Selanjutnya,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akhirnya, setiap kali berangkat
ke tempat tukang sihir”. Ia tidak
sanggup melawan apa yang terbetik dalam hatinya berupa kecenderungannya kepada
kebenaran yang disampaikan oleh sang pendeta.
Oleh karena
itu, ia memanfaatkan waktu saat mendatangi tukang sihir. Setiap kali ia
mendatanginya, maka “ia mampir dulu, duduk di tempat pendeta”, untuk
mendengarkan penjelasan tentang agama dan iman. Sehingga, bertambahlah ilmunya
tentang agama baru yang ia dengar dari sang pendeta. Sebab, ia tidak bisa
mendatanginya selain waktu seperti itu –yakni saat ia mendatangi sang
raja—karena khawatir perkaranya terbongkar.
Bagaimana
ia tidak khawatir? Berdasarkan undang-undang sang raja tersebut, sekedar
bertemu dengan pendeta itu saja sudah dianggap sebagai tuduhan yang berhak
mendapatkan hukuman berupa pembunuhan.
Sikap
sang raja tersebut persis seperti kondisi para thaghut modern yang diterapkan
kepada para penuntut ilmu. Mereka akan memata-matai para pelajar di
halaqah-halaqah mereka untuk mengetahui apa yang mereka ucapkan dan apa yang
mereka tulis.
Mereka
akan menangkap para syaikh yang keluar dari ketaatan kepada para thaghut dan
undang-undangnya. Mereka akan menganggap setiap orang yang duduk di halaqah
para syaikh sebagai kriminal.
“Akibatnya,
setiba di tempat tukang sihir ia dicambuk”, karena
keterlambatannya dengan jadwal yang telah ditentukan untuk mempelajari ilmu
sihir dari sang tukang sihir tersebut.
Mereka
begitu khawatir jika pemuda tersebut pergi ke tempat lain yang tidak sesuai
dengan misi para thaghut itu ketika memilihnya (untuk mempelajari ilmu sihir).
Juga, tidak sejalan dengan tugas yang tengah disiapkan untuk si pemuda
tersebut. Yakni, agar lulus dalam mengemban tugas ini ia harus mempersiapkannya
secara khusus untuk menjadi tukang sihir kerajaan di masa depan.
Pukulan
yang dilakukan oleh tukang sihir kepada pemuda tadi, sudah menjadi bukti
kegagalan si tukang sihir dan lemahnya hujjah yang ia miliki terhadap ilmu
sihir yang ia ajarkan kepada si pemuda. Ketika pukulan telah digunakan sebagai
sarana untuk memahamkan sesuatu, berarti sudah tidak ada sarana lain untuk
memahamkan satu pemikiran, atau karena lemahnya bukti-bukti dan landasan
pendapat yang dimiliki oleh para pemukul itu.
“Hal ini
ia adukan kepada pendeta”. Ini
merupakan bukti bahwa si pemuda telah menyenangi dan merasa tenteram dengan
ilmu yang dimiliki pendeta dan kenyamanannya berada di sisinya. Sebab, ia
melihat pada diri pendeta tadi sopan santun, kasih sayang, ilmu, belas kasih,
akhlak yang baik, dan nilai-nilai agama. Inilah yang mendorongnya untuk
mengadukan apa yang ia alami. Hal ini termasuk isyarat penerimaan si pemuda
terhadap dakwah sang pendeta.
“Ia
berkata, ‘Jika kamu takut dipukul tukang sihir, katakan bahwa keluargamu
menahan dirimu. Dan jika engkau takut dimarahi keluargamu, katakan bahwa tukang
sihir menahan dirimu’”.
Yakni,
ia beralasan kepada tukang sihir karena faktor keluarga dan beralasan kepada
keluarganya karena faktor si tukang sihir. Dengan demikian, ia dapat selamat
dari keburukan dan siksaan keduanya. Pada saat yang sama, ia dapat duduk
bersama pendeta untuk mendengarkan petuah agama dan keimanan. Karena ia harus
mendapatkan hal itu, dan mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak boleh ada
sesuatu yang menghalangi yang dapat ia hindari.
Arahan
ini merupakan dalil dibolehkannya membuat tipu muslihat kepada keluarga—dan
alangkah banyaknya contoh-contoh senada dengan ini di era sekarang—dengan
ungkapan-ungkapan tauriyah bila mereka menghalang-halangi anak mereka
untuk menghadiri majelis ilmu para ulama.
Sebagian
besar kalangan orang tua tidak melarang anak-anak mereka pergi sesuka hatinya.
Namun, Anda akan melihat bahwasanya mereka akan melarang keras sekiranya mereka
mengetahui bahwa anak mereka pergi untuk mendalami agama dan mencari ilmu serta
menghadiri mejelis ilmu. Mereka khawatir bilamana para thaghut yang zhalim itu
menggelari sang anak sebagai
teroris atau yang bersekongkol dengan kawanan teroris.
“Ketika berangkat seperti
biasa”, yakni
datang ke tukang sihir dan mendengar petuahnya dan pergi ke pendeta dan mendengar
penyampaiannya.
“Pemuda itu bertemu dengan
binatang buas. Binatang ini membuat orang-orang ketakutan sehingga mereka tidak
bisa lewat”. Yakni, binatang tersebut menghalangi-halangi
jalan mereka sehingga mereka tidak bisa lewat. Ini merupakan bukti saking besarnya binatang tersebut.
Binatang
yang menganggu jalan orang-orang inilah yang menjadi faktor tersingkapnya
kebenaran, terlihatnya kebenaran dan kebathilan serta hidayah bagi mayoritas
orang. Betapa banyak madharat yang sangat bermanfaat. Sekiranya Anda menengok
hal-hal yang ghaib, tentu Anda akan menerima realita.
“Ia bergumam, ‘Kini saatnya
kuketahui, mana yang lebih baik, tukang sihir ataukah pendeta”. Ungkapan ini mengandung arti bahwasanya pada saat itu si
pemuda tadi masih meragukan kebenaran.
Hal ini
kembali kepada sumber ilmu yang ia dapatkan baik dari si tukang sihir maupun
pendeta. Peristiwa tersebut juga menunjukkan kepada kita, betapa besar tekanan
yang dilakukan si tukang sihir terhadap pemuda tadi.
Sumber
ilmu—yang baik maupun yang buruk—telah membentuk keyakinan, perangai, dan
akhlak seseorang. Bila sumber ilmu, dasar-dasar keyakinan, dan pemahaman
tersebut berada di bawah tekanan thaghut dan berlandaskan pengetahuan thaghut.
Maka ilmu
dari thaghut tersebut pasti membentuk perangai yang menyimpang dan
pola pikir yang salah pada diri seseorang. Bila sumbernya berasal dari
kebenaran dan berlandaskan pengetahuan yang haq, pasti akan membentuk perangai
yang baik serta gambaran dan nilai-nilai yang baik pada diri seseorang.
Oleh karena
itu, Islam memberikan perhatian yang mendalam atas urgensi sumber ilmu yang
baik nan bermanfaat. Sekaligus mewanti-wanti agar tidak disibukkan dengan
sumber ilmu yang bathil.
Sungguh
aneh, bila ada seseorang yang menolak jika ada penyakit yang masuk melalui mulutnya.
Namun, ia tidak menolak masuknya hal-hal berbau kekafiran, kefasikan, dan
kesesatan ke dalam dirinya melalui kedua mata dan telinganya.
Perlu
diketahui, jika ada penyakit yang masuk ke dalam tubuh Anda, maka itu hanya sebatas menimpa fisik belaka. Adapun
jika kekafiran, kefasikan dan kesesatan, maka akan menghancurkan keberadaan
Anda sebagai manusia, yang berujung kepada penghancuran iman dalam hati.
Tentunya
hal ini lebih parah madharatnya bagi manusia daripada madharat yang menimpa
jasmaninya, “Lalu ia memungut sebutir batu dan berkata, ‘Ya
Allah, jika ajaran pendeta itu lebih Engkau sukai daripada ajaran tukang sihir,
maka matikanlah binatang ini”.
Yakni, bila
agama si pendeta dan apa yang ia yakini itu lebih dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala
daripada agama si tukang sihir dan sihir yang ia miliki, maka pastilah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala akan membunuh binatang tersebut. “Supaya
manusia bisa lewat seperti semula”.
“Maka, ia
lempar binatang itu dan mati. Orang pun bisa lewat lagi”. Akhirnya, pemuda tersebut dapat membunuhnya dengan seijin
Allah. Orang-orang pun dapat menyelesaikan pekerjaannya kembali. Setiap orang
pergi sesuai dengan keperluannya masing-masing, setelah mereka melihat
tanda-tanda kebesaran Allah yang agung melalui tangan si pemuda tadi.
Dari sini,
pemuda tadi mulai yakin bahwa agama pendeta dan bimbingannya adalah benar dan
lebih dicintai oleh Allah, daripada agama si tukang sihir serta sihir dan sulat
yang ia miliki. Maka, pemuda tadi beriman dengan sebuah keimanan yang tak mampu
terkoyakkan dengan berbagai ujian dan bala’.
“Setelah itu, pemuda ini
mendatangi sang pendeta dan menceritakan kejadian yang baru dialaminya”, berupa
karamah yang muncul melalui kedua tangannya. Setelah menyaksikan karamah
tersebut, maka dengan ‘azzam yang kuat ia menyatakan keimanannya kepada Allah Subhanah
Wa Ta’ala. Ia juga menyatakan keinginannya untuk berdakwah di jalan Allah dan
mengingkari thaghut.
“Pendeta berkata kepadanya,
‘Anakku, hari ini kamu lebih baik daripada aku. Aku melihat apa yang sudah
engkau capai”. Subhanallah, kemarin
pemuda tersebut menjadi murid pendeta tadi dan menuntut ilmu darinya, namun
sekarang ia menjadi seseorang yang lebih baik darinya. Jika demikian, apa yang
berubah pada diri pemuda tersebut?
Benar,
diterimanya amal telah menjadikan seseorang menjadi lebih baik. Amalan pemuda
tadi telah diterima di sisi Allah, sedangkan si pendeta tadi tidak menerima
karunia seperti yang telah diberikan kepada pemuda tadi berupa ilmu dan
keutamaan.
Setelah
pendeta tadi mengetahui hal itu, maka ia menyatakan kesaksiannya yang
berlandaskan kepada keadilan dan ketawadhuan, “Hari
ini kamu lebih baik daripada aku”.
Dewasa ini, betapa kita sangat membutuhkan sikap yang
bijaksana seperti ini. Kita sangat butuh kepada sosok ustadz yang berkata
kepada muridnya –bila ia melihat kecerdasannya yang menjadikannya istimewa,
“Kamu hari ini lebih baik dariku”.
Bandingkanlah
ketawadhu'an sang pendeta dengan keadaan para ulama yang bersikap angkuh,
sombong, dan meremehkan para pemuda yang telah dimuliakan oleh Allah dengan
bersusah payah menjaga umat di perbatasan dari serangan musuh. Di manakah
akhlak yang baik dan sikap bijaksana ini?
Apa yang
memberatkan bagi seorang syaikh yang tak bisa ikut berjihad, untuk berkata
kepada seorang pemuda mujahid yang berjihad di jalan Allah, “Hari ini, kamu
lebih baik dariku?”.
“Sungguh, kamu pasti akan
menerima cobaan”. Sebab, pemuda tersebut telah
memasuki sebuah perkara yang tak seorang pun memasukinya, kecuali ia akan
mendapatkan cobaan, sedangkan ia sendiri telah bertekad untuk menyerukan
kebenaran secara terang-terangan; dakwah di jalan Allah; dan menyatakan secara
terbuka bahwa engkau mengingkari thaghut.
Engkau
telah diteguhkan dengan berbagai karamah dan bukti kekuasaan Allah. Tidak ada
seorang pun yang berjalan di jalan ini, melainkan ia akan mendapat ujian di jalan
Allah. Berhati-hatilah dan bersiap-siaplah untuk itu.
Seorang
mukmin itu akan mendapatkan ujian. Ia akan diuji sesuai dengan kadar keagamaan
dan imannya, serta jihad dan keberaniannya dalam menyatakan kebenaran. Allah
Ta'ala berfiman :
“Apakah manusia itu mengira
bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman",
sedang mereka tidak diuji lagi?”. [Qs. Al-‘Ankabut : 2]
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami
mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami
menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. [Qs. Muhammad : 31]
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwasanya Nabi n
bersabda :
“Manusia yang paling berat ujiannya
adalah para nabi, lalu yang semisalnya, lalu yang semisalnya. Seseorang akan
diuji sesuai dengan kadar keagamaannya. Bila keagamaannya kuat, maka ujiannya
akan berat. Bila keagamaannya tipis, maka ia akan diuji sesuai dengan kadar
keagamaannya”. [HR. Tirmidzi]
Juga, sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Orang-orang shaleh akan
diberatkan (ujiannya) kepada mereka”. [HR. Ahmad]
Dalam
hadits ‘Aisyah, sebagaimana yang tertera dalam kitab shahih, disebutkan bahwa
Waraqah bin Naufal berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendapatkan wahyu pertama : “Duhai, kiranya aku masih muda. Duhai kiranya aku
masih hidup saat kaummu akan mengusirmu”.
Maka,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya : “Apakah mereka akan
mengusirku?”. Ia menjawab : “Ya, tak seorang pun
datang membawa apa yang seperti engkau bawa,
melainkan ia akan dimusuhi. Bila aku mendapati masamu itu, maka aku akan
membelamu dengan sekuat tenaga”.
Demikian pula, setiap orang yang menempuh jalan dan
manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia pasti
diusir kaumnya. Ia akan menghadapi sebagian yang telah dihadapi oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam berupa permusuhan dan ujian karena berdakwah di jalan
Allah.
Seorang da’i yang belum mendapatkan hal itu –terutama
di masa kemenangan para thaghut yang berlaku sewenang-wenang dan undang-undang
mereka di berbagai negeri—maka hendaklah ia mengintrospeksi diri sendiri,
apakah telah terjadi jarak antara dirinya dengan agama Allah dan manhaj para
nabi dan rasul?
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Jika kelak mendapatkan
cobaan, jangan menunjuk namaku!”. yakni, jika para thaghut telah mengetahui bahwa pemuda itu
menyampaikan dakwah yang baru ini, mereka pasti akan menimpakan gangguan dan
tekanan dari pihak raja dan bala tentaranya kepada pemuda tersebut.
Selanjutnya, mereka akan bertanya-tanya kepada pemuda tersebut tentang sumber
ilmu dan dakwahnya.
Oleh sebab
itu, sang pendeta berpesan kepada pemuda itu agar berusaha sekuat tenaga untuk
tidak menunjukkan namanya. Jika sampai mereka mengetahuinya, mereka pasti akan
membunuh sang pendeta tersebut, hanya karena ia mengatakan bahwa Rabbnya adalah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kezhaliman
dan intimidasi akan terus terulang. Betapa banyak para da’i dan para syaikh—di
masa kita—yang berkata kepada murid-murid mereka, dan kepada orang-orang
mendapatkan ilmu dari mereka, “Bila kalian mendapatkan ujian dipenjara oleh
para thaghut yang zhalim, janganlah kalian sampai menunjukkan nama kami”.
“Pemuda
ini sering menyembuhkan pengidap penyakit abrash”, yakni kebutaan sejak
lahir. “Dan belang, serta mengobati
penyakit-penyakit yang diderita orang”. Ini merupakan bagian dari karamah yang
diberikan oleh Allah kepada pemuda tadi.
Ia mampu
menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita oleh orang-orang. Kesemuanya
terjadi berkat ijin Allah. Sebab, yang dapat menyebuhkan hanyalah Allah. Tak
ada yang bisa menyembuhkan selain Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Si pemuda tadi hanya berdoa kepada Allah
saja.
Karamah-karamah
yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada pemuda tadi menjadikan nama dan
dakwahnya terkenal di kalangan manusia. Hingga, ia menjadi kiblat –yang menjadi
tujuan- setiap orang yang sakit.
“Seorang
penasihat raja mendengar berita tentangnya”. Ia
adalah salah seorang menteri dan penasihat raja yang mengalami kebutaan. Ia
mendengar berita tentang pemuda tadi. Berbagai penyembuhan, tanda-tanda
kebesaran Allah, dan hal-hal yang ajaib tersebut belum terbukti di hadapannya,
di hadapan sang raja, maupun di hadapan tukang sihir.
“Maka,
ia datang kepada pemuda tersebut dengan membawa banyak hadiah. Ia berkata:
‘Semua yang kubawa ke sini ini akan menjadi milikmu jika engkau bisa
menyembuhkanku’”. Penasihat raja tadi beranggapan bahwa yang
dapat menyembuhkan adalah pemuda tersebut. Oleh karena itu, ia mengumpulkan
banyak hadiah yang berharga untuknya sebagai upah bila ia mampu
menyembuhkannya.
Namun,
pemuda mukmin tadi meluruskan pemahamannya yang keliru seraya berkata : “Aku
tidak bisa menyembuhkan siapa pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah”. Ia
membantah bahwa dirinya mampu melakukan penyembuhan. Karena itu hanyalah hak
prerogratif Allah Ta'ala.
Oleh
karena itu, barangsiapa yang ingin sembuh, hendaklah ia meminta kesembuhan
kepada Allah semata. Hendaklah ia meminta kepada Allah dan tak ada yang berhak
menyembuhkan selain Allah Subhanahu Wa ta’ala. Hal
ini tidak bertentangan dengan usaha mencari sebab musabab. Sebagaimana, yang
tertera dalam firman Allah Ta'ala :
“Jika
Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu,
maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada
siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Qs. Yunus : 107]
Allah
Ta'ala juga berfirman tentang nabi Ibrahim dengan firman-Nya :
“Dan
apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku”. [Qs. Asy-Syu’ara’: 80]
Betapa
banyak pasien yang mencari sebab-sebab kesembuhan, namun melupakan Penyembuh
hakiki (yakni Allah), maka obat apapun tak akan mampu menyembuhkannya.
Betapa
banyak pasien yang berdoa –dengan hati senantiasa memenuhi panggilan Allah--,
“Ya Allah,” tanpa minum obat, namun Allah menyembuhkannya.
“’Jika kamu beriman kepada
Allah, aku akan berdoa kepada-Nya dan Dia akan menyembuhkanmu’, tukas si pemuda”. Ini
merupakan bentuk kewara’an pemuda mukmin tadi. Ia tidak memanfaatkan karunia
Allah berupa karamah dan nikmat tersebut untuk diri sendiri; untuk kepentingan
pribadi; atau untuk mendorong orang-orang supaya memberikan hadiah dan
pemberian kepadanya; atau untuk menguasai mereka.
Tidak demikian. Ia tidak memiliki
tujuan-tujuan tersebut selama-lamanya. Tujuannya hanyalah supaya orang-orang
beriman kepada Allah Ta'ala, beribadah kepada-Nya, mentauhidkan-Nya, dan taat
kepada-Nya. Tak ada obsesi selain itu. Tak ada tujuan selain itu.
Semua
kemaslahatan kembali kepada mereka bila mereka beriman kepada Allah. Sehingga,
ia pun berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala supaya
menyembuhkan mereka. Alangkah butuhnya para dai dewasa ini kepada keikhlasan
seperti ini.
Kita
kembali menemukan bahwa pemuda mukmin tadi berkali-kali menegaskan bahwa
tugasnya hanya sebatas berdoa kepada Allah, tidak lebih dari itu. Adapun yang
menyembuhkan hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hal
tersebut berfungsi untuk menghilangkan ketergantungan manusia kepadanya dan
meluruskan keyakinan dan gambaran mereka, tentang tujuan dipanjatkannya doa dan
pengharapan.
Hal ini
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu
Wa Ta’ala :
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran”. [Qs. Al-Baqarah
: 186]
“Atau siapakah yang
memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya,
dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai
khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat
sedikitlah kamu mengingati (Nya)”. [Qs. An-Naml : 62]
“Akhirnya
ia beriman”, saat
itu juga. Belum selesai si pemuda tadi berdo’a, maka “Allah
pun menyembuhkannya”. Allah mengembalikan penglihatannya.
Salah
satu tanda kekuasaan Allah terjadi pada diri orang yang buta ini. Dengan
demikian, ia mampu melihat bukti-bukti kekuasaan Rabbnya yang mampu mengubah
seluruh jalan hidupnya.
Dalam
hatinya bersemayam keimanan dan keyakinan. Kemarin, ia sebagai seorang
penasehat, pendukung, dan menteri raja zhalim. Namun hari ini ia berubah total
dan menjadi orang pertama yang mendatangi istana thaghut untuk menyatakan
secara terang-terangan di hadapannya dan di hadapan para antek-anteknya yang
telah tersesat dari kebenaran.
“Setelah
itu, ia datang kepada raja seperti biasa”. Namun,
kali ini ia duduk di hadapannya dengan kedua mata terbuka. Mata hatinya telah
dikembalikan oleh Allah sebelum kedua mata penglihatannya.
“Raja
bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?’”. Sang
raja menduga bahwa ia akan menjawab, “Paduka”. Atau, “Tukang sihir paduka”.
Sebab, ia tidak mengira akan mendengar jawaban dari para antek-anteknya atau
salah seorang dari rakyatnya bahwa ada tuhan yang lain yang dapat memberikan
manfaat dan madharat selain sang raja.
Persis
seperti para thaghut-thaghut modern. Anda akan melihat mereka senang bila Anda
memuji mereka dan memberikan sifat, gelar, dan sanjungan yang sebenarnya tidak
mereka miliki sama sekali. Padahal, mereka tahu pasti bahwa Anda berdusta
kepada mereka. Anda akan menjadi orang yang paling dekat dengannya melebihi
orang-orang yang memberikan petuah, memerintahkan kepada kebaikan, dan melarang
dari perbuatan munkar.
“Ia
menjawab, “Tuhanku!”. Jawaban tersebut seolah-olah petir yang menyambar kepala
sang thaghut. Terutama ketika ia tidak mengatakan kepadanya, “Paduka”, atau “Kemuliaan paduka”.
“Raja bertanya lagi : “Apakah
kamu mempunyai tuhan selainku?”, yang bisa
memberikan manfaat dan menghilangkan madharat, yang menjadikan tumpuan dalam
segala sendi kehidupan, baik yang khusus maupun yang umum.
Sang raja
itu mengaku-ngaku sebagai tuhan yang paling tinggi, dengan kesombongannya, ia
tidak mengakui tuhan bagi rakyatnya yang mereka jadikan sandaran selain raja
bodoh itu.
Ungkapan
sang menteri yang sembuh dari kebutaan tersebut merupakan bentuk pembangkangan,
penentangan dan pemberontakan. Perkara ini tidak dapat diampuni dan sang raja
jelas tidak akan mentoleransinya.
“Penasihat itu berkata :
“Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah”. Ia
mengatakannya dengan sikap menantang dengan penuh keberanian, keteguhan, dan
ketegaran.
Hanya
beberapa saat setelah keimanannya, ia mampu mengatakan : “Tuhanku dan Tuhanmu adalah
Allah. Engkau hanyalah hamba dan makhluk yang lemah. Engkau tidak mampu
memberikan manfaat dan madharat. Apa yang digambarkan oleh tukang sihir dan
antek-antekmu hanyalah kebohongan belaka, tidak membenarkamu.
Jangan
sampai kebodohan dan kekuasaanmu menghalang-halangi dari melihat kebenaran dan
mengetahui kebenaran yang mutlak. Tuhanku, Tuhanmu, dan Tuhan seluruh makhluk
adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tak ada Tuhan di alam semesta ini selain-Nya.
Tuhan yang berhak diibadahi adalah Allah Ta'ala, tak ada yang lain. Dialah
Pencipta yang ditangan-Nya seluruh perkara, bukan kamu.
Sebuah
susunan ungkapan kebenaran yang disampaikan di hadapan thaghut yang sombong.
Ucapan tersebut mampu menggoncang antek-antek dan pembesar-pembesarnya.
Kita
mungkin sangat mudah untuk membaca ucapannya. Namun, sekiranya kita
membayangkan suasana, kondisi, dan efeknya, serta kita mengalaminya dengan
perasaan kita, tentu kita tahu betapa sulitnya kondisi saat itu dan keagungan
orang yang hatinya telah dipenuhi dengan keimanan tadi.
Padahal, ia
baru saja beriman. Ia menyatakan kebenaran secara terang-terangan di hadapan
sang raja. Padahal, ia tahu pasti bahwa ucapannya ini harus dibayar mahal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar