Oleh : Dr. Ahmad Zain An Najah
Nasionalisme adalah sebuah faham yang membentuk loyalitas berdasarkan kesatuan tanah air, budaya dan suku.
Pengertian ini diperjelas kembali oleh Dr. Ali Nafi’ di dalam bukunya “Ahammiyatul Jihad”, beliau menulis : “Nasionalisme merupakan bentuk pengkultusan kepada suatu bangsa (tanah air) yang diaplikasikan dengan memberikan kecintaan dan kebencian kepada seseorang berdasarkan pengkultusan tersebut, ia berperang dan mengorbankan hartanya demi membela tanah air belaka (walaupun dalam posisi salah), yang secara otomatis akan menyebabkan lemahnya loyalitas kepada agama yang dianutnya, bahkan menjadi loyalitas tersebut bisa hilang sama sekali”. (Dr. Ali Yafi’, Ahammiyatul Jihad, hal. 411)
Lain halnya dengan Prof. Hans Kohn, pakar sejarah terkemuka abad ini, yang menyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang tumbuh dalam masyarakat dan mempunyai empat ciri :
- Kesetiaan tertinggi individu diserahkan kepada Negara kebangsaan.
- Dengan perasaan yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya.
- Perasaan yang mendalam dengan tradisi-tradisi setempat, dan
- Kesetiaan dengan pemerintah yang resmi.
(Gatra, 11 Nopember 1995, hal 76)
Perasaan ingin berkumpul dengan yang lainnya adalah sebuah fitrah yang tidak bisa dipungkiri oleh setiap orang. Karena manusia adalah makhluk ijtima’i. Islampun tidak melarang bahkan mewajibkan umatnya untuk bersatu dan berkumpul, bekerja sama di dalam menjalakan kewajibannya sehari-hari.
Tabi’at dienul Islam sendiri adalah tabi’at kebersamaan. Bahkan sebagian ajarannya tidak bisa dilaksanakan kecuali secara bersama-sama. Tapi dari segi lain, Islampun meletakkan batas-batas tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh umat manusia, karena akibatnya akan fatal.
Paham Nasionalisme akan berkembang di kalangan umat Islam, manakala batasan-batasan yang baku itu diterjang. Perasaan fanatisme golongan, mungkin sekali-kali timbul pada diri setiap orang, bersamaan dengan timbul-tenggelamnya ke-imanannya.
Munculnya faham nasionalisme berawal dari munculnya fanatik golongan, fanatik ini muncul bersamaan dengan munculnya makhluk yang bernama manusia. Mungkin fenomena tersebut belum begitu nampak pada keluarga Adam ‘alaihissalam, yang merupakan cikal bakal umat manusia. Karena jumlah keturunannya yang masih sedikit waktu itu. Walaupun begitu, isyarat akan menambah wabah “fanatik golongan” di anak keturunannya nampak jelas ketika terjadi percekcokan antara dua putra Adam yang mengakibatkan tumpahnya darah manusia pertama kali di bumi persada ini, sebagaimana yang telah digambarkan Allah di dalam surat al-Maidah ayat: 27-31.
Perselisihan antar anggota keluarga itu terulang kembali di dalam skala yang lebih besar, yaitu ketika adanya suatu usaha pembunuhan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf. Sejarah yang diabadikan Al-Quran di dalam satu surat tersebut, menggambarkan bagaimana bahaya sebuah kedengkian yang muncul dari perasaan bangga terhadap sebuah kelompok. Hanya karena berbeda ibu, mereka menyimpan kebencian yang sangat kepada saudaranya yang tidak berdosa itu. Api perselisihan di lingkungan keluarga itu akhirnya membesar dan berpindah kepada tingkat kesukuan dan kebangsaan.
Fir’aun dan bala tentaranya yang berusaha untuk memusnahkan etnis Bani Israel dari bumi Mesir adalah salah satu contoh dari drama kehidupan masyarakat yang terjebak didalam fanatik kelompok dan kesukuan. Setiap bayi laki-laki yang lahir tidak diberinya kesempatan untuk bernafas lebih lama di negara lembah Niel tersebut. Peristiwa tragedi kemanusiaan tersebut mewarnai banyak lembaran-lembaran di dalam Al Qur’an. Permusuhan itu tak kunjung padam sampai diutusnya Nabi Musa ‘alaihissalam untuk merubah pertarungan etnis tersebut menjadi pertarungan antara al haq dan al bathil.
Kefanatikan kadang-kadang membuat seseorang kehilangan akal, membabi buta, mengumbar hawa nafsu bahkan mengantarnya pada derajat kebinatangan. Sifat inilah yang akhirnya mendominasi kehidupan bangsa Arab pada masa jahiliyah. Salah satu buktinya seperti yang diungkapkan ibnu Katsir di dalam bukunya “Bidayah wa Nihayah”, tentang terjadinya peperangan antara bani Khaza’ah dan Jarhamiyin yang tak pernah kunjung padam di dalam memperebutkan ka’bah. (Ibnu Katsir, Bidayah wa Nihayah, Juz: 2, hal. 20)
Sementara itu di Yatsrib –al Madinah an Nabawiyah-, ‘Auz dan Khazraj yang merupakan dua kabilah besar tak pernah berhenti berperang. Beratus-ratus jiwa berjatuhan setiap saat, sampai datangnya Islam menyatukan mereka kembali. Allah berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Qs. Ali-‘Imran : 103)
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, bahwa ayat ini diturunkan kepada ‘Auz dan Khazraj, ketika seorang yahudi berusaha mengobarkan api kedengkian dan perpecahan antara dua kabilah tersebut, dengan mengungkit-ungkit masalah-masalah yang telah silam pada waktu jahiliyah. Tatkala berita itu sampai pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bergegaslah beliau menuju tempat bertemunya dua kelompok tersebut untuk memadamkan api perpecahan itu, sebelum berubah menjadi pertumpahan darah seraya berseru : “Apakah kalian akan mengobarkan faham Jahiliyah, padahal saya masih berada diantara kalian?”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat tersebut. (Ibnu Katsir, Tafsirul Quranul Adhim, ( Beirut, Alam al-Kutub), juz: 1, hal. 347)
Tidak menutup kemungkinan, perasaan bangga terhadap kesukuan tersebut, suatu saat akan timbul didalam kehidupan para sahabat, baik ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih berada di tengah-tengah mereka, seperti kejadian diatas maupun setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti pada peristiwa di Saqifa Bani Sa’ad, ketika terjadi klies antara Muhajirin dan Anshar di dalam menentukan khalifah pengganti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Ibnu al Araby, al Awashim minal Qawashim, hal. 56, 61)
Namun pemahaman jahiliyah tersebut cepat hilang lagi, manakala mereka diingatkan lagi kepada kebenaran. Dengan demikian nasionalisme tidak sempat berkembang di kalangan sahabat, sebuah potret masyarakat yang telah ditempa di madrasah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun sangat disayangkan sekali, keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Faham nasionalisme itu mulai berkembang lagi pada generasi sesudahnya, tepatnya sejak berakhirnya Khulafaur Rasyidin, kemudian semakin hari semakin bertambah. Dan prosentasinya memuncak pada hari ini. Penyakit inilah yang akhirnya mengantarkan pada runtuhnya daulah Umamiyah dan Daulah Abasiyah, yang di kemudian hari akan menyebabkan ambruknya khilafah Islamiyah pada abad XX.
Rahasia keruntuhan Khilafah-khilafah Islamiyah tersebut pernah ditulis Abul A’la Al Maududi di dalam bukunya “Islamul Yaum”. Tokoh pemikir Islam yang produktif tersebut mengatakan :
“Bahwa penyakit kronis ini menyebabkan hancurnya Daulah Umawiyah dan menjadi pemicu perpecahan antara kabilah-kabilah Arab waktu itu, dan karenanya pula runtuhlah pondasi Daulah Umawiyah yang berada di Andalus begitu juga yang menyebablan rontoknya wilayah Islamiysh Haidar Abad di India.” (Abul A’la Al Maududi, Islamul Yaum, hal 35)
Berhala Modern Itu Bernama Nasionalisme
Ada sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa suatu masyarakat sengaja menjadikan ”berhala” tertentu sebagai perekat hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Sedemikian rupa ”berhala” itu diagungkan sehingga para anggota masyarakat yang ”menyembahnya” merasakan tumbuhnya semacam ”kasih-sayang” di antara mereka satu sama lain. Suatu bentuk kasih-sayang yang bersifat artifisial dan temporer. Ia bukan kasih-sayang yang sejati apalagi abadi. Gambaran mengenai berhala pencipta kasih-sayang palsu ini dijelaskan berkenaan dengan kisah Nabiyullah Ibrahim ’alaihis-salam.
“Dan berkata Ibrahim : “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS Al-Ankabut : 25)
“Berhala-berhala” di zaman dahulu adalah berupa patung-patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya mereka yang sama-sama menyembah berhala patung itu padahal berhala itu merupakan produk bikinan manusia. Di zaman modern sekarang “berhala” bisa berupa aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia. Manusia di zaman sekarang juga “menyembah” berhala-berhala modern tersebut dan mereka menjadikannya sebagai “pemersatu” diantara aneka individu dan kelompok di dalam masyarakat. Berhala modern itu menciptakan semacam persatuan dan kasih-sayang yang berlaku sebatas kehidupan mereka di dunia saja. Berhala modern itu bisa memiliki nama yang beraneka-ragam. Tapi apapun namanya, satu hal yang pasti bahwa ia semua merupakan produk fikiran terbatas manusia. Ia bisa bernama Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme, Nasionalisme atau apapun selain itu.
Semenjak runtuhnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ummat Islam 85 tahun yang lalu bangsa-bangsa Muslim di segenap penjuru dunia mulai menjalani kehidupan social berlandaskan sebuah faham yang sesungguhnya asing bagi mereka. Faham itu bernama Nasionalisme.
Ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak dan menaungi kehidupan sosial ummat, mereka menghayati bahwa hanya aqidah Islam Laa ilaha illa Allah sajalah yang mempersatukan mereka satu sama lain. Hanya aqidah inilah yang menyebabkan meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Dan yang lebih penting lagi bahwa ikatan persatuan dan kesatuan yang mereka jalin menembus batas dimensi waktu sehingga tidak hanya berlaku selagi mereka masih di dunia semata, melainkan jauh sampai kehidupan di akhirat kelak. Mengapa? Karena ikatan mereka berlandaskan perlombaan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup lagi Maha Abadi.
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf : 67)
Orang-orang beriman tidak ingin menjalin pertemanan yang sebatas akrab di dunia namun di akhirat kemudian menjadi musuh satu sama lain. Oleh karenanya, mereka tidak akan pernah mau mengorbankan aqidahnya yang mereka yakini akan menimbulkan kasih-sayang hakiki dan abadi. Sesaatpun mereka tidak akan mau menggadaikan aqidahnya dengan faham atau ideologi selainnya. Sebab aqidah Islam merupakan pemersatu yang datang dan dijamin oleh Penciptanya pasti akan mewujudkan kehidupan berjamaah sejati dan tidak bakal mengantarkan kepada perpecahan dan bercerai-berainya jamaah tersebut.
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dalam jamaah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali-‘Imran : 103)
Sewaktu ummat Islam hidup di bawah naungan Syari’at Allah dalam tatanan Khilafah Islamiyyah mereka tidak mengenal bentuk ikatan kehidupan sosial selain Al-Islam. Mereka tidak pernah membangga-banggakan perbedaan suku dan bangsa satu sama lain. Betapapun realitas suku dan bangsa memang tetap wujud, tetapi ia tidak pernah mengalahkan kuatnya ikatan aqidah di dalam masyarakat.
Sedangkan setelah masing-masing negeri kaum muslimin mengikuti jejak langkah Republik Turki Modern Sekuler, maka mulailah mereka mengekor kepada dunia barat yang hidup dengan membanggakan Nasionalisme masing-masing bangsa. Padahal bangsa-bangsa Barat tidak pernah benar-benar berhasil membangun soliditas sosial melalui man-made ideology tersebut.
Akhirnya bangsa-bangsa Muslim mulai sibuk mencari-cari identitas Nasionalisme-nya masing-masing. Mulailah orang Indonesia lebih bangga dengan ke-Indonesiaannya daripada ke-Islamannya. Bangsa Mesir bangga dengan ke-Mesirannya. Bangsa Saudi bangga dengan ke-Saudiannya. Bangsa Turki bangga dengan ke-Turkiannya. Lalu perlahan tapi pasti kebanggaan akan Islam sebagai perekat hakiki dan abadi kian tahun kian meluntur.
Sehingga di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an Asy-Syahid Sayyid Qutb rahimahullah menulis komentar mengenai surah Al-Ankabut ayat 25 di atas sebagai berikut :
“Ia (Ibrahim) ’alaihis-salam berkata kepada mereka (kaumnya), “Kalian menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah,” yang kalian lakukan bukan karena kalian mempercayai dan meyakini berhaknya berhala-berhala itu untuk disembah. Namun, itu kalian lakukan karena basa-basi kalian satu sama lain, dan karena keinginan untuk menjaga hubungan baik kalian satu sama lain, untuk menyembah berhala ini. Sehingga, seorang teman tak ingin meninggalkan sesembahan temannya (ketika kebenaran tampak baginya) semata karena untuk menjaga hubungan baik di antara mereka, dengan mengorbankan kebenaran dan akidah!”.
Hal ini terjadi di tengah masyarakat yang tak menjadikan akidah dengan serius. Sehingga, mereka saling berusaha menyenangkan temannya dengan mengorbankan akidahnya, dan melihat masalah akidah itu sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan jika ia harus kehilangan teman! Ini adalah keseriusan yang benar-benar serius. Keseriusan yang tak menerima peremehan, santai, atau basa-basi.
Kemudian Ibrahim’alaihis-salam menyingkapkan kepada mereka lembaran mereka di akhirat. Hubungan sesama teman yang mereka amat takut jika terganggu karena akidah, dan yang membuat mereka terpaksa menyembah berhala karena untuk menjaga hubungan itu, ternyata di akhirat menjadi permusuhan, saling kecam, dan perpecahan.
“…Kemudian di hari Kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain)…”
Hari ketika para pengikut mengingkari orang-orang yang diikutinya, orang-orang yang dibeking mengkafirkan orang-orang yang membekingnya, setiap kelompok menuduh temannya sebagai pihak yang menyesatkannya, dan setiap orang yang sesat melaknat teman yang menyesatkannya!
Kemudian kekafiran dan saling melaknat itu tak bermanfaat sama sekali, serta tak dapat menghalangi azab bagi siapapun.
“…Dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”
Mereka (kaumnya Nabi Ibrahim ’alaihis-salam) pernah menggunakan api untuk membakar Ibrahim ’alaihis-salam, tapi Allah kemudian membela dan menyelamatkan Ibrahim ’alaihis-salam dari api itu. Sementara mereka tak ada yang dapat menolong mereka dan tak ada keselamatan bagi mereka!
Saudaraku, marilah kita tinggalkan segala bentuk “berhala modern” yang sadar ataupun tidak selama ini kita “sembah”. Kita jadikan faham selain Islam sebagai sebuah perekat antara satu sama lain, padahal persatuan dan kasih-sayang yang dihasilkannya hanya bersifat fatamorgana. Marilah hanya AL-ISLAM yang kita jadikan “faktor pemersatu” yang pasti terjamin akan mempersatukan kita di dunia dan di akhirat. Al-Islam bukan produk manusia melainkan produk Allah Yg Maha Tahu dan Maha Sempurna pengetahuannya.
Sedemikian hebatnya pengaruh Nasionalisme sehingga sebagian orang yang mengaku berjuang untuk kepentingan ummat-pun takluk di bawah ideologi buatan manusia yang satu ini. Betapa ironisnya perjuangan para politisi Islam tatkala mereka rela untuk menunjukkan inkonsistensi-nya di hadapan seluruh ummat demi meraih penerimaan dari fihak lain yang jelas-jelas mengusung Nasionalisme. Seolah kelompok yang mengusung ideologi Islam harus siap mengorbankan apapun demi mendapatkan keridhaan kelompok yang mengusung Nasionalisme. Seolah memelihara persatuan dan soliditas berlandaskan Nasionalisme jauh lebih penting dan utama daripada mewujudkan al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) berlandaskan aqidah Islam.
Sedemikian dalamnya faham Nasionalisme telah merasuk ke dalam hati sebagian orang yang mengaku memperjuangkan aspirasi politik Islam sehingga rela mengatakan bahwa ”Isu penegakkan Syariat Islam merupakan isu yang sudah usang dan tidak relevan.” Tidakkah para politisi ini menyadari bahwa ucapan mereka seperti ini bisa menyebabkan rontoknya eksistensi Syahadatain di dalam dirinya? Dengan kata lain ucapannya telah mengundang virus ke-murtad-an kepada si pengucapnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.
Sebagian orang berdalih bahwa jika kita mengusung syiar ”Penegakkan Syari’at Islam” lalu bagaimana dengan nasib orang-orang di luar Islam? Saudaraku, disinilah tugas kita orang-orang beriman untuk mempromosikan Islam sebagai “faktor pemersatu” yg bersifat Rahmatan lil ‘aalamiin. Tidakkah terasa aneh bila “mereka” bisa dan boleh dibiarkan mendikte aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia kepada kita umat Islam, sedangkan kita umat Islam tidak mampu –bahkan kadang tidak mau- mempromosikan (baca: berda’wah) menyebarluaskan ajaran Allah kepada “mereka”? Wallahua’lam.-
“Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu”. (QS. Ali-‘Imran : 73)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar