Masalah imarah, imamah, khilafah, atau sulthan sudah lama menjadi pembicaraan Ummat Islam. Intinya, ini adalah masalah kepemimpinan politik di suatu negara. Ada kalanya, pemimpin itu adalah seorang Khalifah, atau seorang Sulthan, atau seorang Malik (raja), atau seorang Presiden, dan lainnya. Tetapi semua merujuk pada makna imamah/imarah, kepemimpinan Ummat.
Kalau kaum Syiah memahami imamah sebagai tokoh-tokoh suci, selalu benar, fatwa-fatwanya diikuti secara mutlak. Mereka dimuliakan luar biasa, bahkan diberikan sifat-sifat ‘uluhiyyah (ketuhanan) kepada para imam mereka. Para imam Syi’ah katanya menentukan syurga dan nerakanya manusia, diridhai atau dimurkainya seseorang oleh Allah, dan lain-lain. Maka maksud imamah itu bukanlah versi Syi’ah ini, melainkan kepemimpinan Ummat secara umum saja. Siapapun yang diamanahi tugas memimpin dan mengurus hajat hidup kaum Muslimin.
Orang-orang Sufi dan Murji’ah memandang bahwa setiap penguasa adalah Ulil Amri yang harus ditaati setelah mentaati Allah dan Rasul-Nya. Tidak peduli pemimpin itu menganut ideologi sekuler, nasionalis, demokrasi, kapitalis, liberalis, dan sebagainya. Selama pemimpin itu diketahui KTP-nya Islam, dia didaulat sebagai Ulil Amri. Sementara itu, kaum Khawarij justru anti terhadap kepemimpinan Ummat. Jangankan pemimpin-pemimpin Muslim biasa, Khalifah Utsman Ra dan Khalifah Ali Ra, mereka lawan. Di jaman Khalifah Ali, beliau memerangi kaum Khawarij di daerah Nahrawan. Di mata Khawarij, yang berhak menjadi pemimpin adalah mereka, dengan akidah seperti mereka pula.
Kedua pandangan di atas sama-sama ekstremnya, sama-sama salahnya. Adapun Ahlus Sunnah berdiri di tengah-tengah kedua pandangan di atas. Kalau semua kepemimpinan dianggap Ulil Amri, tidak peduli akidah yang menjadi fondasi bagi kepemimpinan itu, maka hal ini sama saja dengan merusak kaidah-kaidah agama. Berarti tidak ada artinya Islam mengatur hukum halal-haram dalam segala perkara (termasuk dalam kepemimpinan)? Berarti perjuangan Nabi Saw dan para Shahabat dengan segala peperangan (Jihad) yang mereka tempuh, untuk membangun kepemimpinan Islam dan menjaganya dari segala rongrongan, semua itu dianggap kosong belaka.
Kalau semua kepemimpinan politik dianggap Ulil Amri, berarti kita telah “mengislamisasikan” nilai-nilai jahiliyyah. Kekuasaan yang salah, mungkar, tidak Islami, lalu diklaim sebagai urusan Islam (Ulil Amri).
Pandangan Khawarij juga salah. Dalilnya, sederhana saja, yaitu kepatuhan para Shahabat Ra. terhadap kepemimpinan Nabi Saw dan para Khulafaur Rasyidin Ra. Itu dalilnya. Para Salafus Shalih mentaati pemimpin Islam, shalat di belakang mereka, berjihad bersamanya, berhari raya bersamanya juga. Kalau para Shahabat Ra membenarkan para Amirul Mukminin di masanya, bagaimana sampai Khawarij mengingkarinya?
Perlu dimaklumi juga, masalah imamah/imarah itu pada dasarnya adalah masalah MUAMALAH. Namun ia adalah muamalah yang amat sangat penting, sangat menentukan kehidupan kaum Muslimin. Sebagai masalah muamalah, ia terikat hukum halal-haram. Kalau kepemimpinan itu sesuai Kitabullah dan Sunnah, ia adalah kepemimpinan yang halal. Kalau bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah, ia adalah haram. Jadi, kepemimpinan adalah salah satu obyek dalam pembahasan Syariat Islam. Ia bukan subyek yang menentukan hitam-putihnya hukum yang berlaku.
Sekali lagi ingat, kepemimpinan itu obyek Syariat Islam, ia bukan subyek penentu hukum. Kepemimpinan dalam Islam hanyalah OPERATOR HUKUM Syariat, bukan PEMBUAT HUKUM. Dalam Islam, seorang pemimpin tidak boleh menyimpang dari Syariat Islam. Dalilnya, adalah pidato Khalifah Umar bin Khattab Ra ketika diangkat menjadi Khalifah. Beliau memohon diluruskan, jika dirinya menyimpang dari Syariat. Maka ada seseorang yang mengacungkan pedang, akan meluruskan Khalifah dengan pedang, jika beliau menyimpang.
Sebagian orang begitu SENSITIF membahas masalah-masalah seperti shalat memakai celana panjang, shalat memakai baju lengan pendek, laki-laki memakai baju “Nashrani” bukan baju jubah, wanita harus bercadar, tidak boleh memakai jins, mencela orang menjadi PNS, mencela orang masuk dinas TNI, mempermasalahkan hukum mentaati “lampu merah”, dan sebagainya. Terhadap hal-hal seperti itu mereka sangat sensitif.
Tetapi ketika bicara tentang Penegakan Syariat Islam, Sistem Islami, Kepemimpinan Islami, Khilafah Islamiyyah, Kedaulatan Islam, Ekonomi Islam, Sains Islam, dan sebagainya, mereka seperti “kerupuk kesiram air”. Jangankan peduli, mendukung, atau setidaknya toleransi. Mereka malah menuduh kaum Muslimin lain yang sungguh-sungguh memperjuangkan Syariat Islam dengan tuduhan: Hizbiyyah, ahli bid’ah, khawarij, pemberontak, tergesa-gesa, terjerumus urusan politik, dsb.
Padahal urusan penegakan Syariat Islam itu berhubungan dengan masalah darah, harta, jiwa, agama, keimanan, ibadah, kehormatan, keselamatan, serta kehidupan Ummat Islam. Secara akal sehat, kita pasti bisa membedakan, mana yang lebih penting antara urusan “shalat dengan celana panjang” dengan “menjaga darah, harta, kehormatan” Ummat Islam. Ya, orang berakal bisa membedakan keduanya secara jelas.
Banyak orang yang mengaku berilmu, penuntut ilmu, ashabul hadits, ashabus Salafiyyah, ahlul ilmi, dan sebagainya. Mereka tidak bisa membedakan kepemimpinan Islami dan kepemimpinan sekuler. Ini adalah musibah besar. Jadi, ibarat seperti seorang profesor ahli fiqih, tetapi ketika ditanya hukum daging babi, dia ragu-ragu. Apa ya hukumnya? Mungkin ada khilaf disana? Ini masih didiskusikan? Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Anak kecil itu lho bisa membedakan “ini orang shalat di masjid”, dan ini “orang sembahyang di gereja”. Anak-anak SD itu bisa memahami hal itu dengan mudah. Adapun, ini ada serombongan “para ahli ilmu”, tetapi tidak bisa membedakan dengan jelas, mana itu Sultan Islami? Dan mana itu Sultan Jahiliyyah?
Dalam sejarah kaum Muslimin, kita mengenal ada EMPAT MACAM kepemimpinan. Secara teori ia ada, dan secara fakta sejarah ia terbukti. Ke-empat macam kepemimpinan itu pernah dialami Ummat Islam.
[1] Sultan Islami yang bersikap adil. Dia adalah pemimpin Islami di atas sistem Islami, dan berlaku adil dalam kepemimpinannya. Contoh, Rasulullah Saw, Khulafaur Rasyidin Ra, Umar bin Abdul Aziz, Harun Al Rasyid, Muhammad Nuruddin Zanki, Shalahuddin Ayyubi, Muhammad Al Fatih, dll.
[2] Sultan Islami yang bersikap zhalim. Dia adalah pemimpin Muslim, di atas sistem Islami, tetapi berlaku zhalim kepada kaum Muslimin. Contoh, Hajjaj Ats Tsaqafi, Al Ma’mun di jaman Imam Ahmad yang memaksakan akidah “Al Qur’an adalah makhluk”, Abbas pendiri Daulah Abbassiyyah yang membantai keluarga Umayyah, dll. pemimpin zhalim yang menyengsarakan Ummat.
[3] Rais Daulah yang bersikap adil. Dia adalah pemimpin bagi kaum Muslimin, tidak menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya, tetapi bersikap baik kepada kaum Muslimin. Contoh Raja Najasyi Ra, Mahathir Muhammad di Malaysia (sebelum ada konflik dengan Anwar Ibrahim), Ziaul Haq di Pakistan, pemimpin-pemimpin Eropa yang bersikap adil kepada kaum Muslimin yang hidup sebagai minoritas di negerinya. Jadi kepemimpinan disini bersifat umum, bukan kepemimpinan Islami, tetapi sang pemimpin menghargai hak-hak Ummat.
[4] Rais Daulah yang bersikap zhalim. Banyak pemimpin seperti ini, di jaman modern ini. Mereka sekuler, sekaligus Anti Islam. Banyak korban berjatuhan akibat kepemimpinan semacam itu, baik di Indonesia, Pakistan, Mesir, Aljazair, Syria, Libya, Irak, Iran, Libanon, dsb. Sudah tidak Islami, zhalim lagi. Kegelapan di atas kegelapan.
Ini adalah perkara yang jelas, bagi siapapun yang mau menggunakan akal dan hatinya. Ketentuan yang berlaku dalam Islam adalah : “Athiullah wa athiurrasula wa ulil amri minkum” (Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kalian. An Nisaa’ 59). Ketika menjelaskan ayat ini Ibnu Katsir mengutip beberapa hadits yang menceritakan tentang komandan yang memerintahkan apapun kepada prajurit di bawahnya, termasuk memerintahkan perbuatan yang membinasakan (masuk gua penuh api). Maka Nabi Saw memberi kaidah, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (bahwa ketaatan itu hanya dalam perkara makruf saja).
Pertanyaannya, apakah pemimpin-pemimpin sekuler di Dunia Islam (seperti contoh di Indonesia) menyerukan melakukan perbuatan makruf dan mencegah kemungkaran?
Untuk menjawabnya, kita harus menilai secara jujur kepemimpinan ini. Nilai dengan sejujur-jujurnya, tanpa kecenderungan memusuhi atau mencintai. Secara obyektif saja, tanpa tendensi apapun, selain hanya demi mencari kebenaran hakiki. Tentu dalam menilainya, kita menggunakan pedoman Kitabullah dan Sunnah. Sebab, itulah pedoman asasi kehidupan orang-orang beriman. “Jika kalian berbeda pandangan dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.” (An Nisaa’ 59).
Cobalah berani secara jujur melakukan analisis terhadap kehidupan di Indonesia. Sebagian fakta yang saya peroleh dari penelitian tentang kepemimpinan ini, antara lain :
[=] Tidak ada satu pun hukum negara yang mengatakan, bahwa syarat menjadi pemimpin formal adalah Muslim dan shalih secara agama.
[=] Agama resmi negara ada 5, salah satunya Islam. Negara memandang semua agama sama benarnya, tidak ada keistimewaan tertentu pada agama tertentu.
[=] Semua warga negara memiliki kedudukan sama di mata hukum.
[=] Syiar Islam tidak menjadi azas kebudayaan nasional.
[=] Negara tidak bertanggung-jawab secara khusus memikirkan tentang keselamatan jiwa, harta, agama, akal, keturunan Ummat Islam. Semua warga negara diperlakukan sama.
[=] Negara mengadopsi nilai-nilai Islam yang dianggap positif di bidang ekonomi, pendidikan, budaya, bahasa, dll. tetapi tidak menjadikan Islam sebagai rujukan utama.
[=] Negara tidak memandang setiap yang diharamkan oleh Islam, otomatis diharamkan oleh negara. Ribawi, pornografi, prostitusi, liberalisme akidah, kapitalisme ekonomi, dll. tidak dianggap haram sebagaimana Islam memandang perkara-perkara itu.
Dengan demikian jelas masalahnya. Tidak ada yang diragukan lagi. Sifat Imamah Islamiyyah seperti yang diajarkan dalam Islam tidak ada di negeri ini. Bisa jadi tidak ada karena tidak ada figurnya, atau karena tidak ada dasar hukumnya, atau karena kedua-duanya.
Namun bukan berarti kita harus memberontak, melawan penguasa, menghadang mereka di jalan-jalan, memusuhi mereka siang-malam. Tidak demikian. Sebab Nabi Saw saat di Makkah juga tidak berbuat seperti itu. Kita harus tekun menyampaikan dakwah kepada seluruh manusia, baik rakyat maupun penguasa. Sampaikan penjelasan dengan sebaik-baiknya, sehikmah-hikmahnya. Berdakwah sekuat kesanggupan untuk menyebarkan penerangan.
Semoga penjelasan seperti ini bermanfaat. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin. Wallahu A’lam bisshawaab.
Abu Muhammad Waskito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar