Rabu, 12 Maret 2014

Syarah Hadits Ka’ab bin Malik || Syaikh Al-Imam Usamah bin Ladin rahimahullah


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ



This image has been resized. Click this bar to view the full image. The original image is sized 877x450.



Syarah Hadits Ka’ab bin Malik


Syaikh Al-Imam Usamah bin Ladin

rahimahullah



Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah. Kepada-Nya kita memuji, meminta pertolongan, dan memohon ampunan. Dan, kepada-Nya pula kami berlindung dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Saya bersaksi tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

)) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ الهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ ))

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran [3]: 102)

Amma ba’du;
Pembahasan kita pada pertemuan kali ini adalah, tentang kondisi umat yang agung ini. Yang mana umat ini telah ditimpa musibah—dan kita pun telah mengetahui sendiri (kecuali orang-orang yang tidak mendapat rahmat Allah, -edt.), yaitu berupa berkuasanya orang-orang kafir. Mereka menjalankan hukum selain hukum Allah dan menodai berbagai kesuciannya. Lihatlah sekarang! Lebih dari 8 dekade telah berlalu atas pendudukan Palestina di tangan orang-orang Nasrani, kemudian setelah mereka orang-orang Yahudi. Dan, telah berlalu 10 tahun pendudukan pasukan salibis dengan dipimpin oleh Amerika atas Masjidil Haram, negeri dua tanah suci (biladul haramain). Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.

Meski musibah besar dan bencana dahsyat ini telah menimpa umat Islam, masih saja ada orang-orang yang berada dalam ketersesatan dan kebingungan. Belum mau bergerak sedikit pun untuk membela lâ ilâha illallâh. Hanya kepada Allah-lah tempat mengadu. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.

Banyak para penakwil yang membolehkan duduk-duduk berpangku tangan dengan banyak argumen. Hanya saja intinya kaum Muslimin dihinakan dan syariat Allah Yang Maha Penyayang telah dijauhkan agar jangan sampai menjalankannya kepada para hamba-Nya sebagai undang-undang dari Allah SWT Rabb kita.

Syariat Allah dijauhkan dari masyarakat. Mereka, dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dalam mengangkat kehinaan dan kerendahan diri, mereka tidak menggunakan metode dari manhaj Muhammad SAW, sehingga mereka semakin jauh dari jalan kebenaran. Jauh dari jalan-jalan yang agung. Agar kebenaran jelas terlihat, sudah selayaknya kita mengingat bersama-sama bagaimana para pendahulu kita RHum, bagaimana kehidupan para sahabat yang mulia. Dengan demikian kebenaran akan terlihat jelas bagi kita daripada kebatilan dengan izin Allah.

Saya telah merenungkan sirah mereka RHum. Di antara apa yang saya lihat paling jelas dalam masalah ini adalah hadits Ka’ab bin Malik RA, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya. Dalam hadits panjang yang agung ini, sahabat yang agung ini mengaku dengan terus terang tentang tabiat jiwa manusia dan kelemahannya. Dia RA tidak mendebat atau berdusta sebagaimana orang-orang yang bersumpah dusta sehingga Allah SWT membinasakan mereka dan mengomentarinya dengan komentar yang sangat buruk.

Mari kita bersama-sama mentadabburi kejujuran dan keterusterangan ini agar kita tahu bagaimana tabiat orang-orang yang duduk-duduk tidak berangkat berjihad. Kita berusaha mengobati jiwa kita dan menasihati jiwa saudara-saudara dan ulama kita. Kita berharap kepada Allah supaya berkenan mengembalikan kita dengan pengembalian yang baik.

Ka’ab bin Malik RA bercerita tentang perang Tabuk yang tidak diikutinya. Padahal dia termasuk dari sahabat Anshar yang pertama-tama masuk Islam. Keislamannya tidak diragukan lagi. Dia termasuk yang hadir, menyaksikan, dan berbaiat pada hari dilaksanakannya baiat ‘Aqabah. Baiat agung yang menjadi tonggak tegaknya Daulah Islam. Daulah Islam tegak di Madinah Al-Munawwarah. Kita tidak lain hanyalah salah satu bagian dari buah-buahmu yang penuh barakah.

Dia menceritakan, Saya tidak pernah absen dari setiap perang yang dipimpin Rasulullah SAW sama sekali kecuali perang Badar. Dan Rasulullah SAW sendiri tidak mencela seorang pun yang absen perang tersebut. Dia termasuk yang aktif ikut di semua perang Rasulullah SAW kecuali perang Badar. Dia termasuk yang menikmati perang dan mempersembahkan lehernya untuk membela lâ ilâha illallâh. Namun, manusia tetaplah manusia, yang kadangkala tergelincir oleh bujuk rayuan setan, sekali waktu lemah dan tertipu oleh dirinya sendiri. Ini yang dinyatakan dengan jelas olehnya RA.

Dia melanjutkan, Rasulullah SAW mengajak untuk berangkat perang ketika hari semakin panas menyengat. Di saat orang-orang sedang qailulah di bawah pohon-pohon kurma mereka. Buah kurma yang ada di pohon sudah mulai tampak matang. Dia berkata, Waktu itu saya senang dengannya. Dalam artian, dia menyenangi bernaung dan buah-buah kurma tersebut. Inilah tabiat jiwa manusia. Kita bisa membacanya pada orang-orang besar semacam mereka RHum. Jika mereka saja ada yang absen dari jihad, maka tidak heran jika ada orang pilihan pada hari ini yang juga absen. Karena orang-orang yang lebih baik dari kita dan mereka saja pernah ada yang absen. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ini dalam Shahih Bukhari dan Muslim.

Saya lebih senang dan cenderung kepada pohon-pohon kurma tempat berteduh. Sementara orang-orang mulai bersiap-siap. Saya pun bersiap-siap. Waktu berlalu. Hari pertama berlalu, saya belum menyiapkan apa pun. Saya berkata, Saya akan mempersiapkan diri besok. Namun belum juga melakukan apa pun. Saya berkata pada diri sendiri—perhatikan pernyataannya ini, Saya berkata pada diriku sendiri, saya kuasa untuk berangkat bersama mereka. Si jiwa menipu pemiliknya yang biasa berjihad. Dia melanjutkan, Ini masalah sederhana, saya bisa berangkat. Saya berkata pada diriku sendiri, saya bisa berangkat dan mampu melakukannya. Saya masih dalam keadaan semula sampai waktu perang semakin dekat. Rombongan menakutkan itu pun berangkat. Suatu rombongan agung yang dipimpin oleh Muhammad SAW diiringi Abu Bakar, Umar, dan para sahabat yang mulia RHum.

Para ahli sirah memperkirakan mereka berjumlah 30 ribu sahabat RHum. Di sini seorang muslim harus ingat akan tipu daya jiwa. Berapa banyak orang yang duduk, berapa banyak orang yang berpangku tangan dari membela lâ ilâha illallâh tertipu oleh jiwanya. Seandainya dia mau pergi dia pasti pergi. Seandainya bapaknya, pemimpinnya atau penunjuk jalannya ingin berangkat, pasti berangkat. Namun, ketidakberangkatannya termasuk ketertipuan yang nyata dan jelas. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.

Dia tertipu oleh jiwanya. Dia yang sudah berpengalaman dalam peperangan dan pertempuran. Kaum Anshar yang terbiasa dengan perang dan bertempur. Mereka mewarisi kebiasaan itu dari orang-orang tua mereka. Namun dia tertipu oleh jiwanya. Lalu, bagaimana dengan orang yang belum pernah berangkat perang sama sekali? Lâ haula walâ quwwata illâ billâh. Akan sangat mudah bagi jiwa untuk menipu pemiliknya. Mereka yang hidup dalam kehidupan yang sulit. Tidak ada listrik, AC, dan tidak ada apa-apa. Buah kurma yang kelihatan mau masak di pohon kurma membuatnya berat untuk berangkat jihad. Lalu … bagaimana dengan orang-orang yang longgar dalam hal-hal yang mubah sampai malah berlebihan. Tenggelam dalam kemewahan. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh. Bagaimana dengan mereka tidak tertipu oleh jiwanya kecuali orang yang Allah kehendaki selamat.

Orang-orang telah berangkat. Ka’ab terjatuh dalam dosa besar yang memalukan. Duduk tidak ikut membela lâ ilâha illallâh. Duduk tidak ikut membela tauhid dan aqidah. Dan, merasa berat karena kenikmatan kehidupan dunia yang fana lagi semu.
Di Tabuk, waktu itu udara panas. Dalam beberapa atsar disebutkan, bahwasanya Umar RA berkata, Jika salah seorang dari kita keluar menuju kendaraannya lehernya terasa mau putus karena saking panasnya. Lalu … apa kata pecinta dunia? Apa kata mereka?

(( وَقَالُواْ لاَ تَنْفِرُواْ فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ ))

“Mereka berkata, ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)’, jika mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 81)
Mereka menghadiri hadits-hadits Rasulullah SAW, khotbah-khotbah Jum’at, dan mengetahui apa yang beliau sampaikan. Mereka mengatakan dengan lisan, namun tidak paham. Sebab, masalah paham berkaitan dengan kepahaman hati dan rasa takut kepada Allah. Mereka tidak paham meskipun mengetahui. Seandainya paham mesti mengetahui bahwa api neraka Jahannam lebih dahsyat panasnya. Lebih mengerikan panasnya.

Sekarang, apa yang bisa dikatakan kepada saudara-saudara kita? Katakanlah kepada mereka, Sesungguhnya jika kalian kembali, cambuk sudah menunggu. Dan sungguh, cambuk di penjara-penjara itu panas. Dan, katakanlah kepada mereka, Sesungguhnya aparat keamanan dan intelijen selalu mengikuti kalian. Maka kami katakan kepada mereka:

(( قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ ))

“Katakanlah, ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)’, jika mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 81)
Kita berharap kepada Allah agar menganugerahi kami dan kalian akan kefakihan (kepahaman) dan ilmu.

Hari-hari kita terbatas. Apakah kita akan meninggalkan surga Rabb kita hanya karena ancaman manusia? Demi Allah, tidak. Siapa yang yakin bahwa ajal manusia terbatas, tidak bisa dimajukan dan dimundurkan. Dan, siapa yang yakin bahwa rezeki sudah diketahui, tidak akan bertambah dan berkurang, maka dia tidak akan peduli. Sebagaimana dalam hadits Nabi kita SAW ketika mengajari anak muda Abdullah bin Abbas RA, “Wahai anak muda, saya ajari kamu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya selalu dekat di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya umat ini bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali yang sudah ditetapkan Allah untukmu. Dan jika bersatu untuk membahayakanmu dengan sesuatu niscaya tidak bisa melakukannya kecuali yang sudah ditetapkan Allah kepadamu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”

Hadits ini memberikan pelajaran dan ilmu kepada kaum Muslimin. Hal ini merupakan anugerah nikmat dari Allah kepada kita. Namun para pemuda Islam membutuhkan ilmu dan amal sekaligus untuk menyuarakan kebenaran dengan terang-terangan demi lâ ilâha illallâh sehingga masalahnya menjadi sempurna. Mempelajari ilmu namun tidak diamalkan, maka ia akan menjadi argumen yang akan mencelakakan kita. Harus dengan kedua-duanya, ilmu dan mengamalkannya. Karena buah dari amal adalah rasa takut kepada Allah. Dan buah ilmu adalah beramal di atas jalan yang sudah dijelaskan Nabi Muhammad SAW agar kita mendapatkan keridhaan Allah SWT.

Setelah itu, dia tertinggal rombongan perang. Ka’ab berkata, Saya ingin menyusul mereka namun itu tidak ditakdirkan untukku. Dia melanjutkan, Duhai seandainya saya melakukannya. Perang agung yang penuh barakah itu termasuk perang terakhir yang diikuti Rasul kita SAW. Kesempatan besar hilang darinya, apalagi melakukan dosa besar yang memalukan. Duhai seandainya saya melakukannya.

***

Wahai hamba Allah! Gunakan kesehatanmu, manfaatkan waktu luang dan masa mudamu. Inilah medan-medan surga telah terbuka lebar. Terdapat keterangan shahih dari Nabi kita SAW, “Sesungguhnya pintu-pintu surga terletak di bawah naungan pedang”. Ketika Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan hadits ini, ada seseorang bertanya, Wahai Abu Musa apakah engkau mendengar hadits ini dari Rasulullah SAW? Lihatlah kepada kepahaman mereka, ingin mengetahui untuk mengamalkannya. Bukan untuk memperbanyak ilmu yang justru akan menjadi argumen yang akan mencelakakannya. Jadi, harus dengan ilmu dan amal. Apakah engkau mendengar hadits ini dari Rasulullah SAW? Ingin meyakinkan bahwa hadits itu adalah hadits shahih. Abu Musa menjawab, Ya. Dia pun berlalu menuju kaumnya, mengucapkan salam kepada mereka lalu mengambil sarung pedangnya kemudian dia patahkan, terus pergi untuk berperang sampai terbunuh.

Inilah manhaj para sahabat yang mulia. Manhaj para pendahulu kita yang shalih. Ka’ab melanjutkan, Duhai seandainya saya melakukannya. Kesempatan masih kamu miliki sebelum datangnya hari H, baru kamu berkata, “Duhai … seandainya saya melakukannya.”

Sebuah riwayat menceritakan, seorang ulama shalih sedang menghadapi sakaratul maut, dia berada di atas tempat tidur kematiannya. Kedua matanya meneteskan air mata, dia adalah termasuk orang yang bertakwa dan berilmu. Dia ditanya, Apa yang membuatmu menangis? Sambil melihat kedua telapak kakinya dia menjawab, Saya menangis karena kedua telapak kakiku belum pernah terkena debu di jalan Allah.

Tahukah kalian hadits shahih dari Nabi kita SAW?! Bahwa kedua telapak kaki seorang hamba yang terkena debu di jalan Allah tidak akan disentuh api neraka. Allahu Akbar! Suatu ibadah, hanya dengan menyentuh debunya saja bisa melindungimu dari api neraka. Kalau begitu, bagaimana dengan orang yang keluar dengan jiwanya dan hartanya dan tidak kembali lagi dengan keduanya? Maka, itulah sebaik-baik amalan. Dalam Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya ketika Rasulullah ditanya tentang perbedaan keutamaan amalan dan amalan yang paling utama, beliau SAW menjawab, “Seorang laki-laki yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya di jalan Allah.” Banyak saudara-saudara kita menakut-nakuti kita dengan bahaya. Padahal bahaya yang sebenarnya adalah bahaya ketika ada dalam kubur. Kita memohon kepada Allah SWT agar menjadikan kubur kita sebagai salah satu taman surga.

Bahaya sebenarnya adalah kelak pada hari perhitungan (yaumul hisab), hari Kiamat, hari ditampakkan kesalahan-kesalahan (yaumut taghabun). Engkau datang padahal telah tertipu. Umurmu telah habis pada perkara-perkara yang membuatmu duduk-duduk tidak ikut membela lâ ilâha illallâh. Allah ta’ala berfirman memperingatkan kaum Mukminin agar jangan sekali-kali dekat-dekat dengan sifat orang-orang munafik, karena sifat orang-orang munafik yang paling menonjol adalah duduk-duduk tidak membela Allah:

(( وَجَاءَ الْمُعَذِّرُونَ مِنَ الأَعْرَابِ لِيُؤْذَنَ لَهُمْ وَقَعَدَ الَّذِينَ كَذَبُواْ اللهَ وَرَسُولَهُ ))

“Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan 'udzur, yaitu orang-orang Arab Badui agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja.” (QS. At-Taubah [9]: 90)

Semoga Allah menjaga kita dari sikap duduk-duduk berpangku tangan tidak membela Allah dan Rasul-Nya SAW.
Lihatlah para pendahulu kita itu. Dia menjelaskan dalam haditsnya RA, dia melanjutkan, Ketika rombongan perang sudah bertolak, saya keluar di Madinah. Yang membuat saya bersedih adalah saya tidak melihat di jalan-jalan Madinah kecuali orang yang sudah tenggelam dalam kemunafikan atau dia termasuk salah satu orang-orang yang memiliki udzur. Itulah mereka para pendahulu kita RHum.

Ketika terdengar berita bahwa Romawi sedang berpikir akan menyerang umat Islam, belum memasuki negeri Islam, hanya sekadar terdengar berita bahwa mereka sedang berpikir untuk berkumpul mau menyerang, pemimpin kita dan teladan kita Muhammad SAW keluar dan mengajak orang-orang, Wahai kuda Allah berangkatlah. Yang duduk-duduk berpangku tangan tidak berangkat hanya orang munafik atau termasuk salah satu orang yang diudzur.

Lihatlah wahai hamba Allah, jika engkau ingin selamat, ikutilah jejak mereka Rhum —orang-orang yang mulia yang mengikuti Muhammad SAW dan orang-orang yang bersamanya.

(( مُحَمَّدٌ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ))

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath [48]: 29)
Pengikutan itu harus sempurna dalam hal apa saja, baik yang kau sukai maupun yang kau benci. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Ubadah RA, “Kami bersumpah setia (baiat) kepada Rasulullah SAW untuk mendengar dan taat, baik dalam hal yang sulit maupun yang mudah, suka maupun benci.”

Orang-orang membenci perang. Oleh karena itu, tunaikanlah amanah yang dititipkan kepadamu.
Inilah keadaannya. Dia tidak melihat seseorang kecuali dia termasuk dari kaum munafik atau termasuk orang yang diudzur. Ketika Rasulullah sampai di Tabuk, beliau bersabda, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?” Beliau ingat kepadanya. Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Dia disibukkan oleh kedua pakaiannya dan karena menuruti perasaanya.” Beliau membicarakannya karena dia berpangku tangan dari pembelaan dien dan menjadikan dirinya di tempat yang tidak selayaknya bagi orang beriman, yakni berpangku tangan tidak membela dien. Mu’adz bin Jabal RA menanggapi (komentar seorang dari Bani Salamah tersebut), “Buruk sekali omonganmu. Demi Allah, wahai Rasulullah kami tidak tahu tentangnya kecuali kebaikan.” Ibnu Hajar mengomentari perkataan seseorang dari Bani Salamah tersebut, “Apa yang telah saya katakan kepada kalian bahwa orang yang berpangku tangan dari jihad telah menjadikan pembenaran bagi orang-orang untuk mencela dirinya, karena membela dien adalah termasuk kewajiban yang paling agung.” Kita berharap kepada Allah SWT agar mematikan kita dalam keadaan sedang menunaikan amanah dalam membela dien Rabb kita sampai kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan ridha kepada kita.

Ketika dalam keadaan seperti itu beliau melihat seorang lelaki dari kejauhan berwarna putih menyibak fatamorgana. Seorang lelaki datang dari jauh. Rasulullah SAW bersabda, “Dia pasti Abu Khaitsamah.” Dan ternyata benar dia Abu Khaitsamah Al-Anshari RA. Dia tiba setelah mereka semua berjalan. Berjalan sendirian tidak menunggu ditemani para qa’idun (orang-orang yang berpangku tangan duduk-duduk saja). Hampir saja setan akan menyelewengkannya kepada kesesatan padahal dia adalah seorang sahabat yang mulia. Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bâri beberapa perkataan ulama ahli Maghazi (pengarang kitab masalah peperangan Rasulullah SAW) mengenai kisah Abu Khaitsamah. Abu Khaitsamah berkata, Saya masuk rumahku, saya melihat pondokan yang telah diciprati air. Padahal betapa bagusnya pondokan itu jika diciprati air di musim panas. Saya melihat pondokan yang telah diciprati air dan saya memandang istriku—lihatlah orang yang beriman, lihatlah orang yang beraqidah lurus dan berkeyakinan menancap kuat di hatinya—saya berkata, Demi Allah, ini tidak adil, Rasulullah SAW di bawah terik matahari dan kepanasan sedangkan saya di sini berteduh dan bersenang-senang. Dia pun mengambil tunggangannya dan sedikit kurma lalu berjalan hingga menyusul Rasul kita SAW. Untuk apa Rasulullah SAW keluar? Bukankah beliau keluar demi lâ ilâha illallâh? Bagaimana dengan kita yang duduk berpangku tangan dari membela lâ ilâha illallâh? Sedangkan kita mengira telah membelanya. Padahal ia telah ditiadakan dari hukum manusia. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.

Kita berhenti sejenak pada beberapa ibrah (pelajaran) dalam hadits Ka’ab untuk kita renungkan dan kita tidak akan membahas semua ibrah yang terkandung di dalamnya. Sebab, itu sudah dibahas panjang lebar oleh para ulama pensyarah (yang menjelaskan maksud) hadits. Seperti Imam Nawawi RHM dan Ibnu Hajar RHM.

***

Ka’ab melanjutkan, Ketika Rasulullah SAW kembali, saya dilanda kesedihan dan kedukaan yang mendalam. Saya berkata, Dengan apa saya akan menemui beliau. Saya mendatangi beliau. Beliau tersenyum dengan senyuman kemarahan. Beliau murka kepada Ka’ab. Ibnu Hajar juga menyebutkan perkataan beberapa ahli Maghazi, Ka’ab berkata, Beliau berpaling dariku—yakni Ka’ab berkata bahwa Rasulullah SAW berpaling dariku. Saya berkata, Wahai Rasulullah, kenapa Anda berpaling dariku. Demi Allah, saya tidak berbuat nifak. Aku tidak ragu-ragu dan aku tidak mengganti (agamaku). Perkara yang sangat besar dia meninggalkan pembelaan terhadap dien. Ka’ab berkata lagi, Kenapa Anda berpaling dariku. Demi Allah, saya tidak berbuat nifak. Aku tidak ragu-ragu dan aku tidak mengganti (agamaku). Lalu datanglah jawaban yang sangat kuat dan keras. Rasulullah SAW bersabda, “Apa yang membuatmu absen?—Sebuah pertanyaan dimana orang-orang juga akan ditanya demikian. Apa yang membuatmu absen dari membela lâ ilâha illallâh?” Apa yang membuatmu absen?
Kita berharap agar Allah melapangkan dada ulama kita, sehingga memperhatikan sirah para pendahulu kita. Mengeluarkan fatwa kepada umat tentang hukum jihad yang sekarang adalah fardhu ‘ain, dimana para salaf bersepakat bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain dalam beberapa keadaan. Mereka menyebutkan di antaranya adalah jika musuh telah masuk menyerang negeri Islam. Lihatlah sekarang! Musuh telah masuk ke negeri Islam sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh. Lalu siapa yang bertanggung jawab akan lâ ilâha illallâh? Jika masing-masing kita mencari-cari udzur dengan berbagai udzur, siapa yang bertanggung jawab? Apakah dien Allah SWT akan dibiarkan begitu saja dinodai, sementara kita bertanggung jawab atasnya? Harus ada introspeksi hingga kita bisa menegakkan kebenaran dengan izin-Nya.

Di sini Ka’ab mengaku dengan jelas dan gamblang yang bisa menjadi ibrah bagi orang-orang yang memiliki akal.
Ka’ab melanjutkan, Saya berkata, Wahai Rasulullah! Demi Allah, seandainya saya duduk di samping selain Anda dari para pecinta dunia pasti aku akan keluar terbebas dari kemurkaan-Nya dengan membawa udzur—perhatikanlah wahai para hamba Allah!—Ka’ab melengkapi, Sungguh, saya diberikan kemampuan berdebat. Sekarang, banyak orang yang diberikan kemampuan berdebat. Dalil-dalil yang jelas dan gamblang dari kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW mereka palingkan dengan alasan-alasan yang tidak berguna sama sekali. Ada yang mengatakan, Sekarang bukan waktunya. Lalu, kapan waktunya? Lihatlah Andalusia (sekarang Spanyol) sebagai Negara Islam telah jatuh sejak lebih dari 500 tahun, 5 abad. Kapan waktunya? Setiap kali ada seorang datang mengalihkan kita kepada sesuatu yang tidak ada. (Ada yang mengalihkan) dengan perkataan. Mereka mengatakan, Belum tiba waktunya. Apakah ayat-ayat Al-Qur’an dan hukum-hukum turun untuk dipalingkan kepada sesuatu yang tidak diketahui dan kepada sesuatu yang tidak berguna (sia-sia)?
Ini adalah ibadah agung yang dengannya manusia diperhambakan kepada Allah, Rabb manusia. Sebagaimana saya sebutkan dalam Shahih Bukhari-Muslim, “Saya diperintahkan memerangi manusia sampai bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat.” Beliau diperintahkan berperang karena ibadah. Bagaimana kita ingin menjadikan manusia menjadi hamba Allah dengan selain manhaj Muhammad SAW. Padahal orang-orang zindiq telah muncul di seluruh negeri Islam, Allah dan Rasul-Nya SAW diingkari di lembaran-lembaran koran. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.
Di sini berhati-hatilah dari debat. Jangan urusi orang lain. Ikutilah para salaf RHum dan imam, pemimpin mereka, Nabi Muhammad SAW.

***

Ka’ab melanjutkan, Sungguh, saya diberi kemampuan berdebat. Namun demi Allah, saya tahu jika aku memberi tahu Anda dengan kebohongan yang membuat engkau ridha dengan alasanku hampir-hampir Allah akan membuat engkau murka kepadaku.

Sekarang, wahai hamba Allah, engkau akan ditanya kenapa tidak keluar? Jiwamu menipumu dan menipu saudaramu. Namun, hampir-hampir Allah akan membuat manusia marah kepadamu karena kemarahan-Nya SWT kepada orang yang menelantarkan dien-Nya. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.

Ka’ab RA melanjutkan, Jika aku menceritakan sejujurnya engkau dapati aku ada di dalamnya. Dengan kejujuran itu saya berharap balasan dari Allah.

Kira-kira 20 tahun yang lalu, saya berkeliling menemui para ulama dan masyayikh kita, meminta mereka keluar untuk berjihad ketika jihad periode pertama melawan Rusia baru mulai. Banyak dari mereka yang beralasan dengan berbagai udzur. Sedikit dari mereka yang mirip dengan manhaj Ka’ab RA. Saya masih ingat perkataan sebagian mereka yang mengatakan, Wahai Usamah, pergilah, berjalanlah di atas barakah Allah. Engkau ada di atas kebenaran. Itulah jalannya. Akan tetapi kami tidak terbiasa dan akrab dengan itu. Sesungguhnya kami takut darinya. Manusia adalah musuh dari apa yang diketahuinya. Mereka tidak terbiasa dengan jihad, ini karena—sebagaimana saya sebutkan, ibadah ini telah berlalu puluhan tahun sementara para pelakunya tidak berjalan di tengah manusia.

Setelah itu di sini Ka’ab melanjutkan, Demi Allah, saya tidak punya udzur. Dia bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak punya udzur. Sekarang ini banyak orang yang tidak punya udzur jika mereka mengikuti manhaj Ka’ab RA. Demi Allah, saya tidak punya udzur. Demi Allah, engkau sama sekali tidak lebih kuat dan mudah dari keadaanku ketika saya absen dari engkau. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh orang ini telah berlaku jujur.” Sebelum Allah SWT menganugerahkan kepadanya tekad untuk berlaku jujur ketika berita kembalinya Rasulullah SAW sampai kepadanya, dia berkata, “Saya mulai teringat akan berdusta.” Ini adalah pengakuan yang sangat penting agar kita mengetahui bagaimana tabiat jiwa manusia. Sekarang ini, banyak orang yang beranggapan bahwa kondisi mereka seolah-olah maksum (terjaga dari dosa). Karena, seandainya jihad itu lebih penting bagi mereka, mereka pasti pergi berjihad. Sahabat yang agung ini—termasuk senior dalam hal masuk Islamnya—mengakui, sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari-Muslim dan yang lainnya berkata, “Saya teringat akan berdusta.” Jiwa itu punya celah-celah kelemahan yang banyak sekali, padahal setan mengalir di pembuluh darah manusia. Kita berlindung kepada Allah darinya. Namun berkat taufik dari Allah kepadanya, dia bertekad untuk berlaku jujur. Karena kejujurannyalah Allah SWT menyelamatkannya.

***

Ka’ab melanjutkan, Ketika saya keluar, beberapa orang dari Bani Salamah marah, yakni dari kaumnya. Mereka terus mencercaku, mencelaku, kenapa saya mengatakan semacam itu. Seandainya saya beralasan dengan alasan apa saja itu sudah cukup, Rasulullah SAW akan memaafkanmu. Perhatikan kelemahan jiwa manusia sampai pada diri orang-orang mulia sekelas para sahabat. Ka’ab berkata, Mereka terus mencercaku sampai saya hampir kembali untuk berbohong.

Tekanan masyarakat, tekanan keluarga, dan tekanan lingkungan sangat keras sampai kepada mereka para sahabat yang mulia. Lalu bagaimana sekarang, mayoritas manusia standar timbangannya sudah terbalik. Mayoritas manusia duduk berpangku tangan dari jihad. Sedikit sekali yang mau mengambil pelajaran dan ingat. Semoga Allah SWT memberikan taufik kepadanya. Dialah yang memiliki segala puji dan anugerah. Kita berharap kepada-Nya semoga Dia memantapkan kita dan memantapkan berbagai nikmat ini kepada kita sampai kita menemui-Nya dan Dia pun ridha dengan kita.

Ka’ab melanjutkan, Kemudian saya berkata kepada mereka, apakah ada orang lain yang mengalami sepertiku? Mereka menjawab, Ya, ada dua orang yang mengalami sepertimu. Mereka berdua berkata seperti apa yang kamu katakan. Mereka berdua juga ditanya seperti kamu ditanya. Maka dia menyebutkan dua orang itu, yaitu Murarah bin Ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Keduanya pernah ikut perang Badar sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat.

Kemudian datang perintah untuk memboikot dan mengucilkan. Mengucilkan orang-orang yang duduk berpangku tangan dari membela lâ ilâha illallâh. Ka’ab berkata, Bumi menjadi terasa asing bagiku. Seolah-olah ia bukan bumi yang sudah saya kenal dan jiwaku sendiri terasa asing. Siapa yang mengucilkanmu wahai hamba Allah? Yang mengucilkanmu adalah pemimpin anak Adam yang apabila murka kepadamu maka Rabb pemilik langit dan bumi juga murka kepadamu. Suatu perkara yang besar sekali. Ketidakberangkatan tiga orang dari jumlah 30 ribu mujahid sebenarnya tidak berpengaruh terhadap pasukan. Namun, ini adalah masalah yang masuk ke hati. Mengapa hati ini duduk berpangku tangan dari membela lâ ilâha illallâh. Di sini tidak penting apakah berpengaruh ataukah tidak. Ini merupakan amanah yang ada di pundakmu dan kewajibanmu yang seharusnya kamu laksanakan.

Dia dikucilkan dan diasingkan, sampai jiwanya juga terasa asing baginya. Ka’ab berkata, Setelah pengasinganku berlangsung cukup lama, ada seorang utusan datang dari Raja Ghassan. Kalian tahu kaum Ghassan adalah berasal dari Bani Qailah. Antara mereka dan antara suku Aus dan Khazraj ada pertalian nasab (keturunan), jadi induk mereka satu. Kabar itu sampai ke kaum Ghassan. Raja mereka mengirimkan utusan lagi kepadanya dan menyerukan, Bergabunglah dengan kami, kami akan membantumu dengan harta kami. Kamu tidak akan tinggal di negeri kehinaan dan kesia-siaan. Ka’ab berkata, Sampai orang-orang kafir antusias kepadaku. Orang-orang musyrik antusias untuk merekrutku. Demikian juga keadaan orang-orang yang duduk-duduk berpangku tangan dari jihad, para penguasa pengkhianat dan antek-antek mereka antusias kepada mereka. Orang-orang kafir itu antusias kepadanya dan menambah kesesatan mereka dari membela lâ ilâha illallâh.

(( وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ ))

“Janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.” (QS. Hud [11]: 113)

Semoga Allah melindungi kita darinya.
Ka’ab melanjutkan, Saya mengambil kitab atau lembaran kitab, saya melemparkannya. Dia menaruhnya di tungku perapian. Ketika permasalahannya membuatnya merasa sempit. Dia berkata, Saya naik tembok sepupuku Abu Qatadah, dia orang yang paling aku sukai. Saya bertanya, Wahai Abu Qatadah, “Saya memintamu karena Allah.” Perhatikanlah wahai para hamba Allah! Keterikatan iman dengan jihad dan keterikatan jihad dengan iman. Bumi terasa sempit baginya, demikian jiwanya. Manusia terbaik SAW telah memboikotnya. Bagaimana bumi akan terasa luas dan bagaimana jiwanya akan terasa lapang. Ka’ab menceritakan, “Saya berkata, Wahai Abu Qatadah, kehilangan apa saja ketenangan itu?” Karena begitu sempitnya perasaannya, ketenangan dari sesuatu teragung dalam hati, (yakni) dari iman. Ka’ab ingin merasa tenang dari cinta Allah dan cinta Rasul-Nya SAW.

***

Ka’ab melanjutkan, “Saya minta kepadamu wahai Abu Qatadah, apakah kamu tahu bahwa saya mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Allahu Akbar. Kejahatan besar sekali apabila engkau menelantarkan lâ ilâha illallâh. Bukankah yang menerangi hati kita hanya lâ ilâha illallâh? Bagaimana engkau meninggalkan kalimat agung ini, engkau duduk-duduk bersama dengan orang-orang yang tidak berangkat berjihad. Sementara engkau menganggap bahwa engkau mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ka’ab bercerita, “Abu Qatadah tidak menanggapiku, sebagai bentuk pemboikotan!” Sampai Ka’ab mengatakan di awal hadits, “Saya memberi salam kepadanya, tapi orang yang paling saya cintai tidak menjawab salamku, demi komitmen dengan perintah Allah untuk melaksanakan sanksi kepada mereka—orang-orang yang duduk-duduk berpangku tangan dari membela Allah. Hanya saja setelah itu Allah melimpahkan rahmat-Nya (kasih sayang-Nya) kepada mereka dan menerima taubat mereka. Ka’ab menuturkan, “Saya memohon dengan sangat kepadanya kedua kali, Apakah engkau tahu bahwa saya mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Ka’ab menambahkan, “Abu Qatadah tidak menjawab.” Saya memohon dengan sangat kepadanya ketiga kali, Apakah engkau tahu bahwa saya mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ka’ab berkata, “Saya pun pergi dengan air mata yang membanjir dari kedua mataku.” Ka’ab menangis! Sesuatu teragung yang ada pada dirinya yaitu keimanannya kepada Allah, orang yang paling dia cintai tidak mampu menetapkannya untuknya perkara yang agung ini. Lalu apa nilai hidup (tanpa iman kepada Allah)? Abu Qatadah tidak menetapkan keimanannya kepada Allah dan tidak menafikannya darinya. Dia berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”


Setelah itu Ka’ab RA menuturkan—ini termasuk pelajaran yang patut kita jadikan pelajaran, Setelah 40 hari berlalu, seorang utusan Rasulullah SAW datang, dia berkata, “Rasulullah SAW memerintahkan kepadamu.” Perhatikanlah wahai para hamba Allah! Termasuk sesuatu yang paling spesial ada pada para tokoh adalah rumah dan istri. Tiba perintah untuk meninggalkan istrinya, meninggalkan ibu rumah tangganya. Utusan itu mengatakan, “Rasulullah SAW memerintahkan kepadamu untuk meninggalkan istrimu.” Hati yang hidup, apabila lalai akan teringat dan kembali kepada kebenaran. Mereka (tiga orang itu) menyadari besarnya kejahatan yang dilakukannya dengan meninggalkan lâ ilâha illallâh. Utusan itu mengatakan, “Rasulullah SAW memerintahkanmu untuk meninggalkan istrimu.” Ka’ab menjawab, “Saya disuruh menceraikannya atau apa?” Ka’ab RA sudah siap menceraikan ibunya, anak-anaknya demi meraih keridhaan Allah SWT.” Utusan itu menambahkan, “Tidak, tapi jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Ka’ab berkata kepada istrinya, “Pulanglah ke keluargamu sampai Allah memutuskan urusan kita.”

Dengan kalimat Allah, dengan dien ini kita menghalalkan kemaluan wanita di atas kitab Allah dan di atas sunnah Rasulullah SAW. Rabb kita SWT Dzat Yang menciptakan mereka untuk kita berfirman:


(( وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا ))

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Rum [30]: 21)

Termasuk keutamaan Allah yang diberikan kepadamu wanita ini dalam penciptaannya, dan dalam menikahinya. Ketenteraman, rasa kasih dan sayang. Bagaimana engkau menelantarkan dien ini yang menjadi sebab Allah SWT menganugerahimu segalanya. Bagaimana engkau menelantarkan dien Rabbmu SWT yang telah menciptakanmu dari sebelumnya tidak berwujud tanpa daya, kekuatan dan upaya darimu.

Ka’ab melanjutkan, “Saya adalah yang paling muda daripada dua orang temanku.” Sebagaimana disebutkan di awal hadits. Ka’ab berkata, “Adapun dua temanku, mereka berdua pasrah dan duduk menangis.” Hati yang hidup apabila diingatkan akan segera sadar. Dua temannya menangis selama 40 hari. Kepada mereka berdua juga diutus utusan untuk menyampaikan agar mereka berdua meninggalkan istri-istri mereka. Istri Hilal bin Umayyah datang. Dia berkata, “Wahai Rasulullah SAW …”

—perhatikanlah wahai para hamba Allah! Dia berkata, “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya Hilal adalah orang yang sudah tua renta. Apakah Anda tidak berkenan aku membantunya?” Lelaki yang sudah lanjut usia dan tua renta. Namun, ketika absen dari membela jihad, sanksi pun menimpanya. Dia mampu untuk keluar berangkat sehingga bisa memperbanyak pasukan dan menjaga barang-barang bawaan. “Sesungguhnya Hilal adalah orang yang sudah tua renta, apakah Anda tidak berkenan aku membantunya?” Rasulullah SAW bersabda, “Tidak, namun jangan sekali-kali dia mendekatimu.” “Demi Allah, dia sudah tidak punya gerakan sama sekali.” jawab istri Hilal.

***

Apa udzurmu wahai hamba Allah untuk duduk berpangku tangan dari membela lâ ilâha illallâh. Padahal Allah SWT telah mengayakanmu dengan kesehatan, penglihatan, hati, dan harta benda. Engkau juga bisa pergi ke bumi bagian timur dan barat. Bagaimana engkau duduk berpangku tangan dari membela Allah Dzat Yang menjadi Pencipta dan Penolongmu. Gunakan masa mudamu, kesehatanmu, kekayaanmu, dan hidupmu sebelum kematian datang menjemputmu dengan tiba-tiba. Ketika itu, penyesalan sudah tidak bermanfaat lagi untukmu. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.

Ka’ab RA berkata melengkapi kisah yang agung ini, kisah yang menjelaskan tabiat jiwa manusia dalam menyikapi ibadah ini, ibadah jihad. Dia mengatakan bahwa istri Hilal RA berkata, Demi Allah wahai Rasulullah, dia masih menangis dirumahnya semenjak kejadian itu. Jiwa yang merdeka lagi bersih dan beriman akan terbunuh dengan melakukan berbagai maksiat dan air matanya yang akan membersihkan dosa-dosanya. Para sahabat pada perang Tabuk mendatangi Rasulullah SAW agar sudi membawa mereka berjihad. Namun beliau SAW tidak mempunyai sesuatu yang bisa membawa mereka. Ketika beliau meminta maaf kepada mereka, apa firman Allah yang menggambarkan kondisi mereka dalam kitab-Nya:

(( تَوَلَّواْ وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلاَّ يَجِدُواْ مَا يُنفِقُونَ )) .

“Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS. At-Taubah [9]: 92)

Maka, bagaimana dengan orang yang ajal hampir menjemputnya sedangkan dia belum pernah berperang sekalipun di jalan Allah?! Dia tidak meneteskan air mata. Tidak sadar. Wajahnya tidak memerah marah dengan berbagai musibah bencana besar yang menimpa umat Islam dan kaum Muslimin pada dien mereka. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.

Ka’ab melanjutkan, “Ketika saya sedang duduk—dalam keadaan yang sudah kami sebutkan, tiba-tiba ada suara yang sampai kepadaku dengan nada memberi kabar gembira.” Ada seorang lelaki, setelah turun taubat atas Rasul kita SAW. Seorang lelaki naik ke bukit Salwa berteriak dengan suaranya yang paling keras memberi kabar gembira kepada Ka’ab. Ka’ab berkata, “Saya tersungkur sujud sambil menangis karena saking gembiranya dengan diterima taubatnya oleh Allah.” Karena menelantarkan lâ ilâha illallâh termasuk dosa yang terbesar. Kita ringkas. Sebagian sahabat ada yang mengirim kuda kepadanya. Sebagian yang lain pergi bersemangat untuk menyampaikan kabar gembira kepadanya sebagai bukti perhatian sahabat terhadap ampunan Allah kepada taubat saudara mereka yang telah melakukan kejahatan besar ini. Ka’ab menceritakan, “Ketika orang yang saya dengar suaranya datang, saya memberinya dua buah baju.” Kemudian dia pergi menghadap Rasulullah SAW. Perhatikanlah keadaan para salaf RHum wahai para hamba Allah!

***

Ka’ab melanjutkan, “Orang-orang bangkit memberi selamat kepadaku. Berbahagialah atas diterimanya taubatmu oleh Allah. Mereka berbondong-bondong menyampaikan kabar gembira kepadaku berkat turunnya ampunan atas kejahatan besar yang telah saya lakukan. Yang mereka lakukan dengan menelantarkan lâ ilâha illallâh.” Ka’ab menuturkan, “Saya mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW yang wajahnya bersinar bahagia dengan turunnya ampunan Allah.” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah dari Anda ataukah dari Allah? Belaiu menjawab, “Tidak, tetapi dari Allah SWT.” Ka’ab berkata, Wahai Rasulullah—lihatlah bagaimana para sahabat menyikapi ibadah jihad. Hanya absen sekali saja padahal sudah berperang berkali-kali. Ka’ab berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya termasuk bagian dari taubatku, saya akan melepas semua hartaku.” Lalu Rasulullah SAW menjelaskan kepadanya, dia cukup melepaskan sepertiga hartanya.

Sekarang, seluruh hartamu tidak diminta. Hartamu adalah milik Allah SWT. Berangkatlah. Gunakan kesempatan sebelum datang hari Taghabun (hari dinampakkan kesalahan-kesalahan) dan engkau telah tertipu dalam semua waktumu dan tahun-tahun yang telah berlalu. Dalam hadits shahih, Nabi kita SAW bersabda, “Berdiri sesaat di barisan mujahidin untuk berperang di jalan Allah lebih baik daripada shalat malam selama 60 tahun.” Ketertipuan yang mana lagi yang lebih parah dari ini. Sesaat di barisan mujahidin, engkau bisa pergi ke sana untuk membela lâ ilâha illallâh melawan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta para pembantu mereka. Kesempatan—dengan keutamaan dari Allah—masih terbuka dan mudah untuk ber-i’dad (melakukan persiapan), tadrib dan berangkat untuk membela lâ ilâha illallâh tapi kamu tetap duduk-duduk saja? Padahal ini ketika kondisi jihad merupakan fardhu kifayah. “Berdiri sesaat di barisan perang di jalan Allah lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.” Dalam hadits lain, “Ribath (berjaga-jaga di daerah perbatasan) selama sebulan lebih baik daripada puasa setahun.”

Kebaikan agung dan kemuliaan yang banyak dari Dzat Yang Mahamulia. Sampai perawi berkata, Ka’ab berkata, Saya menahan bagianku di Khaibar. Ka’ab mengatakan, Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku karena kejujuran. Maka termasuk bagian dari taubatku, saya tidak akan berbicara kecuali dengan jujur. Perawi mengatakan, Demi Allah saya tidak tahu dia menyebutkan keutamaan Allah kepadanya dalam hal dia diberi hidayah menjadi orang jujur. Dan kejujuran ini merupakan nikmat Allah SWT teragung kepadanya. Dan kejujuranlah yang menyelamatkannya sampai dia tidak binasa sebagaimana mereka (yang berdusta) binasa. Perawi mengatakan, Sesungguhnya orang-orang yang berdusta, Allah SWT berfirman kepadanya dengan sejelek-jelek firman yang belum pernah disampaikan kepada seorang pun.

Orang-orang yang duduk-duduk berpangku tangan dari membela lâ ilâha illallâh, Allah menetapkan keadaan dan sifat mereka dan mempermalukan mereka dalam surat Al-Fadhihah, dalam surat Bara-ah, dalam surat At-Taubah. Surat itu mempermalukan orang-orang munafik. Bacalah surat itu dengan penuh penghayatan. Hendaknya setiap orang dari kalian menyendiri dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dengan ayat-ayat perang, dengan ayat-ayat jihad, dan surat-surat perang. Agar dia bisa melihat di mana dia berada. Apakah dia berada di atas manhaj Muhammad SAW atau malah telah menjauh dari manhaj ini dan mendekati sifat-sifat qa’idun (orang-orang yang duduk-duduk saja). Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.

Allah ta’ala berfirman memperingatkan:

(( وَإِذَآ أُنزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُواْ بِاللهِ وَجَاهِدُواْ مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُوْلُواْ الطَّوْلِ مِنْهُمْ ))

“Apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu), ‘Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya’, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad).” (QS. At-Taubah [9]: 86)

Orang-orang memiliki kesanggupan dalam hal harta, kesehatan, kekuatan, akal, penglihatan, dan segala sesuatu yang Allah berikan nikmat-nikmat-Nya kepada mereka. Siapa yang minta izin? Mereka adalah orang-orang yang mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka (maksudnya yaitu orang-orang munafik).

(( وَإِذَآ أُنزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُواْ بِاللهِ وَجَاهِدُواْ مَعَ رَسُولِهِ))

“Apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu), ‘Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya.’.” (QS. At-Taubah [9]: 86)

Ibadah yang agung ini disebut di antara lafzhul jalalah (lafal Allah) dan Rasul kita SAW.

(( وَإِذَآ أُنزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُواْ بِاللهِ وَجَاهِدُواْ مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُوْلُواْ الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُواْ ذَرْنَا نَكُن مَّعَ الْقَاعِدِينَ * رَضُواْ بِأَن يَكُونُواْ مَعَ الْخَوَالِفِ ))

“Apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu), ‘Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya’, niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk’. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang.” (QS. At-Taubah [9]: 86-87)

Mereka rela bersama-sama kaum wanita. Kaum wanita yang telah saya sebutkan tentang keadaan mereka, tidak diwajibkan untuk berjihad. Mereka hanya diwajibkan berjihad tanpa senjata, yakni haji, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Wanita-wanita merdeka itu dihalalkan untuk kita di atas kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya SAW. Rasul kita tidak membaiat mereka kecuali untuk berislam. Beliau membaiat kaum wanita dan para budak untuk berislam. Sedangkan kaum lelaki dibaiat untuk berislam dan berjihad. Bagaimana engkau jika berubah menjadi seperti mereka kaum wanita. Apakah kita harus mendatangkan orang-orang Nasrani, bahkan anak-anak perempuan Yahudi dan Nasrani untuk membela negeri Haromain, untuk membela anak cucu Sa’ad dan Al-Mutsanna. Tidakkah ada kaum lelaki? Demi Allah, nenek moyang kita sebelum Islam tidak mungkin rela dengan hal ini. Bagaimana bisa demikian, padahal Allah SWT telah mengaruniai kita dien yang agung ini dan shirat al-mustaqim (jalan yang lurus) ini. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh. Hanya kepada Allah-lah tempat mengadu.
Setelah itu, kami sebutkan keadaan orang-orang munafik agar waspada dari mereka dengan tingkatan celaan yang terburuk, yaitu dengan disifati rela, hanya sekadar rela.

(( رَضُواْ بِأَن يَكُونُواْ مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لاَ يَفْقَهُونَ * لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ جَاهَدُواْ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ وَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ )) .

“Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah dikunci mati maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taubah [9]: 87-88)

Persaksian dari Rabb Pemilik alam semesta akan keberuntungan dan kebenaran jalan mereka. Jika engkau termasuk pengikut Muhammad SAW dan pengikut salaful ummah RHum, maka inilah jalannya. Sangat jelas dan gamblang. Orang-orang munafik rela bersama dengan orang-orang yang tidak berperang, hal ini sebagai peringatan bagi kaum Mukminin agar jangan sampai mengambil jalan orang-orang munafik. Setelah itu ada koreksi (Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia). Jika engkau termasuk pengikut Muhammad SAW maka inilah jalannya: (mereka berjihad dengan harta dan diri mereka). Orang-orang munafik itu, merekalah orang-orang yang duduk-duduk berpangku tangan dan diperdaya oleh jiwa mereka dan berdusta atas Allah dan Rasul-Nya.

Dia memuji Allah karena dia tidak terkena apa yang mengenai orang-orang munafik, seandainya dia berdusta dan duduk-duduk berpangku tangan. Di antara yang diucapkannya sebelum itu ketika dia ditanya, Engkau minta udzur, tidakkah ampunan Rasulullah SAW sudah cukup bagimu? Ka’ab menjawab, Saya tidak mau menggabungkan antara duduk-duduk berpangku tangan dengan berdusta atas Rasulullah SAW. Renungkanlah wahai para hamba Allah. Siapa yang diuji dengan sikap duduk-duduk berpangku tangan jangan sampai menggabungkannya dengan menelantarkan kaum Mukminin dari jihad di jalan Allah. Kenapa engkau kikir dan memerintahkan orang lain agar kikir. Kikir ini termasuk sifat memalukan yang dicela Allah SWT.

((الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ))

“(Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir.” (QS. An-Nisa’ [4]: 37)
Kekikiran dari harta adalah bencana, apalagi kalau Allah mengujimu dengan kebakhilan dan pengecut. Mintalah ampun bagi dosamu. Kenapa engkau memerintahkan orang lain? Apa kepentinganmu apabila orang-orang absen dari menginfakkan harta bendanya di jalan Allah? Apa kepentinganmu apabila orang-orang absen dari membela dien mereka? Itulah syubhat-syubhat yang dilontarkan setan kepada manusia.

(( إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ ))

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 175)

Seandainya ada belasan ribu orang berangkat tentu akan cukup dengan izin Allah Yang Maha Esa. Saya mengatakan perkataan ini berdasarkan pengetahuanku tentang jalan ini dan (pengalamanku) di kancah jihad ini—dengan keutamaan Allah dan hanya milik Allah-lah segala keutamaan dan anugerah—lebih dari 20 tahun. Bagaimana orang-orang akan berangkat (berjihad)? Mereka banyak beralasan dengan udzur-udzur yang lemah yang dibesar-besarkan dan dihiasi oleh setan di otak-otak mereka. Ada yang mengatakan kepadamu, Lalu siapa yang akan menjaga tsughur-tsughur (daerah-daerah perbatasan) yang lain? Masih banyak orang yang ada di sana (medan jihad). Dosa telah gugur dari mereka dan panji lâ ilâha illallâh telah mendapat pertolongan.

Jauhilah wahai hamba Allah menggabungkan antara sikap duduk-duduk berpangku tangan dengan sikap menelantarkan dan menghalang-halangi (dari jihad).

(( قَدْ يَعْلَمُ اللهُ الْمُعَوِّقِينَ مِنكُمْ ))

“Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 18)
Allah SWT mengetahui apa yang ada dalam hati kita. Periksalah jiwamu yang ada padamu, barangkali ia telah memperdayamu sebagaimana jiwa Ka’ab RA dan saudara-saudaranya.
***

Ka’ab melanjutkan, Segala puji bagi Allah yang menunjuki pada sifat jujur dan yang telah menganugerahiku dengan nikmat ini. Nikmat teragung yang Allah anugerahkan kepadaku setelah Islam, karena saya tidak pernah berdusta sehingga saya tidak binasa sebagaimana orang-orang munafik binasa. Sungguh, Allah mengatakan kepada mereka dengan seburuk-buruk ucapan yang diucapkan kepada seseorang.

(( سَيَحْلِفُونَ بِاللهِ لَكُمْ إِذَا انقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُواْ عَنْهُمْ فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءَ بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ * يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضَى ))

“Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha ….” (QS. At-Taubah [9]: 95-96)

Lâ haula walâ quwwata illâ billâh. Apa nilai hidupmu jika engkau duduk-duduk berpangku tangan dari membela lâ ilâha illallâh dan Allah SWT tidak ridha kepadamu.

(( فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ ))

“Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (QS. At-Taubah [9]: 96)

Allah menyifati mereka dengan sifat-sifat yang tercela; zhalim dalam beberapa ayat dan fasik dalam ayat ini dan ayat yang lainnya.

Hadits agung ini, dimana Ka’ab RA menjelaskan dan mengaku. Dia adalah teladan bagi orang-orang agar memeriksa jiwanya dan mengatasinya serta mengembalikannya kepada kebenaran. Salaful ummah, mereka adalah:

(( لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ جَاهَدُواْ ))

“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad.” (QS. At-Taubah [9]: 88)
Pada waktu itu yang absen hanyalah orang-orang Arab Badui yang tidak paham dien. Namun meskipun demikian, mereka mengira bahwa mereka telah beriman ketika mereka merasa memberi nikmat kepada Rasul kita SAW. Mereka mendatangi beliau SAW dan mengatakan bahwa kami telah beriman.

(( قَالَتْ الأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ اْلإِيمَانُ فِي قُلُوبكمُ )).

“Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.’.” (QS. Al-Hujurat [49]: 14)

Ayat berikutnya menjelaskan kepada mereka sifat-sifat orang-orang beriman; menjelaskan kepada mereka keadaan orang-orang beriman. Perhatikanlah wahai para hamba Allah!

(( إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ))

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.” (QS. Al-Hujurat [49]: 15)

Allahu Akbar. Ini sudah cukup bagi orang-orang yang berakal. Ayat ini menjelaskan kepada mereka sifat iman. Jika engkau ingin menjadi bagian dari golongan orang-orang beriman. Sifat yang paling menonjol adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa keragu-raguan dan jihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwa.

Kemudian setelah itu Allah SWT menyebutkan sifat yang agung lagi mulia, yaitu sifat jujur. Itulah sifat yang menyelamatkan sahabat ini. Sesungguhnya jujur menunjukkan kepada kebajikan dan kebajikan menunjukkan kepada surga. Seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha jujur sampai ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Hendaknya kalian berlaku jujur. Waspadalah dari sifat dusta.

(( إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ))

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (jujur).” (QS. Al-Hujurat [49]: 15)

Ya Allah, langgengkan untuk kami nikmat kejujuran dan jadikan kami ke dalam golongan orang-orang yang jujur dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih.

Saya katakan kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin di mana saja, janganlah jadi orang sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Janganlah salah seorang dari kalian menjadi bunglon. Apabila manusia berbuat baik dia ikut berbuat baik dan apabila mereka berbuat buruk dia ikut berbuat buruk.” Pada hari Kiamat nanti, engkau akan dibangkitkan sendirian, diletakkan di kuburmu dan ditanya juga sendirian. Apa yang akan engkau katakan pada hari engkau ditanya tentang penelantaran lâ ilâha illallâh? Apa yang akan engkau katakan jika pertanyaan itu datang, apa yang membuatmu absen? Apa yang membuatmu absen? Padahal Allah SWT telah membuatmu kaya.

(( إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاءُ رَضُواْ بِأَن يَكُونُواْ مَعَ الْخَوَالِفِ وَطَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ )) .

“Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. At-Taubah [9]: 93)

Mengenai bencana yang menimpa umat Islam pada hari ini, bicaralah semaumu tidak ada masalah. Mereka duduk-duduk berpangku tangan tidak berjihad sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Keluarlah wahai hamba Allah. Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah yang laksana potongan-potongan malam yang gelap gulita. Gunakan kesempatanmu.

Gunakan kesempatanmu untuk membuka pintu-pintu surga. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pedang itu penghapus berbagai kesalahan.” Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya kecuali hutang. Sesungguhnya pedang itu penghapus berbagai kesalahan.

Ikutilah Rasulullah SAW yang diutus dan dikirim kepada kita untuk mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya. Ilmu kita, ilmu semua manusia pemeluk dienul Islam berasal dari ilmu Rasulullah SAW. Jibril yang diberi amanah menyampaikan wahyu turun kepada beliau, apa yang beliau katakan? Beliau mengatakan dengan menggunakan bahasa Arab yang nyata dan jelas. Apa argumen kalian, padahal Allah telah menjadikan kalian paham dan mengerti bahasa Arab?
Beliau SAW bersabda dalam hadits shahih sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari-Muslim dan yang lainnya, beliau Ash-Shadiq Al-Mashduq bersumpah, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya saya tidak memberatkan kaum Muslimin, saya tidak akan duduk-duduk di belakang pasukan yang berperang di jalan Allah selama-lamanya.” Bukankah kalian mengerti bahasa Arab? Manusia terbaik ini SAW bersumpah dengan nama Allah bahwa dia sekali-kali tidak akan duduk-duduk di belakang pasukan yang berperang di jalan Allah. Perbuatanmu memahami bahwa seolah-olah ada amalan-amalan lain yang lebih utama dari ini.

***

Front belum ada. Sampai ketika para ulama berfatwa pada kesempatan yang lalu, banyak ulama kaum Muslimin yang berkumpul dan berfatwa bahwa jihad hukumnya fardhu ‘ain ketika Rusia masuk menyerang (Afghanistan). Apa argumenmu sampai engkau tidak berangkat. Apa argumenmu? Argumennya tidak lain adalah jiwa yang terpedaya, merasa berat dan merasa nyaman di tempatmu. “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya saya tidak memberatkan kaum Muslimin, saya tidak akan duduk-duduk di belakang (dalam riwayat lain: meninggalkan) pasukan yang berperang di jalan Allah selama-lamanya.”

Bagaimana dengan orang yang mengklaim bahwa dia mencintai Muhammad SAW dan mengklaim bahwa dia berada di atas manhaj Muhammad SAW tapi dia tidak pernah sekalipun berangkat (berjihad) di jalan Allah. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh. Di zaman jihad fardhu ‘ain, bagaimana kita mengambil dari orang yang duduk-duduk tentang fiqih jihad. Fiqih jihad itu sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sang Alim Rabbani Mujahid, yang berangkat dengan jiwanya untuk memerangi pasukan Tartar, dia berkata, Dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan jihad—maksudnya fatwa dalam masalah jihad—seharusnya diambil dari ulama yang benar-benar ulama, yaitu yang mengerti realitas dunia—yang di antaranya adalah masalah jihad—bukan berdasarkan pandangan orang yang memandang dengan dien secara lahir dan juga bukan berdasarkan ulama yang tidak punya ilmu tentang realitas keadaan dunia.

Saya berikan contoh sederhana untuk kalian. Di antara argumen orang yang beralasan dan berudzur; dia mengatakan, Sekarang ini kami tidak punya kemampuan untuk menghadapi Amerika dan para tentaranya, hal itu karena dia berfatwa sedangkan dia jauh dari syarat-syarat yang seharusnya bagi seorang mufti. Seorang mufti harus paham …, sebagaimana ditetapkan para ulama, di antaranya Ibnul Qayyim RHM menyebutkan dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, beliau berkata, Seorang mufti dan hakim—sebelum berfatwa—harus paham fiqhul waqi’, yakni paham akan peristiwa yang terjadi dan menelitinya. Menyimpulkan dari perkara-perkaranya, meneliti indikasi-indikasinya dan tanda-tandanya. Kemudian syarat yang kedua (bagi mufti dan hakim sebelum berfatwa) adalah memahami kewajiban dalam keadaan dan realitas itu, yaitu hukum Allah SWT yang sesuai dengan peristiwa itu, baru kemudian berfatwa.

Anda belum pernah terjun dalam pertempuran masa kini, belum tahu bagaimana kekuatan kafir dihentikan dan bagaimana orang-orang beriman—yang yakin dengan janji Allah dan yakin bahwa apa yang di sisi Allah SWT itu lebih baik serta yang yakin bahwa mereka pasti akan menemui Allah—dalam jumlahnya yang sangat sedikit dan dengan persenjataan yang sederhana mampu mengalahkan Uni Soviet.

Mereka menganalogikan tanpa punya data-data yang lengkap (tentang mujahidin). Dia mengatakan kepadamu, “Kan jumlah para pemuda sedikit, kita tidak mengenal senjata dengan baik, persenjataan kami sedikit.” Wahai hamba Allah, itu bukan urusan kalian. Sesungguhnya urusan fatwa adalah urusan yang sangat besar.

Ada hadits shahih dari Nabi kita SAW mengenai seorang lelaki yang pergi ke suatu kaum di zaman beliau SAW. Pada waktu itu kepalanya terluka dan dia sedang junub. Lalu dia bertanya kepada kaum tersebut tentang hukum keadaanya itu, apa yang harus dilakukannya. Mereka menjawab, Kamu harus mandi. Mereka berfatwa padahal ilmu syar’i mereka belum memadai tentang masalah ini. Mereka tidak memperhatikan keadaan orang yang sedang sakit. Ketika mandi, dia meninggal. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah juga membunuh mereka.”

Maka bagaimana dengan orang yang pada hari ini tampil berfatwa, padahal puluhan ribu kehormatan kita dinodai di Bosnia Herzegovina. Beribu-ribu darah kita, darah saudara-saudara kita ditumpahkan dengan tank-tank anti peluru di Chechnya. Saudara-saudara kita dibakar di masjid-masjid di Indonesia. Anak-anak dan keluarga kita di Palestina disiksa dengan siksaan yang amat keji oleh tangan-tangan Yahudi.

Di mana saja kamu lihat Islam di suatu Negara
Kamu dapati seumpama burung yang patah sayapnya

Di mana-mana ada bencana. Apakah kita cukup—sampai sekarang—mengatakan (jihad hukumnya masih) fardhu kifayah. Siapa yang mengatakan (jihad hukumnya sudah) fardhu ‘ain pasti ditelantarkan dengan berbagai cara! Maka siapa saja yang dalam hatinya ada keimanan yang kuat dia akan mengikuti Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia.
***

Saya tutup penjelasan mengenai hadits yang agung ini dengan sifat yang diberikan Allah SWT kepada para sahabat yang mulia. Allah menyifati sebagian mereka ketika kembali dari jihad, padahal dulunya ketika disiksa di Mekkah mereka meminta perang. Mereka tahu bahwa harus membalas kepada orang-orang kafir, karena kalau tidak maka mereka akan dibinasakan. Rasulullah SAW mengakhirkan permintaan mereka. Beliau memerintahkan agar menahan diri. Beliau berkata, “Saya belum diperintahkan untuk berperang.” Ketika Allah SWT mewajibkan perang kepada mereka, mereka menarik sikapnya.
Allah ta’ala berfirman:

(( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّواْ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً )).

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih dari itu takutnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 77)

Wahai para hamba Allah! Ini pada diri sebagian para sahabat yang mulia. Bertakwalah kepada Allah. Introspeksi dirimu. Ayat ini ditujukan kepada para sahabat yang mulia, maka bagaimana engkau merasa tenang dengan dirimu ketika engkau duduk-duduk berpangku tangan dari membela lâ ilâha illallâh?

(( أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّواْ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُواْ رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ )) .

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih dari itu takutnya. Mereka berkata, ‘Ya Rabb kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?’.” (QS. An-Nisa’ [4]: 77)

Inilah tipu daya jiwa dan merasa berat dan tenteram dengan tempat tinggal. Untuk apa engkau mengundur-undur dan terlambat? Sampai kepada beberapa waktu lagi. Apa yang akan terjadi? Alasan-alasan duniawi yang tidak pernah habis. Dan angan-anganmu lebih panjang daripada umurmu.

(( لَوْلاَ أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً ))

“Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 77)

Lalu Allah SWT menjawabnya. Dia menjelaskan kepada mereka bahwa sebabnya adalah tipu daya jiwa yang tergantung dengan kesenangan dunia yang hanya sebentar. Dia menjelaskan kepada mereka bahwa itu hanyalah kesenangan dunia yang hanya sebentar. Maka Allah SWT mengarahkan mereka kepada kebaikan yang kekal abadi. Akhirat itu lebih baik daripada itu.

(( قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً ))

“Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.’.” (QS. An-Nisa’ [4]: 77)

Kemudian Allah SWT memberitahu mereka dengan ayat yang sangat tegas.

(( أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ ))

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa’ [4]: 78)

Setan selalu memperdayamu, menakut-nakuti para wali-Nya. Ia berkata kepadamu, “Kalau kamu pergi kamu akan terbunuh.” Maka datanglah ayat ini.

(( أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ )) .

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa’ [4]: 78)

Saya berharap kepada Allah SWT agar melapangkan dada kaum Mukminin untuk berjihad di jalan-Nya dan memantapkan kami dan kalian di atas manhaj Muhammad SAW dalam semua perintah dan urusannya dan dalam semua sunnahnya SAW.
Saya ingin menyemangati diriku dengan beberapa perkataan. Dan saya ingin menyemangati kaum Muslimin agar kita bisa terus-menerus berada di atas jalan ini untuk mengingatkan kita kepada manhaj salaf. Dahulu mereka memiliki syair-syair tentang pertempuran dan perang. Di antaranya adalah perkataan Ja’far RA tatkala perang telah menghancurkan para sahabat, dentingan pedang bertautan keras, debu-debu beterbangan dan teriakan-teriakan menyelimuti mereka. Hatinya melihat sebagaimana Anas bin Nadhr. Ja’far berkata kepada Sa’ad sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari, Wahai Sa’ad bin Mu’adz saya mencium bau surga di balik bukit Uhud. Padahal dia sedang ada di Madinah, namun dia mencium bau surga karena kuatnya keyakinan mereka.

Ja’far berkata:

Duhai eloknya mendekati surga
Enak dan segar minumannya
Sungguh, Romawi telah mendekati siksaannya
Jikalau aku menemuinya saya mesti menyerangnya

Ketika para sahabat pergi ke Bani Lihyan, mereka terjebak dalam pengepungan yang ketat dari Bani Lihyan dari kabilah Hudzail. 100 orang menghadapi 10 orang. Mereka berkata, Bergabunglah dengan kami. Ashim bin Tsabit Al-Aqdah RA menjawab, Saya tidak mau bergabung dengan agama kafir. Namun mereka terus berusaha merayunya. Tapi dia tetap menolak dan mengatakan:

Apa alasanku, sedang aku adalah orang yang perkasa dan mulia …
Pun busur terpasang padanya senar yang kokoh …
Kematian adalah pasti, sementara hidup adalah semu …
Jika aku tidak memerangi kalian berarti ibuku mandul.

Semoga Allah meridhai mereka semua. Musibah kita menimpa tempat-tempat suci kita. Tidak seharusnya seorang muslim mengakuinya. Saya tutup dengan bait-bait syair tentang kondisi Baitul Maqdis dan Ka’bah Musyarrafah di Hijaz milik Rasulullah SAW:

Keluargaku di Palestina menenggak gelas kesengsaraan …
Luka Hijaz tak samar lagi bagimu …
Bangsa Islam adalah bangsa yang mulia …
Karna lukamu, musibah yang menimpanya menjadi kecil …
Namun meski terluka, keyakinan mereka …
akan kembalinya kejayaan khilafah makin besar …
Dan mereka telah bersumpah atas nama Allah …
bahwa jihad mereka akan terus berlanjut …
meski Kisra (Persi) dan Kaisar (Romawi) menghadang.

Kita berharap semoga Allah SWT menerima saudara-saudara kita yang telah meninggal sebagai syuhada. Semoga Allah menganugerahi kita terbunuh di jalan-Nya agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi. Semoga Allah memperbaiki umat ini sehingga orang-orang yang taat kepada-Nya dimuliakan dan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya dihinakan. Hal yang makruf diperintahkan dan hal yang mungkar dilarang. Sesungguhnya hanya Dialah yang mampu melakukannya.

Ya Allah, saya memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kesucian diri, dan kecukupan. Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. Semoga shalawat dan keberkahan dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan segenap sahabatnya. Akhir doa kami, alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.



Diterjemahkan oleh :
Forum Islam at-Tawbah
Share on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Aceh Loen Sayang 2011