Senin, 06 Februari 2012

Menyikapi Kepemimpinan SEKULER


Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu was salamu ‘ala man laa nabiya ba’dahu Muhammad wa alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

Selama ini ada kerancuan pemahaman di kalangan Ummat Islam. Sebagian orang memandang, bahwa setiap pemimpin yang beragama Islam, KTP-nya tertulis Islam, atau ia dikenal publik sebagai Muslim; dia diposisikan sebagai ulil amri yang ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya. Adab-adab perlakuan terhadap Khalifah Islam wajib diterapkan kepada pemimpin seperti itu. Meskipun yang bersangkutan jelas-jelas menganut idelogi sekularisme.

Jika ada pihak-pihak yang mengkritik pemimpin seperti itu, seketika akan disemprot dengan tuduhan seperti: Keluar dari manhaj Ahlus Sunnah, memberontak kepada penguasa, memecah-belah masyarakat, menyebarkan fitnah, terjerumus fitnah Khawarij, disebut takfiri, dan sebagainya.

Bukan sekali dua kali kita berhadapan dengan orang-orang yang penuh kebingungan itu. Sudah sering terjadi silang pendapat dan adu argumentasi antara kami dengan mereka. Namun mereka selalu muncul dan tidak henti-hentinya mengulang-ulang alasan yang sudah sering dibahas.

Disini saya coba sampaikan kajian ringkas tentang menyikapi kepemimpinan sekuler. Seharusnya, topik ini dibahas secara mendalam. Namun mengingat kebutuhan mendesak yang sifatnya praktis, jadi sengaja dibahas secara ringkas. Sebagai sebuah wacana, tulisan ini tidak menutup diri terhadap bantahan, kritik, koreksi, nasehat, dan lainnya dari pada pembaca budiman. Semoga Allah Ta’ala meridhai amal-amal kita, mengampuni kesalahan-kesalahan kita, dan meluruskan kekeliruan langkah kita. Allahumma amin, ya Rahmaan ya Rahiim.

Berikut ini kajian ringkas tentang menyikapi kepemimpinan sekuler :

[[1]] Menurut Kamus Oxford, secular artinya: (1) Tidak terhubung dengan spiritual atau urusan keagamaan; (2) Hidup di tengah masyarakat biasa daripada dalam sebuah komunitas keagamaan. Adapun kata secularism, artinya: Suatu keyakinan, bahwa agama tidak boleh ikut campur dalam urusan organisasi kemasyarakatan. Sebagai istilah politik, sekularisme bisa didefinisikan sebagai: sistem pemerintahan yang tidak berdasarkan nilai-nilai agama tertentu. Dalam sejarah Eropa, sekularisme muncul dalam bentuk pemisahan tegas antara kekuasaan Kaisar dengan kekuasaan Gereja. Slogannya, “Berikan untuk Kaisar hak Kaisar, dan berikan untuk Tuhan hak Tuhan.” Di dunia Islam, sekularisme terwujud dalam bentuk penghapusan pemerintahan Islam, Kekhalifahan Islam, dan mengganti dengan pemerintahan nasionalis, berdasarkan UU hasil buatan manusia.

[[2]] Adalah salah besar anggapan banyak orang, bahwa masalah sekularisme ini sesuatu yang kabur, samar, atau meragukan kedudukannya. Anggapan seperti ini adalah pelecehan besar terhadap ajaran Islam. Mereka menganggap, ajaran Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap fenomena sekularisme. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dalam salah satu sabdanya pernah mengatakan, “Aku tinggalkan untuk kalian al baidha’ (cahaya terang benderang), malamnya bagaikan siangnya, tidaklah seseorang meninggalkan cahaya itu, melainkan pasti binasa.”

[[3]] Dr. Salman Al ‘Audah, dalam bukunya Islam and Secularism, beliau menyamakan sekularisme sebagai: Jahiliyah dan kemusyrikan. Beliau mengatakan, “Perbedaan antara Islam dan sekularisme adalah substansial. Isu ini tak lain dari perbedaan antara tauhid dengan kemusyrikan. Oleh karena itu, sekularisme adalah kemusyrikan. Ia menegaskan bahwa masjid adalah untuk Allah, sementara urusan selainnya adalah untuk selain Allah; atau menurut istilah orang Kristen: untuk Kaisar.” Saya pun meyakini dengan pasti, sekularisme adalah kekafiran yang nyata. Disini manusia mengamputasi hak-hak penghambaan kepada Allah hanya dalam batasan ritual yang bersifat pribadi. Sementara dalam urusan selain ritual pribadi, sepenuhnya untuk selain Allah (atau diri manusia itu sendiri). Padahal Al Qur’an telah menjelaskan: “Wahai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam agama ini secara kaffah, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah: 208).

[[4]] Prinsip sekularisme sangat bertentangan dengan tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi, yaitu untuk ibadah kepada-Nya (Adz Dzariyaat: 56). Manusia sekuler jelas tidak mengibadahi Allah seperti yang diperintahkan. Mereka malah mengibadahi perkara-perkara lain, termasuk hawa nafsunya sendiri. Jumhur kaum Muslimin, sejak jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam sampai hari ini, mereka sepakat tentang wajibnya menegakkan negara berdasarkan UU Islami (Al Qur’an dan As Sunnah). Tidak ada manusia yang mengingkari kedaulatan hukum Allah dan Rasul-Nya, selain orang kafir atau orang yang sesat pemikirannya. Dr. Shalih Fauzan dalam Mulakhas Fiqhi, bagian Kitab Hudud wa Ta’zirat, bab Fi Ahkamir Riddah, beliau mengatakan: “Siapa yang berhukum dengan undang-undang yang hina sebagai ganti Syariat Islam, dia memandang hukum itu lebih baik bagi manusia daripada Syariat Islam, atau siapa yang memeluk pemikiran Syi’ah atau nasionalisme Arab, sebagai ganti ajaran Islam, maka tidak diragukan lagi akan kemurtadannya.”

[[5]] Titik tolak yang dilihat dari kepemimpinan sekuler bukanlah agama formal yang dianut oleh seorang pemimpin. Tetapi ukurannya adalah sikap pemimpin itu terhadap kedaulatan hukum Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau mereka tidak mau menerima, menolak, atau bersikap anti, jelas dirinya adalah sekuler, kepemimpinan yang dijalaninya adalah sekuler. Tetapi jika dia mau menerima kedaulatan Kitabullah dan Sunnah, berarti dia adalah pemimpin Islami. Dalilnya jelas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tidak mengakui kepemimpinan Abdullah bin Ubay di Madinah, padahal dia adalah seseorang yang mengaku Muslim dan hendak diangkat menjadi raja rakyat Madinah. Nabi juga tidak tunduk kepada Sa’ad bin Mu’adz Ra. dan Sa’ad bin Ubadah Ra., yang keduanya adalah pemimpin kabilah terbesar di Madinah, Aus dan Khazraj. Padahal keduanya Muslim, para pemuka kaum Anshar. Kalau menyebut setiap pemimpin yang beragama Islam sebagai ulil amri, meskipun ideologinya sekuler, nasionalis, demokrasi, kapitalisme, dan sebagainya; akan timbul fitnah yang luas. Konsekuensinya, kita akan mengakui Mustafa Kemal At Taturk sebagai ulil amri; begitu pula dengan Jamal Abdun Nashir di Mesir, Ben Bella di Aljazair, Hafezh Assad di Syria sebagai ulil amri, dan lain-lain. Secara formal mereka beragama Islam, tetapi sikap politiknya anti Islam. Nanti kita juga akan mengakui para bupati, wedana, dan lainnya di jaman penjajahan Belanda yang diangkat dari orang Muslim lokal, sebagai ulil amri. Para antek penjajah, selama Muslim dan menjadi pejabat, mereka bisa disebut ulil amri. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

[[6]] Secara umum, sekularisme bertingkat-tingkat. Ada yang ekstrem seperti di Turki dan negara-negara Komunis. Ada juga yang lunak seperti di Indonesia. Sekularisme lunak tidak otomatis dianggap sepi dari masalah. Justru ada sisi bahayanya, yaitu ketika masyarakat merasa kepemimpinan itu telah mengadopsi nilai-nilai Islam, lalu mereka menganggap hal itu sudah cukup, dan mereka pun melupakan akar kesesatan ajaran sekularisme itu sendiri. Padahal dalam Fatwa MUI tentang Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme, ketiganya adalah HARAM.

[[7]] Menyikapi pemimpin sekuler, jelas berbeda dengan menyikapi Khalifah Islami. Kewajiban kita atas pemimpin sekuler adalah: meluruskan mereka, memperbaiki pemikiran dan ideologi mereka, mendakwahkan konsep Islam kepada mereka, mengajak mereka rujuk kepada Kitabullah dan Sunnah, serta mencegah mereka dari kemungkaran sekuat kemampuan. Adapun adab-adab yang banyak disebut dalam hadits terhadap Khalifah atau Sulthan Islami jelas tidak tepat dialamatkan kepada para penguasa sekuler. Para Khalifah Islami diangkat, memerintah, dan diberhentikan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah. Jelas sangat berbeda dengan pemimpin sekuler yang diangkat, memerintah, dan diberhentikan berdasarkan UU nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, dan sebagainya.

[[8]] Islam memberikan banyak perlindungan kepada kepemimpinan Islami, sebab ia sangat bermanfaat menjaga kehidupan Ummat dari sisi jiwa, agama, harta-benda, akal, keturunan, dan lainnya. Singkat kata, kepemimpinan Islami itu melindungi akidah dan kehidupan Ummat. Tidak salah jika dalam riwayat ia disebut “Zhillullah fil ardhi” (naungan Allah di muka bumi). Sedangkan kepemimpinan sekuler tidak memiliki komitmen melindungi kepentingan Ummat Islam; mereka memandang sama kedudukan kaum Muslimin dengan orang kafir; mereka membiarkan kekafiran dan kemusyrikan merajalela; bahkan seringkali mereka menghalang-halangi kebangkitan dakwah Islam. Bagaimana mungkin kepemimpinan sekuler itu diperlakukan dengan adab-adab mulia? Bukankah hal itu sama saja dengan ikut membiarkan, mempertahankan, atau memperkuat sistem sekuler tersebut? Laa haula wa laa quwwata illa billah.

[[9]] Hukum bagi kepemimpinan sekuler setidaknya terbagi dalam dua kondisi. Pertama, kepemimpinan sekuler yang muncul setelah menghapuskan kepemimpinan Islami, seperti terjadi di Turki dan negara-negara Muslim lain; hukumnya, kepemimpinan itu harus dikembalikan kepada kepemimpinan Islami. Kaidahnya sederhana, sesuatu yang hilang dari milik kaum Muslimin ya dikembalikan seperti semula. Kedua, kepemimpinan sekuler yang sejak awal memang sudah sekuler; hukumnya, ia perlu diperbaiki agar menjadi kepemimpinan Islami dengan dakwah Islam, tarbiyah, nashihat, amar makruf nahi munkar, siyasah Islamiyyah, dll. yang memungkinkan. Namun dalam dua kondisi itu, sebaiknya kita mencari cara-cara yang damai, tidak melalui kekerasan. Peristiwa DI/TII di masa lalu di Indonesia, cukup menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

[[10]] Sebagian orang memberi toleransi bagi kepemimpinan sekuler dengan dalih tafsir Ibnu Abbas Ra. terhadap Surat Al Maa’idah ayat 44, tentang “kufrun duna kufrin”. Kata mereka, berhukum dengan selain hukum Islam itu hanya kufur kecil, bukan kufur yang menggugurkan keimanan. Begitu semangatnya mereka dalam memegang tafsir ini, sampai kita menyangka, mereka bersyukur atas tidak berlakunya Syariat Islam di muka bumi. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Bantahan atas pandangan mereka adalah sebagai berikut :

(a) Perbuatan yang disebut oleh Ibnu Abbas sebagai kufur kecil itu bukanlah mengganti hukum Allah dengan hukum selain dari-Nya, tetapi hanya dalam masalah tindakan memberikan keputusan hukum oleh seorang hakim. Seharusnya hakim itu mengadili dengan hukum Islam, tetapi dia mengadili dengan hukum lain atau hawa nafsunya sendiri. Nah, ini yang disebut kafir kecil. Dalilnya adalah kata “lam yahkum” itu sendiri. Ia adalah kata kerja aktif (fi’il mudhari’). Itu jelas artinya, melakukan tindakan memberi penghukuman. Dalil lainnya adalah keadaan di jaman saat Ibnu Abbas mengemukakan tafsir itu. Keadaan di jaman Ibnu Abbas, kaum Muslimin berhukum dengan Syariat Islam. Disana Ummat tidak berhukum dengan hukum Romawi, Persia, Yunani, China, India, dan lainnya.

(b) Andai ayat itu ditafsirkan sebagai “boleh berhukum dengan hukum selain Kitabullah dan Sunnah”, maka ayat itu tidak bisa menutupi ayat-ayat lain yang tegas mewajibkan kita berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Salah satunya adalah ayat berikut: “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya (Kitabullah dan As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.” (An Nisaa’: 59). Berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah itu merupakan syarat keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam ayat lain ditegaskan: “Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, maka jika kalian berpaling, maka Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 32). Ayat ini tegas mengatakan, bahwa berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya adalah kekafiran. Itu tidak diragukan lagi. Kecuali di mata orang-orang yang rusak akidah, pemikiran, dan perilakunya. Nas’alullah al ‘afiyah.

(c) Sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang tidak mau berhukum dengan hukum jahiliyah orang-orang Makkah, dan tidak mau tunduk kepada hukum kaum Yahudi di Madinah, tetapi beliau berhukum dengan hukum Islam (di Madinah). Sikap ini diikuti oleh para Khulafaur Rasyidin dan Khalifah-khalifah Islam setelahnya. Setiap para Shahabat memperluas wilayah Islam, mereka segera mengganti hukum setempat dengan hukum Syariat Islam, seperti penaklukan Makkah, Yaman, Mesir, Syam, Persia, dan sebagainya. Hingga di era 3 abad pertama sejarah Islam, kota-kota seperti Basrah, Damaskus, Kuffah, Yaman, Mesir, Khurasan, dll. sampai Bukhara di Asia Tengah, mereka telah menegakkan hukum Islam. Ini adalah dalil fi’liyah (perbuatan) para Salafus Shalih yang kemudian dilanjutkan oleh imam-imam kaum Muslimin sampai jaman Umawiyah, Abbasiyah, Andalusia, Daulah Saljuk, Mamalik, Moghul, dll. hingga era Khilafah Utsmani di Turki.

(d) Hukum adalah perkara asas bagi setiap kaum. Hukum itu menentukan hitam-putihnya kehidupan suatu kaum. Baik-buruknya kehidupan suatu kaum, ditentukan oleh hukum yang menjadi landasan kehidupannya. Tidak mungkin bangkit peradaban Islami, kecuali hanya di atas landasan hukum Islam. Membenarkan tegaknya Syariat Islam sama dengan menegakkan Islam itu sendiri; adapun membenarkan tegakkan hukum selain Islam, dengan apapun dalihnya, sama dengan membenarkan tegaknya jahiliyah di muka bumi.

(e) Para ulama telah menjelaskan wajibnya berhukum dengan Syariat Islam dan kafirnya berhukum dengan selain Syariat Islam. Di antaranya adalah Al Qurthubi, Ibnu Hazm, Al ‘Izz bin Abdussalam, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, Asy Syaukani, Ibnu Abdul Wahhab, Sayyid Sabiq, Ahmad Syakir, Muhammad Syakir, Asy Syinqithi, dan sebagainya. Dalam buku Aqidah Shahihah wa Nawaqiduha, Syaikh Bin Baz menyebut sebab-sebab murtad, antara lain: “Pembatal ke-9: Seseorang yang berkeyakinan bahwa ada manusia yang boleh keluar dari jangkauan Syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, maka dia telah kafir. Dalilnya firman Allah, ‘Siapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya, maka tidak akan diterima darinya amal-amalnya, dan kelak di Akhirat dia termasuk orang merugi.’” (Ali Imran: 85).

(f) Wajibnya bertahkim dengan hukum Islam bisa dipahami dari makna Dua Kalimat Syahadat. Pertama, seorang Muslim yang beratuhid tidak akan menerima hukum lain, selain hukum dari Allah SWT. Kedua, seorang Muslim yang mengikuti jalan Nabi, dia akan mengikuti amalannya dalam berhukum kepada Kitabullah dan As Sunnah. Nabi tidak pernah keluar dari keduanya, walau sejengkal pun.

(g) Bantahan terakhir –jika Allah menghendaki yang terakhir-, tafsir Ibnu Abbas tentang “kufrun duna kufrin” tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak seluruh dalil-dalil Wahyu tentang wajibnya menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Tafsir seorang Shahabat tidak bisa membatalkan dalil-dalil Wahyu. Bahkan ia tidak menjadi satu-satunya penafsiran atas Wahyu, kecuali kalau tafsir tersebut telah disepakati secara ijma’i oleh para Shahabat Ra.

Dapat dipastikan, bahwa maksud tafsir Ibnu Abbas “kufrun duna kufrin” itu adalah tentang seorang hakim (qadhi) yang memberi keputusan hukum bukan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah. Ia memberi keputusan hukum berdasar hukum lain, atau hawa nafsunya sendiri. Jika tafsir “kufrun duna kufrin” itu dipakai untuk mendalili bolehnya menegakkan selain hukum Islam di suatu negeri, sama saja kita telah memfitnah Ibnu Abbas Ra. Kita menyangka Ibnu Abbas adalah seorang jahiliyyah yang tidak mengerti Al Qur’an dan Sunnah, tidak bisa membedakan Islam dan jahiliyah, serta merestui merebaknya kekafiran dan kemungkaran di muka bumi. Haqqul yaqin, siapa yang memahami bahwa Ibnu Abbas Ra adalah “Turjuman Al Qur’an” pasti tidak akan menuduh Ibnu Abbas demikian.

[[11]] Tabiat kepemimpinan sekuler itu sendiri bermacam-macam. Ada yang sangat menindas, seperti di negara-negara Komunis; ada juga yang lunak, menghormati HAM, dan demokratis. Dalam menyikapi mereka, kita sesuaikan kondisinya. Kalau sekularis itu sangat kejam, kita menghindari menyampaikan kritik-kritik yang bisa membuat mereka marah. Tetapi kalau mereka lunak dan tidak menindas para pengeritik, ya kita manfaatkan kesempatan yang ada dengan baik.

[[12]] Dari sisi pertimbangan maslahat-madharat, kedudukan pemimpin sekuler juga berbeda-beda. Ada yang cenderung dengan nilai-nilai Islam; ada yang pro rakyat kecil; ada yang penuh korupsi; ada yang militeristik; ada yang kapitalistik; ada yang pro kepentingan asing; ada yang pro Yahudi, dan lain-lain. Jika harus memilih satu dari sekian pilihan pemimpin sekuler, kita perlu memilih yang paling besar peluang maslahatnya, dan paling kecil resiko madharatnya.

Singkat kata, dalam menyikapi kepemimpinan atau pemerintahan apapun, patokannya bukan pada dzat kekuasaan itu sendiri. Tetapi lihatlah bagaimana sikap kekuasaan itu terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya. Dalam Al Qur’an banyak diceritakan tentang penguasa-penguasa zhalim seperti Fir’aun, Qarun, Namrudz, Abrahah, kaum Jabbarin di Palestina, Abu Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay, dan lainnya. Andai faktor dzat kekuasaan yang dijadikan patokan, untuk apa Allah mengutus Nabi-nabi agar mengingatkan para penguasa itu? Sudah saja para penguasa itu didaulat menjadi “ulim amri”, sebab mereka memiliki kekuasaan? Hingga dalam Al Qur’an ada istilah khusus untuk para penguasa zhalim itu, yaitu jabbarin anid (para penguasa keras kepala, sewenang-wenang dan menolak kebenaran).

Begitu pula, untuk melihat apakah kepemimpinan itu Islami atau tidak, patokannya bukan agama formal di KTP. Tetapi ideologi, pemikiran, kebijakan, serta garis politik pemimpin tersebut. Identitas agama di KTP tidak menjadi penentu sifat kepemimpinan yang ditegakkannya. Misalnya, Jamal Abdun Nashir di Mesir. Secara formal dia Muslim, tetapi akidahnya adalah nasionalisme Arab. Toh, kalau mau jujur, di jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan Salafus Shalih, manusia dihukumi berdasarkan amalannya, bukan berdasarkan KTP-nya. (Waktu itu belum ada KTP lagi).

Demikian kajian ringkas ini disampaikan. Semoga kajian ini bisa berguna menepiskan banyak fitnah-fitnah pemikiran yang selama ini membingungkan generasi muda Islam. Sekaligus untuk menjelaskan, bahwa “pemahaman Salafus Shalih” itu tidak seperti yang diklaim orang-orang tertentu yang biasa mencampur-adukkan antara al haq dan al bathil. Ibnu Abbas Ra. berlepas diri dari kerancuan pemikiran mereka. Mereka sangat diajak untuk bertaubat, meluruskan pandangan, dan memperbaiki diri, agar tidak menjadi penolong-penolong sekularisme dalam menyebarkan kekafiran, kemusyrikan, dan kemungkaran di muka bumi.

Dari Ibnu Mas’ud Ra., bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Tiada seorang Nabi yang diutus kepada suatu kaum oleh Allah sebelumku, melainkan selalu ada di antara ummatnya yang menjadi Hawariyun dan para Shahabatnya, yang mengikuti sunnah-nya dan menegakkan urusannya. Lalu muncul di belakang mereka keturunan yang mengatakan apa yang tidak mereka amalkan, mengamalkan apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang menentang mereka dengan tangannya, dia adalah Mukmin; siapa yang menentang dengan lisannya, dia adalah Mukmin; dan siapa yang menentang dengan hatinya, dia adalah Mukmin. Adapun setelah itu (menolak dengan hati) tidak ada lagi keimanan, meskipun hanya seberat biji sawi”. (HR. Muslim).

Menentang ajaran apapun yang tidak diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah bukti kebenaran iman. Minimal, ialah menentang dengan hati (tidak meridhai ajaran yang menyimpang tersebut). Tersebarnya Sekularisme di muka bumi selama ini yang mematikan peradaban Islam, dan menyebarkan jahiliyah di muka bumi, adalah kebathilan besar yang tidak diragukan lagi. Tinggal kini diri Anda sendiri: maukah menjadi Mukmin atau hidup tanpa iman?

Wallahu A’lam bisshawaab.


AM. Waskito.
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011