tidak sesuai dengan syari’at Allah, atau menyiarkan wanita yang berdandan dengan pakaian yang menyelisihi apa yang digariskan oleh Islam.”

Dan presiden –dengan kapasitasnya sebagai pemegang kendali pembenaran— membenarkan penilaian ini sesuai yang tertuang dalam undang-undang pembentukan Mahkamah Keamanan Tinggi Negara (Thawari’) Presiden membenarkan bahwa dirinya:

1.    Tidak berhukum dengan hukum Islam.
2.    Bahwa undang-undang dan konstitusi berseberangan dengan syari’at Islam.
3.    Bahwa berbagai kerusakan merajalela di bawah perlindungan undang-undang.
4.    Bahwa pemerintahnya menyiksa kaum Muslimin dengan siksaan yang dahsyat.

Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011