Sabtu, 28 Januari 2012

Jawaban Atas Pertanyaan Seputar Aksi Yang Disebut Dengan Aksi Bunuh Diri Atau Yang Disebut Sebagian Orang Dengan Aksi Mati Syahid

Oleh : Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi

Mengenai bunuh diri, hukumnya tidak ada seorangpun yang tidak mengetahuinya. Dan bunuh diri ini adalah merupakan salah satu dari dosa-dosa besar yang Allah ancam pelakunya dengan ancaman yang keras.

Al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

Barang siapa mengenakan tali lalu bunuh diri (dengan tali itu) maka dia akan masuk naar (neraka) jahannam, di sana dia akan mengenakan tali tersebut kekal selama-lamanya. Dan barang siapa meminum racum, lalu dia bunuh diri dengan (racun tersebut), maka ia akan minum racun itu dengan tangannya di naar (neraka) jahannam kekal selama-lamanya”.

Dan Al Jamaa’ah (Al-Bukhari, Muslim,  At Tirmidziy, Abu Dawud, Ibnu Maajah dan An Nasaa-i) meriwayatkan dari Tsaabit bin Adl Dlahaak ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barang siapa bunuh diri dengan sesuatu, ia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari qiyamat”.

Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berjumpa dengan orang-orang musyrik lalu mereka saling membunuh. Kemudian tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali kepada pasukan beliau, dan yang lain (orang-orang musyrik) kembali ke pasukan mereka, sedangkan di antara sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ada seseorang yang tidak membiarkan orang dari kalangan musuh yang Asy Syaadz ataupun al Faadz  kecuali ia kejar dan ia tebas dengan pedang. Lalu ada seseorang yang mengatakan : Pada hari ini tidak ada seorangpun di antara kita yang keberaniannya melebihi keberanian si fulan. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Adapun orang tersebut, dia adalah termasuk penghuni naar (neraka)”.

Maka ada seseorang yang berkata : “Saya adalah kawannya”. Ia (rawi hadits yaitu Sahl bin Sa’ad) mengatakan: Ia (kawannya tersebut) keluar bersama si fulan tersebut, setiap kali si fulan itu berhanti iapun berhenti bersamanya, dan jika si fulan itu bergerak cepat iapun bergerak cepat bersamanya, ia mengatakan : “Kemudian si fulan itu terluka parah, lalu ia mempercepat kematiannya, ia letakkan pedangnya di tanah lalu ia mengarahkan pedangnya tersebut di antara dada kanan dan dada kirinya, lalu dia menekankan dirinya di atas pedangnya, maka iapun bunuh diri”. Didalam hadits tersebut disebutkan bahwasanya tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar kematian si fulan itu, beliau bersabda :

Sesungguhnya ada orang yang menurut pandangan manusia dia benar-benar beramal dengan amalan penghuni jannah (syurga) padahal dia adalah penghuni naar (neraka), dan sesungguhnya ada orang yang menurut pandangan manusia ia benar-benar beramal dengan amalan penghuni naar (neraka) padahal dia adalah penghuni jannah (syurga)”.

Juga di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan secara marfuu’:

“Dahulu ada seseorang sebelum kalian yang terluka, lalu dia tidak sabar (putus asa) maka iapun mengambil sebuah pisau lalu dia potong tangannya dengan pisau tersebut, lalu darahnya terus mengalir sampai dia mati, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : HambaKu mendahuluiku, maka Aku haramkan jannah (syurga) baginya”.

Dan hadits-hadits yang senada dengan ini banyak …

Hadits-hadits tersebut mengandung ancaman yang keras bagi orang yang melakukan bunuh diri dan bahwasanya tindakan tersebut merupakan perbuatan haram, bahkan merupakan dosa besar. Dan sebagian dari hadits-hadits tersebut menyebutkan bahwa pelaku bunuh diri akan kekal di naar (neraka) jahannam selama-lamanya. Dan sebagian lagi menyebutkan bahwasanya orang yang melakukan bunuh diri telah diharamkan masuk jannah (syurga). Namun telah kita ketahui bersama bahwasanya Ahlus Sunnah mengecualikan orang-orang yang bertauhid dari ungkapan-ungkapan yang umum semacam ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni orang yang menyekutukanNya dan Dia akan mengampuni selain itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki”. (Qs. An-Nisaa’: 117)

Dan juga berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jaabir, mengenai Ath Thufail bin ‘Amr Ad Duusiy yang memotong ruas jarinya sehingga dia mati, kemudian Allah mengampuninya lantaran hijrah yang ia lakukan, dan hadits ini akan kami sebutkan.

Sedangkan lafadh hadits yang  berbunyi : “Kekal di naar (nerakan) jahannam selama-lamanya”, pada hadits yang pertama, dan juga di dalam hadits lainnya yang berbunyi : “Aku telah haramkan jannah (surga) kepadanya”, penafsirannya adalah bahwasanya hal itu bagi orang yang menghalalkan tindakan bunuh diri, atau melakukannya lantaran putus asa dari rahmat Allah dan tidak bisa menerima taqdir-Nya, karena orang yang semacam ini telah kafir dan akan kekal di naar (neraka) jahannam.

“Sesungguhnya tidak ada yang putus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang kafir”. (Qs. Yusuf : 87)

Dari sini dapat kita pahami bahwasanya di sana ada perbedaan yang tidak boleh diabaikan bagi orang yang mau menimbang dengan timbangan kebenaran dan tidak mau berbuat curang, antara orang yang bunuh diri lantaran putus asa dari rahmat Allah atau lantaran tidak menerima taqdir-Nya atau lantaran tidak sabar menanggung luka atau penyakit yang dideritanya atau yang lainnya, dengan permasalahan yang ditanyakan di sini, yaitu orang-orang yang meledakkan diri dengan bahan peledak dalam rangka untuk memberikan pukulan yang besar kepada musuh-musuh Allah.

Dan perbedaan ini sangatlah jelas dan terang bagi kami yang kami ketahui dan kami akui…

Jika mereka yang melakukan aksi seperti ini adalah orang-orang yang bertauhid, dan berperang di jalan Allah, dan di bawah bendera Islam, bukan di bawah bendera golongan atau jahiliyah, maka kami berlindung kepada Allah untuk menganggap amalan mereka ini sebagai amalan yang tidak benar, atau menyamakan mereka dengan orang yang bunuh diri lantaran putus asa dari rahmat Allah atau lantaran tidak sabar terhadap luka yang dideritanya atau lantaran yang lain, sehingga kami menganggap mereka kekal di naar (neraka) jahannam atau telah diharamkan untuk masuk jannah (surga.

Karena sesungguhnya rahmat Allah terhadap hamba-hambaNya yang bertauhid itu sangatlah luas, dan Dia adalah yang Maha adil dari orang-orang yang paling adil, yang tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang berbuat baik dan tidak akan mengurangi amal shalih yang dikerjakan orang-orang beriman secara ikhlas. Karena Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits di dalam kitab Shahiih nya, dari Jaabir Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Ath Thufail bin ‘Amr Ad Duusiy telah berhijrah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah bersama seseorang dari kaumnya, namun ia tidak cocok dengan udara di Madinah sehingga ia sakit dan tidak sabar dengan penyakitnya. Kemudian ia mengambil anak panahnya yang bermata lebar lalu ia potong ruas jarinya sehingga kedua tangannya mengeluarkan darah sampai ia mati. Kemudian Ath Thufail bin ‘Amr bermimpi melihatnya dalam keadaan baik, dan Ath Thufail melihatnya menutupi kedua tangannya. Maka Ath Thufail pun bertanya kepadanya : “Apa yang dilakukan oleh Rabb (tuhan) mu kepadamu?”. Maka ia menjawab : “Dia mengampuni dosaku lantaran aku berhijrah menuju RasulNya Shallallahu ‘alaihi wasallam”. Lalu Ath Thufail bertanya lagi : “Kenapa kulihat engkau menutupi kedua tanganmu?”. Ia menjawab : “Telah dikatakan kepadaku ; Kami tidak akan memperbaiki apa yang telah kau rusak”. Maka Ath Thufail pun menceritakan mimpinya tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda : “Ya Allah ampunilah juga kedua tangannya”.

An Nawawiy Rahimahullah mengatakan : “Hadits ini merupakan dasar dari kaidah agung yang dianut oleh Ahlus Sunnah yaitu bahwasanya barangsiapa bunuh diri, atau berbuat maksiat, lalu ia mati dan belum bertaubat maka ia bukanlah orang yang kafir dan ia tidak bisa dipastikan akan masuk naar (neraka) akan tetapi nasibnya terserah kepada kehendak Allah.”

Abu Muhammad Al Maqdisiy (penulis jawaban atas pertanyaan ini sendiri, -pentj.) -semoga Allah mengampuninya- : Dan hal ini tidak rancu dengan adanya ancaman keras yang terdapat di dalam hadits-hadits di depan, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu berhak untuk mengampuni hamba-hambaNya yang bertauhid yang berbuat baik, dan untuk tidak melaksanakan ancamanNya kepada mereka. Dan ini adalah termasuk dari bentuk kemuliaan dan kebaikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi Allah tidak akan mengingkari janjinya (untuk memberi pahala) kepada mereka (kepada orang yang berbuat baik). Dan kita dapat fahami bersama perbedaan antara tidak menepati janji (yang baik) dengan tidak melaksanakan ancaman.

Akan tetapi kami memberikan kritikan sebagai berikut : Sesungguhnya meskipun para pelaku aksi-aksi semacam ini tidak sama dengan orang-orang yang bunuh lantaran tidak ada harapan lagi untuk hidup atau lantaran tidak bisa menerima taqdir Allah dan tidak sabar dengan luka yang dideritanya, ketidaksamaan semacam ini saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan aksi-aksi dalam bentuk semacam ini, atau untuk pembenaran secara syar’i karena meskipun aksi-aksi semacam ini tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang diancam di dalam nash-nash yang mencela dan mengancam orang yang mendahului kematian lantaran putus asa atau lantaran pedihnya luka yang dideritanya, namun sesungguhnya aksi-aksi semacam ini tidak keluar dari keumuman nash yang mencela dan mengancam dengan keras orang yang melakukan bunuh diri, yang di antaranya adalah hadits yang telah disebutkan di depan, yang berbunyi :

“Barangsiapa melakukan bunuh diri dengan sesuatu ia akan disiksa dengan sesuatu tersebut pada hari qiyamat”.

Dan hadits ini dengan hadits-hadits lain yang senada dengan hadits ini adalah sama dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih kepada kalian. Dan barang siapa melakukan hal itu secara melampaui batas dan dhalim maka kelak Kami akan masukkan dia ke dalam naar (neraka), dan hal itu bagi Allah adalah sesuatu mudah”. (Qs. An Nisaa’: 29-30)

Ibnu Katsiir Rahimahullah mengatakan : “Maksudnya: “Barangsiapa melakukan apa yang dilarang oleh Allah secara melampaui batas, dan melakukannya dengan cara yang dhalim”, maksudnya adalah ia mengetahui bahwa yang ia lakukan itu haram namun ia tetap menerjangnya. “Maka kelak akanKami masukkan dia ke naar (neraka)”, dan ini adalah merupakan ancaman yang sangat keras, maka hendaknya setiap orang yang berakal yang dapat mendengar dan menyaksikan agar mewaspadai hal ini.”

Dan yang senada dengan ini juga adalah keumuman firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbunyi :

“Dan janganlah kalian bunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar”. (Qs. Al-Isra’ : 33)

Ayat ini terdapat di dalam dua tempat di dalam Al Qur’an. Dan begitu pula konteks yang bersifat umum yang terdapat di dalam hadits-hadits yang melarang untuk membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, seperti hadits yang berbunyi :

“Jauhilah tujuh kemaksiatan yang membinasakan”. Beliau ditanya : “Wahai Rasulullah, Apakah itu?”. Beliau menjawab : “Menyekutukan Allah, sihir dan membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar”. (Al Hadits)

Dan yang senada juga dengan ini adalah hadits Nabi ketika haji wada’ :

“Ketahuilah, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram bagi kalian sebagaimana haramnya hari ini, pada bulan ini dan di dalam negeri ini. Bukankah telah aku sampaikan? ya Allah saksikanlah”.

Abu Muhammad Al Maqdisi -semoga Allah mengampuninya- mengatakan : Ini semua adalah nash-nash yang bersifat umum dan qath’i yang menunjukkan atas haramnya membunuh jiwa yang dilarang untuk dibunuh. Dan sama sekali tidak dihalalkan atau diperbolehkan untuk mengecualikan sesuatu dari nash-nash yang bersifat umum tersebut kecuali sesuatu yang memang dikecualikan oleh syari’at.

Sedangkan orang-orang yang melakukan aksi-aksi semacam ini, mereka mengaku telah lama mempelajari dan merenungkan nash-nash semacam ini sebelum memberikan fatwa semacam ini atau sebelum melakukannya, karena menurut kaum muslimin tujuan itu tidak dapat menghalalkan segala cara. Karena kita bukanlah Mukafiliyyuun, dan hendaknya sarana yang digunakan itu adalah sarana yang syar’i sebagaimana tujuannya. Dan hendaknya mereka mengetahui bahwasanya pendapat yang benar itu bukanlah pendapat yang paling keras akan tetapi adalah pendapat yang benar adalah pendapat yang paling sesuai dengan dalil. Dan hendaknya mereka ingat bahwasanya seseorang itu tidak mempunyai tujuh nyawa sehingga ia dapat mencoba di sini dan mencoba di sana, akan tetapi ia hanya mempunyai satu nyawa sehingga hendaknya dia berusaha agar dapat mengorbankannya untuk taat kepada Allah dan untuk mendapatkan ridha-Nya berdasarkan penjelasan dan perintahNya.

Dan sangat disayangkan sekali saya belum mendapatkan adanya kajian ilmiah yang lurus dan mencukupi yang dilakukan oleh orang yang melakukan aksi-aksi tersebut. Sebagian besar melakukan tersebut atas dasar emosional dan semangat tanpa memperhatikan dalil syar’i. Lain halnya dengan ikhwan-ikhwan di Mesir dan Al Jazair, sesungguhnya dalam masalah ini mereka memiliki berbagai fatwa dan kajian sehingga engkau dapatkan mereka jarang melakukan aksi semacam ini namun demikian mereka dapat memberikan pukulan kepada musuh yang terkadang lebih keras dan lebih banyak dari pada orang-orang yang melakukan aksi-aksi tersebut.

Karena sesungguhnya teknologi modern telah banyak membantu mereka dalam menjaga darah saudara-saudara setauhid mereka, dan dalam meraih kemaslahatan dan kekuatan yang sangat besar yang memungkinkan untuk diraih. Disana ada jam timer (stopwatch), perangkap-perangkap yang mengecoh (bobby trap),  ranjau yang mematikan, tombol, detonator elektri, pena timer, remote control, sel photo dan sarana-sarana lainnya, yang merupakan peralatan yang tidak asing lagi bagi orang-orang yang melakukan aksi-aksi semacam ini. Dan hal ini akan dapat menjadikan seorang mufti yang memahami bahayanya fatwa yang merupakan pengesahan dari Allah, ia akan berfikir lebih lama lagi sebelum mengatakan bolehnya melakukan aksi-aksi tersebut yang di dalamnya seorang muslim membunuh dirinya sendiri tanpa adanya dharuurah haqiiqiyyah (benar-benar ada kebutuhan yang mendesak), karena sarana-sarana semacam ini dapat memperluas bentuk operasi bagi mujahidin.

Dan selama di sana masih ada cara untuk menjaga darah (nyawa) orang-orang yang bertauhid maka cara itu wajib untuk ditempuh, karena sesungguhnya ikhwan-ikhwan mujahidin kita di berbagai belahan bumi yang mempunyai pemahaman, mereka menggunakan paket, surat, koper, mobil yang mereka penuhi dengan bahan peledak, dan lain-lain dalam melakukan aksi, dan mereka dapat memukul musuh-musuh Allah dengan pukulan yang paling keras, dengan menanggung kerugian yang paling sedikit pada barisan orang-orang yang bertauhid. Dan bukan berarti mati syahid itu adalah kerugian, akan tetapi kerugian yang hakiki itu adalah pada tindakan yang menyelisihi hukum syar’i dan kematian yang tidak berdasarkan alasan yang jelas.

Dan kami selalu mengatakan bahwasanya seorang ikhwan yang telah sampai kepada tingkatan tarbiyah dan i'dad yang sudah jauh semacam ini, sebenarnya dia adalah permata yang sulit didapatkan pada zaman sekarang ini, sehingga tidak sepantasnya bagi seorang pemimpin jika dia berakal, mengorbankannya untuk membunuh dua atau tiga orang yang sepele atau sekitar itu dari kalangan orang-orang musyrik dan bala tentara mereka, yang sebenarnya dapat dihabisi dengan selain cara semacam ini. Yang masih memungkinkan untuk dibunuh dengan menggunakan senapan atau pistol atau granat atau mobil yang telah diisi dengan bahan peledak tanpa harus mengorbankan jiwa. Lalu dalil syar’i mana yang membolehkan untuk melakukan bunuh diri ??

Demikianlah, namun sebagian orang yang tergesa-gesa yang tidak memahami tata cara pengambilan kesimpulan dari dalil, dan yang tidak memiliki sarana untuk melakukannya, mereka berdalil dengan dalil yang sebenarnya tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah ini. Mereka menyitir firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memuji orang-orang beriman, yang berbunyi :

“Mereka berperang di jalan Allah sehingga mereka membunuh dan dibunuh”. (Qs. At-Taubah : 111)

Dan mereka menyebutkan kisah seseorang yang menerobos ke dalam barisan musuh sendirian, dan juga kisah seorang sahabat yang meminta para sahabatnya agar mengangkat dirinya di atas perisai lalu melemparkan dirinya ke dalam benteng orang-orang kafir supaya dia dapat membukakan pintu untuk kaum muslimin, dan juga hadits Aslam bin Abi ‘Imran, ia mengatakan : “Di Kontantinopel ada seseorang dari kalangan muhajirin yang menyerang barisan musuh sehingga ia dapat mencerai-beraikannya, dan ketika itu kami bersama Abu Ayyuub Al Anshari. Lalu orang-orang pada mengatakan : Ia telah menceburkan diri ke dalam kebinasaan, yang mereka maksudkan adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbunyi :

“Dan berinfaklah kalian di jalan Allah dan janganlah kalian ceburkan diri kalian ke dalam kehancuran, dan berbuatbaiklah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (Qs. Al-Baqarah : 195)

Maka Abu Ayyuub mengatakan : “Sesungguhnya kalian menafsifkan ayat tersebut seperti ini, yaitu seseorang yang menyerang musuh untuk mencari mati syahid atau mengorbankan dirinya sendiri, kami lebih tahu dengan ayat ini karena sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan diri kami.” Lalu ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kehancuran di sini adalah berdiam diri di tengah-tengah keluarga dan harta, lalu meninggalkan jihad. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidziy dan yang lainnya.

Dan senada dengan itu juga hadits yang diriwayatkan oleh Al Haakim dari Abu Ishaaq As Subai’iy, bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Al Barra’ bin ‘Aazib : “Jika aku menyerang musuh sendirian lalu mereka membunuhku, apakah dengan demikian aku telah mencampakkan diri kedalam kebinasaan?”. Maka Barra’ bin ‘Aazib menjawab : “Allah telah berfirman kepada RasulNya :

“Dan berperanglah kamu di jalan Allah karena kamu tidak dibebani kewajiban kecuali dirimu sendiri”. (Qs. An-Nisaa’: 84)

Sesungguhnya ayat tersebut (yaitu ayat yang melarang untuk menceburkan diri ke dalam kehancuran) adalah berkenaan dengan infaq.” Dan di dalam riwayat At Tirmidziy disebutkan : “akan tetapi yang dimaksud dengan menceburkan diri ke dalam kehancuran itu adalah orang yang melakukan dosa lalu dia tidak bertaubat.” Mereka juga mencantumkan dalam dalil-dalil mereka, hadits yang berbunyi :

“Penghulunya para syuhada’ adalah Hamzah dan orang yang mendatangi seorang penguasa yang dhalim, lalu ia melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepadanya, sehingga ia dibunuh oleh penguasa tersebut”.

Dan inilah inti dari dalil-dalil yang mereka gunakan, namun semuanya tidak dapat dijadikan dalil untuk permasalahan yang kita perselisihkan ini. Adapun mengenai firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbunyi :

“maka mereka membunuh dan dibunuh”.

Mereka merasa senang dengan firman Allah SWT yang berbunyi : “dan mereka dibunuh”,  huruf yaa’nya dibaca dhammah, padahal kata-kata ini tidak menunjukkan secara jelas bahwasanya yang dimaksud adalah membunuh dirinya sendiri akan tetapi yang dimaksud adalah dibunuh oleh musuh-musuh Allah. Kalaupun seandainya menunjukkan pengertian seperti itu, itu adalah penunjukkan yang lemah, dhanniyyah (bersifat perkiraan) dan muhtamilah (bersifat kemungkinan). Seharusnya mereka berhujjah dengan firman Allah yang sebelumnya, yang berbunyi : “maka mereka membunuh”, huruf yaa’nya dibaca fathah.

Kemudian hendaknya mereka mengatakan : Ini bersifat umum, baik membunuh mereka (musuh) maupun membunuh diri sendir. Cara pengambilan dalil semacam ini adalah cara yang digunakan oleh orang-orang yang sudah mentok, sehingga ketika mereka sudah tidak mendapatkan dalil yang qath’i dan jelas, akhirnya merekapun berdalil dengan dalil yang lemah semacam ini. Karena kebanyakan apa yang mereka katakan mengenai dalil ini -dengan penuh toleransi dan kelonggaran kepada mereka- adalah dalil yang muhtamil (bersifat kemungkinan), dan ini dibatasi dengan nash-nash yang qath’i dan sharih yang telah disebutkan di depan yang menyatakan haramnya membunuh diri sendiri, padahal nash yang zhanni (bersifat perkiraan) dan muhtamilud dalaalah (bersifat kemungkinan) tidak boleh dipertentangkan dengan nash-nash yang qath’i dan jelas.

Selain itu, sesungguhnya dalil itu apabila mengandung kemungkinan, maka tidak bisa dijadikan dalil, karena untuk memastikan hal yang masih mengandung kemungkinan itu membutuhkan dalil yang jelas, apapun penafsiran mereka terhadap ayat ini adalah termasuk sesuatu yang mutasyaabbih (samar) sehingga harus dikembalikan kepada nash-nash yang muhkam (pasti) dan jelas, yang mengharamkan membunuh diri sendiri, wallahu a’lam.

Adapun mengenai kisah orang yang dilemparkan ke dalam benteng, untuk berdalil dengan kisah ini terlebih dahulu haruslah, pertama : Harus dipastikan keshahihannya, sebagaimana dikatakan dalam kata pepatah : “Kokohkanlah dulu tiangnya baru kamu ukir.” Artinya : pastikan bahwa dalil tersebut adalah dalil yang shahih kemudian baru menggunakannya sebagai dalil, karena sesungguhnya mengukir itu tidak dibenarkan sebelum mengokohkan tiangnya.  Kemudian jika mereka telah membawakannya dengan sanad yang shahih, maka kami katakana : Ini adalah perbuatan shahaabiy (seorang sahabat), dan kita sudah pahami bersama bahwasanya perbuatan sahabat itu tidak bisa dijadikan dalil di dalam masalah yang diperselisihkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang suatu masalah, kembalikanlah perselisihan itu kepada Allah dan Rasul”. (Qs. An-Nisaa’ : 59)

Dan Allah tidak mengatakan : “kembalikanlah kepada para sahabat”.

Menjadikan perbuatan mereka sebagai pertimbangan adalah sebuah permasalahan, sedangkan menjadikan perbuatan mereka sebagai dalil syar’i dalam perselisihan adalah permasalahan yang lain lagi. Lalu bagaimana jika perbuatan tersebut bertentangan dengan nash-nash yang qath’iyyatuts tsubuut (shahih) dan qath’iyyatud dalaalah (maksudnya jelas) seperti nash-nash yang disebutkan di depan yang melarang membunuh diri sendiri.

Hal ini jika diasumsikan bahwa perbuatan yang dilakukan sahabat tersebut adalah membunuh dirinya sendiri, namun kami tidak menerima pendapat tersebut. Jika mereka mengatakan bahwasanya ini merupakan ijma’ sukuutiy para sahabat, maka kami katakana : Bagaimana kalian bisa membuktikan bahwa hal ini adalah ijma’ sukuutiy, dan selain itu kita juga telah ketahui bersama bahwasanya ijmaa’ sukuutiy itu adalah dalil yang lemah dan dhanniyyah (bersifat kemungkinan) yang di dalamnya terdapat perselisihan yang besar. Lalu bagaimana jika ijmaa’ yang disangkakan ini bertentangan dengan nash-nash yang qath’i dan shahih??

Kemudian bagi orang-orang yang menggunakan ijma’, mereka menyatakan bahwa ijma’ itu harus ada landasan syar’i-nya, yang mana landasan tersebutlah yang dijadikan hujjah dan bukan yang lainnya. Dan landasan syar’i yang shahih tersebut adalah dalil yang masih senantiasa kami tuntut dari kalian dan yang kalian butuhkan.

Kemudian yang terakhir kami katakan kepada mereka bahwasanya kisah yang kalian jadikan hujjah tersebut adalah menerangkan bahwa sahabat tersebut tidak bertujuan untuk membunuh dirinya sendiri, akan tetapi ia bertujuan untuk membukakan pintu benteng untuk kaum muslimin. Sedangkan apa yang mereka katakan bahwasanya besar kemungkinannya untuk mati, ini bukanlah yang kita perselisihkan, karena banyak dalil yang menunjukkan atas bolehnya melakukan peperangan yang secara perkiraan besar kemungkinan untuk mati syahid, sebagaimana hadits yang meriwayatkan tentang Abu Ayyuub dan Al Barra’ yang telah disebutkan di depan, akan tetapi yang kita perselisihkan adalah pada membunuh diri sendiri dengan perbuatan orang itu sendiri secara sengaja.

Adapun hadits yang meriwayatkan tentang Abu Ayyuub dan Al Barra’, kedua hadits tersebut adalah sebagaimana yang telah kami katakan, hanyalah bisa dijadikan dalil untuk memberi motifasi jihad, maju dan berperang mati-matian melawan orang-orang kafir, serta menunjukkan kekuatan, keberanian dan keperkasaan di hadapan mereka. Dan kedua hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan bolehnya seorang muslim membunuh dirinya dengan tangannya sendiri, karena pada intinya hadits tersebut menunjukan bahwa ia mengorbankan dirinya untuk memerangi sebuah kelompok atau untuk mengingkari kemungkaran yang besar sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang berbunyi : “Penghulunya para syuhadaa’”. Maka menurut perkiraan, kemungkinan besar dia akan terbunuh di sana, dan bukan dipastikan, dan seandainya dipastikanpun hal ini tidak sama dengan kasus yang kita persoalkan ini, sehingga mencampur adukkan keduanya adalah sebuah tindakan yang melampaui ketentuan Allah dan mencampur adukkan antara yang haq dan yang batil. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman :

“Dan janganlah kalian mencampur adukkan antara yang haq dengan yang batil, dan jangan pula kalian menyembunyikan yang haq sedangkan kalian mengetahuinya”. (Qs. Al-Baqarah : 42)

Sedangkan nash-nash yang disebutkan di depan adalah jelas dan qath’i menunjukkan atas haramnya membunuh diri sendiri. Dan keyakinan semacam ini tidak dapat dihilangkan dengan berlandaskan dalil-dalil yang lemah dan samar semacam ini. Oleh karena itu bagi orang yang meneliti perkataan para ulama’ dalam permasalahan ini ia akan mendapatkan bahwasanya para ulama’ bersikap keras dan berhati-hati dalam masalah ini. Dan mereka tidak memberikan fatwa berdasarkan semangat atau takut terhadap lidah orang-orang yang tidak sependapat dan murjifiin (orang-orang yang suka menyebar kata-kata yang menakutkan), akan tetapi mereka memberikan fatwa sesuai dengan apa yang mereka yakini sesuai dengan dalil syar’i :

“Mereka menyampaikan risalah Allah dan mereka takut kepadaNya, dan mereka tidak takut kepada seorangpun kecuali Allah”. (Qs. Al Ahzaab : 39)

Ibnu Qudaamah di dalam Al Mughniy, Kitaabul Jihaad (VIII/378) mengatakan : “(Pasal) Dan apabila orang-orang kafir melemparkan api ke dalam perahu yang di dalamnya terdapat orang-orang Islam, lalu api itu membakar perahu tersebut, maka perbuatan yang menurut perkiraan mereka kemungkinan besar mereka dapat menyelamatkan mereka, yaitu antara tetap tinggal di dalam perahu atau menceburkan diri ke laut, maka lebih baik mereka melakukannya.

Abul Khaththab di dalam riwayat yang lain mengatakan : “Mereka harus tetap tinggal di dalam perahu karena jika mereka menceburkan diri ke laut maka kematian mereka adalah lantaran perbuatan mereka sendiri, sedangkan jika mereka tetap tinggal di dalam perahu maka kematian mereka adalah lantaran perbuatan orang lain.”

Maka perhatikanlah bagaimana mereka membedakan antara orang yang mati lantaran perbuatannya sendiri dengan orang yang mati lantaran perbuatan orang lain. Dan ketahuilah bahwasanya pembahasan para ulama’ yang paling mirip dengan pembahasan kita ini, yang mana para ulama’ menjadikannya sebagai contoh di dalam masalah al maslahah al mursalah  adalah sebuah pembahasan yang terkenal yaitu masalah at tatarrus (menjadikan sandera sebagai perisai-penj.). 

Ibnu Qudaamah di dalam Al Mughniy (VIII/450) mengatakan : “Dan jika mereka (musuh) menjadikan seorang muslim sebagai perisai  pada saat kita tidak memerlukan untuk melempar mereka (dengan panah atau tombak), seperti pada saat tidak terjadi peperangan atau pada saat masih memungkinkan untuk menguasai mereka (musuh) tanpa dengan melempar mereka atau pada saat kita aman dari ancaman mereka, maka tidak diperbolehkan untuk melemparnya (dengan panah atau tombak).”

Sedangkan Al Auzaa’i dan Al Laits mengatakan: “Tidak boleh melempar mereka berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

“Dan kalau bukan karena orang-orang yang beriman”. (Qs. Al Fath : 25)

Dan Al Laits  mengatakan : “Tidak membuka pintu sebuah benteng yang mampu untuk dibuka, itu lebih utama dari pada membunuh seorang muslim dengan tanpa alasan yang benar.”

Dan di dalam pembahasan al maslahah al mursalah ia sering menyampaikan perkataan para ulama’ yang berbunyi : “Jika orang-orang kafir menjadikan sekelompok kaum muslimin sebagai tameng, yang mana seandainya kita menahan diri dari orang-orang kafir tentu mereka akan menguasai Daarul Islam, menghabisi umat Islam dan membunuh orang-orang yang dijadikan perisai tersebut. Dan jika kita lempar orang-orang yang dijadikan tameng tersebut (dengan anak panah atau tombak) dan kita bunuh mereka, dapat dipastikan seluruh kaum muslimin akan terhindar dari mafsadah (bencana) tersebut, namun konsekuensinya kita harus membunuh orang Islam yang tidak bersalah”.

Kemaslahatan semacam ini meskipun bersifat dharuuriyyah (mendesak), kulliyyah (berlaku untuk seluruh kaum muslimin) dan qath’iyyah (pasti), akan tetapi karena tidak ada pengakuan dari Syaari’ (Sang Pembuat Syariat), maka terjadilah perselisihan yang terkenal di kalangan  para ulama’.

Sekelompok ulama’ melarang karena membunuh jiwa padahal menebus nyawa yang dilarang dibunuh, dengan nyawa yang sama statusnya itu tidak diperbolehkan. Dan sekelompok ulama’ yang lain memperbolehkan dengan beberapa syarat, di antaranya :

1.    Jika membiarkan orang-orang yang dijadikan perisai itu (tidak melempar dengan anak panah atau tombak) akan mengakibatkan terhentinya jihad.
2.    Ini sebagaimana perkataan Al Qadhi dan Asy Syaafi’i yang dinukil oleh Ibnu Qudaamah di dalam Al Mughniy (VIII/450) : “Boleh melempar mereka (dengan panah atau tombak) jika peperangan tengah berlangsung, dengan tidak melempar mereka akan mengakibatkan terhentinya jihad.”
3.    Di antar syarat yang lain adalah jika tidak memungkinkan untuk sampai kepada orang-orang kafir kecuali dengan membunuh orang-orang yang dijadikan perisai.
4.    Dan jika membiarkan orang-orang yang dijadikan tameng itu akan mengakibatkan kaum muslimin dihabisi, kehormatan mereka dinodai dan negeri mereka dijajah, dan akhirnya orang-orang yang dijadikan perisai itu pun juga akan dibunuh.

Maka demi Allah wahai engkau orang yang munshif (berlaku adil), siapapun dirimu, apakah syarat-syarat semacam ini terpenuhi di dalam berbagai aksi tersebut pada hari ini?!

Apakah tidak memungkinkan untuk memerangi orang-orang kafir kecuali dengan operasi-operasi yang dilakukan dengan cara meledakkan diri orang yang tidak diperbolehkan untuk dibunuh?

Apakah tidak memungkinkan untuk menggunakan cara lain? Dan apakah jika cara semacam ini ditinggalkan akan mengakibatkan kaum muslimin dihabisi dan jihad akan terhenti, sehingga memerangi dan memukul musuh tidak dapat dilakukan kecuali dengan cara membunuh orang yang dilarang untuk dibunuh?

Jika keadaannya seperti itu maka kami bukan termasuk orang-orang yang mengingkari aksi-aksi tersebut. Artinya jika kemaslahatan yang diharapkan dari operasi-operasi semacam ini, atau mafsadah (kerusakan) yang hendak dihindari adalah bersifat dharuuriyyah (mendesak), kulliyyah (berlaku untuk seluruh kaum muslimin) dan qath’iyyah (pasti), yang tidak dapat diraih kecuali dengan menggunakan cara semacam ini maka kami tidak mengingkarinya. Dan orang yang berpendapat semacam ini memiliki pendahulu dari kalangan para ulama’, dan telah ditetapkan di kalangan para ulama’ bahwasanya apabila ada dua mafsadah (kerusakan) yang saling bertentangan, maka diambil yang lebih ringan untuk menghindari yang lebih besar.

Demikianlan, padahal orang yang melihat banyak dari target-target dari aksi-aksi tersebut -dan saya tidak katakan seluruhnya- di sana banyak terdapat orang-orang sipil seperti perempuan, anak-anak, orang-orang tua dan yang lainnya, dan ini adalah kritikan yang lain lagi dalam masalah ini.

Karena telah kita ketahui bersama bahwasanya di dalam diin (agama) kita tidak diperkenankan dengan sengaja membunuh anak-anak, perempuan yang tidak ikut berperang dan orang-orang yang semacam mereka.

Karena para ulama’ yang di antaranya adalah hibrul qur-aan Ibnu ‘Abbaas Radhiyallahu ‘anhu menafsirkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbunyi : “dan janganlah kalian melampaui batas”. Maksudnya adalah : Janganlah kalian membunuh anak-anak, perempuan dan orang tua.

Dan Muslim meriwayatkan dalam Baab Nisaa’ Ghaziyaat Wan Nahyu ‘An Qotli Ahlil Harbi (Bab; Wanita-wanita yang ikut berperang dan larangan membunuh ahlul harbi), juga dari Ibnu ‘Abbaas Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan : “Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah membunuh anak-anak, maka janganlah kamu membunuh anak-anak kecuali kamu mengetahui apa yang diketahui oleh Nabi Khidlir terhadap anak yang ia bunuh”.

Sedangkan Imam Ahmad, Al Haakim, Al Baihaqiy dan yang lainnya meriwayatkan dari Al Aswad bin Sarii’, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalla bersabda :

“Kenapa orang-orang itu melampaui batas dalam membunuh sehingga membunuh anak-anak. Ingatlah, jangan sekali-kali kalian membunuh amak-anak. Ingatlah, jangan sekali-kali kalian membunuh anak-anak”.

Dan dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah terkenal, bahkan Malik dan Al Auzaa’i memberikan fatwa yang lebih dari pada itu, mereka mengatakan : “Sama sekali tidak diperbolehkan membunuh perempuan dan anak-anak, sekalipun ahlul harbi (musuh) menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai perisai, atau mereka bertahan di dalam benteng atau di dalam perahu dan mereka membawa perempuan dan anak-anak bersama mereka, maka tidak diperlukan untuk melempar mereka (dengan panah atau tombak) atau membakar mereka”.

Dan ini mirip dengan permasalahan tatarrus, bahkan lebih rendah lagi karena tidak diragukan lagi bahwa larangan membunuh anak-anak dan perempuan dari orang-orang kafir itu lebih rendah dari pada larangan membunuh orang-orang Islam. Dan telah kita ketahui bersama bahwasanya dalam keadaan-keadaan tertentu tidak mengapa membunuh perempuan dan anak-anak orang-orang kafir, seperti ketika penyergapan yang dilakukan pada malam hari, atau melempar orang-orang kafir (dengan panah atau tombak) sehingga perempuan dan anak-anak mereka juga ikut terkena dengan tanpa sengaja.

Karena hal ini adalah seperti penyergapan yang dilakukan pada malam hari yang pernah ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahiih nya, pada Kitaabul Jihad, Bab; Penduduk sebuah negeri disegap sehingga anak-anak dan keturunan mereka ikut terkena. Di sana ia menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ash Sha’b bin Jutsaamah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang penduduk sebuah negeri musyrik yang disergap pada waktu malam hari, sehingga perempuan dan anak-anak mereka ikut terkena. Maka beliau menjawab :

“Mereka (anak-anak dan perempuan) itu adalah dari golongan mereka (orang-orang musyrik)”.

Dan saya mendengar beliau bersabda :  “Tidak ada perlindungan kecuali hak Allah dan RasulNya”.

Dan begitu pula jika perempuan tersebut ikut berperang atau ikut membantu peperangan, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama di dalam kitab-kitab tentang jihad dan perang, yang jelas hadits-hadits dalam masalah ini adalah banyak.

Bahkan para ulama’ memperbolehkan membunuh seorang perempuan jika perempuan tersebut berada di dalam barisan orang-orang kafir dan mencaci kaum muslimin.

Ibnu Qudaamah mengatakan di dalam Al Mughniy (VIII/450) : “(Pasal) Jika seorang perempuan itu berdiri di barisan orang-orang kafir, atau berada di atas benteng mereka, lalu ia mencaci kaum muslimin, atau menampakkan aurat kepada mereka, maka diperbolehkan dengan sengaja melemparnya (dengan panah atau tombak), berdasarkan riwayat Sa’ad, ia mengatakan : Hamaad bin Zaid telah bercerita kepada kami, ia dari Ayyuub, ia dari ‘Ikrimah , ia mengatakan: Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengepung penduduk Tha’if, ada seorang perempuan yang menampakkan diri (di atas benteng) lalu ia membuka kemaluannya, maka beliau bersabda :  “Yang berada di hadapan kalian ini lemparlah (dengan panah atau tombak)”. Maka ia dilempar oleh salah seorang dari kaum muslimin dan lemparannya tidak meleset.

Dan perempuan juga boleh dilempar jika dia mengambilkan anak panah untuk mereka atau memberi air minum atau mengobarkan semangat mereka untuk berperang, karena dengan begitu statusnya sama dengan muqatil (orang yang ikut berperang) , dan hukum ini berlaku bagi anak-anak, orang tua dan seluruh orang yang dilarang untuk dibunuh”.

Adapun sengaja mendatangi tempat berkumpulnya anak-anak dan perempuan yang tidak ikut berperang, seperti sekolahan dan taman kanak-kanak atau rumah sakit dan lain-lain, tempat-tempat ini dipilih karena ini adalah target yang mudah, maka tindakan semacam ini adalah menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini adalah membahayakan dakwah dan memperburuk citra jihad Islam yang cemerlang.

Dan sebenarnya pembahasan dalam masalah ini panjang, dan para ulama’ kita telah menjelaskan dengan cukup di dalam kitab-kitab fikih dan kitab-kitab hadits. Bagi orang yang mencari kebenaran mudah untuk mendapatkannya.

Dan sebelum kami tutup pembahasan ini, terlebih dahulu kami ringkaskan apa yang telah kami katakan di depan pada poin-poin berikut :

1.    Saya tidak mengatakan bahwa amalan yang dilakukan oleh para pelaku aksi-aksi yang ditanyakan tersebut akan sia-sia, atau mereka akan kekal di naar (neraka), akan tetapi kami tidak menyamakan antara mereka dengan orang yang bunuh diri lantaran tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup atau lantaran marah dan tidak bisa menerima taqdir Allah atau lantaran tidak sabar dengan luka yang dideritanya.

2.    Akan tetapi kami mempunyai beberapa catatan dan kritikan sebagaimana yang telah kami singgung sebagiannya. Oleh karena itu kami mengajak para pelakunya dan orang-orang yang berkepentingan dengan aksi-aksi tersebut agar banyak mengadakan kajian syar’i yang mencukupi yang didukung dengan dalil-dalil syar’i yang shahih.

3.    Adapun jika mafsadah (kerusakan) yang hendak dihindari dengan cara melakukan aksi-aksi tersebut adalah mafsadah yang qath’iyyah, kulliyyah dan haqiiqiyyah, yang tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan mengorbankan nyawa dengan cara seperti ini, maka yang seperti ini ada dasar-dasar yang mendukungnya dalam syari’at. Dan hal semacam ini juga dikatakan oleh sekelompok ulama’ yang berlandaskan dengan kaidah-kaidah syar’i.

4.    Kami mengajak para mujahidin untuk menggunakan teknologi-teknologi modern dalam berperang melawan musuh-musuh Allah, sebagai realisasi dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berbunyi :
Dan persiapkanlah kekuatan semampu kalian dan kuda-kuda yang ditambatkan untuk menghadapi mereka, sehingga dengan persiapan itu kalian menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian”. (Qs. Al-Anfaal : 60)
Hal itu supaya dapat memberikan pukulan yang semaksimal mungkin pada musuh, dengan kerugian yang seminimal mungkin pada barisan orang-orang yang bertauhid, khususnya adalah kerugian yang dilakukan dengan menggunakan tangan para mujahidin sendiri sebagaimana aksi-aksi tersebut.

5.    Kami mengajak mereka untuk memusatkan target serangan pada sarana-sarana militer, kepolisian dan yang semacam dengannya yang dimiliki musuh-musuh Allah.

Inilah ringkasan dari kajian yang kami miliki mengenai permasalahan ini. Hal ini kami katakan dan kami tidak perduli dengan hasutan orang-orang yang tidak sependapat kami karena pemimpin dan penuntun kami adalah dalil dan bukan yang lainnya. Dan tujuan kami adalah ridha Allah dan bukan ridha manusia. Kami memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar menjadikan kami termasuk orang-orang yang disebutkan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya yang berbunyi : “Mereka tidak terpengaruh dengan orang yang menyelisihi dan menterlantarkan mereka”.

Dan telah kita ketahui bersama bahwasanya jika orang-orang yang tidak sependapat dengan kami dalam permasalahan ini mendatangkan dalil-dalil syar’i yang shahih yang menggugurkan apa yang telah kami nyatakan di sini, maka kami akan tunduk patuh, dan kami akan campakkan apa yang telah kami katakan di sini. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti.

Dan Allah berkata yang benar dan Dia menunjukkan kepada jalan yang lurus.
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011