مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)”. (QS. Al-Ahzab : 23)
Jika aku hidup, aku takkan kehabisan makanan
Kalau aku mati, aku takkan kehabisan kuburan,
Semangatku semangat para raja
Jiwaku jiwa merdeka, yang memandang kehinaan sebagai kekafiran.” (Imam Syafi‘i)
Aksi militer Al-Faniyyah bukan menjadi satu-satunya fenomena awal ketika itu. Setelah terjadinya operasi tersebut, beberapa bulan kemudian Al-Akh Asy-syahid –dalam penilaian kami—Yahya Hasyim mencoba memulai aksi perang gerilya dari pegunungan Al-Munya.
Meskipun percobaan pertama ini tidak mencatat sebuah keberhasilan, karena tidak memperhatikan situasi-situasi yang harus dipenuhi agar perang seperti ini berhasil, namun itu cukup menjadi indikasi bahwa ide pergerakan Islam ketika itu sudah menjadi kenyataan yang riil dan bahwa pemuda Islam kali ini bukan lagi seperti para pendahulunya di era 40-an.
Yahya Hasyim termasuk salah satu perintis gerakan jihad di Mesir, dan dia layak disebut perintis. Allah telah mengkaruniainya satu nikmat besar berupa jiwa yang kuat dan cita-cita yang tinggi. Dua hal inilah yang mendorongnya untuk mengorbankan segala yang dia miliki tanpa memperdulikan lagi rongsokan-rongsokan harta benda duniawi dan asyiknya manusia dalam memperebutkannya.
Satu lagi sifat terpuji yang dia miliki, yaitu semangatnya dalam mewujudkan apa yang dia yakini. Ia juga berjiwa bersih, selalu berbaik sangka dan berempati kepada saudara-saudaranya dan kepada kaum Muslimin.
Yahya Hasyim, tadinya adalah pejabat kejaksaan. Akan tetapi Yahya tidak peduli dengan jabatan tersebut, ia selalu dalam kondisi siap berkorban di jalan Allah, tidak peduli dengan harta benda duniawi yang diperebutkan oleh manusia pada umumnya. Padahal jabatan semacam itu adalah dambaan kebanyakan pemuda saat itu.
Saya kenal Yahya Hasyim setelah ia bergabung dengan kelompok kami pasca tergulingnya Gamal Abdul Nashir tahun 1967 M.
Bergabungnya dia ke kelompok kami merupakan sebuah kisah yang unik. Ketika itu Mesir dipenuhi dengan aksi-aksi demonstrasi –khususnya di universitas-universitas dan di kalangan para buruh—akibat peristiwa yang sangat memalukan dengan mundurnya tentara pemerintahan Nashir ketika menghadapi pasukan Israel . Tentara negara terkuat di Arab dan pemimpin bangsa Arab yang berjanji (sebagaimana klaim dusta yang sering dia sampaikan kepada rakyatnya) akan membuang Israel ke laut dan memerangi Israel dan pendukung Israel , ternyata porak poranda. Tentara yang katanya berkekuatan dahsyat ini berubah menjadi pecundang yang mencari-cari jalan melarikan diri di tengah gurun Sinai karena dikejar-kejar oleh angkatan bersenjata Israel . Pesawat mereka keburu hancur di tanah sebelum sempat bergerak.
Kami mengambil keputusan untuk menggerakkan aksi demonstrasi di Masjid Imam Husain. Rencananya, dari sana kami akan keluar ke jalan raya Al-Azhar dan bergerak terus hingga ke tengah kota Kairo, berbarengan dengan demo-demo mahasiswa universitas Al-Azhar dan para buruh dari kawasan industeri Hilwan.
Kami pun menuju masjid Sayyidina Husain untuk melaksanakan shalat Jumat, kami berpencar di berbagai sudut masjid. Begitu shalat usai, Yahya Hasyim berdiri menyampaikan orasi di hadapan jamaah shalat, ia menjelaskan tentang parahnya musibah-musibah yang menimpa umat Islam, dan kami meresponnya dengan meneriakkan takbir. Akan tetapi pihak intelejent sudah siap dan memantau terus suasana-suasana menegangkan ini. Tak lama kemudian Yahya sudah dikepung oleh aparat-aparat intelejen dan mereka mendorongnya ke luar masjid. Ketika itu orang-orang sangat terheran-heran dengan keberanian Yahya, karena memang sebelumnya tidak pernah ada orang yang berani melakukannya di masa kepemimpinan Abdul Nashir yang bengis.
Ternyata Yahya tidak berhenti berteriak dengan sekencang-kencangnya, padahal ia sudah dikepung oleh petugas-petugas intel dari semua arah, mereka juga memegang dan mendorongnya.
Ketika ia keluar ke pelataran Masjid Imam Husain, ia terus saja berorasi dengan suara keras. Hal ini memaksa intelejen untuk membuat skenario agar dia bisa didiamkan, maka salah seorang dari mereka maju dan memegang lehernya sambil berkata kepadanya : “Hei, maling! Kamu mencuri tasku ya!”, ia berteriak lebih keras daripada suara Yahya. Kemudian aparat mengelilinginya dan mendorongnya ke sebuah apotek yang berdekatan lalu menguncinya di sana. Tak lama kemudian sebuah mobil datang dan membawanya menghadap direktur intelejen pusat –ketika itu dijabat oleh Hasan Thal‘at.
Saat itu pemerintahan Nashir betul-betul tak bisa berkata apa-apa dan sempoyongan, aparat keamanannya tak mampu bertindak apapun, mereka seperti berada di antara dua api : kepemimpinan yang lumpuh oleh kekalahan memalukan sehingga berakibat terjadi pembusukan dari dalam pada satu sisi, dan perlawanan rakyat anti pemerintah yang telah menghilangkan rasa takut pada diri mereka dari sisi lain, ditambah lagi perlawanan dan penolakan baru dari rakyat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di gedung intelejen, mereka dengan leluasa memukuli Yahya Hasyim, kemudian mereka membawanya ke kantor Direktur Intelejen Keamanan Pusat, Hasan Thal‘at.
Yahya Hasyim bercerita kepada kami mengenai pertemuan seru yang terjadi di kantor Hasan Thal‘at dan bagaimana dilema yang dihadapi oleh pemerintah ketika itu. Kemarahan rakyat bahkan sudah merambah ke institusi pengadilan dan kejaksaan. Direktur intelejen Keamanan Negara merasa dirinya berurusan dengan kepala kejaksaan –yang konon punya kekebalan hukum—, sementara negara mendidih seperti kawah mengecam tindakan-tindakan Kepala Intelejen Keamanan Negara yang kotor dan terulang-ulang, khususnya terhadap kaum Muslimin.
Mulailah Hasan Thal‘at membela dirinya –padahal dia adalah sosok yang bengis dan arogan— di hadapan Yahya Hasyim. Berulang-ulang ia menyatakan bahwa dirinya adalah Muslim yang membela Islam, padahal dia adalah orang naik ke kursi kekuasaan dengan menginjak darah dan ceceran daging kaum Muslimin.
Akan tetapi Yahya menyerangnya seperti singa perang dan mencibirnya. Ketika itu di atas kepala Hasan Thal‘at terpasang papan besar di dinding yang padanya tertulis lafadz Allah, maka Yahya Rahimahullah berteriak : “Mengapa kamu pasang papan ini di atas kepalamu, padahal kamu tidak mengenal Allah?!!”
Menghadapi situasi-situasi yang ada, pemerintah tak punya jalan lain selain mundur teratur dan mengalah, akhirnya mereka dengan rasa hina membebaskan Yahya Hasyim.
Aksi demo di Masjid Imam Husain sungguh penuh nuansa simpati yang tepat dengan usia-usia kami di era tersebut.
Yahya Hasyim pun terus melejit dan tidak lagi menyisakan waktu selain untuk berdakwah, mengobarkan semangat melawan pemerintah dan menyeru kaum Muslimin untuk berjihad. Kegiatannya ini terus berlangsung menyusul meninggalnya Abdul Nashir dan bebasnya anggota-anggota Ikhwanul Muslimin di era Anwar Sadat. Yahya Hasyim kemudian bertemu dengan beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin. Dengan wataknya yang bersih dan semangatnya yang menggebu, ia berkhidmat kepada mereka dengan semua perasaannya, karena ia menganggap mereka adalah para pemimpin yang syar‘i bagi pergerakan Islam sebagaimana doktrin yang mereka tanamkan.
Setelah itu Hasyim datang kepada kami membawa ide pergerakan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin, pemikiran mereka dibangun di atas prinsip bahwa merekalah yang berhak memegang kepemimpinan di masa mendatang, tetapi mereka tidak akan bertanggung jawab terhadap problem apapun yang terjadi pada masing-masing kelompok anggota. Kukatakan kepada Yahya : “Inilah oportunisme sejati, mereka mendapatkan keuntungan dengan menyandang predikat sebagai pemimpin, sedangkan kita yang menanggung kerugiannya.”
Namun Yahya masih terdorong oleh rasa cinta dan baik sangkanya kepada mereka. Akhirnya takdir Allah Yang Maha Perkasa menentukan terbongkarnya fakta ini dalam realita nyata, diawali dari salah seorang saudara Yahya yang menghadapi masalah keamanan sehingga dengan terpaksa dia harus bersembunyi dari kejaran aparat. Maka Yahya pergi menemui para tokoh Ikhwanul Muslimin, meminta bantuan mereka menyelesaikan masalah ini. Ternyata yang dia terima adalah penolakan, sebab mereka malah mengatakan : “Kamu tinggalkan saja orang itu, jangan kamu berikan lagi bantuan apapun kepadanya.”
Ini adalah benturan yang mengakibatkan putusnya hubungan antara Yahya dengan tokoh-tokoh Ikhwan. Yahya sendiri tetap memberi bantuan dan perhatian kepada saudaranya tadi hingga akhirnya ia berhasil mengantarkannya ke tempat yang aman, dengan anugerah Allah.
Pasca meletusnya aksi militer Al-Faniyyah tahun 1974, Yahya Hasyim merasa sangat tertarik dengan aksi tersebut, dia mengikuti berita-berita tentangnya secara mendetail. Di masa inilah di otak Yahya Hasyim mulai terbersit ide untuk memulai konfrontasi bersenjata melawan pemerintah.
Mula-mula dia ajak orang-orang dekatnya untuk melakukan perang gerilya dengan segera. Bahkan dia menawarkan ide ini kepada saya, namun saya tidak menyetujuinya. Saya katakan kepadanya bahwa karakter negeri ini tidak cocok untuk menjalankan perang seperti itu, kemudian saya memberinya sebuah buku mengenai perang gerilya. Kendati demikian ide tersebut terus berkecamuk di kepalanya dan di kepala beberapa ikhwan yang menyertainya.
Yahya mengambil inisiatif untuk menjalin hubungan dengan rekan-rekan yang menjadi tersangka dalam kasus aksi Al-Faniyah. Ia menyusun rencana agar mereka bisa kabur dengan memanfaatkan jabatannya sebagai ketua kejaksaan. Inti rencana itu adalah mengeluarkan surat perintah palsu yang meminta agar mereka dipindahkan, kemudian dalam proses pemindahan itulah aksi melarikan diri dijalankan.
Sayang sekali, rencana tersebut terbongkar karena pihak intelejen berhasil menangkap sebuah surat yang diselundupkan dari ruang pengadilan ke sel para tersangka. Begitu surat yang berisi rincian rencana kabur tertangkap, Yahya Hasyim memutuskan untuk melarikan diri dan memulai proyek pribadinya menjalankan perang gerilya.
Yahya Hasyim dan beberapa kawan dekatnya pergi ke daerah pegunungan di profinsi Al-Munya di pinggiran gurun sahara. Mereka membuat kamp konsentrasi di sana dengan berkamuflase sebagai sebuah tim militer, sebelum itu mereka sudah membeli beberapa paket senjata.
Akan tetapi karena wilayah tersebut dekat dengan desa-desa, maka hal itu mengundang kecurigaan sehingga polisi mengendusnya. Akhirnya polisi menyerang lokasi di mana para ikhwah itu berada. Pecahlah pertempuran di mana akhirnya polisi menangkap para ikhwah setelah mereka kehabisan senjata. Yahya Rahimahullah sendiri berusaha menyerang komandan tim polisi itu, namun komandan itu terlebih dahulu menembakkan beberapa butir peluru ke arahnya. Dan Yahya pun menemui takdirnya –semoga Allah merahmatinya—.
Inilah sebagian dari kisah seorang pahlawan, di mana dia benar-benar layak disebut sebagai perintis Jihad melawan pemerintah Mesir yang memusuhi Islam. Ia korbankan semua yang ia miliki untuk membela imannya, sebagaimana dikatakan oleh Ka‘ab bin Zuhair Radhiyallahu ‘anhu :
للموت يوم تعانق وكرار البائعين نفوسهم لنبيهم
بدماء من علقوا من الكفار يتطهرون يرونه نسكاً لهم
Orang-orang yang menjual nyawanya untuk membela nabinya, memeluk dan mendekati kematian
Dengan darah orang-orang kafir yang bergelantungan
Mereka membersihkan diri dan menganggapnya sebagai kurban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar