Rabu, 21 Desember 2011

Syarah Hadits Ashabul Ukhdud, Bag. 2


Selanjutnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akhirnya, setiap kali berangkat ke tempat tukang sihir”. Ia tidak sanggup melawan apa yang terbetik dalam hatinya berupa kecenderungannya kepada kebenaran yang disampaikan oleh sang pendeta.
Oleh karena itu, ia memanfaatkan waktu saat mendatangi tukang sihir. Setiap kali ia mendatanginya, maka “ia mampir dulu, duduk di tempat pendeta”, untuk mendengarkan penjelasan tentang agama dan iman. Sehingga, bertambahlah ilmunya tentang agama baru yang ia dengar dari sang pendeta. Sebab, ia tidak bisa mendatanginya selain waktu seperti itu –yakni saat ia mendatangi sang raja—karena khawatir perkaranya terbongkar.
Bagaimana ia tidak khawatir? Berdasarkan undang-undang sang raja tersebut, sekedar bertemu dengan pendeta itu saja sudah dianggap sebagai tuduhan yang berhak mendapatkan hukuman berupa pembunuhan.
Sikap sang raja tersebut persis seperti kondisi para thaghut modern yang diterapkan kepada para penuntut ilmu. Mereka akan memata-matai para pelajar di halaqah-halaqah mereka untuk mengetahui apa yang mereka ucapkan dan apa yang mereka tulis.
Mereka akan menangkap para syaikh yang keluar dari ketaatan kepada para thaghut dan undang-undangnya. Mereka akan menganggap setiap orang yang duduk di halaqah para syaikh sebagai kriminal.
“Akibatnya, setiba di tempat tukang sihir ia dicambuk”, karena keterlambatannya dengan jadwal yang telah ditentukan untuk mempelajari ilmu sihir dari sang tukang sihir tersebut.
Mereka begitu khawatir jika pemuda tersebut pergi ke tempat lain yang tidak sesuai dengan misi para thaghut itu ketika memilihnya (untuk mempelajari ilmu sihir). Juga, tidak sejalan dengan tugas yang tengah disiapkan untuk si pemuda tersebut. Yakni, agar lulus dalam mengemban tugas ini ia harus mempersiapkannya secara khusus untuk menjadi tukang sihir kerajaan di masa depan.
Pukulan yang dilakukan oleh tukang sihir kepada pemuda tadi, sudah menjadi bukti kegagalan si tukang sihir dan lemahnya hujjah yang ia miliki terhadap ilmu sihir yang ia ajarkan kepada si pemuda. Ketika pukulan telah digunakan sebagai sarana untuk memahamkan sesuatu, berarti sudah tidak ada sarana lain untuk memahamkan satu pemikiran, atau karena lemahnya bukti-bukti dan landasan pendapat yang dimiliki oleh para pemukul itu.
“Hal ini ia adukan kepada pendeta”. Ini merupakan bukti bahwa si pemuda telah menyenangi dan merasa tenteram dengan ilmu yang dimiliki pendeta dan kenyamanannya berada di sisinya. Sebab, ia melihat pada diri pendeta tadi sopan santun, kasih sayang, ilmu, belas kasih, akhlak yang baik, dan nilai-nilai agama. Inilah yang mendorongnya untuk mengadukan apa yang ia alami. Hal ini termasuk isyarat penerimaan si pemuda terhadap dakwah sang pendeta.
“Ia berkata, ‘Jika kamu takut dipukul tukang sihir, katakan bahwa keluargamu menahan dirimu. Dan jika engkau takut dimarahi keluargamu, katakan bahwa tukang sihir menahan dirimu”.
Yakni, ia beralasan kepada tukang sihir karena faktor keluarga dan beralasan kepada keluarganya karena faktor si tukang sihir. Dengan demikian, ia dapat selamat dari keburukan dan siksaan keduanya. Pada saat yang sama, ia dapat duduk bersama pendeta untuk mendengarkan petuah agama dan keimanan. Karena ia harus mendapatkan hal itu, dan mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak boleh ada sesuatu yang menghalangi yang dapat ia hindari.
Arahan ini merupakan dalil dibolehkannya membuat tipu muslihat kepada keluarga—dan alangkah banyaknya contoh-contoh senada dengan ini di era sekarang—dengan ungkapan-ungkapan tauriyah bila mereka menghalang-halangi anak mereka untuk menghadiri majelis ilmu para ulama.
Sebagian besar kalangan orang tua tidak melarang anak-anak mereka pergi sesuka hatinya. Namun, Anda akan melihat bahwasanya mereka akan melarang keras sekiranya mereka mengetahui bahwa anak mereka pergi untuk mendalami agama dan mencari ilmu serta menghadiri mejelis ilmu. Mereka khawatir bilamana para thaghut yang zhalim itu menggelari sang anak sebagai teroris atau yang bersekongkol dengan kawanan teroris.
“Ketika berangkat seperti biasa”, yakni datang ke tukang sihir dan mendengar petuahnya dan pergi ke pendeta dan mendengar penyampaiannya.
Pemuda itu bertemu dengan binatang buas. Binatang ini membuat orang-orang ketakutan sehingga mereka tidak bisa lewat”.  Yakni, binatang tersebut menghalangi-halangi jalan mereka sehingga mereka tidak bisa lewat. Ini merupakan bukti saking besarnya binatang tersebut.
Binatang yang menganggu jalan orang-orang inilah yang menjadi faktor tersingkapnya kebenaran, terlihatnya kebenaran dan kebathilan serta hidayah bagi mayoritas orang. Betapa banyak madharat yang sangat bermanfaat. Sekiranya Anda menengok hal-hal yang ghaib, tentu Anda akan menerima realita.
“Ia bergumam, ‘Kini saatnya kuketahui, mana yang lebih baik, tukang sihir ataukah pendeta”. Ungkapan ini mengandung arti bahwasanya pada saat itu si pemuda tadi masih meragukan kebenaran.
Hal ini kembali kepada sumber ilmu yang ia dapatkan baik dari si tukang sihir maupun pendeta. Peristiwa tersebut juga menunjukkan kepada kita, betapa besar tekanan yang dilakukan si tukang sihir terhadap pemuda tadi.
Sumber ilmu—yang baik maupun yang buruk—telah membentuk keyakinan, perangai, dan akhlak seseorang. Bila sumber ilmu, dasar-dasar keyakinan, dan pemahaman tersebut berada di bawah tekanan thaghut dan berlandaskan pengetahuan thaghut.
Maka ilmu dari thaghut tersebut pasti membentuk perangai yang menyimpang dan pola pikir yang salah pada diri seseorang. Bila sumbernya berasal dari kebenaran dan berlandaskan pengetahuan yang haq, pasti akan membentuk perangai yang baik serta gambaran dan nilai-nilai yang baik pada diri seseorang.
Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian yang mendalam atas urgensi sumber ilmu yang baik nan bermanfaat. Sekaligus mewanti-wanti agar tidak disibukkan dengan sumber ilmu yang bathil.
Sungguh aneh, bila ada seseorang yang menolak jika ada penyakit yang masuk melalui mulutnya. Namun, ia tidak menolak masuknya hal-hal berbau kekafiran, kefasikan, dan kesesatan ke dalam dirinya melalui kedua mata dan telinganya.
Perlu diketahui, jika ada penyakit yang masuk ke dalam tubuh Anda, maka itu  hanya sebatas menimpa fisik belaka. Adapun jika kekafiran, kefasikan dan kesesatan, maka akan menghancurkan keberadaan Anda sebagai manusia, yang berujung kepada penghancuran iman dalam hati.
Tentunya hal ini lebih parah madharatnya bagi manusia daripada madharat yang menimpa jasmaninya, “Lalu ia memungut sebutir batu dan berkata, ‘Ya Allah, jika ajaran pendeta itu lebih Engkau sukai daripada ajaran tukang sihir, maka matikanlah binatang ini”.
Yakni, bila agama si pendeta dan apa yang ia yakini itu lebih dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala daripada agama si tukang sihir dan sihir yang ia miliki, maka pastilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan membunuh binatang tersebut. “Supaya manusia bisa lewat seperti semula.
Maka, ia lempar binatang itu dan mati. Orang pun bisa lewat lagi”. Akhirnya, pemuda tersebut dapat membunuhnya dengan seijin Allah. Orang-orang pun dapat menyelesaikan pekerjaannya kembali. Setiap orang pergi sesuai dengan keperluannya masing-masing, setelah mereka melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang agung melalui tangan si pemuda tadi.
Dari sini, pemuda tadi mulai yakin bahwa agama pendeta dan bimbingannya adalah benar dan lebih dicintai oleh Allah, daripada agama si tukang sihir serta sihir dan sulat yang ia miliki. Maka, pemuda tadi beriman dengan sebuah keimanan yang tak mampu terkoyakkan dengan berbagai ujian dan bala’.
“Setelah itu, pemuda ini mendatangi sang pendeta dan menceritakan kejadian yang baru dialaminya”, berupa karamah yang muncul melalui kedua tangannya. Setelah menyaksikan karamah tersebut, maka dengan ‘azzam yang kuat ia menyatakan keimanannya kepada Allah Subhanah Wa Ta’ala. Ia juga menyatakan keinginannya untuk berdakwah di jalan Allah dan mengingkari thaghut.
“Pendeta berkata kepadanya, ‘Anakku, hari ini kamu lebih baik daripada aku. Aku melihat apa yang sudah engkau capai”. Subhanallah, kemarin pemuda tersebut menjadi murid pendeta tadi dan menuntut ilmu darinya, namun sekarang ia menjadi seseorang yang lebih baik darinya. Jika demikian, apa yang berubah pada diri pemuda tersebut?
Benar, diterimanya amal telah menjadikan seseorang menjadi lebih baik. Amalan pemuda tadi telah diterima di sisi Allah, sedangkan si pendeta tadi tidak menerima karunia seperti yang telah diberikan kepada pemuda tadi berupa ilmu dan keutamaan.
Setelah pendeta tadi mengetahui hal itu, maka ia menyatakan kesaksiannya yang berlandaskan kepada keadilan dan ketawadhuan, “Hari ini kamu lebih baik daripada aku”.
Dewasa ini, betapa kita sangat membutuhkan sikap yang bijaksana seperti ini. Kita sangat butuh kepada sosok ustadz yang berkata kepada muridnya –bila ia melihat kecerdasannya yang menjadikannya istimewa, “Kamu hari ini lebih baik dariku”.

Bandingkanlah ketawadhu'an sang pendeta dengan keadaan para ulama yang bersikap angkuh, sombong, dan meremehkan para pemuda yang telah dimuliakan oleh Allah dengan bersusah payah menjaga umat di perbatasan dari serangan musuh. Di manakah akhlak yang baik dan sikap bijaksana ini?
Apa yang memberatkan bagi seorang syaikh yang tak bisa ikut berjihad, untuk berkata kepada seorang pemuda mujahid yang berjihad di jalan Allah, “Hari ini, kamu lebih baik dariku?”.
“Sungguh, kamu pasti akan menerima cobaan”. Sebab, pemuda tersebut telah memasuki sebuah perkara yang tak seorang pun memasukinya, kecuali ia akan mendapatkan cobaan, sedangkan ia sendiri telah bertekad untuk menyerukan kebenaran secara terang-terangan; dakwah di jalan Allah; dan menyatakan secara terbuka bahwa engkau mengingkari thaghut.
Engkau telah diteguhkan dengan berbagai karamah dan bukti kekuasaan Allah. Tidak ada seorang pun yang berjalan di jalan ini, melainkan ia akan mendapat ujian di jalan Allah. Berhati-hatilah dan bersiap-siaplah untuk itu.
Seorang mukmin itu akan mendapatkan ujian. Ia akan diuji sesuai dengan kadar keagamaan dan imannya, serta jihad dan keberaniannya dalam menyatakan kebenaran. Allah Ta'ala berfiman :
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”. [Qs. Al-Ankabut : 2]
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. [Qs. Muhammad : 31]
            Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwasanya Nabi n bersabda :
“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, lalu yang semisalnya, lalu yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar keagamaannya. Bila keagamaannya kuat, maka ujiannya akan berat. Bila keagamaannya tipis, maka ia akan diuji sesuai dengan kadar keagamaannya”. [HR. Tirmidzi]
Juga, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Orang-orang shaleh akan diberatkan (ujiannya) kepada mereka”. [HR. Ahmad]
Dalam hadits ‘Aisyah, sebagaimana yang tertera dalam kitab shahih, disebutkan bahwa Waraqah bin Naufal berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendapatkan wahyu pertama : “Duhai, kiranya aku masih muda. Duhai kiranya aku masih hidup saat kaummu akan mengusirmu”.
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya : “Apakah mereka akan mengusirku?”. Ia menjawab : “Ya, tak seorang pun datang membawa apa yang seperti engkau bawa, melainkan ia akan dimusuhi. Bila aku mendapati masamu itu, maka aku akan membelamu dengan sekuat tenaga”.
Demikian pula, setiap orang yang menempuh jalan dan manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia pasti diusir kaumnya. Ia akan menghadapi sebagian yang telah dihadapi oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berupa permusuhan dan ujian karena berdakwah di jalan Allah.
Seorang da’i yang belum mendapatkan hal itu –terutama di masa kemenangan para thaghut yang berlaku sewenang-wenang dan undang-undang mereka di berbagai negeri—maka hendaklah ia mengintrospeksi diri sendiri, apakah telah terjadi jarak antara dirinya dengan agama Allah dan manhaj para nabi dan rasul?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika kelak mendapatkan cobaan, jangan menunjuk namaku!”. yakni, jika para thaghut telah mengetahui bahwa pemuda itu menyampaikan dakwah yang baru ini, mereka pasti akan menimpakan gangguan dan tekanan dari pihak raja dan bala tentaranya kepada pemuda tersebut. Selanjutnya, mereka akan bertanya-tanya kepada pemuda tersebut tentang sumber ilmu dan dakwahnya.
Oleh sebab itu, sang pendeta berpesan kepada pemuda itu agar berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan namanya. Jika sampai mereka mengetahuinya, mereka pasti akan membunuh sang pendeta tersebut, hanya karena ia mengatakan bahwa Rabbnya adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kezhaliman dan intimidasi akan terus terulang. Betapa banyak para da’i dan para syaikh—di masa kita—yang berkata kepada murid-murid mereka, dan kepada orang-orang mendapatkan ilmu dari mereka, “Bila kalian mendapatkan ujian dipenjara oleh para thaghut yang zhalim, janganlah kalian sampai menunjukkan nama kami”.
“Pemuda ini sering menyembuhkan pengidap penyakit abrash”, yakni kebutaan sejak lahir.  “Dan belang, serta mengobati penyakit-penyakit yang diderita orang”.  Ini merupakan bagian dari karamah yang diberikan oleh Allah kepada pemuda tadi.
Ia mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita oleh orang-orang. Kesemuanya terjadi berkat ijin Allah. Sebab, yang dapat menyebuhkan hanyalah Allah. Tak ada yang bisa menyembuhkan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Si pemuda tadi hanya berdoa kepada Allah saja.
Karamah-karamah yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada pemuda tadi menjadikan nama dan dakwahnya terkenal di kalangan manusia. Hingga, ia menjadi kiblat –yang menjadi tujuan- setiap orang yang sakit.
“Seorang penasihat raja mendengar berita tentangnya”. Ia adalah salah seorang menteri dan penasihat raja yang mengalami kebutaan. Ia mendengar berita tentang pemuda tadi. Berbagai penyembuhan, tanda-tanda kebesaran Allah, dan hal-hal yang ajaib tersebut belum terbukti di hadapannya, di hadapan sang raja, maupun di hadapan tukang sihir.
“Maka, ia datang kepada pemuda tersebut dengan membawa banyak hadiah. Ia berkata: ‘Semua yang kubawa ke sini ini akan menjadi milikmu jika engkau bisa menyembuhkanku’”. Penasihat raja tadi beranggapan bahwa yang dapat menyembuhkan adalah pemuda tersebut. Oleh karena itu, ia mengumpulkan banyak hadiah yang berharga untuknya sebagai upah bila ia mampu menyembuhkannya.
Namun, pemuda mukmin tadi meluruskan pemahamannya yang keliru seraya berkata : “Aku tidak bisa menyembuhkan siapa pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah”. Ia membantah bahwa dirinya mampu melakukan penyembuhan. Karena itu hanyalah hak prerogratif Allah Ta'ala.
Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin sembuh, hendaklah ia meminta kesembuhan kepada Allah semata. Hendaklah ia meminta kepada Allah dan tak ada yang berhak menyembuhkan selain Allah Subhanahu Wa ta’ala. Hal ini tidak bertentangan dengan usaha mencari sebab musabab. Sebagaimana, yang tertera dalam firman Allah Ta'ala :
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Qs. Yunus : 107]
Allah Ta'ala juga berfirman tentang nabi Ibrahim dengan firman-Nya :
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku”. [Qs. Asy-Syu’ara’: 80]
Betapa banyak pasien yang mencari sebab-sebab kesembuhan, namun melupakan Penyembuh hakiki (yakni Allah), maka obat apapun tak akan mampu menyembuhkannya.
Betapa banyak pasien yang berdoa –dengan hati senantiasa memenuhi panggilan Allah--, “Ya Allah,” tanpa minum obat, namun Allah menyembuhkannya.
Jika kamu beriman kepada Allah, aku akan berdoa kepada-Nya dan Dia akan menyembuhkanmu’, tukas si pemuda”. Ini merupakan bentuk kewara’an pemuda mukmin tadi. Ia tidak memanfaatkan karunia Allah berupa karamah dan nikmat tersebut untuk diri sendiri; untuk kepentingan pribadi; atau untuk mendorong orang-orang supaya memberikan hadiah dan pemberian kepadanya; atau untuk menguasai mereka.
Tidak demikian. Ia tidak memiliki tujuan-tujuan tersebut selama-lamanya. Tujuannya hanyalah supaya orang-orang beriman kepada Allah Ta'ala, beribadah kepada-Nya, mentauhidkan-Nya, dan taat kepada-Nya. Tak ada obsesi selain itu. Tak ada tujuan selain itu.
Semua kemaslahatan kembali kepada mereka bila mereka beriman kepada Allah. Sehingga, ia pun berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala supaya menyembuhkan mereka. Alangkah butuhnya para dai dewasa ini kepada keikhlasan seperti ini.
Kita kembali menemukan bahwa pemuda mukmin tadi berkali-kali menegaskan bahwa tugasnya hanya sebatas berdoa kepada Allah, tidak lebih dari itu. Adapun yang menyembuhkan hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hal tersebut berfungsi untuk menghilangkan ketergantungan manusia kepadanya dan meluruskan keyakinan dan gambaran mereka, tentang tujuan dipanjatkannya doa dan pengharapan.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. [Qs. Al-Baqarah : 186]
“Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)”. [Qs. An-Naml : 62]
“Akhirnya ia beriman”, saat itu juga. Belum selesai si pemuda tadi berdoa, maka “Allah pun menyembuhkannya”. Allah mengembalikan penglihatannya.
Salah satu tanda kekuasaan Allah terjadi pada diri orang yang buta ini. Dengan demikian, ia mampu melihat bukti-bukti kekuasaan Rabbnya yang mampu mengubah seluruh jalan hidupnya.
Dalam hatinya bersemayam keimanan dan keyakinan. Kemarin, ia sebagai seorang penasehat, pendukung, dan menteri raja zhalim. Namun hari ini ia berubah total dan menjadi orang pertama yang mendatangi istana thaghut untuk menyatakan secara terang-terangan di hadapannya dan di hadapan para antek-anteknya yang telah tersesat dari kebenaran.
“Setelah itu, ia datang kepada raja seperti biasa”. Namun, kali ini ia duduk di hadapannya dengan kedua mata terbuka. Mata hatinya telah dikembalikan oleh Allah sebelum kedua mata penglihatannya.
“Raja bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?. Sang raja menduga bahwa ia akan menjawab, “Paduka”. Atau, “Tukang sihir paduka”. Sebab, ia tidak mengira akan mendengar jawaban dari para antek-anteknya atau salah seorang dari rakyatnya bahwa ada tuhan yang lain yang dapat memberikan manfaat dan madharat selain sang raja.
Persis seperti para thaghut-thaghut modern. Anda akan melihat mereka senang bila Anda memuji mereka dan memberikan sifat, gelar, dan sanjungan yang sebenarnya tidak mereka miliki sama sekali. Padahal, mereka tahu pasti bahwa Anda berdusta kepada mereka. Anda akan menjadi orang yang paling dekat dengannya melebihi orang-orang yang memberikan petuah, memerintahkan kepada kebaikan, dan melarang dari perbuatan munkar.
Ia menjawab, “Tuhanku!”. Jawaban tersebut seolah-olah petir yang menyambar kepala sang thaghut. Terutama ketika ia tidak mengatakan kepadanya, “Paduka”, atau  “Kemuliaan paduka”.
“Raja bertanya lagi : “Apakah kamu mempunyai tuhan selainku?”, yang bisa memberikan manfaat dan menghilangkan madharat, yang menjadikan tumpuan dalam segala sendi kehidupan, baik yang khusus maupun yang umum.
Sang raja itu mengaku-ngaku sebagai tuhan yang paling tinggi, dengan kesombongannya, ia tidak mengakui tuhan bagi rakyatnya yang mereka jadikan sandaran selain raja bodoh itu. 
Ungkapan sang menteri yang sembuh dari kebutaan tersebut merupakan bentuk pembangkangan, penentangan dan pemberontakan. Perkara ini tidak dapat diampuni dan sang raja jelas tidak akan mentoleransinya.
“Penasihat itu berkata : “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah”. Ia mengatakannya dengan sikap menantang dengan penuh keberanian, keteguhan, dan ketegaran.
Hanya beberapa saat setelah keimanannya, ia mampu mengatakan : “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah. Engkau hanyalah hamba dan makhluk yang lemah. Engkau tidak mampu memberikan manfaat dan madharat. Apa yang digambarkan oleh tukang sihir dan antek-antekmu hanyalah kebohongan belaka, tidak membenarkamu.
Jangan sampai kebodohan dan kekuasaanmu menghalang-halangi dari melihat kebenaran dan mengetahui kebenaran yang mutlak. Tuhanku, Tuhanmu, dan Tuhan seluruh makhluk adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tak ada Tuhan di alam semesta ini selain-Nya. Tuhan yang berhak diibadahi adalah Allah Ta'ala, tak ada yang lain. Dialah Pencipta yang ditangan-Nya seluruh perkara, bukan kamu.
Sebuah susunan ungkapan kebenaran yang disampaikan di hadapan thaghut yang sombong. Ucapan tersebut mampu menggoncang antek-antek dan pembesar-pembesarnya.
Kita mungkin sangat mudah untuk membaca ucapannya. Namun, sekiranya kita membayangkan suasana, kondisi, dan efeknya, serta kita mengalaminya dengan perasaan kita, tentu kita tahu betapa sulitnya kondisi saat itu dan keagungan orang yang hatinya telah dipenuhi dengan keimanan tadi.
Padahal, ia baru saja beriman. Ia menyatakan kebenaran secara terang-terangan di hadapan sang raja. Padahal, ia tahu pasti bahwa ucapannya ini harus dibayar mahal.
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011