Kekuatan Imperialisme dan Kolonialisme Barat yang dipimpin Amerika Serikat berada di belakang berdirinya kekuasaan Orde Baru. Sebab itu, di awal masa kekuasaannya Orde Baru sesungguhnya secara total bekerja untuk melayani kepentingan Amerika dan Dunia Imperialisme Barat.
Hal ini bisa dilihat dari kerja lembaga intelijen Indonesia yang banyak mengerjakan tugas-tugas dari CIA, bahkan sejumlah satuan intel dibentuk dan didanai CIA. Tidak salah jika banyak pengamat dengan sinis menyatakan jika Indonesia pasca Soekarno sebenarnya merupakan negara bagian Amerika Serikat ke-51 setelah Hawaii. Diakui atau tidak, hal ini terus berjalan sampai detik ini.
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira Washingon. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai “Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini malah digadaikan dengan harga murah kepada Amerika Serikat.
“Salah satu hal yang paling prinsipil dari pergantian kepemimpinan di Indonesia, dari Soekarno ke Suharto adalah bergantinya karakter Indonesia dari sebuah bangsa yang berusaha menerapkan kemandirian berdasarkan kedaulatan dan kemerdekaan, menjadi sebuah bangsa yang bergantung pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat,” demikian Suar Suroso (Bung Karno, Korban Perang Dingin; 2008).
Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tim ini kelak disebut sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller.
Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada korporasi-korporasi asing, Freeport antara lain mendapat gunung emas di Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua COE korporasi asing tersebut dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Jangan lupa: Soekarno di Indonesia digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Suharto. Semua penggulingan kekuasaan ini didalangi oleh CIA dengan memanfaatkan “The Local Army Friend”.
Di Indonesia maupun di negara-negara dunia ketiga yang penguasanya digantikan oleh penguasa yang bisa diajak bersekutu dengan Amerika Serikat sebagai panglima blok kapitalisme dunia, lembaga-lembaga intelijennya juga bekerja demi memenuhi pesanan dari lembaga intelijen Amerika, dalam hal ini CIA.
Sayangnya, berakhirnya perang dingin di awal 1990-an ternyata tidak diikuti dengan perubahan yang berarti. CIA tetap memiliki kontrol luar biasa, tentu saja secara tertutup, terhadap kebijakan lembaga-lembaga intelijen negara proksinya seperti Indonesia. Jika dahulu dilakukan perburuan terhadap sejumlah orang dan organisasi yang dituduh komunis, maka kini dilakukan perburuan terhadap para aktivis Islam dalam operasi berkedok ‘War On Terrorism”, suatu perang berskala global yang diawali dengan merobohkan Menara Kembar WTC, 11 September 2001.
Kesatuan-kesatuan khusus lokal di sejumlah lembaga keamanan negara pun, militer maupun kepolisian, dibentuk dari, oleh, dan untuk CIA. Bahkan pelatih-pelatih atau instruktur-instruktur bagi kesatuan-kesatuan elit anti teroris ini terdiri dari para agen CIA aktif. Patut ditekankan di sini, seperti halnya wartawan, maka agen intel pun sesungguhnya tidak ada kata pensiun atau”mantan”. Jika dia “keluar” maka itu hanya bersifat sementara dan bisa dibangkitkan setiap waktu untuk mengerjakan suatu tugas. Istilahnya, Sleeping Agent.
Di Indonesia, kasus yang sangat mencolok mata yang membuka adanya hubungan erat antara aparat keamanan Indonesia dengan CIA adalah dalam kasus Al-Faruk. Orang Indonesia keturunan Arab ini ditangkap di Bogor, Jawa Barat, namun dalam waktu singkat diterbangkan diam-diam ke pangkalan militer AS di Bagram, Afghanistan.
Kasus Al-Faruk ini sesungguhnya sangat mencederai rasa kedaulatan dan harga diri bangsa ini. Mengapa Al-Faruk tidak diadili saja di wilayah hukum Indonesia. Adakah Indonesia sungguh-sungguh menjadi negara bagian ke-51 Amerika Serikat? Dan mengapa pula para konglomerat perampok yang sampai sekarang masih saja bersembunyi dengan aman di luar negeri, sekutu Amerika seperti Singapura, tidak diantarkan ke Indonesia? Mengapa kita yang harus selalu melayani mereka? Beginilah jika para pemimpin bangsa masih saja memelihara mentalitas budak, yang selalu siap sedia tunduk pada apa pun keinginan tuannya.
Di masa “Reformasi” ini, bangsa dan negara Indonesia secara de facto benar-benar sebuah bangsa yang bukan saja salah urus, namun memang tidak pernah diurus. Para pemimpinnya terlalu sibuk dengan rebutan proyek demi proyek yang didanai oleh uang rakyat. Pos-pos pajak diperbanyak, negara kian buas menyedot uang rakyatnya, dan segelintir elit bersuka ria bergotong-royong dalam permainan besar bernama The Great Corruption.
Rakyat Indonesia kebanyakan kian hari kian susah dan kian disibukkan dengan urusan sekadar mempertahanan hidup. Semua ini akhirnya membuat bangsa ini lalai terhadap perampokan diam-diam yang tengah dilakukan korporasi-korporasi asing terhadap sumber daya alam negeri bernama Indonesia. Inilah potret nyata negeri kita. (suara-media)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar